Katarina Lee bisa memiliki apapun yang diinginkannya. Anak bungsu dari dua bersaudara itu terkenal manja namun kemandirannya yang mungkin sifatnya diturunkan dari ayahnya. Ketika dia menginginkan sesuatu dia akan berusaha keras untuk mencapai keinginnnya dengan usaha sendiri. Apalagi setelah bertemu dengan sahabatnya sekaligus rekan bisnisnya Angela, Katarina semakin tertantang untuk makin mandiri. Seperti sang kakak yang bisa lepas dari bayang-bayang nama ibunya dia juga bertekad untuk mengikuti jejak sang kakak.
Ponsel pintarku berdering, saat ku lihat ada panggilan dari saudaraku Matteo. ‘Tumben dia nelpon’ pikirku heran, biasanya kakakku itu hanya mengirim pesan seperlunya.
“Halo, tumben nih ada apa kak?”
“Dek, ada waktu gak hari ini? ada yang mau kakak omongin."
“Soal apa? Penting? sore nanti sih ada rencana mau ke rumah sakit.”
“Ada apa kerumah sakit, kamu sakit de?” Terdengar suaranya cemas. "Sakit apa, Parah? Sekarang saja kakak antar kamu ya! Tunggu sebentar kakak baru keluar dari bandara." Sikapnya yang selalu berlebihan kalau menyangkut kehidupanku.
“Tenang kak, aku gak apa-apa, aku sehat kak, aku cuma mau nengok Ny. Hong yang pernah aku ceritain itu loh, Kemarin dia masuk rumah sakit. Jadi nanti sore adek sama kak Aiden mau nengok beliau.”
“Aiden?, Aiden Woo maksudmu dek, yang datang ke wisudaan kamu dulu?” tanyanya.
“Iya.”
“Ya sudah, nanti kalau kamu sudah pulang dari rumah sakit kabari lagi, nanti kakak ke apartemenmu saja.”
“Ok, nanti aku kabari.” tumben dia mau berkunjung ke apartemenku, biasanya kalau ngajak ketemuan suka diluar. “Sudah dulu ya kak, sampai nanti ketemu di apartemen.”
“Iya, hati-hati dek. Kakak tak mau kamu kenapa-napa.” dia menutup teleponnya dengan cepat sebelum aku berkata lagi.
Kakakku Matteo Lee adalah seorang Travel photographer terbaik, aku selalu takjub akan hasil jepretannya, tak heran jika dia selalu dihubungi oleh pihak tempat wisata untuk mengambil gambar untuk dijadikan sebuah iklan. Dia tak pernah menetap disuatu tempat, dia hanya akan datang sebulan sekali untuk meninjau distronya di beberapa kota. Ada sekitar sepuluh distro yang dia percayakan kepada sahabatnya untuk dikelola.
Matteo tak pernah betah berada dirumah. Sejak ayah kami menghilang, ibu selalu menekannya untuk belajar mengelola perusahaan keluarga meskipun usianya masih muda, namun sekeras apapun ibu memaksanya dia selalu menolak, alasannya dia ingin mandiri dan punya bisnis sendiri dengan perjuangannya dari nol dan itu terbukti dengan bisnisnya sekarang, walaupun beberapa kali jatuh bangun, tapi dia tetap berjuang
Kakakku memang paling dekat dengan ayah, betapa bangganya dia pada sosok ayah kami. Namun ketika hari dimana ayah menghilang entah kemana, dunia dia seakan hancur. Namun untuk melampiaskan kehilangannya itu dia selalu melakukan traveling mencoba membuka bisnis distro yang dibangun berdua dengan sahabatnya Taesun. Hingga suatu hari setelah setahun ayah menghilang kudengar Matteo berselisih dengan ibu.
“Akan aku cari tahu apa yang terjadi sebenarnya, walaupun ibu dan kakek menutupinya. Suatu hari akan aku ungkapkan segalanya” Tak pernah dia meninggikan suaranya ketika dia berbicara dengan ibu. Tapi tidak kali ini, seperti ada sesuatu yang tidak dapat ia terima.
“Kamu tidak perlu mencari apapun Matteo, toh kamu tidak akan menemukan apapun, tidak ada yang perlu kamu ungkapkan, ayahmu saja yang bodoh dan lemah.” Ibuku balas membentak Matteo.
“Aku akan pergi dari sini, aku takkan terima posisi yang ibu berikan. Pastikan saja Katarina dijaga dengan baik, jangan sampai suatu hari dia tersakiti karena ulahmu.” Matteo keluar ruang kerja ibuku.
“Matteo kamu tidak akan bisa hidup tanpa bantuan ibu!” Teriak ibuku dari dalam ruang kerjanya. Saat ku lihat Matteo bergegas ke kamarnya tanpa menyadari aku memperhatikannya. Selang beberapa lama dia keluar membawa tas ransel dan pergi dari rumah hingga hari ini sudah sepuluh tahun dia tak pernah mengunjungi rumah yang ibu tempati.
Aku tak pernah tahu persoalan yang mereka pertengkarkan. Kenapa harus menyeret kehidupan aku juga. tak seorangpun dari mereka yang mau membicarakannya denganku, atau mungkin dianggapnya aku masih belum dewasa.
Suatu hari saat Matteo mengajakku liburan bersama kekasihnya Amara Moon, aku coba memancing pertanyaan perihal dia pergi dari rumah dan berharap akan ada dukungan dari sang kekasihnya itu untuk kembali kerumah.
“Kak, sudah tiga tahun kamu tak pernah bertegur sapa sama ibu, mau sampai kapan begini kak?, pulanglah aku rindu ada kamu berada dirumah.” Pintaku penuh harap.
“Tak mungkin kakak bisa kembali lagi kesana dek, selama kehidupan ibu masih penuh ambisi untuk memenuhi keinginannya.” dia menghela nafas lalu pergi meninggalkan kami. Ku lirik pada kekasihnya berharap dia bisa meyakinkan Matteo untuk kembali berbaikan dengan ibu.
"Tunggu ya dek!” Amara berkata sambil memegang tanganku, “suatu hari ketika semua sudah jelas menurut pandangannya dia pasti kembali. Namun biarkan dulu sampai menemukan apa yang dia cari. Kakak juga sudah berusaha untuk membuat Matteo berbaikan dengan tante Mona, tapi mungkin ada prinsip yang bertentangan dengannya.”
“Tapi sampai kapan kak?, ini sudah tiga tahun lebih dia begitu.” kutumpahkan airmata ini dalam pelukan kekasih kakakku itu.
“Sabar, mungkin ada sesuatu yang harus dia selesaikan. Tenang saja ya, aku akan membujuknya kembali.” Ku eratkan pelukkanku padanya. Aku tahu kekasih kakakku itu tak pernah lelah menghadapi watak kakakku yang keras. Gadis penyabar yang selalu ada disetiap keadaan baik buruk Matteo.
Pukul tiga sore Aiden janji datang menjemputku di Montare KidsArt Center, sebuah tempat kursus seni yang difokuskan untuk membentuk keyakinan dan mengembangkan kemampuan anak dalam suasana belajar yang menyenangkan dan tanpa kompetisi. Aku menjadi pengajar disini setahun sebelum wisuda, aku sangat menikmati menjadi pengajar ditempat ini, dan juga ditempat ini pulalah aku dan Aiden dipertemukan. Aku duduk ditaman dekat pos penjaga, karena disini keamanannya ketat jadi setiap anak-anak akan dijemput mereka suka menunggu ditaman sambil bermain. Aiden sudah tahu kebiasaku duduk menunggu di kursi dekat ayunan. Pria tinggi tampan itu sudah membiusku sejak pertama kali bertemu, perhatiannya dan sikapnya membuat kehidupan ini semakin berwarna. “Hai cantik! Sendirian saja.” Sebuah suara merdu membuyarkan lamunanku. Aiden berdiri dibelakangku sambil tersenyum menggoda. Dia mendekatiku lalu tangannya mengusap rambut dan mengecup keningku. “Hai sayang. Loh kenapa gak nelpon saja kalau sudah sa
Kami sampai didepan resepsionis Rumah Sakit, tangan kanan Aiden membawa buah tangan dan tangan kirinya menggenggam erat tangan ini. “Sore mbak, maaf saya mau mengunjungi Ny. Maria Hong, kalau boleh tahu dikamar berapa beliau dirawat ya?” Tanyanya kepada resepsionis jaga. “Sore juga pak, sebentar saya cek dulu. Ny. Hong berada dilantai tujuh ruang VVIP kamar tiga.” Jawab resepsionis tersenyum ramah. “Baik, Trimakasih.” “Sama-sama Pak!” Kami melangkah ke dalam lift menuju kamar yang dimaksud. Masih saja dia tidak melepaskan genggamannya. Kupandang wajahnya penuh tanya. Pikiranku bertanya-tanya ‘Ada apa dengan dia hari ini?’ Sesampainya didepan pintu kamar Aiden baru melepaskan genggamannya. Dia mengetuk pintu tapi tatapannya tidak lepas dari menatapku yang makin salah tingkah karena sikapnya. “Ya masuk!” suara seorang wanita menjawab ketukan. Aiden membuka pintu lalu menengok dulu kedalam untuk memastikan pasien yang berada didalam adalah yang kami tuju. “Aiden!” Ku dengar suara N
“Bagaimana persiapan kompetisinya sudah selesai? Tinggal empat hari lagi penutupannya loh.” Aiden membuka pembicaraan setelah mobil melaju dari Rumah Sakit. “Hampir selesai, tinggal menambahkan sedikit aksesoris agar terlihat unik dan elegan.” jawabku sambil tersenyum bangga pada hasil karyaku itu. “Matteo tahu kamu memakai nama samaran untuk mengikuti kompetisi itu?” “Nggak, mungkin nanti saja kalau benar-benar aku jadi juara.” Aku terkekeh sambil meggaruk kepala yang tak gatal. “Kamu yakin akan menggunakan nama samaran?” “Yakin seratus persen untuk itu! karena aku yakin tidak susah untuk membuat penilai memilihku dengan bantuan ibuku, jika dia tahu itu aku.” “Baiklah semoga kali ini kamu beruntung!” Aiden tersenyum lalu menggenggam tanganku. Tak terasa kami sudah sampai ditempat parkiran apartemen. Kami keluar menuju lift, karena apartemen kami dilantai enam belas. Dia tak melepaskan genggaman tangannya ketika turun dari mobil. Semakin dekat dengan lantai yang kami tuju, geng
Flashback “Kamu memilih dia daripada keluargamu ini? Kamu belum sadar juga, dulu keluarganya telah menghancurkan kehidupan orangtua kita, tapi kenapa kamu masih membelanya! Sebegitu dalamnya kah rasa cintamu pada wanita itu? Selama ini kau anggap aku ini apa?” ibuku berteriak penuh emosi. “Cara kamu memalukan! apa bedanya kamu dengan mereka? Aku muak dengan semuanya.” “Kamu akan pergi padanya?” ibuku berkata dengan nada sinis. “Jangan pernah menemuiku lagi, kita akhiri semuanya disini! Aku akan membawa anak-anak bersamaku.” “Jangan harap kamu bisa membawa mereka! Takkan ku biarkan itu terjadi! Kalau kau mau pergi, pergilah tanpa mereka! Jangan pernah tampakkan lagi wajahmu pada mereka. Kamu mengerti bagaimana aku.” Ibuku keluar dari kamarnya menuju ke garasi, lalu pergi dengan mobilnya entah kemana. Malam itu, pertama dan yang terakhir kalinya ku dengar orangtuaku bertengkar, aku ragu ayahku memiliki wanita lain, tapi akupun tak meragukan perkataan ibuku tadi. Kulihat ayah keluar
Aku pergi ke ruangan tempat aku mendesain pakaian untuk kompetisi, aku memikirkan perkataan Matteo tadi, ‘balas dendam, tapi pada siapa mereka akan balas dendam, cara apa yang akan mereka lakukan untuk membalaskan dendamnya, siapa mereka?’ batinku meracau tak menentu. Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikiranku. ‘Haruskah aku bertanya pada ibu? Atau aku minta tolong kepada Aiden untuk mencari tahu semua itu?’ Aku menimbang-nimbang apa yang harus aku lakukan. TRURTTTTT Ponselku bergetar, tanda ada panggilan masuk. Sengaja aku atur dalam mode senyap tanpa nada dering, ku lihat panggilan itu dari Aiden. “Hallo!” jawabku dengan lemas “Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?” tanyanya cemas. Aku bingung, ingin mengatakan apa yang tadi aku dan Matteo perbincangkan, namun mulai darimana. “Aku baik-baik saja, cuma aku sedang bingung menemukan aksesoris yang cocok untuk pakaian ini.” aku berbohong, karena tak mungkin aku menceritakan tentang keluargaku yang penuh intrik ini. “Mau aku bantu me
Benar saja ketika pagi menjelang, samar ku dengar Aiden sudah adu mulut dengan kakakku diruang depan, Matteo menyebutnya pencuri karena berani masuk tanpa permisi ke apartemen orang. “Hei! Bagaimana kamu bisa masuk apartemen orang? DASAR CHEF BAJING*N!” Bentak Matteo dengan suara lantang. “Aku sudah bilang pada nona kecilmu kalau dia tidak keluar, aku akan masuk secara paksa dan membawanya pergi hari ini.” Balas Aiden makin lantang. Aku tak tahu apakah mereka sudah baku hantam atau hanya adu mulut saja. “ASTAGA!!!!” teriakku sambil bangun dari sofa diruang kerjaku, aku baru ingat apa yang dikatakan Aiden tadi malam. Aku lari keluar menghampiri dua pemuda yang sedang adu mulut. Aku kaget sampai mata dan mulutku terbuka lebar, disana kulihat dua pemuda itu sedang bergulat dan saling jambak seperti perkelahian wanita. Ingin rasanya aku tertawa, namun aku juga khawatir akan terjadi sesuatu yang lebih mengerikan. “HEI KALIAN!!!! BERHENTIII!!!!” Teriakku sambil lari menghampiri mereka un
Sesampainya di tempat parkir, ku dengar ponsel Aiden berbunyi namun dia tak lantas mengangkatnya, ada ragu dan cemas terpancar dari wajah tampannya. Sambil membuka bagasi mobilnya untuk menyimpan tas yang dia bawa, dia menolak panggilan tersebut. Dia menyimpan kembali ponselnya kedalam saku celana, beberapa kali ku dengar lagi suara panggilan, namun tetap ia abaikan, sampai mobil yang kami tumpangi melaju pun dia tetap bergeming. “Kenapa tak diangkat?” tanyaku heran. “Hanya orang iseng, dari semalam nelpon terus, tapi aku nggak kenal.” jawabnya, tapi ada kecemasan terlihat diwajahnya. “Kamu yakin??” Aku semakin fokus melihat ke arahnya, ada sedikit keraguan terbesit dihati. ‘Apa ada yang dia sembunyikan dariku?’ batinku berbisik. “Ya, aku sangat yakin! Sudah jangan hiraukan, aku sudah biasa menerima panggilan yang tak dikenal.” Dia menolehku sambil tersenyum, namun perkataannya itu seperti tidak menggambarkan pada sikapnya yang terlihat waspada. Aku yakin ada sesuatu yang dia semb
Kendaraan yang kami kemudikan sudah mulai memasuki wilayah Greentown, sudah terasa udara yang sangat segar, sepanjang tepi jalan ditumbuhi oleh pohon pinus merah. Terlihat sebuah rumah sederhana dengan ornamen klasik sehingga terlihat menarik. Ada beberapa rumah yang ada di daerah ini, salah satunya rumah yang dituju Daniel. Jarak rumah Aiden dan rumah yang dikunjungi Daniel berdekatan bisa dikatakan mereka bertetanggaan. “Kamu sering kesini?” tanyaku pada Aiden. “Mungkin ini kedua kalinya aku berkunjung ke rumah ini.” jawabnya sambil memarkirkan mobilnya. Tapi ku lihat rumah ini sangat bersih seolah selalu terurus dengan baik. “Jadi selama ini ditempati oleh siapa?” tanyaku penasaran. Namun tak berapa lama datang seorang lelaki tua dari dalam rumah, mungkin umurnya sekitar enam puluh tahunan. “Selamat datang Tuan Aiden!” Sapanya seraya membungkukkan badan tanda menghormatinya. “Apa kabar paman Joo?” Aiden merangkul lelaki tua itu tanpa ragu, “lama tak jumpa, apa kamu baik-baik s