Susan langsung paham, kemudian menarik kembali tubuh Eliza dalam pelukannya.
"Katakan padaku, dimana toko itu berada?"Eliza mengangguk sambil kembali terisak dalam dekapan sahabatnya.Dua hari setelah kejadian itu, Eliza sudah dapat mengontrol traumanya berkat bantuan Susan.Susan terus membantu Eliza memberikan doktrin-doktrin yang baik untuk otaknya. Mereka telah membuat sebuah rencana untuk melakukan pembalasan. Mereka akan melakukannya malam ini. Eliza dan Susan menyeringai seram, saat menatap rentetan rencana pembalasan di sebuah papan tulis yang tergantung di dinding kamar mereka."Apa kamu siap, El?""Yes, girl. I am ready for sure.""Ok. Just kill him then."Jadi di sinilah Susan. Dia sudah melakukan pengintaian selama dua malam sebelum hari eksekusi rencana bersama El.Jadwal pria pemilik restoran itu telah dikantongi dengan rapi. Demikian juga jadwal para pelayan yang dan kunjungan pelanggan ke restoran.Mereka juga telah melakukan riset tentang pria itu melalui media sosial berkat kartu nama dari pria pemilik toko itu sendiri, yang diberikannya setelah Susan sedikit mengedipkan matanya ketika berkunjung sebagai pelanggan sekaligus mata-mata.Malam sudah sangat sepi. Semua pelayan yang bekerja juga sudah pergi meninggalkan restoran. Eliza dan Susan sudah bersiap di tempat mereka masing-masing.Pria itu tampak keluar dari pintu, beruntung dia terlihat sedang mabuk. Tubuhnya sedikit sempoyongan.Bugh!Susan langsung menendang bagian vital pria itu setelah dia baru saja keluar dari pintu restoran itu.Pria berbadan gendut langsung memegang area vitalnya dan meringis kesakitan. Lalu badannya jatuh ke lantai. Baru dua hari lalu dia merasakan hal yang sama yang dilakukan oleh Eliza. Dan sekarang serangan itu diterimanya dengan tenaga dua kali lipat lebih keras.Mereka dengan leluasa memukuli pria itu karena mereka menggunakan pakaian lengkap dengan penutup wajah sehingga tidak akan bisa dikenali."To-lo,"Bugh! Bugh! Bugh! Plak!Pria itu tidak sempat berkata minta tolong, Eliza dan Susan terus menghujamnya dengan tendangan ke area vitalnya juga memukul dan menampar pria itu melampiaskan dendam Eliza.Setelah puas, mereka langsung kabur dari lokasi. Berlari secepat mungkin, menghindari orang yang mungkin melihat kejadian itu.Susan menengok ke belakang, memastikan mereka sudah berlari cukup jauh dari lokasi dan tidak ada orang yang sedang mengejarnya."Stop, stop!" ujar Susan.Eliza dan Susan berhenti berlari. Napas mereka terengah-engah. Namun meskipun begitu, mereka juga merasa senang lalu terkekeh bersama."Dia pasti sangat ketakutan," ujar Susan terengah-engah."Thank you, Susan.""Wellcome." Mereka lalu berpelukan sebelum kembali melanjutkan perjalanan pulang.Ini sudah minggu kedua setelah Eliza pergi wawancara di perusahaan Barbaross Finance Company. Eliza sudah tidak berharap pada pekerjaan itu. Eliza juga sudah putus asa, dan menerima nasibnya yang menumpang pada sahabatnya.Eliza yang tidak pernah ingin dikasihani terpaksa bergantung pada Susan sahabatnya. Dia merasa seperti memiliki sugar friend sekarang. Tapi itu bukan berarti pikirannya tidak terbebani. Dia yang tidak suka memiliki hutang budi itu diam-diam juga tertekan.Tring."El, apa yang kamu masak pagi ini?" tanya Susan yang baru bangun. Lalu dia duduk ke kursi meja makan, menunggu menu sarapan pagi yang selalu dihidangkan oleh Eliza.Ya, hubungan mereka juga simbiosis mutualisme. Susan membayar dan memenuhi semua kebutuhhan tinggal dan makan sehari-hari. Namun dia sama sekali tidak bisa melakukan pekerjaan bersih-bersih ataupun memasak.Hal itu membuat Eliza sedikit lega. Setidaknya dia juga berguna untuk sahabatnya, dan tidak hanya menjadi benalu dalam hidup orang lain."Aku membuat sandwich. Aku akan membuatkan bekal untukmu. Jadi jangan habiskan uangmu untuk makan diluar," ancam Eliza."Baik, Bu. Anakmu ini akan menurut padamu." Susan terkekeh setelah itu. Menurutnya, Eliza sudah benar-benar seperti seorang ibu yang galak pada anaknya.Eliza yang sedang sibuk menyusun sandwich itu lalu menengok ke arah Susan dengan lirikan mautnya. Seketika Susan berhenti tertawa, lalu mencebikkan bibirnya."Sepertinya ibuku sedang marah," ledeknya lagi lalu kembali tertawa.Eliza mengambil napas dalam, lalu tiba-tiba dia melempar selembar selada pada sahabatnya itu.Daun selada itu jatuh ke atas meja setelah mengenai keningnya. Susan tidak menyia-nyiakan itu. Diambilnya daun selada dan langsung dimasukkan kedalam mulut untuk dikunyah.Tring.Sebuah pesan baru masuk diponsel Eliza. Namun dia masih sibuk dengan kegiatan memasaknya.Dua sandwich pertama telah matang. Eliza mebawanya ke meja makan. Kedua mata Susan sudah berkilauan saat melihat hidangan lezat itu di depannya."Selamat makan," ujar Susan dan langsung menyuapkan potongan sandwich ke mulutnya.Eliza tersenyum menyaksikan tingkah sahabat karib satu-satunya. Lalu Eliza makan dengan elegan. Menikmati setiap potongan sandwich lezat buatan tangannya.Eliza cukup percaya diri untuk membuat makanan cepat saji seperti itu. Namun dia tidak pandai dalam membuat makanan yang berat. Jika dia sedang ingin makanan berat, dia akan menggunakan bumbu instan untuk memudahkan.Usai sarapan, Eliza langsung menata dua sandwich lain untuk bekal Susan.Dari kamar Susan menghampiri Eliza kembali di meja makan, lalu mengambil dua kotak bekal sandwich untuk dimasukkan ke dalam tas."Aku pergi dulu. Mungkin jam delapan malam aku sudah pulang. Jangan lupa mengabariku jika kamu memiliki jadwal wawancara lagi. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi. Oke?"Eliza mengangguk tersenyum lalu melambaikan tangannya, mengusir Susan agar segera pergi."Cepatlah, kamu sudah terlambat."Susan sontak melihat arloji di tangannya, lalu lari keluar rumah ketika melihat waktu sudah pukul 10 siang.
Eliza menarik kursi dan duduk sebentar melepas lelah, setelah ini dia akan mencuci piring bekas sarapan tadi.
Eliza meraih ponselnya untuk sekedar melihat sosial media. Namun tiba-tiba dia terkejut saat melihat sebuah pesan baru.
[Anda diterima sebagai asisten pribadi Barbarossa Finance Company. Datanglah pada hari rabu, pukul delapan pagi. Bertemu dengan Tuan Reiz]
Sinar mata Eliza langsung berkilau saat melihat pesan itu.
"Apa aku diterima? Aaaaah." Eliza teriak dan loncat-loncat kegirangan sambil memeluk ponselnya.
Sayangnya, dia tak tahu bahwa ini adalah awal mula romansa pelik di kehidupannya sebagai karyawan....
Keesokan harinya, Eliza bangun sangat awal. Dia langsung ke dapur,membuat sandwich untuk sarapan dan juga bekal. Eliza tampak sangat bersemangat, dia bersenandung lirih sambil menggoyang-goyangkan kepalanya kadang-kadang.Susan yang mencium aroma kopi cappucino dan sandwich panggang itu pun bangkit dari ranjangnya. Dia beranjak mengikuti indra penciumannya hingga sampai ke meja makan. Dengan mata kantuknya, Susan menarik kursi lalu menempelkan pantatnya pada alas kursi yang sedikit empuk itu, menunggu hidangan sampai di hadapannya. "Mana kopi untukku?" tanya Susan "Ouh hallo, morning Baby. Kopi untukmu, segera datang." Eliza mengantarkan secangkir kopi cappucino hangat untuk Susan.Susan mengambilnya lalu menyeruput kopi miliknya itu, sementara El sudah lebih dulu menyeruput miliknya tadi.Susan melebarkan matanya perlahan kala mendengar nyanyian yang lebih mirip suara tangisan itu samar. Kedua tangan Susan menyangga dagunya. "Apa kamu sedang sedih, El? Kenapa kamu menangis sambil
Rasa penasaran Vico membuahkan sebuah pertanyaan di benaknya, Vico segera menyadarkan diri. Tidak ada gunanya dia merasa penasaran pada perempuan yang tidak jelas itu. Vico segera memencet tombol lift untuk menutup pintunya. Ada sebuah rapat penting sedang menunggunya pagi ini. Sebuah mega proyek baru yang sedang direncanakannya, akan mulai dilaksanakan per awal bulan depan mendatang.Ting tung.Eliza memencet bel ruang kerja Reiz, dimana secara otomatis kunci pintu itu terbuka setelahnya. Eliza melongokkan kepalanya ke dalam sebelum memasuki ruangan itu. Guna memastikan dirinya tidak salah masuk ruangan, meskipun dia tahu ruangan itu benar seperti dalam ingatannya."Masuklah," perintah Reiz yang melihat Eliza sudah datang.Eliza tersenyum simpul, kemudian masuk sesuai perintah pria yang sudah menunggunya. "Selamat pagi, Tuan.""Pagi. Duduklah."Gegas, Eliza duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerja pria itu."Saya ucapkan terima kasih, karena Anda telah berbesar hati memberi
Merasa percuma jika dia menegur wanita itu, Vico akhirnya melenggang pergi tanpa mengindahkan perkenalan diri Eliza.Eliza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ada apa dengannya? Aneh." Eliza kembali membuatkan kopi yang atasannya minta. Setelah itu Eliza bergegas membawa kopinya ke dalam ruangan bosnya. Namun saat dia memasuki ruangan Reiz, Eliza sedikit terkejut mengetahui Vico telah duduk di ruangan Reiz, sang atasannya.Eliza tetap masuk dan menyuguhkan kopi milik Reiz. "Silahkan Tuan, ini kopi Anda."Vico melirik tajam ke arah Eliza. "Lihatlah, dia lebih cocok menjadi pelayan cafe daripada bekerja sebagai sekretaris. Kau ini ceroboh sekali."Sakit rasanya ketika Vico berkata dengan menghinanya. Raut wajah Eliza yang semula tersenyum ramah menjadi muram. "Apa kau bilang barusan? Dasar CEO sombong." Brak! Eliza memukulkan baki yang tadi digunakan untuk membawa cup kopi ke kepala Vico. Vico meringis kesakitan sampai berdiri dari kursinya. "Apa yang kau lakukan?""Rasakan akiba
*Tanggal gajian tiba*Pagi ini Eliza berangkat kerja dengan penuh semangat. Dia melempar senyum hampir pada setiap karyawan yang berpapasan dengannya. Dari karyawan sebanyak itu, ada yang membalas senyumnya ada juga yang mengacuhkannya dan menganggapnya aneh.Setibanya di ruangannya, Eliza langsung menaruh tas dan masuk ke ruangan bosnya. Dengan raut wajah gembira dia merapikan meja Reiz, juga membersihkan debu-debu kecil dengan tisu basah dengan hati-hati. 'Ayah, tunggulah. Nanti malam aku akan pulang.'Rencananya hari ini Eliza akan meminta izin pada Reiz untuk pulang sebentar guna menjenguk sang ayah yang sakit. Dalam hati, Eliza yakin, Reiz yang baik hati akan mengizinkannya untuk cuti esok hari.Klek. Sontak Eliza menatap ke arah pintu. Eliza langsung membungkukkan badannya sedikit dan menyapa atasannya. "Selamat pagi, Tuan Reiz," sapa Eliza dengan senyum ramahnya."Pagi, El. Kau berangkat pagi sekali.""Rumah saya lumayan jauh, Tuan. Saya berusaha untuk tidak terlambat."Reiz
"Tapi, Bos. Saya tidak berani," tolak Eliza terbata. "Aku yang menyuruhmu. Jadi jangan merasa takut dan lakukan saja. Aku benar-benar sedang lelah."Reiz memahami keseganan Eliza, namun dia sengaja membiarkan Eliza untuk duduk disana. Reiz tersenyum tipis sambil kembali menutup matanya.Eliza merasa canggung, namun dia juga bingung, jika sampai laporannya tidak selesai hanya karena takut duduk di kursi bosnya, itu pasti akan menjadi nilai minus untuknya. Perlahan, Eliza duduk di kursi kebesaran Reiz. Eliza sempat melirik bosnya, memastikan apakah dia sudah tidur atau sedang memperhatikannya dari sana. Mengetahui Reiz sepertinya sudah tidur, Eliza mulai merasa lega. Dia mengatur posisi nyamannya dan mulai mengetik.Namun tanpa Eliza ketahui, Reiz diam-diam memperhatikannya dari sana. Reiz sempat menyungging senyum sebelum akhirnya benar-benar lelap.Eliza mengerjakan pekerjaannya dengan cekatan. Fokusnya tidak terpecah dengan suatu apapun. Hanya sesekali dia melirik pria berwajah ta
Saat jam pulang kerja dan semua tugas telah selesai, Reiz menghampiri Eliza. Dia meminta Eliza ikut dengannya dengan alasan lembur untuk urusan pekerjaan diluar kantor. "Tapi Tuan. Apa saya harus benar-benar ikut?""Kenapa? Apa kamu memiliki rencana lain?""Ya, tapi…" Eliza melihat arlojinya. "Aku rasa waktunya masih cukup. Baiklah, aku akan ikut bersama Tuan."Eliza menurut. Reiz berjalan ke luar ruangan dan meminta Eliza mengikutinya. Eliza yang sudah siap pulang, bergegas mengekor di belakang Reiz dengan langkah cepat menuju ke halaman parkir. Kali ini Reiz membawa mobil Audi keluaran terbaru. Reiz sudah duduk di kursi kemudi. Eliza berjalan ragu-ragu ke arah pintu mobil sisi lainnya. Baru kali ini Eliza akan mengendarai mobil berdua dengan seorang bos, kaya dan tampan. Vibesnya bahkan sudah seperti kisah di cerita fiksi drama korea di dalam bayangannya.Glek. Otomatis pintu mobil terbuka, membuat Eliza sedikit terjengat kaget. "Masuklah," pinta Reiz lembut. Namun bukan hanya pi
"Apa kau baik-baik saja? Aku bisa memberikanmu izin berduka, El."Eliza menatap kosong di luar kaca jendela mobilnya. Dirinya enggan membuka bibirnya untuk bicara. Reiz terpaksa diam, dan menunggu Eliza bersedia bicara. Saat ini keduanya berada di dalam mobil, tepat di depan rumah mendiang ayahnya. Eliza merasa khawatir meninggalkan ibunya sendiri di rumah. Namun Eliza juga tidak mungkin membawanya ke kota."Maukah Tuan menemaniku berkunjung seminggu sekali menemui ibuku?" tanya Eliza mulai mau membuka suara."Tentu saja." Jawaban Reiz yang cepat membuat hati Eliza lega seketika. Saat itu Eliza hanya ingin ditenangkan hatinya. Meskipun Reiz memberikan jawaban yang tidak jujur pun tidak mengapa. Namun tidak bagi Reiz. Jawaban itu merupakan janji yang akan dia pegang hingga waktu yang panjang. "Baiklah. Kita bisa kembali, Bos."Reiz segera tancap gas setelah Eliza memintanya. Sialnya, di pertengahan jalan tiba-tiba huja
Usai mencuci wajahnya, Eliza menarik selimut dan siap tidur. Namun sudah hampir setengah jam matanya tidak juga bisa menutup. Terdengar petir masih menggelegar di luar. Hujannya juga masih sama derasnya. Eliza menghela napas dan berusaha kembali memejamkan mata. 'Apa bos sudah benar-benar tidur?' pertanyaan itu muncul dalam benak Eliza. Dia kembali membuka mata dan melirik perlahan ke arah bosnya untuk memastikan Reiz sudah terlelap. Setelah beberapa detik mengawasi, Eliza yakin tampaknya Reiz sudah benar-benar lelap. 'Syukurlah.'Eliza sudah merasa tenang. Dia tidak akan takut dengan pemikiran kotornya tentang bosnya yang mungkin saja mencuri kesempatan dalam kesempitan. Tidak sampai lima menit setelah itu, Eliza benar-benar tidur sangat lelap. Hingga dengkuran halus terdengar lirih di telinga bosnya. Reiz yang awalnya tidur dengan posisi terlentang memiringkan sedikit tubuhnya hingga menatap ke arah Eliza. Nyatanya reiz belum tidur seperti ya