Zaira Khazanah merasakan pelik yang juga dirasakan oleh kaum Hawa pada umumnya. Setelah lima tahun pernikahannya, kehadiran si kecil yang menjadi dambaan setiap pasangan suami istri pun tak kunjung hadir mewarnai hari-hari mereka. Berbagai macam pertanyaan yang dia dapatkan akan kapan hadirnya si buah hati. Sakit? Tentu saja, tapi Zaira beruntung memiliki Zafran yang tidak pernah mempermasalahkan itu. Di lima tahun pernikahan Zaira meminta kepada Zafran untuk dicarikannya adik madu. Zafran tentu saja menentang keras permintaan Zaira. Baginya adanya Zaira dalam hidupnya sudah melebihi dari segalanya. Sosok Arumi hadir di tengah mereka atas peminatan Zaira. Sosok yang sejak lama menyimpan rasa terhadap Zafran. Suatu kebahagiaan yang tak terduga bagi Arumi adalah dengan ditawarinya menjadi adik madu Zaira. Akankah Zaira menyerah pada takdir yang telah ia jalani? Akankah Zafran menyerah dan menerima Arumi dalam hidupnya? Akankah Zaira dan Zafran tetap tegar menghadapi segala cobaan yang dihadapi?
Lihat lebih banyakSenin pagi seperti biasa aktifitas padat dimulai. Jalanan Ibu Kota akan dipenuhi oleh kendaraan yang lalu lalang. Saat fajar datang menyapa, kebanyakan dari para pengais rejeki akan memulai aktifitasnya. Sama seperti diriku yang memilih berangkat setelah shalat subuh kutunaikan agar aku bisa menghirup udara segar di pagi hari, juga menghindari macet yang menjadi ikon kota ini.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat puluh lima menit, aku tiba di pelantaran sebuah bangunan tempatku mengais rejeki. Bangunan tiga lantai berdiri tegak atas hasil keringat sendiri.
Suasananya masih sepi. Tentu saja. Aku lebih suka datang lebih awal agar aku bisa berehat sejenak sebelum memulai aktifitasku. Menghambakan kepada Sang Pemilik diri ini untuk memohon keberkahan atas segala usahaku hari ini.
Satu jam berlalu, satu persatu karyawan mulai berdatangan dan memulai aktifitas sesaat setelah breafing yang rutin setiap pagi dilakukan untuk menambah semangat kerja para karyawan.
Saat aku tengah sibuk memeriksa laporan bulanan, terdengar pintu diketuk. Seseorang muncul setelah aku persilahkan untuk masuk.
"Hari ini jadi nggak ngisi poadcast di channel Muslimah Berbagi Inspirasi?" tanya Rayyan setelah mendudukkan dirinya di sofa ruang kerjaku.
Aku melirik jam di tangan sejenak.
"Sepuluh menit lagi aku berangkat," jawabku tanpa menoleh.
"Ayolah, Zafran! Kamu bakal tampil, loh, di channel youtube terkenal. Perbaiki dulu penampilanmu."
Aku tersenyum tipis menanggapi.
"Apa penampilan begitu penting?"
Rayyan beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri di hadapanku dengan tangan menyilang di depan dada.
"Kamu akan ditonton oleh banyak orang. Jelaslah penampilan penting," ucapnya sewot.
Aku berdiri mengikuti dia yang lebih dulu sudah di depan lemari pakaian yang memang aku siapkan di ruang kerja. Ini adalah ide Rayyan. Saat aku tanya kenapa, dia malah menjawab di luar perkiraanku.
"Takutnya kamu tiba-tiba butuh untuk berganti pakaian. Kan sampai saat ini belum ada yang ngurusin kamu. Maka bersyukurlah punya sahabat sebaik aku." Aku hanya diam tanpa menanggapi.
"Makanya buruan, gih, cari pendamping sebelum aku yang nikah duluan!"
Aku mendelik malas jika ujung-ujungnya membahas ke arah sana. Menikah.
Lamunanku buyar saat sebuah tangan menepuk wajahku.
"Jangan bengong! Entar kesambet kamu."
"Kamu terlalu cerewet. Kayak perempuan aja," ujarku sambil memilih baju yang akan kupilih.
"Terserahlah. Asal kamu nurut."
Sepuluh menit berlalu, tak perlu banyak waktu untuk memilih. Kali ini kemeja koko warna navi adalah pilihan yang tepat untukku yang berkulit cerah. Rambut sedikit kurapikan, jam tangan digital dengan merk ternama melingkar manis di pergelangan tangan kiri serta sepatu santai warna hitam sepadan dengan celana kain berwarna senada.
Dering ponsel menghentikan aktifitasku. Tertera nama Mas Taufik salah satu kru channel Muslimah Berbagi Inspirasi.
"Assalamu'alaikum. Iya, aku sudah menuju ke sana. Mungkin setengah jam lagi aku tiba di sana."
Gegas aku menyambar kunci mobil di atas meja lalu melangkah keluar. Tak kupedulikan teriakan Rayyan yang protes ditinggal begitu saja.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, kembali aku merapikan diri sebelum masuk ke dalam gedung berlantai dua itu.
"Bagaimana?" tanyaku memastikan.
"Udah keren," jawabnya dengan menaikkan dua jempol.
Langkah kaki ini kemudian membawaku menaiki lantai dua. Rayyan tentunya sejak tadi mengekor di belakangku. Selain menjabat sebagai manajer, dia juga merupakan sahabatku sejak kecil. Jadi tak salah jika dia secerewet itu.
Di lantai dua kami disambut oleh tiga orang yang kuyakini para kru.
"Assalamu'alaikum, Ustadz Zafran," sapa Mas Taufik.
"Wa'alaikumussalam, Mas. Maaf kami telat," ucapku sambil merangkul Mas Taufik.
Pandanganku kemudian tertuju pada dua wanita yang berdiri bersisian di samping Mas Taufik. Salah satu di antara mereka sedikit mengalihkan perhatianku. Kuucapkan istighfar sebelum setan mengambil kesempatan ini.
"Assalamu'alaikum, Ustaz," sapanya lembut sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan.
"Wa'alaikumussalam," balasku kikuk.
"Sudah bisa dimulai, Ustaz?" tanya Mas Taufik kemudian.
"Boleh."
"Silahkan masuk Ustaz. Lima menit lagi kita mulai, ya?" Aku mengangguk kemudian mengikuti langkahnya.
Wanita yang belum aku tahu namanya tersenyum simpul lalu kubalas dengan senyum pula.
Di dalam ruang persegi dengan warna dominan putih serta kaligrafi menghiasi setiap sudut ruangan. Aku dan Rayyan duduk bersisian. Saat aku sedang asyik mengobrol dengan Rayyan, muncul salah satu wanita tadi.
"Maaf mengganggu, Ustaz. Mungkin ustaz Zafran sudah bisa masuk ke ruang utama untuk mengambil rekaman hari ini."
Sejenak aku menoleh ke arah Rayyan yang tak pernah berkedip menatap wanita tadi.
'Semoga nggak kumat,' batinku.
Aku berjalan menuju ruangan yang dituju. Di dalam sudah ada wanita yang duduk di balik meja yang berhadapan langsung dengan kursi yang akan menjadi tempatku nanti. Wanita dengan gamis berwarna navi dengan paduan khimar berwarna abu muda. Sangat cocok dengan wajahnya yang manis.
'Jadi, dia yang akan memandu acara hari ini?'
Sejenak pandangan kami bertemu.
"Silakan duduk, Ustaz," ucapnya dengan lembut dengan senyum menghiasi wajahnya.
Aku mendudukkan diri kemudian sedikit merapikan penampilan sebelum di-take.
"Bisa kita mulai ya, Ustaz?" Aku menggangguk. Ada dentuman dari dalam dada yang sedang berusaha kukontrol.
Pandangannya mulai melihat ke arah sisi kanannya kemudian mengangkat jempol kanannya.
"Bismillahirrohmanirrohim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pertama - tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah subhanahu wata'ala yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita dapat berkumpul pada hari ini dengan keadaan sehat wal'afiat.
Tak Lupa Sholawat serta salam tak henti - hentinya kita haturkan kepada Rasulullah salallahu 'alaihi wasallam, yang kita tunggu syafaatnya di hari kiamaat nanti. Semoga kita termasuk golongan umat yang mendapatkan syafa'atnya kelak. Aamiin Allahumma Aamiin."
"Sahabat MBI di mana pun berada, apa kabar hari ini? Semoga senatiasa dalam lindungan Allah Subhana Wa Ta'ala. Aamiin. Seperti biasa hari ini Zaira Khazanah kembali menyapa sahabat fillah semua untuk berbagi kisah inspirasi dengan ornag hebat."
Aku sekali-sekali mencuri pandang kepadanya. Zaira, nama yang indah. Tanpa sadar senyum tercipta di wajahku.
"Alhamdulillah hari ini kita kedatangan tamu istimewa yang belakangan ini jadi pembicaraaan hangat akan sosoknya. Ustaz Zafran Abdullah. Pengusaha muda khusus busana muslim. Masya Allah."
"Assalamu'alaikum, Ustaz."
"Wa'alaikumussalam," jawabku yang kini berhadapan dengannya.
"Sebelumnya jazakallah khairan katsiran Ustaz sudah bersedia membagi waktunya di tengah kesibukan Ustaz untuk menjadi narasumber kami hari ini."
"Wa jazakillah khair."
"Sebelumnya kita santai saja ya, Ustaz, agar sharing kita berjalan dengan mudah."
Entah dia menangkap sinyal rasa gugupku atau memang prosedurnya.
"Baik."
"Sebelumnya, apa Ustaz bisa sedikit bercerita bagaimana kisah di balik kesuksesan Ustaz dalam mengelola usaha ini?"
"Awalnya itu bermula pada tiga tahun silam. Saat itu aku masih menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di kota ini. Di kampus kami itu ada suatu lembaga yang mengadakan kegiatan khusus sebagai wadah bagi mahasiswa beragama muslim untuk mengembangkan dakwah di kampus kami. Setiap hari jum'at sore kami akan mengadakan kajian rutinan yang dihadiri oleh beberapa petinggi universitas, staf dan juga mahasiswa."
"Sampai suatu hari kami berencana mengadakan lomba dalam rangka menyambut bulan suci ramadhan. Salah satunya adalah kelompok shalawatan. Petinggi kampus meminta untuk membuat seragam sendiri yang akan didanai oleh pihak kampus."
"Kebetulan Umi saya memiliki keahlian menjahit. Lalu dengan bantuan beliaulah, seragam itu jadi. Alhamdulillah setiap kegiatan kampus bertema islami, seragam akan dipesan dengan saya sebagai perantara. Katanya, jahitan, kain dan modelnya berbeda dari yang ada di pasaran."
"Saat itulah saya terinspirasi untuk menjadi pedangan muslim dan banyak belajar dari Umi."
"Masyaa Allah sangat inspiratif sekali yang berawal dari seorang aktifis dakwah di kampus, lalu sentuhan jahitan seorang ibu dan pastinya diselingi do'a sehingga bisa seperti ini ya, Ustaz?" Aku mengangguk ramah.
"Lalu untuk nama brandnya sendiri yaitu An-Nur Barokah itu terinspirasi dari mana, Ustaz?"
"Untuk nama brandnya seperti artinya adalah cahaya berkah. Berharap apa yang saya lakukan senantiasa mendapatkan limpahan cahaya keberkahan di dalamnya."
"Masyaa Allah berarti sebuah do'a ya, Ustaz?" Aku mengangguk kembali.
Lalu pertanyaan terus terlontar darinya. Wanita yang berhasil menarik perhatianku sejak awal jumpa. Wanita shalihah yang cerdas dan santun. Zaira Khazanah.
Satu jam telah berlalu, obrolan ringan yang sedikit diselingi canda darinya membuatku semakin tertarik. Pembawaannya yang ringan dan mudah membawa lawan bicara sudah seperti sangat dekat.
"Alhamdulillah sharing pada hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang disampaikan oleh narasumber kita pada hari ini bermanfaat untuk kita semua."
"Jazakallah khairan kepada Ustaz Zafran Abdullah yang telah menyampaikan sharing luar biasa pada hari ini. Semoga menjadi amal jariyah untuk Ustaz."
"Sebelum kami akhiri sharing hari ini, ada sedikit kenang - kenangan dari kami sebagai ucapan terimakasih."
Tangan lentiknya mengeluarkan sebuah plakat
sebagai tanda terimakasih dan telah bersedia membagi waktuku untuk berbagi di akun channel mereka.Tanpa sadar waktu berlalu begitu cepat hingga sharing hari ini selesai. Ada rasa sedikit sesal karena waktu yang kuminta begitu sedikit. Ah, andai saja aku memilih waktu sedikit lwbih lagi, tentu saja aku bisa menikmati kedekatan ini meskipun hanya sebagai tuan rumah dan tamu. Tapi rasa nyaman itu muncul seketika.
'Astagfirullah ada apa ini? Ampuni Hamba' batinku.
Setelah kami selesai sharing di ruangan persegi kini kami terlibat obrolan ringan di sebuah meja kecil.
"Masyaa Allah begitu menginspirasi cerita di balik suksesnya usaha Ustadz." Mas Taufik membuka obrolan.
"Di luaran sana pasti masih banyak lagi inspirator hebat, Mas."
Kami tertawa ringan sambil menikmati kopi dan beberapa irisan kue bronis cokelat pandan.
"Oh, iya, ini dua rekan saya ustadz, yang satunya pasti ustadz sudah kenal tadi. Zaira Khazanah, dan sahabatnya Khadijah." Mas Taufik memperkenalkan dua rekannya kembali.
"Ini sahabat sekaligus partner saya dalam bisnis ini. Rayyan Habibullah."
Mereka kemudian saling berkenalan. Bisa kutangkap sesekai Zaira mencuri pandang kepadaku. Akupun begitu selalu tertangkap basah mencuri pandang ke arahnya. Saat mata kami bertemu, Zaira akan otomatis menunduk, sedang aku membuang pandangan.
"Maaf ustaz, di kisahnya tadi ustaz belum pernah menyebut sosok wanita yang senantiasa mendampingi Ustaz selain sosok Umi. Apa sengaja tidak disebut, Ustaz?"
Khadijah sebagai salah satu yang hadir di sini bertanya sesuatu yang sangat jarang ditanyakan oleh kebayakan orang.
Kulihat rona wajah Zaira seolah menunggu sebuah jawaban dariku. Apakah dia? Ah, aku tak ingin menimbulkan praduga yang berujung kecewa.
"Sayangnya sosok itu memang belum ada," jawabku dengan sedikit terkekeh.
"Jadi ustaz masih sendiri ternyata. Saya pikir Ustaz sudah ada yang punya," celetuk Mas Taufik.
"Apa Mas Taufik ada calon untuk Ustaz Zafran?" tanya Rayyan.
"Segan aku, Ustaz. Nanti Ustaz sendiri yang memilih. Aku yakin pilihan Ustaz paling terbaik," timpal Mas Taufik.
Tak terasa setengah jam berlalu. Aku harus kembali ke kantor. Aku tidak bisa meninggalkan lebih lama lagi pekerjaan di sana.
Sebelum benar-benar berlalu, aku sengaja menyuruh Rayyan turun duluan. Aku menghampiri Zaira yang tengah merapikan bekas minum kami.
Aku berdehem yang membuatnya sedikit tersentak.
"Ada apa, Ustaz?" tanyanya.
"Eum, apa kamu .... masih sendiri?"
Jujur, aku sangat ragu untuk menanyakan hal yang sangat pribadi. Untuk mengumpulkan keberanian bertanya saja sangat butuh lama hingga sedikit terjeda.
Zaira tersenyum lantas menunduk.
"Masih, Ustaz," lirihnya.
"Alhamdulillah."
Zaira mendongak menampakkan wajahnya yang tengah menghangat. Aku mengulum senyum melihat wajahnya begitu lucu saat ini.
"Zaira, jika kita ditakdirkan bertemu lagi, maka ijinkan aku untuk membawa namamu dalam do'aku."
Wajahnya semakin bersemu merah. Secara tidak langsung aku telah mengakui memiliki daya tarik untuknya. Entah Zaira mengerti atau tidak.
"Aku permisi. Assalamu'alaikum."
Aku pemait setelah mendapatkan balasan atas salam yang telah terucap. Meninggalkan dia yang masih mematung di tempat.
"Lama amat sih, di atas masih ada ketinggalan?" tanya Zafran saat aku sudah berada di balik kemudi.
'Ada, Rayyan. Hatiku,' bisikku dalam hati.
"Tidak ada," jawabku santai namun ditanggapi tawa renyah oleh Rayyan.
"Zafran, aku nggak mengenalmu baru kemarin. Sejak tadi tuh gerak-gerik kamu aku awasi semua."
Aku terkesiap. Jangan-jangan dia tahu.
"Sudahlah. Nggak usah berlagak sok kalem di depanku. Aku tahu. Zaira kan?" godanya.
"Ah, sok tahu kamu," kilahku.
"Tatapan mata kamu itu buktinya. Saat sebelum mulai acara. Pandangan kamu itu udah mengarah ke dia. Meskipun ada Khadijah di sampingnya." Aku bergeming.
"Saat mulai sharing. Tatapan kamu nggak lepas dari dia."
"Sok tahu kamu." Aku terus berpura-pura fokus menyetir.
"Zafran, aku sangat mengenal kamu. Aku setuju kalau sama dia. Dia cantik, baik, shalihah." Aku mengerling tajam.
"Hey, biasa aja dong tatapannya. Apa salahnya?" tanyanya seolah-olah apa yang dia lakukan adalah benar.
"Kamu memujinya di depanku. Membayangkan wajahnya. Itu dosa!"
"Hey, kamu cemburu?" Rayyan terkekeh.
Aku diam dan memilih fokus menyetir.
"Tenang aja, aku akan bantu kamu untuk mencari tahu soal dia." Aku memilih tetap diam.
Zaira, akankah kita akan bertemu lagi? Kapan? Di mana? Atau apakah justru ini adalah pertemuan terakhir kita?
'Astaghfirullah'
Tiga tahun berlalu, semenjak kepergian Zain suasana rumah Abi Abdullah semakin sepi. Sekali-sekali Zafran datang menjenguk membawa istri dan kedua bayi kembarnya.Zain yang bertugas tak seperti biasanya hanya pulang beberapa kali dalam setahun. Menjelajahi pulau satu ke pulau lainnya yang sulit diakses. Petualangannya bersama Arumi perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasanya. Hingga akhirnya hari ini Zain resmi melamar Arumi sebagai pendamping hidupnya.Siapa yang akan menyangka, keduanya sama-sama pernah ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya. Memiliki kisah cinta yang tak bisa terwujud lalu memilih ikhlas melepaskan meskipun sakit begitu dalam. Akhirnya, mereka dipertemukan.Hari ini secara resmi Zain mempersunting Arumi untuk dijadikan sebagai teman hidup. Perihal rasa yang pernah mengakar, akhirnya bisa juga hilang seiring berjalannya waktu.Arumi tampil begitu anggun dengan balutan kebaya syar'i berwarna peach s
Pov. Zain."Zain terpilih menjadi salah satu dokter yang bertugas di kapal rumah sakit, Abi. Zain pikir, lebih baik Zain terima." Kulihat mulai berembun."Kapan berangkatnya?" tanya Bang Zafran."Besok lusa, Bang," jawabku.Abi mengembuskan napasnya perlahan. Ditatapnya umi yang sudah mulai terisak. Aku mendekat lalu membawa tubuh orang yang telah melahirkanku ke dalam pelukan."Pasti lama. Kamu tega ya ninggalin, Umi?" Aku tersenyum."Ini bentuk pengabdian, Umi. Insya Allah, nanti Zain akan sekali-sekali pulang kok," bujukku berusaha menenangkan umi.Aku tahu perasaan umi saat ini. Umi pasti tak ingin melepaskanku. Tapi sumpah yang sudah terlanjur terucap untuk mengabdikan diri ini pada bangsa dan negara. Mataku tak sengaja mengarah pada sosok wanita yang kucintai. Segera kualihkan pandangan saat mata kami bertemu.'Maafkan Zain, Umi. Semua ini Zain lakukan demi abang. Rasa cinta ini b
Tepat empat puluh lima hari berlalu. Keluarga besar Zaira dan Zafran hari ini mengadakan tasyakuran aqiqah untuk kelahiran bayi kembar mereka. Segala persiapan telah dilaksanakan. Nuansa hijau dan putih menghiasi ruangan sesuai dengan permintaan Zaira.Banyak keluarga, sahabat, dan tetangga yang hadir di acara tersebut, tak terkecuali rekan bisnis serta para jama'ah tempat Zafran mengajarkan ilmu agama.Pemandu acara mulai membuka acara syukuran aqiqah."Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh bapak, ibu dan para tamu undangan yang kami hormati.Pertama – tama mari kita sampaikan puja dan puji syukur kehadirat Allah Subhanah Wa Ta'ala, atas rahmat dan hidayat yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga pada siang yang penuh dengan kebahagiaan ini kita bisa hadir memenuhi undangan dari Ustadz Zafran Abdullah sekeluarga dalam rangka syukuran akan lahirnya putra dan putri, buah hati dari pasangan Ustaz Zafran Abdullah dan ibu Zai
"Mas tolong!" pekik Zaira.Selepas isya suasana rumah menjadi ramai. Zaira tak berhenti menangis kala suhu tubuh kedua bayi kembarnya panas. Rasa panik menghampiri.Zafran yang tengah mengerjakan urusan kantor gegas menuju kamar. Dilihatnya Zaira duduk dengan ekspresi kebingungan di dekat bayi mereka.Zafran mendekat ke istrinya yang masih menangis sesegukan. "Ada apa, Sayang?""Ba-bayi kita, Mas.""Iya, mereka kenapa?" tanya Zafran."Bayi kita demam."Zafran mengecek keduanya. Ternyata benar, suhu badannya tinggi."Sebentar, Sayang, mas hubungi Zain dulu."Sementara Zafran menghubungi Zain, Mbok Siti datang terpongoh-pongoh di dekat Zaira."Ada apa, Bu?" tanyanya khawatir."Bayiku demam tinggi, Mbok," jawab Zaira dengan terisak.Diperiksanya kening bayi itu secara bergantian lalu Mbok Siti bergegas menuju dapur untuk mengambil air lalu tangannya meraih handuk
Hari minggu bahkan tak terasa satu bulan pun berlalu. Kehidupan Zaira dan Zafran terasa begitu indah dengan hadirnya bayi kembar mereka. Rasa lelah tak terasa bagi mereka. Justru mengurus kedua anaknya merupakan hal terindah yang belum pernah mereka rasakan.Bangun di tengah malam saat orang lain tengah menikmati istirahat, justru tidak bagi mereka. Mengganti popok, bangun menyusui atau bahkan melantunkan shalawat untuk si kembar. Hal yang sudah lumrah dirasakan oleh kebanyakan orang tua di luaran sana.Bagi Zafran berangkat ke kantor sudah terasa berbeda. Melihat kelucuan si kembar menjadi penyemangatnya. Begitpun saat pulang bekerja, Zafran akan disambut dengan suara dan harumnya bau tubuh si kembar."Anak ayah harum banget sih, bikin betah aja," ucap Zafran gemas."Ayahnya malah belum mandi, bau acem!" goda Zaira. Zafran tak menggubris godaan istrinya malah memeluk erat Zaira."Apaan sih, Mas," bisik Zaira lalu meli
Pov. ZafranBibirnya tak berhenti mengulas senyum kala istriku terus memandangi wajah kedua anak kami. Aku tahu, Zaira sangat bahagia saat ini. Begitu pun dengan aku.Kehadiran si bayi kembar mewarnai hidup kami. Hadirnya bagaikan oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, mereka hadir di saat orang tuanya sudah pasrah akan takdir yang terus berjalan.Aku memandangi ketiganya dari balik pintu. Rasanya seperti mimpi melihat apa yang ada di depan mata saat ini. Keadaan yang begitu sangat kami rindukan, terlebih istriku."Sayang, belum tidur?" tanyaku sambil menuju lemari mengganti pakaian."Sayang, baju kaos biru navi mas di mana ya? Mas mau pakai itu, Dek."Lagi dan lagi tak ada jawaban. Pandanganku beralih padanya. Rupanya istriku tengah serius memandangi ajah mungil anak kami."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris," protesku kala sudah duduk di pinggiran ranjang. 
Pov. Zaira.Bibir ini tak berhenti menyunggingkan senyum saat melihat wajah lucu dan menggemaskan si bayi kembar. Impian yang selama ini aku rindukan akhirnya terwujud juga.Rasa haru terus menyeruak di dalam dada kala mengingat bagaimana perjuangan kami berdua. Suka duka kita lewati bersama. Tak terhitung berapa tetes air mata yang mewakili perasaan ini.Kini, mereka hadir membantuku meraih mimpi yang sempat aku kubur dalam-dalam. Mereka hadir membangkitkan diri ini yang sempat jatuh hingga terpuruk lebih dalam."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris."Aku terhenyak dari lamunanku, rupanya Mas Zafran sudah duduk di pinggiran ranjang. Sejak kapan dia ada di sini?"Maaf, Mas, adek nggak lihat. Mas sudah lama di sini?" tanyaku sambil berusaha bangun lalu menghambur ke tubuhnya.Mas Zafran memelukku dengan erat. "Sejak tadi, Dek. Mas panggilin malah nggak digubris. Mas cemburu sama
"Ingat pesan Om Dokter ya, Vio!" ucap Zain saat Vio sudah berada di dalam mobil."Siap, Om Dokter!" jawab Vio antusias."Apa coba kalau ingat?" tanya Zain memancing.Vio menarik napas lalu mulai menyebutkan pesan dari Zain."Jangan jajan sembarang, jangan makan es krim dulu dan makanan berlemak, tetap jaga kesehatan, jangan bawel. Nah, Vio udah benar kan, Dok?" Zain tersenyum seraya mengangkat kedua jempolnya. Vio bertepuk tangan riang."Dok, terimakasih ya. Suster Mawar, terimakasih sudah merawat Vio, sampaikan pada Dokter Roy dan perawat lainnya.""Iya sama-sama. Jaga Vio ya?" jawab Zain yang dibalas anggukan oleh Arumi."Kami permisi dulu, ya, Dok, Sus," pamit Arumi."Hati-hati," balas Zain.Arumi kemudian masuk dan duduk di samping kemudi. Bibir Arumi tak berhenti menyunggingkan senyum. Zain ikut tersenyum simpul. Mawar yang melihat itu merasa sangat cemburu.Maw
Mawar tak habis fikir dengannya dokter Zain bersikap biasa. Namun, dengan wanita itu, dokter Zain begitu bahagia hingga tertawa lepas. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia wanita yang dimaksud Sinta? Pikirnya.Mawar memilih pergi ketimbang terus berdiri di sana melihat keakraban mereka. Wanita mana yang tidak merasa cemburu melihat orang yang dia kagumi tertawa lepas dengan wanita lain?Langkahnya terhenti tepat di depan toilet khusus staf ruangan. Gegas Mawar memilih masuk untuk menenangkan hatinya yang sedang dibakar api cemburu.Di depan cermin berukuran besar, Mawar menatap pantulan dirinya. Menelisik setiap inci yang ada pada dirinya. Baginya, dia tidak terlalu buruk dibanding wanita tadi. Lalu mengapa seolah-olah dokter Zain tak meliriknya?Mawar kemudian menempelkan tangan di dadanya."Ya, Allah. Apakah hamba akan kembali disakiti lagi? Bisakan hamba berharap ditakdirkan dengannya?" lirihnya.Setelah sekian t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen