Share

7. MENJADI KHADIJAH MASA KINI (POV ZAIRA)

Sore itu Abi baru pulang dari pengajian, beliau membawa kabar gembira bukan hanya untuk mereka, juga untukku. 

"Umi, tadi Abi ketemu sama Mas Abdullah. Tadi Abi sempat diajak ke rumahnya."

"Mereka tinggal di mana sekarang, Bi?" tanya Umi. Aku hanya diam-diam menyimak. Berharap mereka akan membahas sosok Zafran.

"Di Bintaro." Ayah menyeruput teh yang sudah sejak tadi aku suguhkan. 

"Alhamdulillah lumayan dekat. Kenapa nggak Abi ajak ke rumah. Umi sangat rindu sama Mba Fatimah." 

"Abi sudah ajak."

"Kapan katanya mau ke rumah?" Abi hanya mengedikkan bahu. 

Mereka asyik mengobrol membahas tentang sahabat lamanya. Namun, tak satu pun dari mereka membahas soal Mas Zafran. Jujur, aku sedikit kecewa, aku ingin tahu apakah dia masih sendiri atau sudah beristri?Apakah sosok Zafran yang di poto itu adalah Ustadz Zafran?

"Abi, apa Abi tadi sempat ketemu dengan Mas Zafran?" tanyaku ragu. 

Jujur aku harus mengumpulkan keberanian menanyakan sosok pria di hadapan Abi. 

"Sayangnya Zafran lagi di luar mengurus usahanya. Malam nanti dia balik." Aku menelan kekecewaan. 

Andaikan Abi bertemu dengan Mas Zafran, setidaknya aku punya bayangan akan sosoknya sekarang. Atau setidaknya aku bisa tahu dia Zafran yang sama dengan Ustadz Zafran atau bukan.

"Zafran sekarang sudah hebat loh Umi. Setelah selesai pendidikan dia membuka usaha jualan pakaian Muslim juga sambilan mengajar ngaji di mesjid dekat kompleks mereka."

"Masya Allah. Bagaimana ya rupanya sekarang, Bi?" pertanyaan Umi kali ini sangat mewakiliku. Diam-diam aku mendengarkannya. 

'Kenapa kegiatannya mirip dengan Ustadz Zafran?'

"Abi liat foto keluarga mereka. Zafran semakin gagah," jawab Abi. 

Jantungku berdetak lebih cepat. Benar dugaanku. Mas Zafran akan tumbuh menjadi pria yang tampan rupawan. Tak pernah lepas senyum di wajah ini. Tapi, aku masih penasaran tentang sosok keduanya. 

Abi merogoh kantong di bajunya mengeluarkan benda pipih. Dengan serius Abi mengotak-atik ponsel yang baru saja dipegangnya.

"Nah, ini Umi, fotonya Zafran." Umi meraih ponsel Abi, aku pun ikut mengintip. 

"Allahu Akbar!" pekikku. 

Abi dan Umi spontan melihat ke arahku. 

"Ada apa, Nak?" tanya Umi. 

Aku memegang dada yang tiba-tiba berdetak hebat. Kuatur napas kembali. 

"Dia....dia yang beberapa hari yang lalu jadi narasumber Zaira, Bi, Mi."

"Jadi, kalian sudah pernah ketemu?" tanya Abi. Aku mengangguk mantap.

"Bahkan Mas Zafran pernah bilang, akan menunggu Zaira selesai pendidikan."

Aku menceritakam semua tentang bagaimana awal kami bertemu kemudian Mas Zafran ijin membawa namaku di sepertiga malamnya. Setelah itu saat pertemuan ke dua, Mas Zafran mengatkan bahwa dia bersedia menunggu sampai aku selesai pendidikan.

Aku sungguh tidak menyangka kalau selama ini orang yang aku cari ada di depan mataku sendiri. Bercengkerama,  dan saling melempar senyum. Ternyata dia sosok Mas Zafranku. Ustadz Zafran.

Aku tak berhenti tersenyum sembari terus memegang dada yang sejak tadi bergemuruh. Berusaha mengulum senyum yang sejak tadi tercipta. 

Berawal dari rasa kagum akan kegigihannya dalam mengembangkan usahanya. Bagaimana dia terus bNgkit dan maju saat usahanya terancam tertutup. Semua berawal dari sana. Hingga akhirnya Mas Zafran mengungkapkan kalimat yang awalnya aku tak mengerti itu.

Obrolan berlanjut membahas tentang masa lalu mereka. Aku hanya menyimak dan diam-diam merasa bahagia. Bahagia karena dialah yang selama ini kucari. 

*

Malam berlanjut, aku membuka buku diary yang selama ini jadi temoatku menuangkan kata. Menceritakan sosok Zafran yang ternyata orang yang meminta untuk menungguku.

Bagaimana dia sekarang? Selepas hari itu kita tidak lagi bertemu. Saling menyimpan kontak tapi tak saling menyapa.

Kembali kutuliskan untaian kalimat untuk Zafranku. 

"Sepertinya semesta memihak kepadaku. Aku sudah menemukan sosok dirimu yang selama ini aku cari. Bisakah aku menjadi wanita seperti sosok Sayyidah Fatimah kepada Sayyidina Ali? Atau menjadi Khadijah di masa kini?"

Tanganku berhenti bergerak menuliskan setiap kata. Kembali memikirkan langkah yang harus kutempuh. 

Kuraih poselku, segera kubuka aplikasi hijau lalu mencari nama Khadijah. 

                                                               

'Assalamualaikum, Khadijah. Sibuk nggak?'

'Wa'alaikumussalam, nggak kok. Kenapa?'

'Mau curhat, nih.'

'Kebiasaan. Nyari pas curhat doang. Hihi. Iya, mau curhat apa?'

                                             

'Ternyata dia Zafran yang selama ini aku cari.'

'Maksudnya?'

                                                              

'Zafran teman masa kecil yang selama ini aku cari ternyata Ustadz Zafran sendiri, loh...'

'Eh seriusan? Alhamdulillah, bakal lancar dong PDKT nya hihi.'

                                                               

'Ih, kamu mah, ngasal aja kalau ngomong.'

'Ya udah, tunggu apalagi? Pepet cepat. Jangan sampai kendor. Aku kawal nih sampai halal.'

                                                           

'Ih, apa sih?'

Obrolan terus mengalir hingga aku tak berhenti terseyum saat Khadijah terus menggodaku. 

Memang dasar Khadijah dia akan terus-terusan serba ingin tahu. Yang tadinya kami hanya chattingan, sekarang sebuah panggilan masuk. 

"Eh, karena kamu udah ketemu Si Pangeran dari masa lalu, kamu nggak niat gitu untuk memilikinya?"

"Bukannya ucapin salam dulu, malah nyerocos aja."

"Hehe. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucapnya dengan semangat menggebu.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

"Aku malu," jawabku. 

"Kenapa? Kalian kan sejak kecil sudah bersama, meskipun terpisah. Nah, sedangkan Ustadz Zafran juga masih single. Lalu apalagi?"

"Aku malu, Khadijah. Jujur, waktu kita ketemuan untuk ke dua kalinya, dia ngomong sesuatu."

"Apa?"

Aku menceritakan semua. Tentang Mas Zafran yang meminta untuk menungguku hingga selesai.

"So sweet banget, sih. Pepet aja terus," ucapnya menggebu. Aku mengerling malas.

"Kita ini perempuan loh."

"Kenapa nggak jadi Khadijah di masa kini aja?"

Aku berpikir sejenak. Apa iyya? Tapi aku malu. 

"Malu lah. Mending jadi Sayyidah Fatimah."

"Kamu yakin bakal kuat? Mending jadi Khadijah di masa kini aja. Kalau diam-diam, nanti diembat orang loh."

"Jodoh nggak akan kemana kali."

"Percaya sama aku. Ajukan aja sama Abi. Kan orangtua kalian sahabatan."

Sejenak aku berpikir. Ada benarnya juga. Aku coba saja menjadi khadijah di masa kini.

"Takut, ah. Kalau Bi marah gimana? Kamu mau tanggungjawab?"

"Nggak bakalan." 

Suara ketukan mengakhiri obrolanku dengan Khadijah. Perlahan kuputar handel pintu, ternyata Abi.

"Abi boleh masuk, Nak?"

"Boleh, Bi," jawabku seraya membuka lebar pintu.

Abi kini tengah duduk di tepi ranjang menatap lurus ke depan. 

"Abi mau sedikit cerita." Aku diam menyimak menunggu. 

"Abi dan Abi Abdullah adalah sahabat lama. Kami terpisah karena Abi Abdullah dipindah tugaskan. Sekarang setelah dua puluh tahun lamanya, kami kembali dipertemukan. Abi sangat berharap kami bisa terus bersama."

Abi kemudian menoleh ke arahku. 

"Abi tahu, kamu diam-diam mencari tahu soal Zafran. Dan Abi tahu diam-diam kamu menaruh rasa padanya."

Aku melebarkan mata. "Dari mana Abi tahu?"

"Nak, Abi ini ayahmu. Gerak-gerik putrinya pasti Abi tahu."

Aku menyembunyikan muka dengan kedua telapak tangan. 

"Jadi, Abi benar kan?"

Aku mengangguk malu.

"Abi tidak melarangmu untuk menaruh rasa. Itu hal wajar. Apalagi Abi kenal Zafran dan keluarganya. Jadi, Abi tidak akan ragu lagi."

"Jadi, bisakah Zaira meminta Abi untuk menjodohkan Zaira dengan Mas Zafran?"

Abi mengangguk. 

"Nanti Abi bicara ya sama Abi Abdullah"

"Baik, Abi," ucapku seraya memeluk Abi. 

Tangan Abi dengan lembut mengusap pucuk kepalaku.  Aku sangat bersyukur memiliki orang tua yang senantiasa menyayangiku. 

"Abi, apa Abi tidak malu melamarkan putrinya untuk seorang laki-laki? Maksudnya anak Abi kan perempuan, biasanya yang melamar itu pihak pria."

"Abi tidak ingin anak Abi terus-terusan memikirkan seseorang yang bukan mahramnya."

Jleb. Aku seperti tertampar. 

"Maafin, Zaira, Bi." 

"Abi mengerti. Makanya Abi setuju-setuju saja saat kamu mengajukan diri."

"Lagian Abi sudah lama kenal mereka, jadi tidak ada keraguan sedikitpun dari Abi."

Aku memeluk erat tubuh cinta pertamaku ini. Betapa besar cinya yang ia beri untukku. 

"Maafin Zaira, Abi."

*

Di sore hari saat aku tengah asyik menyiram tanaman hias, suara klakson mobil mengagetkanku. Gegas aku segera membuka gerbang, kemudian perlahan mobil masuk ke halaman parkir.  

Aku melangkah ke arah Abi dan Umi yang baru saja turun dari mobil. Entah apa yang terjadi, aku tidak tahu, yang jelas mereka tampak wajah bahagia. 

"Zaira, Abi mau bicara." 

Aku mengekor di belakang Abi sambil bergelayut manja di lengan Umi. Kami sama-sama mendudukkan diri di sofa ruang keluarga. 

"Zaira, tadi kami bertemu dengan Abi Abdullah dan Umi Fatimah. Kami membahas tentang kalian. Abi mengajukan perjodohan yang ternyata disambut baik," ucap Abi dengan raut wajah bahagia. 

Tiba-tiba ada rasa bahagia yang menyeruak dari dalam diri ini. Rasa yang tak terkira. Degupan jantung berpacu lebih cepat, ada desir hebat yang mengalir di dalam tubuh ini. 

Tiba-tiba senyumku memudar saat menyadari akan satu hal. 

"Abi, apakah Mas Zafran tahu?"

"Sepertinya belum."

"Bagaimana jika Mas Zafran menolak perjodohan ini, Abi?".

Senyum yang sedari tadi Umi tampilkan kini ikut memudar. Pandangannya beralih ke Abi. 

"Abi tahu watak Abi Abdullah. Sekali bilamg A tetap A."

"Tapi, Zaira nggak mau kalau perjodohan ini karena terpaksa, Bi."

"Nggak, Sayang. Bukannya kamu pernah cerita kalau Zafran mau nunggu kamu?" tanya Umi. 

"Tapi saat ini dia tidak tahu kalau Zairah lah wanita pilihan Abinya."

Umi mengelus pucuk kepalaku dengan sayang. 

"Biar itu jadi kejutan, Sayang."

"Abi telpon mereka dulu," putus Abi.

Tampak Abi mengotak atik ponselnya lalu menempelkannya di telinga. 

"Assalamualaikum, Mas Abdullah. Kami sudah sampaikan perihal perjodohan ini pada Zaira. Bagaimana dengan Zafran?"

"Wa'alaikumussalam, Insyaa Allah Zafran pasti setuju. Tapi beri kami waktu untuk bertandang ke rumahmu, ya. Untuk mempertemukan mereka."

"Alhamdulillah, baiklah, kami tunggu kabar baiknya, Mas."

Panggilan diakhiri setelah mengucapkan salam.

Aku memandang Abi meminta jawaban. Tampak Abi merubah posisinya. Aku semakin gugup menunggu jawaban dari Abi. 

"Alhamdulillah, Zafran sudah setuju. Rencananya mereka akan datang bertamu di rumah kita, bersama Zafran."

"Kapan, Bi?" tanya Umi. 

"Kita tunggu saja kabar baiknya."

Aku semakin deg-degan dibuatnya. Aku bersyukur tiada henti saat tahu Mas Zafran setuju. Meskipun aku tidak tahu, apakah Mas Zafran tahu, dia dijodohkan dengan aku atau bukan. Akulah yang meminta kepada Abi untuk merahasiakan identitasku. 

Aku berpamitan untuk masuk ke dalam kamar. Di ruang persegi ini aku terus menerawang saat pertama kali kami dipertemukan. Saat Mas Zafran mengucapkan kalimat yang waktu itu tak ku mengerti. Sebuah janji yang akan menungguku hingga wisuda. 

Akupun tak menyangka Abi akan secepat ini mengajukanku pada keluarganya. Aku pikir, Abi akan membahas ini setelah aku diwisuda. Seperti titah Abi dulu. 

Segera kubuka buku diary yang selama ini menyimpan berbagai coretan tentang dia. Kupandangi wajah sosok anak laki-laki yang tengah menggendongku. 

"Mas, aku tidak ingin lama-lama memendam rasa sama kamu. Benar kata Abi, itu dosa.  Zina mata dan zina hati. Demi menjaga diri ini, dan juga dirimu aku rela menjadi Khadijah di masa kini."

Kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Membuka aplikasi hijau, seraya memandangi kontak W******p yang tersimpan.

Aku sudah lama menyimpan kontaknya. Ya, sejak pertemuan ke dua itu. Tapi, jangankan saling berbalas pesan untuk menanyakan kabar, sekedar basa-basi saja tidak pernah. Entah saya ataupun Mas Zafran. Kami hanya jadi pengintip story masing-masing tanpa berani untuk sekedar merespon status. Mungkin Mas Zafran juga merasakan hal yang sama. Atau sebaliknya?

*

Pagi kusambut dengan rasa bahagia. Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Aku melangkah memasuki pelantaran kampus tempatku menimba ilmu. Saat aku sedang asyik membaca pengumuman di papan informasi, seseorang menghampiriku.

"Zaira." Aku lantas menoleh. 

Zain. Dialah teman kampus yang selama ini berjuang mengungkapkan perasaannya. Bukan aku tak ingin, tapi rasanya aku tak bisa. 

Mana mumgkin aku menerimanya padahal sudah jelas pacaran itu diharamkan?

"Iya?"

"Maafkan aku, Zaira."

Aku mengernyitkan kening. 

"Maaf buat apa?"

Zain menyennderkan tubuhnya di tembok. Tapi matanya tak pernah lepas memandangku. 

"Aku mau berhenti ngejar kamu."

Syukrlah, batinku. 

"Caraku emang salah, sih. Dari awal nguber kamu kayak maling," ucapnya seraya terkekeh. 

"Lalu?"

"Ya, aku bakal berhenti ngejar kamu lagi. Tapi, aku bakal bawa namamu di sepertiga malamku. Biar Allah menyatukan kita."

Aku melotot ke arahnya.

"Kamu berhenti ngejar aku terus milih bawa nama aku di sepertiga malam gitu?"

Dia mengangguk antusias.

"Ya. Nggak salah kan?" tanyanya santai. 

"Ya, emang nggak salah. Tapi, aku sudh dijodohkan, Zain."

"Haha. Ya nggak pa-pa," jawabnya santai sambil memasukkan tangamnya ke dalam kantong celananya. 

"M-maksudnya?" tanyaku heran.

"Iya. Kan belum tentu nikah."

Aku mendelik tajam. Apa maksudnya?

"Hey, santai dong. Emang benar kan?"

Aku terdiam bersiap meninggalkan dia sebelum sebuah kalimat yang dia ucapkan membuat niatku tertunda. 

"Dijodohkan belum tentu jodoh. Iya, kan?" wajahnya mulai sedikit mendekat. Refleks aku mundur. 

"Kali aja do'aku terijabah. Soalnya Allah lihat usahaku selama ini. Bukan kayak dia yang belum tentu sama besar usahanya denganku."

"Terserah."

"Dasar cowok manja. Tahunya nikung kayak gitu. Haduh," cibirnya. 

"Berhenti lah untuk mengikutiku. Berhenti ngejar-ngejar aku dan jangan pernah bawa nama aku di dalam do'amu."

Dia tersenyum sinis, "Ya, terserah aku dong. Kan itu hakku."

"Terserah kamu!"

Aku berlalu meninggalkan dia yang terus saja tertawa. Iya, tawa bahagia karena berhasil membuat moodku menjadi hancur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status