Share

Aiden Si Misterius

Pukul tiga sore Aiden janji datang menjemputku di Montare KidsArt Center, sebuah tempat kursus seni yang difokuskan untuk membentuk keyakinan dan  mengembangkan kemampuan anak dalam suasana belajar yang menyenangkan dan tanpa kompetisi. Aku menjadi pengajar disini setahun sebelum wisuda, aku sangat menikmati menjadi pengajar ditempat ini, dan juga ditempat ini pulalah aku dan Aiden dipertemukan.

Aku duduk ditaman dekat pos penjaga, karena disini keamanannya ketat jadi setiap anak-anak akan dijemput mereka suka menunggu ditaman sambil bermain. Aiden sudah tahu kebiasaku duduk menunggu di kursi dekat ayunan. Pria tinggi tampan itu sudah membiusku sejak pertama kali bertemu, perhatiannya dan sikapnya membuat kehidupan ini semakin berwarna.

“Hai cantik! Sendirian saja.” Sebuah suara merdu membuyarkan lamunanku. Aiden berdiri dibelakangku sambil tersenyum menggoda. Dia mendekatiku lalu tangannya mengusap rambut dan mengecup keningku.

“Hai sayang. Loh kenapa gak nelpon saja kalau sudah sampai, biar aku biar aku jalan ke parkiran.” ku tatap pria yang memiliki mata elang yang teduh, tatapannya membuat hati ini tak karuan.

“Aku tak mau kamu jalan sendirian, nanti ada yang nyamber lagi.” jawabnya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Aku yang menatapnya merasa merona tak karuan.

“Udah, ayo kita berangkat! Aku ada janji lagi sama pria tampan lainnya.” langsung ku rangkul lengannya dan kutarik beranjak menuju parkiran.

Saat tiba di parkiran dia tak langsung menuju mobilnya. Dia tertegun menatapku, “ada apa? Apa ada yang salah denganku?” tanyaku heran.

“Kamu ada janji sama siapa?” tanyanya penuh penasaran.

“Oh, kenapa? Kamu cemburu saat ku katakan sama pria lain?” ku tatap matanya. Biasanya dia tak acuh ketika aku bersama pria manapun. Walaupun sikapnya begitu membuat jantung berdebar namun aku tak pernah melihat dia sekalipun cemburu pada pria yang mencoba mendekatiku. Dia seakan tak acuh bila aku membicarakan atau bertemu dengan pria selain dirinya. Namun entah dengan hari ini, dia seolah ada ketakutan dalam hatinya.

Aiden menarikku kepelukannya, “aku hanya akan mengatakan ini satu kali, dengarkan dan ingat ini hatiku selalu perih dan hancur saat kamu kulihat dengan pria lain, walau itu hanya sekadar bertanya biasa. Tapi aku .........” dia makin erat memelukku. Ku dengar detak jantungnya yang berdebar cepat.

Aku hanya bisa terpaku dengan kata-katanya, tak dapat ku membuka mulut ini, ku hanya bisa membalas memeluknya. Kulihat orang yang lewat memperhatikan kami, aku tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Yang kutahu pria ini tak baik-baik saja.

Dia melepaskan pelukannya lalu menuntunku masuk ke dalam mobil. Ku hanya mampu menatapnya tanpa mampu bertanya apa yang terjadi, baru kali ini kulihat dia begitu kacau dengan suasana hatinya.

“Bagaimana harimu tadi? Pasti persiapan buat jamuan hari ini membuatmu stres ya?” ku coba membuka obrolan dengannya.

“Nggak, biasa aja.” ‘Tuhan kenapa kau beri rasa ini bersamaan. Aku tak sanggup untuk kehilangan dia.’ Batin Aiden berkecamuk tak menentu. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi pada perasaannya terhadap Katy.

“Oh iya, kamu kan chef terbaik.” godaku. Tapi kulihat dia masih serius dalam pikirannya sendiri. “Tadi kamu bertemu ibuku disana?” Sambil ku ganggam tangannya.

“Ya.” jawabnya singkat.

“Aku tak tahu kenapa suasana hatimu jadi tak baik. Kalau itu dari kesalahan ucapanku maafkan aku.” Aku kembali pada posisi dudukku menghadap kearah depan.

Cukup lama kami hanya berdiam diri. Jarak menuju rumah sakit seolah begitu jauh kurasa dengan sikapnya yang dingin.

“Kamu nanti janjian dengan siapa?” ketika kami sudah sampai di parkiran rumah sakit.

“Kakakku, Matteo.” aku jawab dengan apa adanya tak mau menggodannya lagi. Takutnya dia makin dingin sikapnya.

“Dia ada disini? Sejak Kapan?” tanyanya penuh dengan keheranan. “Bukannya katamu dia takkan bisa pulang bulan ini?”

“Aku tak tahu, baru tadi pagi dia ngasih kabar baru keluar bandara. Katanya ada yang mau dibicarakan penting. Tapi dia tak ngasih tahu apa yang mau dibicarakannya. Tapi sepertinya penting.”

Kulihat Aiden menggigit jarinya, keningnya berkerut seolah ada yang dipikirkannya. “Kamu ikut aja! Lagian kan kalian baru sekali bertemu tahun lalu ketika aku wisuda.” ajakku.

“Belum saatnya aku ikut obrolan kalian, mungkin nanti akan ada kami berbincang dengan serius.” Dia berkata sambil melemparkan senyum. Seolah sikapnya yang tadi berubah seratus delapan puluh derajat. Dia kembali ke sikapnya yang hangat. Aku tak mengerti pada dirinya.

Sudah dua tahun kami bersama namun aku belum sepenuhnya memahami sikap dan pribadinya. Terkadang dia begitu sangat hangat penuh cinta, tapi tak dipungkiri dia begitu dingin dan kejam dalam sikap maupun perkataannya. Seperti dua jiwa dalam satu tubuh. Disaat aku begitu mencintainya dengan sikap dan perhatiannya, dia seolah berubah menjadi sosok yang kejam seolah aku harus membencinya. Namun seberapa besar sikapnya yang seperti ingin membuatku bencinya, aku tak mampu untuk membencinya.

“Ayo! Mau nunggu dimobil saja?” aku kaget, dia sudah berada disampingku membuka pintu. Dia mengulurkan tangannya yang ku balas dengan menggenggam telapak tangannya. Kami masuk ke rumah sakit sambil bergandengan. Begitu erat dia menggenggam tangan ini, seolah aku takut akan pergi meninggalkannya.

'Jangan pernah genggaman ini terlepas Tuhan, didirinya hati ini tertambat. Tapi Tuhan haruskah aku mengakhirinya dengan derita yang aku rasa.' Batin Aiden kalut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status