Share

2. ZAFRAN ABDULLAH (POV. ZAIRA)

Langkahku terus menyusuri jalanan Ibu Kota. Dering ponsel tak berhenti sejak tadi. Ini salahku. Aku terlalu fokus mengejar deadline tugas kuliah sampai lupa kalau hari ini ada sesi sharing dengan seorang ustaz muda yang sedang hangat diperbincangkan. 

Jujur, aku belum terlalu mengenalnya. Mas Taufik hanya menyebutkan namanya. Ustaz Zafran Abdullah. Ustaz muda berusia dua puluh delapan tahun.

Dering ponsel kembali terdengar. Gegas aku mengangkatnya sebelum Mas Taufik berceloteh. 

"Assalamu'alaikum, Mas. Aku udah di depan, Mas." 

Langkah kupercepat menaiki tangga hingga menampakkan Khadijah yang tengah mempersiapkan semuanya. 

"Assalamu'alaikum," sapaku ngos-ngosan. 

"W*'alaikumussalam."

"Mas Taufik mana?" tanyaku sambil celingukan. 

"Ada kok di dalam," ucapannya sambil mengarahkan pandangannya ke ruang perekaman. 

Gegas aku melangkah masuk ke ruangan yang menampakkan sosok tubuh tegap.

Sosok pria yang sudah satu setengah tahun aku mengenalnya. Sosok idaman para wanita di luar sana. Tapi entah kenapa tak satupun dia tanggapi. 

"Eh, kamu udah sampai?" tanyanya saat dia melihatku. 

"Orangnya sudah menuju ke sini, Mas?" tanyaku saat tak kudapatkan orang lain di kantor ini. 

"Sebentar ya, Mas mau telepon kembali."

Aku terdiam mengamati dia sibuk mengotak-atik ponselnya. 

"Assalamu'alaikum, Ustaz. Oh, tiga puluh menit lagi ya, Ustadz?" Matanya melirik jam dipergelangan tangannya. 

"Baik, Ustaz, kami tunggu." Panggilan terputus setelah mwngucapkan salam. 

Pandangannya kini beralih kepadaku.

"Zaira, kamu siap-siap, ya. Beliau tiba setengah jam lagi." 

Aku mengangguk kemudian gegas mempersiapkan diri. 

Tiga puluh menit berlalu, sosok yang kami tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya. 

"Assalamu'alaikum, Ustaz Zafran," sapa Mas Taufik. 

"W*'alaikumussalam, Mas. Maaf kami telat," ucap sosok yang kuyakin itu adalah Ustadz Zafran sambil merangkul Mas Taufik.

Pandangannya kemudian tertuju padaku yang berdiri bersisian di samping Mas Taufik. Aku tersenyum simpul kepadanya. 

"Assalamu'alaikum, Ustaz," sapaku sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan.

"W*'alaikumussalam," balasnya.

"Sudah bisa dimulai, Ustaz?" tanya Mas Taufik kemudian. 

"Boleh."

"Silahkan masuk Ustaz. Lima menit lagi kita mulai, ya," ucap Mas Taufik. 

Ustaz Zafran mengangguk kemudian mengikuti langkahnya.

Pandangannya kembali mengarah padaku. Aku kembali tersenyum simpul lalu dibalas dengan senyum pula.

Gegas aku mempersiapkan diri. Aku memasuki  ruang ganti dan menelisik gamis, pashmina dan wajahku. Sedikit kurapikan letak pashmina dan sedikit touch up bagian wajah. 

Setelah yakin sudah tak ada yang mengganggu pandangan, aku menuju pintu samping menuju ruangan rekaman dan menunggunya dengan perasaan gugup luar biasa. 

Tak berselang lama sosoknya muncul dengan gagahnya. Kuperhatikan apa yang ada pada dirinya. Kulit bersih dan cerah, pakaian rapi, rambut dan pandangan teduh dan menenangkan.

Sejenak pandangan kami bertemu. Ada ketenangan saat memandang wajahnya. 

Aku beristigfar dalam hati merutuki kesalahanku. 

"Silakan duduk, Ustaz."

Aku kemudian mempersilakan beliau untuk duduk di depanku. Ya, tepat di depanku dan meja lah pembatas kami.

"Bisa kita mulai ya, Ustaz?" Ustaz Zafran menggangguk patuh. Ada dentuman dari dalam dada yang sedang berusaha aku kontrol. 

Pandangan kualihkan  ke arah sisi kanannya kemudian mengangkat jempol kanan. 

"Bismillahirrohmanirrohim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pertama - tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah subhanahu wata'ala yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita dapat berkumpul pada hari ini dengan keadaan sehat wal'afiat.

Tak Lupa Sholawat serta salam tak henti - hentinya kita haturkan kepada Rasulullah salallahu 'alaihi wasallam, yang kita tunggu syafaatnya di hari kiamaat nanti. Semoga kita termasuk golongan umat yang mendapatkan syafa'atnya kelak. Aamiin Allahumma Aamiin."

"Sahabat MBI di mana pun berada, apa kabar hari ini? Semoga senatiasa dalam lindungan Allah Subhana W* Ta'ala. Aamiin. Seperti biasa hari ini Zaira Khazanah kembali menyapa sahabat fillah semua untuk berbagi kisah inspirasi dengan orang hebat."

"Alhamdulillah hari ini kita kedatangan tamu istimewa yang belakangan ini jadi pembicaraaan hangat akan sosoknya. Ustaz Zafran Abdullah. Pengusaha dengan busana muslim. Masya Allah."

Kembali pandangan ini mengarah padanya.

"Assalamu'alaikum, Ustaz"

"W*'alaikumussalam."

"Sebelumnya jazakallah khairan katsiran Ustaz sudah bersedia membagi waktunya di tengah kesibukan Ustaz untuk menjadi narasumber kami hari ini."

"W* jazakillah khair."

"Sebelumnya kita santai saja ya, Ustaz, agar sharing kita berjalan dengan mudah."

Aku berusaha seramah mungkin, semua ini demi menutup rasa gugup yang sejak tadi melanda. 

"Baik."

"Sebelumnya, apa Ustaz bisa sedikit bercerita bagaimana kisah di balik kesuksesan Ustaz dalam mengelola usaha ini?"

"Awalnya itu bermula pada tiga tahun silam. Saat itu aku masih menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di kota ini. Di kampus kami itu ada suatu lembaga yang mengadakan kegiatan khusus sebagai wadah bagi mahasiswa beragama muslim untuk mengembangkan dakwah di kampus kami. Setiap hari jum'at sore kami akan mengadakan kajian rutinan yang dihadiri oleh beberapa petinggi universitas, staf dan juga mahasiswa."

Ustaz Zafran kini berkisah tentang bagaimana proses itu dimulai. Aku mendengarnya begitu seksama. Tidak, aku terlalu larut dan terus mengangumi setiap kisahnya. 

Caranya menyampaikan begitu tenang. Jujur, aku terhipnotis olehnya. Dia memang pria idaman. Tapi, apakah dia masih sendiri?

"Masyaa Allah sangat inspiratif sekali yang berawal dari seorang aktifis dakwah di kampus, lalu sentuhan jahitan seorang ibu dan pastinya diselingi do'a sehingga bisa seperti ini ya, Ustaz?" Ucapku setelah mendengar setiap kisah yang dia ucapkan. 

"Lalu untuk nama brandnya sendiri yaitu An-Nur Barokah itu terinspirasi dari mana, Ustaz?"

"Untuk nama brandnya seperti artinya adalah cahaya berkah. Berharap apa yang saya lakukan senantiasa mendapatkan limpahan cahaya keberkahan di dalamnya."

"Masyaa Allah berarti sebuah do'a ya, Ustaz?" Aku mengangguk kembali. 

Lalu pertanyaan terus terlontar dariku. Sebenarnya bukan hanya untuk kepentingan konten, tapi juga untuk mengenalnya lebih jauh lagi. 

Seperti kata pepatah kuno, "Sambil menyelam minum air."

Satu jam telah berlalu, obrolan ringan yang sedikit diselingi canda  di antara kami. Aku suka caranya yang begitu bersahaja dan tidak pelit akan ilmu.

"Alhamdulillah sharing pada hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang disampaikan oleh narasumber kita pada hari ini bermanfaat untuk kita semua."

"Jazakallah khairan kepada Ustaz Zafran Abdullah yang telah menyampaikan sharing luar biasa pada hari ini. Semoga menjadi amal jariyah untuk Ustaz." 

"Sebelum kami akhiri sharing hari ini, ada sedikit kenang - kenangan dari kami sebagai ucapan terimakasih."

Tanganku mengeluarkan sebuah plakat

sebagai tanda terimakasih dan telah bersedia membagi waktuku untuk berbagi di akun channel kami. 

*

"Masyaa Allah begitu menginspirasi cerita di balik suksesnya usaha Ustaz." Mas Taufik membuka obrolan. 

Saat ini kami tengah terlibat obrolan ringan di ruang istirahat kami.

"Di luaran sana pasti masih banyak lagi inspirator hebat, Mas."

Masyaa Allah begitu tawadhunya, padahal saat ini Ustaz Zafran menjadi perbincangan hangat. 

Kami tertawa ringan sambil menikmati kopi dan beberapa irisan kue bronis cokelat pandan. 

"Oh, iya, ini dua rekan saya ustaz, yang satunya pasti ustaz sudah kenal tadi. Zaira Khazanah, dan sahabatnya Khadijah." Mas Taufik memperkenalkan kami kembali.

"Ini sahabat sekaligus partner saya dalam bisnis ini. Rayyan Habibullah." Ustaz Zafran memperkenalkan sosok yang sedari tadi mencuri pandang ke arah Khadijah. 

Kami kemudian saling berkenalan. Bisa kutangkap sesekai Ustaz Zafran mencuri pandang kepadaku. Akupun begitu selalu tertangkap basah mencuri pandang ke arahnya. Saat mata kami bertemu, aku akan otomatis menunduk.

"Maaf, Ustaz, di kisahnya tadi ustadz belum pernah menyebut sosok wanita yang senantiasa mendampingi ustaz selain sosok umi. Apa sengaja tidak disebut, Ustaz?" 

Khadijah mewakili pertanyaan yang sebenarnya ingin kutanyakan. Tapi ragu dan segan. 

"Sayangnya sosok itu memang belum ada," jawabnya dengan sedikit terkekeh.

Ada rasa bahagia menyelinap dalam dada. Dia ternyata masih sendiri. Aku mengulum senyum.

"Jadi Ustaz masih sendiri ternyata. Saya pikir ustaz sudah ada yang punya," celetuk Mas Taufik.

"Apa Mas Taufik ada calon untuk Ustaz Zafran?" tanya Rayyan. 

"Segan aku, Ustaz. Nanti ustaz sendiri yang memilih. Aku yakin pilihan ustaz paling terbaik," timpal Mas Taufik.

Tak terasa setengah jam berlalu. Ustaz memilih pamit harus kembali ke kantor. Katanya dia tidak bisa meninggalkan lebih lama lagi pekerjaan di sana.

Saat mereka berlalu, aku membersihkan bekas makanan dan minuman kami. Sejenak terdengar suara seseorang yang berdehem. 

Aku membalikkan badan lalu menampakkan sosok yang sejak tadi mencuri perhatianku.

"Ada apa, Ustaz?" tanyaku.

"Eum, apa kamu ....nmasih sendiri?"

Aku sedikit tersentak saat pertanyaan itu terucap darinya. Apa maksudnya? 

Aku tersenyum lantas menunduk. 

"Masih, Ustaz."

"Alhamdulillah."

Aku mendongak dan mungkin tengah menampakkan wajah yang menghangat. Tampak jelas dia berusaha mengulum senyum. 

"Zaira, jika kita ditakdirkan bertemu lagi, maka ijinkan aku untuk membawa namamu dalam do'aku."

Wajahku semakin menghangat dibuatnya. Apa maksud ustadz kali ini? Membawa namaku dalam do'a?

"Aku permisi. Assalamu'alaikum."

Dia pamait setelah mendapatkan balasan atas salam yang telah terucap. Meninggalkan aku yang masih mematung di tempat. Mencerna setiap kalimat yang barusan terucap.

"Hey, ngelamun aja kamu!" tegur Khadijah. 

"En-enggak, kok," kilahku sambil kemblai melanjutkan aktifitasku.

"Ustaz Zafran kok segitunya baget dipelototin. Hi hi."

Aku melirik sekilas kemudian membawa gelas dan piring kotor ke dapur. 

Khadijah mengekoriku di belakang. Aku pura-pura tidak melihat. 

"Ustaz Zafran itu Masyaa Allah banget, ya?" tanya Khadijah sambil bersender di kulkas. 

Aku tak menanggapi ocehannya. Aku lebih memilih sibuk membersihkan bekas kopi yang menempel. 

"Sudahlah tampan, pengusaha sukses, ramah, single pula. Cocok banget jadi suami." Tanganku berhenti bergerak. 

"Kira-kira calon istri idaman Ustaz seperti apa ya?" ucapnya dengan telunjuk dan ibu jari tangan menempel di dagu. Khas orang yang sedang berpikir keras. 

"Zaira, kamu tahu nggak?" 

Aku meliriknya sekilas. " Aku nggak tahu. Kan nggak nanya."

Kembali aku melanjutkan aktifitasku. Pertanyaan Khadijah membuatku sedikit terganggu. 

"Harusnya kamu tanya dong tadi."

"Segan aku. Kenapa kamu nggak tanya aja sendiri?" tanyaku mulai sewot. 

"Iya, ya. Harusnya tadi aku tanyakan. Siapa tahu, aku termasuk tipenya." 

Aku tertegun. Khadijah juga suka?

Khadijah berlalu meninggalkanku dengan penuh tanya dalam diri. Ada rasa yang tak bisa kugambarkan saat Khadijah secara terang-terangan mengakuinya. 

*

Selesai membersihkan pantry, aku berjalan keluar lalu mendapati Khadijah yang tengah berbincang dengan Mas Taufik. Langkahku gontai menghampiri mereka.

"Zaira, hari ini kamu nggak ngampus?" tanya Mas Taufik saat aku tengah duduk di antara mereka. 

"Lagi free, Mas," lirihku. 

"Kamu sakit? Kok lemes banget?" tanya Mas Taufik lagi dengan ekspresi khawatir.

"Nggak, kok, Mas. Aku....."

"Lagi mikirin Ustaz Zafran tuh dia," celetuk Khadijah. Aku melotot ke arahnya yang sedang tertawa cekikan. 

"Zaira suka sama Ustadz Zafran?" tanya Mas Taufik. 

Aku seperti tersangka yang sedang diintrogasi oleh penyidik. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Memilih jujur pun tak mungkin. Jelas-jelas Khadijah telah mengakui perasaannya. 

"Nggak, kok, Mas."

"Aku bisa menangkap loh tatapanmu. Caramu saat berhadapan dengannya. Bagaimana kamu saat di dekatnya. Aku tahu loh, Zaira."

Aku bagai tersangka yang tertangkap basah. Mana mungkin?

"Aku nggak tertarik sama Ustaz Zafran. Buat kamu aja deh," ucapnya santai. 

Aku semakin gelagapan. Mas Taufik yang sedari tadi diam memilih menjauh dari kami. Dapat kutangkap raut wajah tak suka darinya. 

"Mas Taufik!" panggil Khadijah saat sadar Mas Taufik berpindah. 

Mas Taufik menoleh sejenak. 

"Mau kemana, Mas?"

"Shalat dhuhur," jawabnya sambil berlalu. 

Aku dan Khadijah saling melempar pandangan. 

"Shalat dhuhur? Bukannya ini baru jam sebelas ya?" tanya Khadijah keheranan. Aku mengangkat bahu tanda tak mengerti. 

"Mas Taufik ngigau kali," jawabku asal. 

"Ya, nggak mungkin lah."

"Mungkin maksud beliau shalat dhuha kali."

"Iya, kali ya. Eh, Rayyan temannya Ustaz cakep juga ya? Meskipun Ustaz lebih terlihat berwibawa sih." Khadijah terus berceloteh soal mereka berdua. 

Aku terus memikirkan apa yang ustaz maksud tadi. Mau bertanya langsung kan nggak mungkin. Yang ada aku malu. Mau bertanya ke Khadijah takutnya dia bocorin ke Mas Taufik. Kan bahaya. 

Mas Taufik itu dekat sama Abi. Katanya dia adalah anak dari teman lama Abi. Aku kerja dengannya sudah setahun ini tentunya atas rekomendasi Abi. Ya, hitung-hitung mengisi waktu luang. Sekalian berdakwah dengan cara yang berbeda. 

"Kalian nanti akan ada projek besar. Dan tentunya itu outdoor." 

Lamunanku buyar saat sosok Mas Taufik muncul.

"Di mana, Mas? Projek apa?" tanya Khadijah penasaran. 

"Nantilah kalian lihat sendiri. Siap-siap aja kita kerjanya di luar gedung."

"Berat nggak, Mas?" tanyaku. 

"Nggak juga."

"Lalu?"

Mas Taufik sejenak menarik napas. "Ini berhubungan dengan usaha Ustaz Zafran."

Aku mengerutkan kening. "Maksudnya?"

Mas Taufik yang sedari tadi berdiri kemudian kembali duduk di antara kami.

"Jadi, setelah aku pikir, kita baiknya nggak hanya sharing dengan beliau, tapi baiknya ikut meliput usaha dan kegiatan beliau. Jadi, yang belum mengenal, bisa jadi kenal. Ngerti kan maksud saya?"

Aku dan Khadijah mengangguk mantap.

Setelah kepergian Mas Taufik, Khadijah kembali beraksi. 

"Zaira, ini kesempatan bagus untuk kamu tahu soal dia."

"Maksudnya?"

"Nggak perlu ta'arufan lagi. Soalnya secara nggak langsung kalian udh ta'aruf dengan cara yang berbeda," ucapnya antusias. 

"Apaan, sih?" Aku berusaha mengulum senyum.

"Nggak usah sok bersembunyi gitu deh. Aku tahu kamu, loh, Zaira."

Aku berlalu meninggalkan Khadijah yang terus menggodaku. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status