Segera kuusap air mata ini. Kuraih ponsel di meja untuk menelpon huisart (dokter keluarga=puskesmas) untuk berkonsultasi. “Goedemorgen, u spreek met de praktijk van dokter van der paas...” Suara dari seberang panjang berbahasa Belanda yang membuatku semakin panik. (Selamat pagi, anda berbicara dengan tempat praktek Dokter van der paas)“Sorry, Mevrouw. Mag ik engels spreken?” aku segera to the point minta bicara pakai Bahasa Inggris saja biar cepet. Lagi pula, memakai bahasa Belanda pada level pas-pasan dalam keadaan darurat tentu tidak dianjurkan, karena bisa terjadi salah persepsi. (Maaf, Bu. Boleh saya bicara dalam Bahasa Inggris?)Segera kuceritakan kondisi Mas Bayu. Baru aku ingat kalau Mas Bayu tidak memiliki asuransi selama tinggal. Dia hanya membeli asuransi perjalanan saja. Asisten dokter itu memberiku petunjuk singkat. Tidak perlu panik. Cukup melihat kondisi Mas Bayu saja. Apakah ada demam, apakah wajahnya pucat, dan pemeriksaan dasar lainnya termasuk mengecek nadinya.
Hatiku terasa ambyar mendengarnya. Hancur! Segera kuberdiri dan berjalan mendekatinya. Seketika aku berlutut di depannya. “Kenapa, Mas? Kenapa? Aku minta maaf, Mas, kalau aku salah….”ucapku mengiba. Aku sudah tak kuasa untuk membendung air mata ini.Dia masih terdiam, bergeming. Pandangannya hanya pada satu titik di depannya.“Mas, kamu marah sama aku? Mas, ngomong, Mas.” Kugoyang-goyang pahanya. Kuseka air mata dan ingus dari hidung dengan lengan baju. Aku sudah tak peduli lagi.Mas Bayu menoleh ke arahku. “Mungkin kita masing-masing butuh waktu untuk sendiri. Untuk instropeksi,” ujarnya tenang. Lalu dia kembali menatap ke depan. Mangkuk supnya sudah kosong. Piring nasinya pun juga sudah kosong. Dia bergegas membereskan bekas makannya. Sementara mangkuk dan piringku belum berkurang isinya. Aku kembali ke kursiku, menyendok makananku. Tetapi rasanya sulit untuk menelannya. Aku tak tahu mengapa Mas Bayu mengatakan itu. Tiba-Tiba mau pulang. Apakah gara-gara chat dengan Kak Faisal
Apa Mas Bayu kecewa karena perilakuku selama ini dingin dan tak menganggapnya selama di sini? Apa Mas Bayu kecewa dengan sikapku merasa berkuasa karena aku yang sekolah? Aku yang merasa berkuasa karena aku telah mengandung dan melahirkan anaknya. Aku yang berkuasa karena aku tahu banyak hal di sini dibanding dirinya. Aku yang berkuasa karena aku lebih pandai darinya. Apakah kamu kecewa mas? Maafkan aku. Aku tak pernah bermaksud…“Foto selfie dulu, yuk sama Nayla.” Suara Mas Bayu mengagetkanku.Aku segera menghapus airmata yang mengalir dengan tissue. Sebenarnya ingin menolak karena wajahku yang tak karuan karena sembab. Tapi, aku tak ingin mengecewakan Mas Bayu. Kami tiba di Kinderdijk disambut dengan cuaca cukup bersahabat. Tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin. Setelah melihat-lihat situasi sebentar, kami naik boat bersama penumpang lainnya mengitari molen yang berjajar di pinggir kanal. Ada pemandu yang menjelaskan tentang sejarah dan fungsi dari kincir-kincir itu.Ma
Sepanjang malam aku tidak dapat memejamkan mata. Air mata terus saja deras mengalir dari ujung netraku. Aku hanya bisa menatap Mas Bayu yang memeluk bayi mungil kami, ada perasaan cemburu. Mereka adalah bapak dan anak. Sebentar lagi mereka berpisah. Dan Nayla berhak untuk itu. Berhak mendapat kasih sayang ayahnya. Apakah ini cara Mas Bayu menegurku. Menegur aku yang pernah menolaknya.Ya, aku ingat saat dia ke Belanda dan kita pulang dari Volendaam, aku sempat mendiamkannya. Meskipun dia tidur memelukku, aku tak meresponnya. Kau hanya diam saja. Apakah dia masih menyimpan kemarahannya hingga saat ini? Kemaren, usai pertengkaran pun, aku juga malas diajak tidur karena dia tak kunjung memberiku penjelasan.Apa lalu dia berfikir aku memang layak untuk ditinggalkan? Karena aku telah mengecewakannya? Tak adakah kesempatan tersisa lagi untukku? Apakah Mas Bayu sungguh tak mau mempertahankan hubungan ini? Aku memang salah. Aku memang pergi darinya. Apakah aku harus menyesalinya jika akhi
“Sudah siang, Ra. Aku khawatir ketinggalan pesawat,” ujarnya, sontak membuatku melepaskan pelukanku. Aku tergugu. Hatiku sakit. Aku dicampakkannya lagi. Dulu, dia mencampakkanku secara diam-diam dengan menikah lagi, hatiku sudah sakit tak terperi.Kini, dia mencampakkanku secara langsung. Di depan mataku. Rasa dadaku seperti ditusuk-tusuk sembilu. Aku rindu Mas Bayu yang marah-marah karena cemburu. Aku rindu Mas Bayu yang posesif. Bukan seperti ini. Bukan Mas Bayu yang merasa kalah. “Aku buatkan sarapan, Mas,” ujarku saat Mas Bayu mengeluarkan koper dari kamar. Aku membuat omelet dan sosis serta roti panggang untuk mengganjal perut. Serta tak lupa teh manis panas kesukaannya. Mas Bayu mengangguk, lalu ia duduk di kursi meja makan usai meletakkan kopernya di sudut ruangan.Aku menemaninya, karena aku juga perlu mengisi perut. Sebentar lagi Nayla akan bangun untuk disusui. Dengan cepat kuselesaikan makananku, karena sebelum Mas Bayu usai makan, aku masih harus menyiapkan Nayla da
[May, tolong datang ke apartemenku] Aku mengirimkan pesan kepada Mayang, sahabatku. Aku tahu diapun sibuk dengan kuliahnya. Dia mengambil program yang dua tahun. Sementara aku hanya program satu tahun. Sehingga belum saatnya bagi dirinya untuk tesis.[Ada apa, Say?][Aku butuh teman.]Saat Mayang datang, tangisku langsung pecah. Bahkan aku tak daoat berkata-kata. Aku tak dapat bercerita apa yang terjadi. Aku hanya bisa mengatakan bahwa Mas Bayu sudah pulang. Itu saja. Aku yakin, Mayang paham apa yang terjadi tanpa aku mengatakan. Sejak awal, aku sudah cerita banyak. Dari pernikahan kami yang tanpa cinta. Hingga aku diam-diam kabur ke Belanda. Dan dia orang yang mudah mencium gelagat kurang baik tanpa aku harus bercerita secara gamblang.“Sabar...” Mayang mengusap punggungku saat kami berpelukan. Aku masih sesenggukan dalam pelukannya. “Sekarang kamu fokus pada ujian tesismu, agar kamu segera bisa balik Jakarta,” ujar Mayang mencoba menenangkan. Aku hanya bisa mengangguk setuju den
Bayu menyusuri hall menuju ruang tunggu Bandara Schipol di Amsterdam. Lalu ia duduk di ruang tunggu tempat gate pesawat penerbangan arah Jakarta yang masih satu jam lagi. Dia memilih tempat duduk menghadap terminal pesawat dibandingkan menghadap lalu lalang para calon penumpang lain yang keluar masuk toko-toko souvenir di area ruang tunggu bandara itu. Ponsel yang di sakunya berbunyi. Nama Fahira terlihat di layar! Entah sejak kapan ada nama itu di sana. Apakah Fahira menyimpannya sendiri untuknya. Foto Fahira menggendong Nayla terlihat di panggilan itu. Sayang, Fahira belum menggantinya dengan foto terbaru mereka bertiga kemarin. Bayu tak ada keinginan untuk mengangkat panggilan itu. Dia khawatir menjadi bimbang dengan keputusannya. Dia hanya ingin sendiri. Ia butuh menyendiri sejenak untuk merenungi apa yang telah terjadi. Dia tak ingin hidup dalam tekanan keterpaksaan atas nama bakti. Dia ingin membebaskan Fahira, tapi, hati kecilnya masih berkata tidak. Dia perlu ketenangan
“Ma, makan dulu, ya. Bayu nanti pasti pulang bersama Fahira dan cucu mama." Wulan membujuk mamanya yang masih dengan tatapan kosong di atas ranjang. Sejak kepergian Papa Bayu, kesehatan sang mama menurun drastis. Beruntung ia masih bisa dirawat di rumah, meski dua minggu sekali kontrol ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu tampak semakin terlihat tua dari usia yang sesungguhnya. Keseharian hanya dihabiskan diatas tempat tidur saja. Meskipun kadang Wulan berusaha mengajaknya keluar jalan-jalan dengan kursi roda, mencari udara segar, tapi mama Bayu memilih tinggal di rumah. Dia merasa sungkan dengan tetangga. Takut menjadi omongan orang karena telah gagal menjadi orang tua. Karena telah menyetujui Bayu menikah dengan mantan kekasihnya setelah dijodohkan dengan wanita lain.Wanita paruh baya itu semakin rapuh setelah kepergian suaminya. Dulu, meskipun anak-anak sudah tak lagi tinggal bersamanya, masih ada suaminya yang selalu menemani. Kini, jiwanya merasa kosong. Separuh hatinya telah