Selesai menerima pijatan dari Allea, aku memutuskan menonton televisi seraya bermain ponsel. Kulihat dia sedang sibuk di dapur. Baguslah! Biar dia ada kesibukan dan tidak tidur terlalu awal.
Aku segera bangkit dan menghampiri Allea ketika tiba-tiba teringat sesuatu. "Al, besok aku akan ada pertemuan penting. Siapkan kemeja hitam yang baru kubeli beberapa waktu lalu! Jas hitam juga sudah harus siap! Bersihkan juga sepatuku! Jangan sampai ada kotoran sedikit pun!" pintaku."Iya, Mas," jawabnya tanpa menoleh ke arahku."Al, kamu dengar, tidak?" tanyaku geram. Aku tidak suka jika lawan bicara tidak memperhatikanku.Allea mematikan kran kemudian mengusap tangan dengan lap yang menggantung di dinding. Dia mendekatiku dan tersenyum. "Iya, aku dengar. Aku akan siapkan setelah ini, sekalian menyetrika pakaian," jawabnya lembut."Ya udah, aku mau tidur," ujarku kemudian pergi meninggalkan Allea.Sudah menjadi kebiasannya beraktivitas di malam hari. Entah itu cuci piring, cuci baju, dan menyetrika. Itu sebabnya aku tidak suka ketika Allea tidur lebih awal. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dia selesaikan.***"Nanti sore teman-temanku ke sini," ujarku kepada Allea."Iya, Mas.""Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?" tanyaku."Menyiapkan hidangan untuk teman-teman kamu," jawabnya.Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Entah kenapa kepintarannya jadi menurun begini. "Kamu paham nggak, sih? Selain menghidangkan makanan, kamu juga harus membuat rumah ini bersih, wangi, dan rapi. Masa', rumah rapi hanya saat malam sampai pagi aja? Nanti jam tujuh pasti berantakan lagi," kataku menebak."Iya, Mas," timpalnya."Pokoknya aku nggak mau tahu. Sore nanti, rumah harus bersih. Jangan gunakan anak sebagai alasan!" kataku menegaskan.Aku melihat Allea sibuk menggendong Arvin sambil berusaha menyuapinya. Sementara, dua anakku makan sendiri meski sedikit berantakan. Arvin tampak merengek karena bibirnya yang terluka akibat jatuh kemarin."Coba sini aku lihat!" kataku sambil memegang bibir Arvin.Aku melihat ada bercak putih kecil di bibirnya. Istriku bilang jika sudah memiliki obat untuk itu. Entah dari mana ia mendapatkannya, tetapi aku suka dia yang sangat cekatan dalam menangani buah hati."Cuma luka kecil. Nanti juga akan sembuh," ujarku."Nanti kamu harus dandan yang rapi! Jangan kucel seperti ini! Bisa malu aku," lanjutku."Iya, Mas." Selalu itu jawabannya. Awas saja jika sampai dia tidak mendengarkan kata-kataku.Selesai sarapan, aku meminta Afkar untuk berpamitan kepada Allea. Saat berangkat ke sekolah, Afkar memang akan aku antar, tetapi saat pulang, Allea memesankan ojek online untuknya. Jika Allea yang menjemput, mana mau? Dia selalu beralasan Ansel dan Arvin tidak ada yang menjaga. Baru satu anak yang sekolah, dia sudah kewalahan. Bagaiamana nanti jika Arvin dan Ansel memasuki bangku sekolah?Setelah mengantar Afkar, aku segera pergi ke kantor. Saat tiba di kantor, aku sudah disambut oleh beberapa karyawanku yang rajin, terutama sekretaris pribadiku. "Selamat pagi, Pak Reno!" sapanya ramah."Selamat pagi!" balasku kepada Monica."Pak Reno, ini berkas-berkas untuk rapat sudah saya siapkan," ucapnya.Sangat rajin! Aku menyukai kinerja Monica. Cara dia bekerja hampir sama seperti Allea dulu. Beruntung aku tidak pernah salah mendapatkan sekretaris pribadi.Di sela-sela jam kerja, tak lupa aku mengingatkan Allea agar merapikan dan membersihkan rumah setiap saat. Mereka yang akan datang ke rumah nanti adalah teman-teman sekolahku dulu. Mereka juga akan mengajak istri masing-masing. Itu sebabnya aku meminta Allea selain membersihkan rumah juga berdandan cantik. Memalukan jika istri seorang manajer tidak terurus.***Tepat pukul empat sore, aku sudah bersiap untuk pulang. Namun, sebelum menuju ke rumah, aku menunggu teman-teman di dekat minimarket. Kami sudah janji untuk bertemu di sana dan menuju ke rumahku bersama-sama.Baru beberapa menit menunggu, mereka sudah tiba. Tanpa banyak bicara, aku langsung mengajak mereka ke rumah. Sesampainya di rumah, mereka segera kupersilakan masuk. Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu. Mainan anak-anak masih berserakan. Lantai yang tadi pagi terlihat licin dan wangi, kini menjadi kotor. Wajahku berusaha menahan amarah. Aku tidak boleh marah kepada istriku di hadapan teman-teman."Maaf jika rumahnya berantakan. Maklum, anak-anak masih kecil," ucapku merasa tak enak hati."Ah, nggak masalah. Namanya juga anak-anak. Biarkan saja mereka bermain sesuka hati!" timpal Dani, temanku."Iya, lebih baik bermain di dalam rumah daripada harus di luar rumah. Kalau di dalam rumah begini, anak-anak lebih terjaga apalagi kamu tinggal di kawasan yang sepi begini," sahut Farhan.Syukurlah jika teman-teman mengerti keadaan di rumahku. Saat hendak memanggil Allea, Ansel datang dengan membawa mainan di tangannya. Bocah empat tahun itu sudah wangi."Ayo salim dulu sama teman-teman papa!" ujarku kepada Ansel. Bocah tampan itu mengikuti perintahku."Ansel, main di dalam! Jangan di sini!" pintaku sambil mengajaknya ke ruang tengah.Aku terbelalak ketika melihat ruang tengah yang sangat berantakan. Satu kotak mainan terguling dan isinya berceceran. Ingin sekali aku memarahi Allea. Segera kucari dia di kamar, tetapi tidak ada. Saat melihat ke kamar anak, emosiku semakin memuncak. Dia masih mengenakan daster dengan rambut yang acak-acakan, tetapi wajahnya sudah teroles sedikit make up. Itu pun hanya sekedar bedak dan lipstik. Kenapa sesederhana itu? Argh!"Allea! Kamu ini gimana? Ruang tamu berantakan, ruang tengah apalagi. Kamu ngapain aja seharian ini, ha?" tanyaku emosi, tetapi aku berusaha menahan suara agar tidak terdengar sampai ruang tamu."Tadi aku masak banyak sambil mengawasi anak-anak apalagi Arvin dikit-dikit rewel karena bibirnya masih sakit. Aku juga sudah membersihkan rumah, tapi ya ... namanya anak-anak, nggak bisa dilarang kalau ingin main," jelasnya sambil memasangkan pakaian Arvin."Cepat ganti baju dan sisir rambutmu yang rapi!" pintaku sambil mencengkram lengan yang hanya terasa tulang itu.Setelah menyisir rambut Arvin, Allea pergi. Aku menggendong putra bungsuku dan membawanya keluar. Ingin rasanya aku berteriak saat melihat Afkar dan Ansel berlarian ke sana kemari."Afkar, Ansel, jangan berlarian! Ada teman-teman papa," ucapku. Namun, mereka tidak mau mendengarkan aku. Kepalaku rasanya ingin pecah melihat dua bocah itu sibuk dengan pedang mainan masing-masing."Udahlah, Ren! Biarin aja! Anakmu ada tiga?" tanya Farhan."Iya. Mereka super aktif semua. Pusing aku melihat tingkah mereka setiap hari," keluhku."Istrimu mana?" tanya Dani."Masih di dalam. Sebentar lagi keluar," jawabku.Tak lama kemudian, Allea keluar dengan penampilan yang sederhana. Rambutnya hanya disisir biasa. Polesan di wajahnya juga tidak ditambah. Ya sudahlah, setidaknya dia tidak bau bawang dan berantakan seperti biasanya.Allea menyalami kedua temanku dan istri mereka sambil berkenalan. Namun, sebelum duduk, dia menghampiri Ansel dan Afkar. Entah apa yang dia lakukan. Dua bocah itu mengangguk setelah Allea mengatakan sesuatu kemudian mereka berlari ke kamar. Allea kembali ke tempat kami dan duduk di sampingku."Mbak mengurus tiga anak sendiri?" tanya istri Dani.Allea mengangguk. "Iya, saya mengurus mereka sendiri.""Nggak ada asisten sama sekali?" tanyanya.Aku melihat Allea menggeleng pelan sambil tersenyum. "Nggak ada, Mbak," jawabnya lembut.Kenapa istri Dani harus menanyakan hal itu? Sama saja dengan memancing Allea supaya meminta asisten kepadaku."Kenapa nggak cari asisten? Kasihan istrimu, Ren! Capek, loh, ngurus anak apalagi tiga masih kecil-kecil," sahut Dani."Halah, nggak perlu! Istriku mampu, kok, mengurus mereka," jawabku.Tiba-tiba saja terdengar suara tangis dari dalam kamar. Allea segera pergi menghampiri mereka. Entah apa yang terjadi. Arvin yang sedari tadi diam di dalam pangkuanku juga ikut menangis. Aku memutuskan untuk memberikannya kepada Allea karena telingaku terasa sakit.Aku lihat Allea tengah menasihati dua putraku. Jika melihat raut wajah Ansel dan Afkar, mereka seperti sedang bertengkar. Pasti mereka berebut mainan."Al, ambil, nih! Sakit telingaku," keluhku seraya memberikan Arvin.Allea menerima Arvin kemudian kembali menatap Ansel dan Afkar. "Kalian saling sayang, 'kan? Kalian nggak mau mama pergi, 'kan?" tanyanya dengan suara lembut. Kedua putraku menggeleng. Mereka mencium pipi Allea kemudian memeluknya sambil mengatakan, "Maaf, Mama!""Yang rukun, ya, jagoan-jagoan mama!" ucap Allea.Senyumku sedikit terukir. Namun, entah apa maksud dari perkataan Allea tadi. Mungkin sebuah gertakan untuk mereka agar tidak bertengkar. Sungguh, aku salut karena Allea tidak pernah berbicara dengan nada tinggi meski marah. Dia selalu menasihati anak-anak kami dengan lembut.Allea berdiri dan menenangkan Arvin yang kembali menangis. "Al, ayo keluar! Temui istri teman-temanku!" ajakku."Sebentar, Mas! Arvin masih nangis. Aku buatkan susu dulu untuk dia," kata Allea."Ck! Bisa nggak, sih, kamu sat set? Kenapa nggak jaga-jaga buat susu dari tadi dan memberikan kepada Arvin ketika menangis seperti ini, ha? Aku malu banget, loh, karena dari tadi kita hanya repot dengan anak. Apa kata teman-temanku, Al?" protesku yang kembali kesal dengan Allea.Allea pergi begitu saja. Aku pun bergegas pergi ke ruang tamu untuk menemui teman-teman. Entah apa yang sudah mereka katakan terhadapku. Allea benar-benar mengacaukan semuanya. Setelah berbincang-bincang, aku mengajak mereka ke ruang makan. Untung saja mainan di ruang tengah sudah tidak lagi berserakan. Kali ini kerja Allea sudah benar. Tanpa diperintah, dia sudah mengerti apa yang harus dia lakukan. Entah di mana dia sekarang. Tidak ada lagi suara anak-anak. Mungkinkah Allea menidurkan mereka? "Di mana istrimu?" tanya Dani. "Mungkin nidurin anak-anak," jawabku. "Panggil, dong! Kasihan dia. Ajak makan bareng-bareng!" kata Dani. Aku bergegas mencari Allea dan mendapati ia menidurkan tiga anak kami. Baguslah jika begitu. Aku memberi isyarat kepada Allea agar segera keluar dan bergabung dengan teman-teman. Makan malam kali ini dipenuhi pujian dari teman-teman. Mereka memuji kesuksesanku, kelezatan masakan istriku, dan kehebatan istriku yang mampu mengurus rumah serta tiga anak tan
Segera aku membawa Allea rumah sakit. Entah kenapa dia begitu lemah. Awalnya dia sangat sehat, tetapi justru pingsan saat di pesta pernikahan temanku. Pasti besok akan jadi bahan perbincangan. Sungguh, Allea membuatku malu! Dokter mengatakan jika ada masalah di lambung Allea. Selain itu, tekanan darahnya juga rendah. Dokter menasehatiku panjang lebar supaya menjaga kesehatan Allea. Aku hanya mengangguk kemudian mengajak Allea pulang. "Kamu malu-maluin banget, sih? Kenapa harus pingsan di acara pernikahan temanku?" protesku kepada wanita yang mengenakan dress hitam itu. "Maaf!" Singkat sekali jawabannya. Hanya maaf, itu saja. Sepanjang perjalanan pulang, aku memang memarahi Allea. Tak kupedulikan dia yang tengah sakit. Itu hanya sakit biasa. Tadi, dokter sempat mengatakan jika Allea terlalu stres. Memangnya stres kenapa dia? Uang bulanan juga selalu aku kasih lebih. Mana mungkin stres?!Allea hanya diam. Menjawab pun hanya anggukan kepala. Dia pikir, dengan pura-pura lemah seperti
Sekarang aku tahu kenapa Gideon memaksa memasang kamera tersembunyi. Sekarang aku paham kenapa Gideon menyebut istriku gila. Aku mengerti kenapa Gideon memintaku untuk menjaga kewarasan Allea. Layar di hadapanku telah menunjukkan semua aktivitas Allea. Apa itu wanitaku selama ini? Wanita yang bertahun-tahun meminta pengasuh atau asisten, tetapi tidak pernah kupenuhi. Di sela-sela kesibukan Allea sebagai ibu rumah tangga, kulihat rambutnya ditarik, tubuh kecilnya diperebutkan anak-anak untuk dinaiki. Namun, aku tidak melihat Allea marah dalam posisi itu. Dia justru menggoda anak-anak dan membuat mereka tertawa. Satu hal yang membuatku terkejut, yaitu Allea makan hanya saat anak-anak tidur, tepat di malam hari. Memang, saat libur kerja, aku pernah melihat Allea diganggu anak-anak ketika makan. Apakah itu berlangsung setiap hari sehingga membuat Allea baru bisa mendapatkan waktu makan saat malam? Bodoh! Aku sangat bodoh! Kenapa aku tidak bisa memahami istriku selama ini? Cukup! Aku ti
"Pak Reno, dasinya masih belum rapi," ucap Monica saat aku sudah kembali ke ruangan. "Jika diizinkan, saya akan membantu," ujarnya lagi. Tidak mungkin juga aku bertemu orang-orang dengan dasi berantakan seperti ini. Aku terdiam menatap Monica kemudian mengangguk. "Silakan!" kataku terpaksa.Monica mendekat dan merapikan dasiku. Aku memintanya agar melakukan itu dengan cepat karena takut ada karyawan lain yang melihat. Bisa jadi kacau kalau sampai ada yang salah paham. "Memangnya istri Pak Reno ke mana, sih? Pakaian kusut, dasi berantakan. Apa sibuk ngurus tiga anak sampai lupa dengan suami?"Segera aku menjauhkan diri dari Monica. Lancang sekali pertanyaannya. "Sopan kamu bertanya seperti itu?" hardikku. "Ma–maaf! Saya tidak bermaksud begitu.""Kamu tidak tahu apa saja yang Allea lakukan untuk saya. Jaga bicaramu tentang Allea jika ingin tetap bekerja di sini!" ancamku kepadanya. Monica tertunduk. Entah apa yang dipikirkan sekarang. Apakah aku berlebihan? Mungkin, tapi yang jelas
Tanpa menunggu lama, aku segera meluncur ke taman. Aku melaju dengan kecepatan tinggi supaya cepat sampai. Mudah-mudahan saja mereka masih di sana. Untung jarak rumah ini ke Taman Pelangi tidaklah jauh. Pandanganku langsung tertuju ke arah Mbak Veni di tempat parkir mobil. Kulihat dia seperti menghalangi Allea. Aku segera ke sana dan turun dari mobil. "Allea!" seruku. Allea berlari entah ke mana. Aku dan Mbak Veni mengejar. Sementara, Mas Bram kulihat bersama anak-anakku di mobil. Allea terus berlari ke arah keramaian sehingga membuatku susah mendapatkannya. Dia seperti orang ketakutan saat melihatku. "Argh! Sial!" Aku tak sengaja menabrak seseorang yang tengah makan sosis. Sosisnya terjatuh dan sausnya mengotori pakaianku. Dia marah dan ibunya menahanku. Sementara, kulihat Mbak Veni terus mengejarnya. Anak remaja yang sosisnya terjatuh itu minta ganti rugi. Aku memberinya selembar uang berwarna biru. Kulanjutkan langkah dan mendapati Mbak Veni tengah berhenti dengan napas tersen
(POV Allea)Dia adalah pria yang mengejarku enam tahun lalu. Baru beberapa bulan menjadi sekretaris pribadinya, dia sudah melamar diriku. Dia mengungkapkan ketertarikannya kepada diri ini. Awalnya aku ragu dan tidak memberi jawaban. Namun, dia tidak menyerah dan terus mendatangi orangtuaku. Bahasa cintanya selalu tersirat. Mas Reno ibarat tokoh fiksi di dunia novel yang sering kubaca. Seorang atasan yang bucin terhadap bawahannya. Ya, itulah Mas Reno. Pada akhirnya, Mas Reno berhasil mengambil hati orangtuaku. Akhirnya, ayah dan ibu mendesakku supaya menerima lamaran Mas Reno. Mbak Veni sering menemuiku agar menerima lamaran adiknya itu. Sedikit memaksa, bukan? Ya sudah, aku terima saja karena dari berbagai pihak sudah banyak yang mendukung. Mas Reno bahkan tidak sungkan menunjukkan ketertarikannya kepadaku di hadapan teman-teman kantor. Seiring berjalannya waktu, pernikahan kami berlangsung bahagia. Kelahiran anak pertama—Afkar—semakin menambah kebahagiaan kami. Selang beberapa bu
(POV Allea)Bu Yeni menemuiku dan mengajakku bicara empat mata. Wanita tua itu meminta kejelasan, sejelas-jelasnya tentang hubunganku dengan Mas Reno. Jujur, aku tidak bisa berbicara banyak karena mengingat dirinya saja sudah membuatku sangat tertekan. Lagi-lagi Bu Yeni memahamiku. Entah mimpi apa aku bisa bertemu orang sebaik Bu Yeni. ***Hari ini Bu Yeni ingin mengajak anak-anak ke Taman Pelangi. Awalnya aku keberatan dan tidak setuju karena taman itu dekat dengan rumah Mas Reno. Namun, Bu Yeni memaksa karena ingin melihat anak-anak bermain bebas dan jajan di sana. Memang, taman itu sangat luas. Cocok untuk semua kalangan dan sudah dilengkapi aneka jajanan yang cukup banyak."Sekali ini aja, Lia! Aku juga pengin jalan-jalan sama anak kecil. Aku suka iri kalau lihat seseorang main sama cucu-cucunya. Apalagi si Arga itu nggak nikah-nikah," curhatnya kepadaku. Memang, Bu Yeni hanya memiliki satu putra, yaitu Arga. Apalagi di usianya yang tak lagi muda ini sedang membutuhkan teman agar
(Kembali ke POV Reno)Sudah tiga hari ini, aku mengurus anak-anak seorang diri. Mbak Veni? Pulang karena si kembar mendadak sakit. Allea juga tidak datang sampai detik ini. Entah kenapa ibu dari anak-anakku itu sangat tega. Kupikir dia akan kembali. Jika tidak demi diriku, setidaknya demi anak-anak. Rumah, aku bersihkan seadanya. Makan, aku pesan melalui aplikasi. Aku tidak sanggup jika harus memasak. Selain tidak ahli, anak-anak juga selalu mengganggu. Semua pakaian mereka kusut karena aku tidak bisa menyetrikanya bahkan tidak ada waktu. Belum lagi mereka kompak mencari ibunya. Pekerjaan juga menjadi kacau. Terpaksa aku harus bekerja dari rumah. Datang ke kantor hanya beberapa saat kemudian kembali lagi. Saat pergi, anak-anak kutinggal di rumah. Seluruh pintu dan jendela aku kunci. Barang-barang yang mudah pecah dan benda tajam sudah aku amankan. Semua mainan mereka aku berikan supaya tidak mencari saat aku pergi. Pengasuh? Ya, aku saat ini sedang berusaha mencari pengasuh. Aku ti