Keesokan harinya, Eliza bangun sangat awal.
Dia langsung ke dapur,membuat sandwich untuk sarapan dan juga bekal. Eliza tampak sangat bersemangat, dia bersenandung lirih sambil menggoyang-goyangkan kepalanya kadang-kadang.Susan yang mencium aroma kopi cappucino dan sandwich panggang itu pun bangkit dari ranjangnya. Dia beranjak mengikuti indra penciumannya hingga sampai ke meja makan. Dengan mata kantuknya, Susan menarik kursi lalu menempelkan pantatnya pada alas kursi yang sedikit empuk itu, menunggu hidangan sampai di hadapannya."Mana kopi untukku?" tanya Susan"Ouh hallo, morning Baby. Kopi untukmu, segera datang." Eliza mengantarkan secangkir kopi cappucino hangat untuk Susan.Susan mengambilnya lalu menyeruput kopi miliknya itu, sementara El sudah lebih dulu menyeruput miliknya tadi.Susan melebarkan matanya perlahan kala mendengar nyanyian yang lebih mirip suara tangisan itu samar. Kedua tangan Susan menyangga dagunya. "Apa kamu sedang sedih, El? Kenapa kamu menangis sambil memasak?" tanya Susan polos.Eliza langsung melemparkan lirikan mautnya pada Susan. Namun kali ini dia tidak marah. Dia malah tersenyum lalu memberi kecupan jarak jauh, "Muach. Aku sedang bahagia," jelas Eliza, lalu kembali lagi menggoyangkan kepalanya sambil bernyanyi."Whatever. Aku hanya ingin sarapanku pagi ini."Susan menunggu sarapannya dengan tidak sabar.****Eliza berjalan cepat untuk segera sampai di halte bus kesayangannya. Beruntung, saat dia sampai, bus yang akan ditumpanginya juga baru saja sampai. Di sepanjang perjalanan, Eliza terus tersenyum. Dia tidak membayangkan akan mendapatkan pekerjaan dengan bayaran fantastis ini.Jika dihitung sekarang, gaji yang akan didapatnya dapat melunasi hutangnya pada Susan, atau dia akan bergantian membayar sewa di bulan depan. Bahkan sisa gajinya masih akan tersisa cukup banyak untuk mencicil biaya kuliah. El juga bahkan dapat mengirim uang untuk ayahnya rutin setiap bulan."Ah, tiba-tiba aku rindu pada Ayah. Semoga dia baik-baik saja saat ini." Ting tung.[Pemberhentian bus Anda saat ini berada di Center Town District. Silahkan perhatikan langkah kaki Anda]Pemberitahuan dari bus tersebut membuyarkan lamunannya tentang rasa rindu pada ayahnya. El langsung mengantri untuk menuruni bus tersebut.Dia berdiri di depan gedung Barbarossa Finance Company dan menatap gedung menjulang itu dengan senyum lebar, seolah berkata 'Hei, aku berhasil menaklukkanmu.'Din Din Din!!!Eliza terperanjat dan spontan menyingkir dari tempatnya berdiri. Tatapan matanya menatap lekat pada sebuah mobil sport berwarna kuning tersebut.Mobil itu terus melaju memasuki halaman parkir gedung. Eliza mencibirkan bibirnya, lalu merutuk pemilik mobil yang hampir merusak harinya."Hai. Selamat pagi," sapa El pada wanita resepsionis yang dia temui saat itu. Kali ini El menyapanya penuh percaya diri. Dia yakin, wanita itu sudah tidak akan bisa meremehkannya lagi seperti waktu itu."Pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu, tampaknya dia masih mengingat Eliza namun dia sedang berusaha terlihat profesional. Saat itu dia mengusir Eliza karena penampilannya yang kacau. Namun kali ini, El tidak mengijinkan wanita itu menghakiminya melalui penampilannya.Eliza berdandan sangat cantik hari ini. Dia juga memakai tas brand ternama milik Susan yang dipinjamnya tadi. "Aku ingin bertemu Tuan Reiz. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja," jelas El menyombongkan diri."Tolong berikan tanda pengenal Anda."El mengambil sebuah tanda pengenal miliknya dan memberikannya pada wanita itu dengan senyum lebarnya. Wanita resepsionis itu membalas dengan senyum kecut. Lalu dia mengambil gagang telepon untuk mengkonfirmasi kehadiran Eliza.Usai menutup gagang telepon, wanita itu berkata, "Silahkan anda naik ke lantai 10. Tuan Reiz sudah menunggu Anda." Wanita itu mengembalikan tanda pengenal milik El."Terima kasih," ucap Eliza sembari menerima kartu itu kembali. Wanita itu memberikan senyum kecutnya saat El beranjak meninggalkan meja resepsionis itu.Eliza masih mengingat jalan menuju lift dan ruang dimana dia bertemu Reiz saat itu. Eliza menekan tombol angka 10 lalu tombol untuk menutup pintu lift."Stop," teriak seseorang dari luar.Segera, Eliza menekan tombol lift untuk menahan pintu agar kembali terbuka. Selain berbaik hati, Eliza berpikir, mungki pria itu sedang terburu-buru dan akan terlambat. Jadi Eliza berniat membantunya.Sosok pria tadi memasuki lift. Namun saat berhadapan dengan Eliza, pria itu mengernyitkan dahinya. Seolah masih mengingat wajah gadis itu.Eliza mengatupkan bibirnya. Eliza tahu pria yang baru saja masuk itu adalah Bos perusahaan ini. Yang waktu itu menolaknya mentah-mentah.Eliza tidak menegur ataupun menyapa Vico. Vico juga langsung memusatkan pandangannya kedepan. Wajah arogannya semakin terlihat jelas saat mereka sedang berdua.Ting.Lift telah sampai di lantai 10. Eliza segera keluar saat pintu lift itu terbuka. "Permisi, Tuan," ucap Eliza untuk berbasa basi.Vico tidak menjawab, namun dia juga tidak segera menutup pintu lift kembali. Sejenak dia memperhatikan Eliza yang memasuki ruangan Reiz.'Apa yang wanita itu lakukan disana?' batin Vico penasaran.Rasa penasaran Vico membuahkan sebuah pertanyaan di benaknya, Vico segera menyadarkan diri. Tidak ada gunanya dia merasa penasaran pada perempuan yang tidak jelas itu. Vico segera memencet tombol lift untuk menutup pintunya. Ada sebuah rapat penting sedang menunggunya pagi ini. Sebuah mega proyek baru yang sedang direncanakannya, akan mulai dilaksanakan per awal bulan depan mendatang.Ting tung.Eliza memencet bel ruang kerja Reiz, dimana secara otomatis kunci pintu itu terbuka setelahnya. Eliza melongokkan kepalanya ke dalam sebelum memasuki ruangan itu. Guna memastikan dirinya tidak salah masuk ruangan, meskipun dia tahu ruangan itu benar seperti dalam ingatannya."Masuklah," perintah Reiz yang melihat Eliza sudah datang.Eliza tersenyum simpul, kemudian masuk sesuai perintah pria yang sudah menunggunya. "Selamat pagi, Tuan.""Pagi. Duduklah."Gegas, Eliza duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerja pria itu."Saya ucapkan terima kasih, karena Anda telah berbesar hati memberi
Merasa percuma jika dia menegur wanita itu, Vico akhirnya melenggang pergi tanpa mengindahkan perkenalan diri Eliza.Eliza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ada apa dengannya? Aneh." Eliza kembali membuatkan kopi yang atasannya minta. Setelah itu Eliza bergegas membawa kopinya ke dalam ruangan bosnya. Namun saat dia memasuki ruangan Reiz, Eliza sedikit terkejut mengetahui Vico telah duduk di ruangan Reiz, sang atasannya.Eliza tetap masuk dan menyuguhkan kopi milik Reiz. "Silahkan Tuan, ini kopi Anda."Vico melirik tajam ke arah Eliza. "Lihatlah, dia lebih cocok menjadi pelayan cafe daripada bekerja sebagai sekretaris. Kau ini ceroboh sekali."Sakit rasanya ketika Vico berkata dengan menghinanya. Raut wajah Eliza yang semula tersenyum ramah menjadi muram. "Apa kau bilang barusan? Dasar CEO sombong." Brak! Eliza memukulkan baki yang tadi digunakan untuk membawa cup kopi ke kepala Vico. Vico meringis kesakitan sampai berdiri dari kursinya. "Apa yang kau lakukan?""Rasakan akiba
*Tanggal gajian tiba*Pagi ini Eliza berangkat kerja dengan penuh semangat. Dia melempar senyum hampir pada setiap karyawan yang berpapasan dengannya. Dari karyawan sebanyak itu, ada yang membalas senyumnya ada juga yang mengacuhkannya dan menganggapnya aneh.Setibanya di ruangannya, Eliza langsung menaruh tas dan masuk ke ruangan bosnya. Dengan raut wajah gembira dia merapikan meja Reiz, juga membersihkan debu-debu kecil dengan tisu basah dengan hati-hati. 'Ayah, tunggulah. Nanti malam aku akan pulang.'Rencananya hari ini Eliza akan meminta izin pada Reiz untuk pulang sebentar guna menjenguk sang ayah yang sakit. Dalam hati, Eliza yakin, Reiz yang baik hati akan mengizinkannya untuk cuti esok hari.Klek. Sontak Eliza menatap ke arah pintu. Eliza langsung membungkukkan badannya sedikit dan menyapa atasannya. "Selamat pagi, Tuan Reiz," sapa Eliza dengan senyum ramahnya."Pagi, El. Kau berangkat pagi sekali.""Rumah saya lumayan jauh, Tuan. Saya berusaha untuk tidak terlambat."Reiz
"Tapi, Bos. Saya tidak berani," tolak Eliza terbata. "Aku yang menyuruhmu. Jadi jangan merasa takut dan lakukan saja. Aku benar-benar sedang lelah."Reiz memahami keseganan Eliza, namun dia sengaja membiarkan Eliza untuk duduk disana. Reiz tersenyum tipis sambil kembali menutup matanya.Eliza merasa canggung, namun dia juga bingung, jika sampai laporannya tidak selesai hanya karena takut duduk di kursi bosnya, itu pasti akan menjadi nilai minus untuknya. Perlahan, Eliza duduk di kursi kebesaran Reiz. Eliza sempat melirik bosnya, memastikan apakah dia sudah tidur atau sedang memperhatikannya dari sana. Mengetahui Reiz sepertinya sudah tidur, Eliza mulai merasa lega. Dia mengatur posisi nyamannya dan mulai mengetik.Namun tanpa Eliza ketahui, Reiz diam-diam memperhatikannya dari sana. Reiz sempat menyungging senyum sebelum akhirnya benar-benar lelap.Eliza mengerjakan pekerjaannya dengan cekatan. Fokusnya tidak terpecah dengan suatu apapun. Hanya sesekali dia melirik pria berwajah ta
Saat jam pulang kerja dan semua tugas telah selesai, Reiz menghampiri Eliza. Dia meminta Eliza ikut dengannya dengan alasan lembur untuk urusan pekerjaan diluar kantor. "Tapi Tuan. Apa saya harus benar-benar ikut?""Kenapa? Apa kamu memiliki rencana lain?""Ya, tapi…" Eliza melihat arlojinya. "Aku rasa waktunya masih cukup. Baiklah, aku akan ikut bersama Tuan."Eliza menurut. Reiz berjalan ke luar ruangan dan meminta Eliza mengikutinya. Eliza yang sudah siap pulang, bergegas mengekor di belakang Reiz dengan langkah cepat menuju ke halaman parkir. Kali ini Reiz membawa mobil Audi keluaran terbaru. Reiz sudah duduk di kursi kemudi. Eliza berjalan ragu-ragu ke arah pintu mobil sisi lainnya. Baru kali ini Eliza akan mengendarai mobil berdua dengan seorang bos, kaya dan tampan. Vibesnya bahkan sudah seperti kisah di cerita fiksi drama korea di dalam bayangannya.Glek. Otomatis pintu mobil terbuka, membuat Eliza sedikit terjengat kaget. "Masuklah," pinta Reiz lembut. Namun bukan hanya pi
"Apa kau baik-baik saja? Aku bisa memberikanmu izin berduka, El."Eliza menatap kosong di luar kaca jendela mobilnya. Dirinya enggan membuka bibirnya untuk bicara. Reiz terpaksa diam, dan menunggu Eliza bersedia bicara. Saat ini keduanya berada di dalam mobil, tepat di depan rumah mendiang ayahnya. Eliza merasa khawatir meninggalkan ibunya sendiri di rumah. Namun Eliza juga tidak mungkin membawanya ke kota."Maukah Tuan menemaniku berkunjung seminggu sekali menemui ibuku?" tanya Eliza mulai mau membuka suara."Tentu saja." Jawaban Reiz yang cepat membuat hati Eliza lega seketika. Saat itu Eliza hanya ingin ditenangkan hatinya. Meskipun Reiz memberikan jawaban yang tidak jujur pun tidak mengapa. Namun tidak bagi Reiz. Jawaban itu merupakan janji yang akan dia pegang hingga waktu yang panjang. "Baiklah. Kita bisa kembali, Bos."Reiz segera tancap gas setelah Eliza memintanya. Sialnya, di pertengahan jalan tiba-tiba huja
Usai mencuci wajahnya, Eliza menarik selimut dan siap tidur. Namun sudah hampir setengah jam matanya tidak juga bisa menutup. Terdengar petir masih menggelegar di luar. Hujannya juga masih sama derasnya. Eliza menghela napas dan berusaha kembali memejamkan mata. 'Apa bos sudah benar-benar tidur?' pertanyaan itu muncul dalam benak Eliza. Dia kembali membuka mata dan melirik perlahan ke arah bosnya untuk memastikan Reiz sudah terlelap. Setelah beberapa detik mengawasi, Eliza yakin tampaknya Reiz sudah benar-benar lelap. 'Syukurlah.'Eliza sudah merasa tenang. Dia tidak akan takut dengan pemikiran kotornya tentang bosnya yang mungkin saja mencuri kesempatan dalam kesempitan. Tidak sampai lima menit setelah itu, Eliza benar-benar tidur sangat lelap. Hingga dengkuran halus terdengar lirih di telinga bosnya. Reiz yang awalnya tidur dengan posisi terlentang memiringkan sedikit tubuhnya hingga menatap ke arah Eliza. Nyatanya reiz belum tidur seperti ya
Eliza terkejut ketika dirinya membuka pintu, karena Vico tepat berada di depannya. Eliza tersenyum segan, "Siang, Tuan," sapanya sembari berlalu menuju mejanya. Eliza mencari nama motel untuk mengambil nomor telponnya dari internet. Tidak sampai dua menit, Eliza sudah mengantongi nomor telpon motel tersebut. Diraihnya gagang telepon mejanya, dan jemari lentiknya menekan beberapa tombol nomor sesuai yang dia dapatkan.Setelah mendengar nada sambungan telepon untuk beberapa saat, akhirnya ada seseorang yang menjawabnya juga. "Halo, dengan motel Red Orchid?""Betul, Ada yang bisa saya bantu?" jawab seseorang dari sambungan telepon disana."Saya adalah tamu yang semalam menginap di kamar 102, ada sebuah belt yang tertinggal disana. Tolong dibantu untuk diamankan, rencananya minggu depan saya akan kembali kesana untuk mengambilnya.""Apakah pesanan atas nama Tuan Reiz?""Benar, kamar dipesan atas nama Tuan Reiz."Usai berbincang dan saling mencapai kesepakatan, Eliza memutus sambungan telp