Share

3. UNTUK KALI KE DUA (POV ZAFRAN)

Seminggu dari sejak pertemuan itu, kami kembali dipertemukan dalam acara yang sama. Namun, konsep kali ini berbeda. Kami tak harus lagi berada di dalam ruangan persegi. Konsep kali ini adalah tema outdoor. Di mana tim Muslimah Berbagi Inspirasi mendatangi usahaku dan meliput kegiatan kami di sana. Tentunya aku lah sebagai owner yang akan menjadi pemandu. 

Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin. Menelisik setiap inci tubuh. Berulang kali aku mengganti setelan agar terlihat modis. Bukan. Aku bukan untuk menarik perhatian Zaira, aku hanya ingin menampilkan produk terbaikku. 

"Zafran, dari tadi kamu nggak berhenti mondar-mandir di depanku. Ganti satu baju ke baju yang lainnya. Putar kiri dan kanan di depan cermin. Seperti mau diajak kencan buta saja," cibir Rayyan yang tengah berdiri di dekat pintu sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. 

"Aku hanya ingin tampil lebih baik. Salah?" tanyaku yang masih sibuk memilih.

"Nggak, sih, hanya saja kamu terlihat aneh. Jangan-jangan ada udang di balik batu."

Aku mengerutkan kening.

"Maksudnya?"

"Ayolah, Zafran. Sudah lebih dari lima belas menit dan kamu belum bersiap. Ganti baju yang satu ke baju yang lain. Sepatu pun begitu. Rambut masih acak-acakan."

Aku berhenti sejenak. 

"Aku hanya ingin menampilkan produk terbaik. Sebagai owner, harusnya aku menampilkan yang terbaik bukan? Sekalian untuk menarik pelanggan," jelasku. 

"Menarik hati pelanggan atau menarik hati Zaira? Hm?"

Aku acuh atas argumennya yang bagiku tak penting saat ini. Rayyan memang begitu, suka menilai sesuka hati.

Setelah lama memilih, pilihanku jatuh pada kemeja koko berwarna tosca. Celana ku sesuaikan berwarna hitam dan sepatu santai berwarna krem. Tidak lupa jam tangan melingkar di pergelangan tangan kiri. 

Rambut kurapikan dengan sisir kemudian memakai peci berwarna hitam.

Dering ponsel berbunyi, panggilan dari nomor baru. Ragu aku untuk menjawab, tapi entah kenapa jari ini menggeser ikon ke arah kanan. Panggilan tersambung. 

"Assalamu'alaikum, Ustaz." Terdengar suara lembut dari seberang. 

"Wa'alaikumussalam. Siapa?"

"Maaf, Ustaz, saya Zaira."

Deg. Jantungku mulai berpacu. Ada rasa yang tak biasa. 

"Ustaz?"

"E-eh, iya," jawabku gugup. 

"Aku sudah ada di depan, Ustaz."

"Oh. Oke. Aku akan segera turun." 

Panggilan terputus setelah mengucapkan salam. Aku sedikit gelapan. 

"Apa?" tanya Rayyan yang menangkap sikapku. 

"Zaira ada di bawah," jawabku setelah menghabiskan setengah gelas air putih.

Rayyan menahanku saat hendak melangkah keluar.

"Jangan grogi di depannya. Nanti ketahuan," godanya. 

Aku terkekeh menanggapinya. Sungguh, Rayyan sangat tau sikapku. 

*

Dua orang wanita sedang duduk bercengkerama di bagian kursi tunggu. Tampak Zaira larut dalam candaan yang dibuat sahabatnya-Khadijah. Sekali-sekali menutup wajahnya dengan beberapa lembar kertas yang dipegangnya. Senyumnya merekah terhenti saat sadar aku sedari tadi berdiri mematung memperhatikannya. Tampak raut malu di wajahnya. 

"Maaf menunggu lama," ucapku berusaha mencairkan suasana. 

"Ustaz, kita ambil posisi yang bagus di mana ya?" tanya Khadijah. 

Aku berjalan menuju sudut ruangan yang kemudian diikuti oleh mereka berdua. Tibalah kami pada suatu tempat yang sengaja aku buat agar mereka tak bosan menunggu. 

Sebuah kafe kecil di lantai dua. Aku terinspirasi dari salah satu film layar lebar yang mendominasikan kantor dan kafe dalam satu gedung. Aku pun sama, tanpa perlu ke luar untuk sekedar berdiskusi atau rapat dengan rekan bisnis, di sini kami sediakan semua demi kenyamanan bersama. 

"Masya Allah bagus banget, Ustaz. Kafe dalam kantor. Lantai bawah adalah gerai, lantai dua cafe dan lantai tiganya apa, Ustaz?" tanya Khadijah. 

"Ruang pribadiku," jawabku dengan sedikit menyungging senyum. 

"Bisa di mulai, Ustaz?" tanya Zaira yang sedari tadi hanya terdiam mengamati seluruh ruangan. 

Aku mempersilahkan mereka duduk di dekat jendela agar bisa melihat dengan luas ke arah luar.  Menikmati pemandangan lalu lalang kesibukan penduduk Ibu Kota. 

"Mau minum apa?" tanyaku setelah kami duduk berhadapan. 

Mereka tak langsung menjawab malah sibuk memilih menu. 

"Orange Jus, Ustaz," jawab Zaira. 

"Kalau aku .... ah, black oreo," jawab Khadijah. 

Aku mengangguk lalu memanggil waiters kemudian ikut memesan cappuchino. Kopi andalanku. 

Hampir sepuluh menit berlalu, pesanan kami pun tiba. 

"Nikmatilah dulu pesanan kalian sebelum kita mulai."

Aku melirik sekilas ke arah Zaira yang sejak tadi memilih banyak diam. Entah apa yang ada di benaknya. 

"Zaira, apa kamu masih kuliah atau fokus bekerja?" 

"Aku masih kuliah, Ustaz. Sudah menuju semester akhir."

"Apa kegiatan ini tidak mengganggumu nanti saat penyusunan?"

"Justru ini juga bagian dari penelitianku, Ustaz. Jadi sambil bekerja sambil meneliti. Nanti setelah waktunya tiba aku punya banyak waktu, tidak tergesa-gesa karena sudah memiliki bahan, Ustaz."

Cerdas. Itu point yang aku berikan. 

"Khadijah nggak ditanyain nih, Ustaz?" celetuk Khadijah. 

"Khadijah sendiri bagaimana?" 

"Nggak jauh beda dengan Zaira, Ustaz. Saya juga menuju semester akhir. Tapi penelitianku berbeda. Sebab jurusan kami pun berbeda."

Obrolan mengalir begitu saja sampai pesanan kami tersisa sedikit. 

"Kita mulai dari mana?" tanyaku sambil menatap mereka berdua. Padahal dalam dada sudah bergemuruh sejak tadi. 

"Sebentar, Ustaz."

Khadijah sibuk mengeluarkan kameranya. 

"Zaira, bisa kan sama ustadz aja? Aku mau ambil gambar setiap sudut kafe."

Khadijah berlalu setelah meminta ijin sedangkan Zaira memposisikan kamera di samping kiri kami untuk mengabadikan rekaman video nanti. 

Rasa gugup melanda, dapat kutangkap Zaira merasakan hal yang sama. Berdua berhadapan tanpa pengawasan. Hanya Allah yang mengawasi kami. 

Zaira memulai seperti biasa kemudian akan melontarkan berbagai pertanyaan.

"Ustaz selain kantor ini, apa ada gerai di tempat lain? Maksud saya, apakah perusahaan  ini sudah memiliki cabang?"

"Alhamdulillah sudah ada tiga cabang. Bandung, Surabaya dan Jogja. Sedangkan pusatnya adalah di sini, Jakarta."

"Apakah hanya pakaian muslim saja? Atau ada yang lain?"

"Selain pakaian muslim, tentu ada juga barang lain. Seperti perlengkapan shalat yaitu mukena, peci, sajadah dan tasbih."

Berbagai pertanyaan dilontarkan berakhir saat Zaira meminta ijin untuk merekam keadaan di sini. Mulai dari lantai satu hingga lantai dua. 

Sebelum beranjak aku membisikkan sesuatu tepat di sampingnya.

"Aku ingin bicara sebentar. Nanti aku arahkan Rayyan untuk mendampingi Khadijah dalam proses pengambilan gambar.

Zaira mengangguk patuh lalu mengekor di belakangku. 

Di lantai satu, aku membimbingnya mengintari  setiap sudut yang menampilkan berbagai produk. Zaira dengan semangat merekam setiap produk yang ditampilkan. 

Setelah selesai aku membimbingnya menuju ruangan produksi. Di sana ada sekitar empat puluh pegawai yang dari tangan lihainyalah produk itu bisa selesai dengan tampilan memuaskan. 

Bangunan ini memang lumayan luas, sehingga tak perlu menyewa tempat lagi untuk bagian produksi. Cukup di satu gedung, agar mudah mengontrol. 

Berbeda dengan cabang, produk hanya dikirim ke sana. 

Kembali aku mengajaknya ke lantai dua. Kini kami duduk saling berhadapan dan terdiam dengan pikiran masing-masing. 

"Zaira."

Zaira sejenak melihat ke arahku. 

"Kamu ingat tiga hari yang lalu aku mengucapkan sesuatu?"

Zaira mengangguk. 

"Aku nggak nyangka loh, kupikir itu pertemuan terakhir kita. Atau entah berapa lama lagi kita bisa dipertemukan. Ternyata secepat ini."

Aku tersenyum saat mendapati semburat wajah merona. 

"Mungkin ini takdir, Zaira. Bisakah aku membawa namamu dalam do'a malamku?"

Lama dia terdiam hingga akhirnya dia berani membuka suara. 

"Kriteria calon istri idaman Ustaz seperti apa?"

"Sepertimu. Makanya aku ingin meminta ijin terlebih dahulu."

"Kenapa aku?"

Sejenak aku terdiam kembali. Memilih kata yang pas untuk dia. 

"Kalau sudah halal, kamu akan tahu jawabannya. Aku hanya perlu ijinmu saat ini. Bagaimana?"

"Boleh, Ustaz," jawabnya dengan senyum sempurna. 

"Terimakasih. Aku sudah lega sekarang."

Kembali kami terdiam. Zaira lebih banyak menunduk dan memilin ujung khimarnya. 

"Kapan kamu siap menikah?" pertanyaan itu spontan kuucapkan. Padahal sejujurnya ini di luar rencanaku. 

"Aku manut saja sama Abi, Ustaz. Tapi Abi menyuruhku untuk fokus kuliah dulu."

"Aku paham. Berapa lama lagi kamu akan selesai?"

"Kurang lebih tiga atau empat bulan, Ustaz. Itupun belum masuk yudisium dan wisuda. Baru selesai sidang. Insya Allah."

Aku berpikir sejenak empat bulan dari sekarang. Baiklah, aku akan menunggunya.

"Baiklah."

Zaira tampak mengernyitkan kening. Mungkin dia butuh jawaban atas pertanyaanku yang menggantung. 

Aku menoleh ke arah kanan, memberikan kode ke Rayyan agar menyelesaikan tugasnya. Khadijah dan Rayyan berjalan beriringan ke arah kami. 

"Sesi wawancaranya sudah selesai. Apa masih ingin tambahan?" tanyaku. 

"Sepertinya tidak ada, Ustadz. Kami harus pamit karena mengejar deadline juga," jawab Khadijah. 

Zaira hanya diam tak berkutik. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Khadijah yang sadar akan sikap Zaira berulang kali menyikut lengan sahabatnya. 

"E-eh?" Zaira kembali tersadar dari lamunannya. Khadijah dan Rayyan tidak bisa menyembunyikan tawanya, sedangkan aku berusaha tetap terlihat tenang. 

"Kami permisi dulu, Ustaz, Mas Rayyan. Terimakasih atas waktunya dan jamuannya," pamit Khadijah.

Zaira tersenyum sekilas sebelum lengannya sedikit ditarik oleh Khadijah.

Selepas kepergian mereka aku dan Rayyan sama-sama terkekeh melihat sikap lucu Zaira. 

"Bagaimana?" tanya Rayyan. 

"Aku sudah bilang ke dia."

"Lalu?"

"Kurang lebih tiga atau empat bulan dari sekarang dia menyelesaikan kuliahnya meskipun baru di tahap lulus sidang."

"Itu artinya enam bulan dari sekarang, ya?"

Aku terdiam. Apa bisa aku menunggunya selama itu? Sedangkan aku ingin segera menghalalkannya. Aku juga tidak ingin terus memikirkan sedangkan dia belum halal untukku. 

"Bisa jadi."

"Tapi kalian bisa nikah meskipun dia masih kuliah."

"Itu permintaan Abinya. Waktu enam bulan bukan waktu yang lama kok."

"Kamu yakin bisa menunggu?"

"Insyaa Allah."

"Bagaimana jika ada yang lebih dulu melamar?"

Aku berpikir sejenak. 

"Harusnya hal itu kamu tanyakan pada Zaira. Aku lah yang menjemput."

"Tetap saja. Kita tidak tahu ke depannya. Siapa tahu, saat sebelum ujian sudah sudah ada yang lebih dulu melamar. Bagaimana?"

Benar. Rayyan benar. Bagaimana jika hal itu terjadi? Sedangkan aku masih menggantungkan pernyataanku. 

Aku membuang pandangan keluar jendela. Merenungi setiap kata dari Rayyan. Jika itu terjadi, berarti aku harus siap kehilangan Zaira.

*

Menjelang jam sembilan malam, aku baru tiba di rumah. Rasa lelah dan penat begitu terasa. Mengurus keperluan gerai, dilanjutkan mengajar tahsin kepada  ibu-ibu kompleks setelah magrib, terakhir menerima setoran hafalan dari anak-anak remaj mesjid setelah shalat isya. Di ruang tengah tampak Abi dan Umi sedang bersantai sambil menonton.

"Assalamu'alaikum." Keduanya menoleh mwnjawab salam bersamaan.

"Sudah makan, Nak?" tanya Umi. 

"Belum, Umi."

"Itulah mengapa perlunya pendamping. Agar ada yang lebih memperhatikanmu. Bukannya begitu, Mi?"

"Iya loh, kamu sudah sepantasnya memikirkan ini. Kamu khawatir soal apa lagi?" tanya Umi sambil menyendokkan nasi ke piring. 

Aku hanya tersenyum simpul mendekati meja makan. 

"Usia sudah pas, Nafkah? Kamu udah mapan, lalu apa lagi?" lanjut Umi. 

Memang Umi lah yang paling sering menyuruhku untuk segera menikah. 

"Sabar, Umi. Jodoh nggak akan ke mana," jawabku santai. 

"Ya gimana caranya kalau yang harusnya menjemput."

"Iya, Mi."

"Lihat, tuh, Abi. Setiap kali Umi minta mantu malah gitu." 

"Sabar, Umi. Anaknya lagi makan kok diajak ngobrol. Nggak boleh," tegur Abi.

"Atau Abi cariin deh jodoh untuk anaknya. Udah mampu gini kok, nggak nikah-nikah. Umi nggak sabar nimang cucu."

Aku hanya mendengar permintaan Umi. Nanti selepas makan aku akan mengajukan nama Zaira di hadapan mereka. 

Saat Umi asyik membujuk Abi, Zain adikku muncul dari dalam kamarnya. 

"Umi kenapa, Bi?" tanya Zain. 

"Biasa .... Sudah minta menantu, tapi Mas mu belum ketemu."

"Ya udah, tinggal Abi pilihkan salah satu anak dari teman atau sahabat Abi. Gampang kan? Ucapnya santai. 

Aku yang baru selesai makan dan membersihkan piring dan gelas bekas makan ikut dalam obrolan mereka. 

"Tuh, kan, Abi. Zain aja pinter jawabnya."

Kali ini Umi seperti anak kecil yang bahagia saat idenya diterima. 

Abi masih terdiam, belum menanggapi. Aku yang sengaja diam, masih menyimak obrolan mereka. 

Aku mengulum senyum melihat bahagimana tingkah mereka dalam memilihkanku jodoh. Padahal mereka belum tahu, aku punya calon sendiri. Biarlah. Biar jadi rahasia dulu. 

"Abi, ditanya kok malah diam?" Umi sepertinya gemas dengan respon Abi. 

"Nanti Abi pikirkan ya, Umi." jawab Abi.

"Jangan lama, ya, Bi."

"Iya, Umi."

"Zafran istirahat dulu, ya," pamitku setelah merasa sudah sangat lelah.

Perlahan kaki ini terus melangkah menuju tempat pembaringan. 

Pertemuan hari ini begitu bermakna. Aku tidak menyangka sama sekali akan kembali dipertemukan. Pertemuan yang masih membekas dalam ingatan. 

Bagaimana dia tersenyum, bahagiamana dia berinteraksi. Cerdas, cantik dan shalihah. 

Aku ingat betul bagaimana saat aku memberinya sinyal untuk mendekat. Dia begitu berusaha menjaga dirinya sebagai muslimah. Bagaimana dia menundukkan pandangan saat berdua denganku, menjaga jarak dan tetap menjaga harga dirinya sebagai muslimah. 

Semua yang ada pada dirinya aku suka. Terhitung enam bulan dari sekarang aku harus bersabar menunggunya. 

Sesuai ucapanku saat kali pertama bertemu dengannya. Aku akan membawa namanya di sepertiga malamku. Di do'a-do'a malamku. 

Aku sudah pikirkan, secepatnya aku akan mengajukan namanya di depan orang tuaku. Mengenalkan dia sebagai pilihanku untuk membersamai kelak. 

Zaira Khazanah. Biarlah rasa ini terus tumbuh, hingga waktu mempertemukan kita kelak. Menyatukan dua insan dalam sebuah pernikahan. Pada sebuah janji suci. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status