Share

2. Semakin Kesal

Selesai menerima pijatan dari Allea, aku memutuskan menonton televisi seraya bermain ponsel. Kulihat dia sedang sibuk di dapur. Baguslah! Biar dia ada kesibukan dan tidak tidur terlalu awal.

Aku segera bangkit dan menghampiri Allea ketika tiba-tiba teringat sesuatu. "Al, besok aku akan ada pertemuan penting. Siapkan kemeja hitam yang baru kubeli beberapa waktu lalu! Jas hitam juga sudah harus siap! Bersihkan juga sepatuku! Jangan sampai ada kotoran sedikit pun!" pintaku.

"Iya, Mas," jawabnya tanpa menoleh ke arahku.

"Al, kamu dengar, tidak?" tanyaku geram. Aku tidak suka jika lawan bicara tidak memperhatikanku.

Allea mematikan kran kemudian mengusap tangan dengan lap yang menggantung di dinding. Dia mendekatiku dan tersenyum. "Iya, aku dengar. Aku akan siapkan setelah ini, sekalian menyetrika pakaian," jawabnya lembut.

"Ya udah, aku mau tidur," ujarku kemudian pergi meninggalkan Allea.

Sudah menjadi kebiasannya beraktivitas di malam hari. Entah itu cuci piring, cuci baju, dan menyetrika. Itu sebabnya aku tidak suka ketika Allea tidur lebih awal. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dia selesaikan.

***

"Nanti sore teman-temanku ke sini," ujarku kepada Allea.

"Iya, Mas."

"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?" tanyaku.

"Menyiapkan hidangan untuk teman-teman kamu," jawabnya.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Entah kenapa kepintarannya jadi menurun begini. "Kamu paham nggak, sih? Selain menghidangkan makanan, kamu juga harus membuat rumah ini bersih, wangi, dan rapi. Masa', rumah rapi hanya saat malam sampai pagi aja? Nanti jam tujuh pasti berantakan lagi," kataku menebak.

"Iya, Mas," timpalnya.

"Pokoknya aku nggak mau tahu. Sore nanti, rumah harus bersih. Jangan gunakan anak sebagai alasan!" kataku menegaskan.

Aku melihat Allea sibuk menggendong Arvin sambil berusaha menyuapinya. Sementara, dua anakku makan sendiri meski sedikit berantakan. Arvin tampak merengek karena bibirnya yang terluka akibat jatuh kemarin.

"Coba sini aku lihat!" kataku sambil memegang bibir Arvin.

Aku melihat ada bercak putih kecil di bibirnya. Istriku bilang jika sudah memiliki obat untuk itu. Entah dari mana ia mendapatkannya, tetapi aku suka dia yang sangat cekatan dalam menangani buah hati.

"Cuma luka kecil. Nanti juga akan sembuh," ujarku.

"Nanti kamu harus dandan yang rapi! Jangan kucel seperti ini! Bisa malu aku," lanjutku.

"Iya, Mas." Selalu itu jawabannya. Awas saja jika sampai dia tidak mendengarkan kata-kataku.

Selesai sarapan, aku meminta Afkar untuk berpamitan kepada Allea. Saat berangkat ke sekolah, Afkar memang akan aku antar, tetapi saat pulang, Allea memesankan ojek online untuknya. Jika Allea yang menjemput, mana mau? Dia selalu beralasan Ansel dan Arvin tidak ada yang menjaga. Baru satu anak yang sekolah, dia sudah kewalahan. Bagaiamana nanti jika Arvin dan Ansel memasuki bangku sekolah?

Setelah mengantar Afkar, aku segera pergi ke kantor. Saat tiba di kantor, aku sudah disambut oleh beberapa karyawanku yang rajin, terutama sekretaris pribadiku. "Selamat pagi, Pak Reno!" sapanya ramah.

"Selamat pagi!" balasku kepada Monica.

"Pak Reno, ini berkas-berkas untuk rapat sudah saya siapkan," ucapnya.

Sangat rajin! Aku menyukai kinerja Monica. Cara dia bekerja hampir sama seperti Allea dulu. Beruntung aku tidak pernah salah mendapatkan sekretaris pribadi.

Di sela-sela jam kerja, tak lupa aku mengingatkan Allea agar merapikan dan membersihkan rumah setiap saat. Mereka yang akan datang ke rumah nanti adalah teman-teman sekolahku dulu. Mereka juga akan mengajak istri masing-masing. Itu sebabnya aku meminta Allea selain membersihkan rumah juga berdandan cantik. Memalukan jika istri seorang manajer tidak terurus.

***

Tepat pukul empat sore, aku sudah bersiap untuk pulang. Namun, sebelum menuju ke rumah, aku menunggu teman-teman di dekat minimarket. Kami sudah janji untuk bertemu di sana dan menuju ke rumahku bersama-sama.

Baru beberapa menit menunggu, mereka sudah tiba. Tanpa banyak bicara, aku langsung mengajak mereka ke rumah. Sesampainya di rumah, mereka segera kupersilakan masuk. Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu. Mainan anak-anak masih berserakan. Lantai yang tadi pagi terlihat licin dan wangi, kini menjadi kotor. Wajahku berusaha menahan amarah. Aku tidak boleh marah kepada istriku di hadapan teman-teman.

"Maaf jika rumahnya berantakan. Maklum, anak-anak masih kecil," ucapku merasa tak enak hati.

"Ah, nggak masalah. Namanya juga anak-anak. Biarkan saja mereka bermain sesuka hati!" timpal Dani, temanku.

"Iya, lebih baik bermain di dalam rumah daripada harus di luar rumah. Kalau di dalam rumah begini, anak-anak lebih terjaga apalagi kamu tinggal di kawasan yang sepi begini," sahut Farhan.

Syukurlah jika teman-teman mengerti keadaan di rumahku. Saat hendak memanggil Allea, Ansel datang dengan membawa mainan di tangannya. Bocah empat tahun itu sudah wangi.

"Ayo salim dulu sama teman-teman papa!" ujarku kepada Ansel. Bocah tampan itu mengikuti perintahku.

"Ansel, main di dalam! Jangan di sini!" pintaku sambil mengajaknya ke ruang tengah.

Aku terbelalak ketika melihat ruang tengah yang sangat berantakan. Satu kotak mainan terguling dan isinya berceceran. Ingin sekali aku memarahi Allea. Segera kucari dia di kamar, tetapi tidak ada. Saat melihat ke kamar anak, emosiku semakin memuncak. Dia masih mengenakan daster dengan rambut yang acak-acakan, tetapi wajahnya sudah teroles sedikit make up. Itu pun hanya sekedar bedak dan lipstik. Kenapa sesederhana itu? Argh!

"Allea! Kamu ini gimana? Ruang tamu berantakan, ruang tengah apalagi. Kamu ngapain aja seharian ini, ha?" tanyaku emosi, tetapi aku berusaha menahan suara agar tidak terdengar sampai ruang tamu.

"Tadi aku masak banyak sambil mengawasi anak-anak apalagi Arvin dikit-dikit rewel karena bibirnya masih sakit. Aku juga sudah membersihkan rumah, tapi ya ... namanya anak-anak, nggak bisa dilarang kalau ingin main," jelasnya sambil memasangkan pakaian Arvin.

"Cepat ganti baju dan sisir rambutmu yang rapi!" pintaku sambil mencengkram lengan yang hanya terasa tulang itu.

Setelah menyisir rambut Arvin, Allea pergi. Aku menggendong putra bungsuku dan membawanya keluar. Ingin rasanya aku berteriak saat melihat Afkar dan Ansel berlarian ke sana kemari.

"Afkar, Ansel, jangan berlarian! Ada teman-teman papa," ucapku. Namun, mereka tidak mau mendengarkan aku. Kepalaku rasanya ingin pecah melihat dua bocah itu sibuk dengan pedang mainan masing-masing.

"Udahlah, Ren! Biarin aja! Anakmu ada tiga?" tanya Farhan.

"Iya. Mereka super aktif semua. Pusing aku melihat tingkah mereka setiap hari," keluhku.

"Istrimu mana?" tanya Dani.

"Masih di dalam. Sebentar lagi keluar," jawabku.

Tak lama kemudian, Allea keluar dengan penampilan yang sederhana. Rambutnya hanya disisir biasa. Polesan di wajahnya juga tidak ditambah. Ya sudahlah, setidaknya dia tidak bau bawang dan berantakan seperti biasanya.

Allea menyalami kedua temanku dan istri mereka sambil berkenalan. Namun, sebelum duduk, dia menghampiri Ansel dan Afkar. Entah apa yang dia lakukan. Dua bocah itu mengangguk setelah Allea mengatakan sesuatu kemudian mereka berlari ke kamar. Allea kembali ke tempat kami dan duduk di sampingku.

"Mbak mengurus tiga anak sendiri?" tanya istri Dani.

Allea mengangguk. "Iya, saya mengurus mereka sendiri."

"Nggak ada asisten sama sekali?" tanyanya.

Aku melihat Allea menggeleng pelan sambil tersenyum. "Nggak ada, Mbak," jawabnya lembut.

Kenapa istri Dani harus menanyakan hal itu? Sama saja dengan memancing Allea supaya meminta asisten kepadaku.

"Kenapa nggak cari asisten? Kasihan istrimu, Ren! Capek, loh, ngurus anak apalagi tiga masih kecil-kecil," sahut Dani.

"Halah, nggak perlu! Istriku mampu, kok, mengurus mereka," jawabku.

Tiba-tiba saja terdengar suara tangis dari dalam kamar. Allea segera pergi menghampiri mereka. Entah apa yang terjadi. Arvin yang sedari tadi diam di dalam pangkuanku juga ikut menangis. Aku memutuskan untuk memberikannya kepada Allea karena telingaku terasa sakit.

Aku lihat Allea tengah menasihati dua putraku. Jika melihat raut wajah Ansel dan Afkar, mereka seperti sedang bertengkar. Pasti mereka berebut mainan.

"Al, ambil, nih! Sakit telingaku," keluhku seraya memberikan Arvin.

Allea menerima Arvin kemudian kembali menatap Ansel dan Afkar. "Kalian saling sayang, 'kan? Kalian nggak mau mama pergi, 'kan?" tanyanya dengan suara lembut. Kedua putraku menggeleng. Mereka mencium pipi Allea kemudian memeluknya sambil mengatakan, "Maaf, Mama!"

"Yang rukun, ya, jagoan-jagoan mama!" ucap Allea.

Senyumku sedikit terukir. Namun, entah apa maksud dari perkataan Allea tadi. Mungkin sebuah gertakan untuk mereka agar tidak bertengkar. Sungguh, aku salut karena Allea tidak pernah berbicara dengan nada tinggi meski marah. Dia selalu menasihati anak-anak kami dengan lembut.

Allea berdiri dan menenangkan Arvin yang kembali menangis. "Al, ayo keluar! Temui istri teman-temanku!" ajakku.

"Sebentar, Mas! Arvin masih nangis. Aku buatkan susu dulu untuk dia," kata Allea.

"Ck! Bisa nggak, sih, kamu sat set? Kenapa nggak jaga-jaga buat susu dari tadi dan memberikan kepada Arvin ketika menangis seperti ini, ha? Aku malu banget, loh, karena dari tadi kita hanya repot dengan anak. Apa kata teman-temanku, Al?" protesku yang kembali kesal dengan Allea.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status