Share

3. Saran Memasang CCTV

Allea pergi begitu saja. Aku pun bergegas pergi ke ruang tamu untuk menemui teman-teman. Entah apa yang sudah mereka katakan terhadapku. Allea benar-benar mengacaukan semuanya.

Setelah berbincang-bincang, aku mengajak mereka ke ruang makan. Untung saja mainan di ruang tengah sudah tidak lagi berserakan. Kali ini kerja Allea sudah benar. Tanpa diperintah, dia sudah mengerti apa yang harus dia lakukan.

Entah di mana dia sekarang. Tidak ada lagi suara anak-anak. Mungkinkah Allea menidurkan mereka?

"Di mana istrimu?" tanya Dani.

"Mungkin nidurin anak-anak," jawabku.

"Panggil, dong! Kasihan dia. Ajak makan bareng-bareng!" kata Dani.

Aku bergegas mencari Allea dan mendapati ia menidurkan tiga anak kami. Baguslah jika begitu. Aku memberi isyarat kepada Allea agar segera keluar dan bergabung dengan teman-teman.

Makan malam kali ini dipenuhi pujian dari teman-teman. Mereka memuji kesuksesanku, kelezatan masakan istriku, dan kehebatan istriku yang mampu mengurus rumah serta tiga anak tanpa asisten.

Setelah mereka pulang, aku meminta Allea untuk membersihkan semuanya. Namun, dia masih duduk sembari memandangi bekas piring makan kami.

"Al! Kamu dengar? Aku meminta kamu membersihkannya sekarang!" pintaku.

"Bantuin, ya, Mas!" katanya.

"Kok, aku? Ini tugas kamu. Bisa-bisanya kamu minta aku mengerjakan tugas rumah tangga, apalagi nyuci piring. Nggak bisa," balasku menolak. Allea aneh-aneh saja. Mana mungkin aku mencuci piring sebanyak itu?

Aku merebahkan tubuh di ruang tengah. Rasanya tentram sekali jika anak-anak tidur lebih awal. Tidak ada keramaian, mainan tidak berserakan, rasanya benar-benar damai.

***

Pukul 01.00 WIB aku mendengar suara Arvin menangis. Segera aku bangunkan Allea dan memintanya pergi ke kamar anak. Selang beberapa menit, ternyata dia kembali dengan membawa Arvin dan meletakkannya di dekatku. Aku melihat jam menunjukkan pukul 02.00 WIB.

"Mas, bantu jaga Arvin, dong! Badanku rasanya sakit semua. Aku butuh istirahat. Aku cuma tidur sebentar tadi," keluh Allea.

"Kamu ngeluh? Pantas kamu ngeluh begitu? Tinggal tidurin lagi, apa susahnya?" sentakku.

Aku kembali memejamkan mata. Namun, tubuhku terasa diguncang pelan. "Mas, aku pusing beneran. Jagain bentar aja! Tolong! Arvin nggak mau tidur," ujar Allea.

Aku mengabaikan dia yang terus merengek dan mengguncang tubuhku. Apa dia pikir aku tidak pusing setiap hari melihat kekacauan di rumah? Belum lagi menghadapi pekerjaan di kantor. Allea terus mengganggu hingga aku benar-benar tidak bisa kembali tidur.

"Allea! Kamu jangan manja! Biasanya jaga anak juga bisa. Begadang sendiri juga sudah biasa. Kenapa kamu manja sekali, ha? Kamu nggak tahu aku capek?" sentakku yang tak sanggup menahan emosi.

Aku melihat Allea berkaca-kaca. Biar saja dia jera. Tidak sopan sekali memaksa suami untuk begadang! Dia beranjak sambil membawa Arvin keluar. Baguslah! Aku bisa melanjutkan tidurku.

Baru beberapa menit tidur, aku sudah mendengar suara berisik. Aku memeriksa keluar. Afkar dan Ansel sudah bangun. Mereka menonton video di televisi sambil tertawa tidak jelas. Sedangkan, Allea sibuk bermain di tenda anak dengan Arvin.

Segera aku mengambil remote dan mematikan televisi. "Berisik! Ini masih jam tiga," ucapku sambil membawa remote itu pergi.

"Papa!"

"Ma, Papa, Ma!"

"Mas, anak-anak nonton. Kenapa dimatiin?" Sudah kuduga, Allea pasti akan bertanya ini.

"Mengganggu! Aku nggak bisa tidur dari tadi. Lagian kenapa kamu bangunin mereka jam segini? Biar kamu ada temannya buat jagain Arvin? Iya?" tebakku.

"Mas, mereka tidur lebih awal. Pantas jika bangun lebih awal dari biasanya. Bukannya kamu sendiri yang kemarin protes gara-gara kelakuan mereka? Makanya aku usahain buat tidurin mereka lebih awal agar tidak mengganggu teman-temanmu," jawab Allea.

"Terus kamu nyalahin aku kalau mereka bangun lebih awal dan kamu begadang? Kemarin Arvin jatuh, kamu juga nyalahin aku. Padahal, aku sudah menjaga mereka," protesku.

Allea terdiam sejenak kemudian tersenyum menatapku. Dasar aneh!

"Ma, remote-nya di Papa," ucap Afkar seraya menarik baju Allea.

"Ma, ambilin remote-nya di Papa," sahut Ansel yang ikut menarik baju Allea.

Mereka terus merengek di bawah lutut Allea sambil menarik pakaiannya. Si kecil pun turut menarik pakaian Allea karena ikut-ikutan kedua kakaknya. Anehnya, Allea hanya diam dan masih terus menatapku.

"Apa? Kamu mau marah sama aku? Berani marah sama suami, ha?" sentakku sambil melotot ke arahnya.

Bibir pucat itu tersenyum. Dia terduduk perlahan seraya memeluk ketiga anakku. Entah apa maksudnya. Kudengar Allea sedikit terisak. Apakah dia menangis? Dasar cengeng! Begitu saja dia menangis, seperti mendapatkan beban hidup yang berat saja.

Aku meninggalkan Allea di sana. Dasar lemah! Dibentak sedikit saja sudah menangis.

***

Saat menyiapkan sarapan, kulihat dia tampak lesu. Mungkin saja masih marah denganku. Aku pun marah dengannya karena dia ... jam tidurku menjadi terganggu. Untung saja tidak ada pertemuan hari ini. Jadi, aku bisa sedikit santai di kantor.

"Tumben kamu masak ini doang?" tanyaku seraya menunjuk telur ceplok dan sayur bening bayam.

"Simpel." Jawabannya sama seperti masakannya, simpel.

"Yang niat, dong, Al! Anak-anak cuma kamu kasih telur aja sebagai protein hewaninya? Kasih yang lain!" titahku.

"Nanti siang aku masak lagi untuk mereka," ucapnya dengan nada lemah. Suaranya seperti sedikit serak.

"Kamu sakit?" tanyaku.

Allea hanya menggeleng. Dia sibuk menyiapkan satu per satu makanan di piring kami berempat. Allea? Dia selalu makan terakhir jika kami berempat sudah selesai makan.

"Nanti malam aku mau pergi ke acara pernikahan teman. Aku mau kamu ikut denganku. Sudah lama sekali kamu nggak pernah ikut serta kalau aku ada acara di luar. Jangan jadikan anak sebagai alasan! Titipkan anak-anak ke Mbak Veni!" ucapku.

Mbak Veni adalah kakak kandungku. Dia tinggal di kecamatan yang berbeda denganku. Namun, jarak rumahnya lumayan jauh dari sini.

"Mbak Veni ada si kembar, Mas. Aku takut ngerepotin kalau menitipkan anak-anak ke sana," jawab Allea kemudian.

"Si kembar sudah besar. Mereka sudah enam tahun dan sudah mengerti," kataku.

"Ta—"

"Udahlah, Al! Jangan banyak protes!"

Allea pun diam. Setuju atau tidak, dia harus ikut denganku. Aku tidak suka jika permintaanku ditolak.

***

Malam pun tiba. Allea sudah berdandan cantik seperti yang kuminta. Anehnya, meski sudah dipoles make up sedemikian rupa, wajahnya tetap terlihat pucat. Ah, selagi Allea sehat, itu tidak masalah. Mungkin hanya efek kurang tidur.

Setelah mengantar anak-anak ke rumah Mbak Veni, kami segera pergi ke pesta pernikahan salah satu teman di kantor. Sesampainya di sana, kulihat semua sedang berkumpul dan berbincang-bincang.

"Pak Reno! Bu Allea!" sapa mereka.

"Apa kabar?" tanya Allea kepada karyawan yang merupakan teman kerjanya dulu.

"Baik, Bu Allea apa kabar? Kok ... makin kurusan, ya? Padahal dulu seger banget badannya," celetuk Selly yang merupakan karyawan lama di kantor.

"Bagus, dong. Nggak perlu repot diet," sahut Della.

"Iya, nih. Anak tiga, tapi badan bagus dan tetap kecil. Kasih rahasianya, dong!" timpal Anggita.

Aku membiarkan Allea mengobrol dengan teman-temannya. Mungkin saja dia rindu karena memang lama tidak pernah bertemu. Aku pun bergabung dengan teman-teman yang lain.

"Ren, itu Allea?" tanya Gideon yang merupakan sahabat baikku di kantor.

"Ya. Itu istriku. Kenapa?"

"Kok, beda, ya? Maaf, nih. Apa Allea sakit? Kenapa pucat dan badannya sangat kecil?" tanyanya.

"Nggaklah. Allea sehat-sehat aja. Emang udah perawakannya kecil," jawabku.

"Tapi dulu meski kecil nggak seperti ini. Dulu seger banget, loh. Kok, sekarang beda, ya? Maaf, Ren, bukan maksud apa-apa. Tapi emang beda aja lihat istrimu," ucap Gideon.

"Mungkin efek kelelahan aja," kataku santai. Gideon terlalu berlebihan, menurutku.

"Kamu tetap nggak pakai pengasuh atau asisten? Allea tetap urus anak dan rumah sendiri?" tanya Gideon lagi.

"Ya. Allea mengurus semuanya sendiri. Hebat, bukan?" ucapku membanggakan Allea.

Gideon tampak mengernyit dan menatapku aneh. Dia menggelengkan kepala seraya menepuk pundakku. "Ren, apa salahnya menggunakan satu asisten aja untuk Allea? Kasihan, loh, istrimu. Dia itu sangat kelelahan. Nggak mudah ngurus rumah sambil jagain tiga anak yang kecil-kecil."

"Heleh, itu memang sudah tugas istri. Nggak perlu pakai asisten segala," balasku.

Kenapa orang-orang selalu menyarankan asisten? Aku sama sekali tidak suka. Uang untuk membayar jasa mereka memang ada, tetapi aku tidak berminat menggunakan jasa asisten atau pengasuh. Biarlah Allea mengurus seorang diri. Lagi pula, dia mampu.

"Di rumahmu ada CCTV?" tanya Gideon. Entah apa maksudnya bertanya CCTV.

"Di luar rumah? Nggak ada. Untuk apa pula?" tanyaku.

"Di dalam rumah?"

"Nggak ada. Untuk apa? Di rumah cuma Allea dan anak-anak. Allea juga selalu kunci pintu. Pasti aman," jawabku.

"Bukan itu. Coba pasang kamera di dalam rumah, tepatnya di tempat Allea sering menjaga anak-anak," ucap Gideon.

Aku bingung dengan sarannya. "Untuk apa, sih?"

"Udahlah, pasang aja! Kewarasan istri itu perlu dijaga," ucap Gideon tanpa memberitahu alasan yang jelas. Kewarasan? Memangnya penampilan Allea terlihat seperti orang yang kurang waras?

"Pak Reno! Pak Reno! Bu Allea tidak sadarkan diri!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status