Share

Chapter 9

Keesokan harinya, Eliza bangun sangat awal.

Dia langsung ke dapur,membuat sandwich untuk sarapan dan juga bekal. Eliza tampak sangat bersemangat, dia bersenandung lirih sambil menggoyang-goyangkan kepalanya kadang-kadang.

Susan yang mencium aroma kopi cappucino dan sandwich panggang itu pun bangkit dari ranjangnya. Dia beranjak mengikuti indra penciumannya hingga sampai ke meja makan. Dengan mata kantuknya, Susan menarik kursi lalu menempelkan pantatnya pada alas kursi yang sedikit empuk itu, menunggu hidangan sampai di hadapannya.

"Mana kopi untukku?" tanya Susan

"Ouh hallo, morning Baby. Kopi untukmu, segera datang." Eliza mengantarkan secangkir kopi cappucino hangat untuk Susan.

Susan mengambilnya lalu menyeruput kopi miliknya itu, sementara El sudah lebih dulu menyeruput miliknya tadi.

Susan melebarkan matanya perlahan kala mendengar nyanyian yang lebih mirip suara tangisan itu samar. Kedua tangan Susan menyangga dagunya. "Apa kamu sedang sedih, El? Kenapa kamu menangis sambil memasak?" tanya Susan polos.

Eliza langsung melemparkan lirikan mautnya pada Susan. Namun kali ini dia tidak marah. Dia malah tersenyum lalu memberi kecupan jarak jauh, "Muach. Aku sedang bahagia," jelas Eliza, lalu kembali lagi menggoyangkan kepalanya sambil bernyanyi.

"Whatever. Aku hanya ingin sarapanku pagi ini."Susan menunggu sarapannya dengan tidak sabar.

****

Eliza berjalan cepat untuk segera sampai di halte bus kesayangannya. Beruntung, saat dia sampai, bus yang akan ditumpanginya juga baru saja sampai. Di sepanjang perjalanan, Eliza terus tersenyum. Dia tidak membayangkan akan mendapatkan pekerjaan dengan bayaran fantastis ini.

Jika dihitung sekarang, gaji yang akan didapatnya dapat melunasi hutangnya pada Susan, atau dia akan bergantian membayar sewa di bulan depan. Bahkan sisa gajinya masih akan tersisa cukup banyak untuk mencicil biaya kuliah. El juga bahkan dapat mengirim uang untuk ayahnya rutin setiap bulan.

"Ah, tiba-tiba aku rindu pada Ayah. Semoga dia baik-baik saja saat ini."

Ting tung.

[Pemberhentian bus Anda saat ini berada di Center Town District. Silahkan perhatikan langkah kaki Anda]

Pemberitahuan dari bus tersebut membuyarkan lamunannya tentang rasa rindu pada ayahnya. El langsung mengantri untuk menuruni bus tersebut.

Dia berdiri di depan gedung Barbarossa Finance Company dan menatap gedung menjulang itu dengan senyum lebar, seolah berkata 'Hei, aku berhasil menaklukkanmu.'

Din Din Din!!!

Eliza terperanjat dan spontan menyingkir dari tempatnya berdiri. Tatapan matanya menatap lekat pada sebuah mobil sport berwarna kuning tersebut.

Mobil itu terus melaju memasuki halaman parkir gedung. Eliza mencibirkan bibirnya, lalu merutuk pemilik mobil yang hampir merusak harinya.

"Hai. Selamat pagi," sapa El pada wanita resepsionis yang dia temui saat itu. Kali ini El menyapanya penuh percaya diri. Dia yakin, wanita itu sudah tidak akan bisa meremehkannya lagi seperti waktu itu.

"Pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu, tampaknya dia masih mengingat Eliza namun dia sedang berusaha terlihat profesional. Saat itu dia mengusir Eliza karena penampilannya yang kacau. Namun kali ini, El tidak mengijinkan wanita itu menghakiminya melalui penampilannya.

Eliza berdandan sangat cantik hari ini. Dia juga memakai tas brand ternama milik Susan yang dipinjamnya tadi. "Aku ingin bertemu Tuan Reiz. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja," jelas El menyombongkan diri.

"Tolong berikan tanda pengenal Anda."

El mengambil sebuah tanda pengenal miliknya dan memberikannya pada wanita itu dengan senyum lebarnya. Wanita resepsionis itu membalas dengan senyum kecut. Lalu dia mengambil gagang telepon untuk mengkonfirmasi kehadiran Eliza.

Usai menutup gagang telepon, wanita itu berkata, "Silahkan anda naik ke lantai 10. Tuan Reiz sudah menunggu Anda." Wanita itu mengembalikan tanda pengenal milik El.

"Terima kasih," ucap Eliza sembari menerima kartu itu kembali. Wanita itu memberikan senyum kecutnya saat El beranjak meninggalkan meja resepsionis itu.

Eliza masih mengingat jalan menuju lift dan ruang dimana dia bertemu Reiz saat itu. Eliza menekan tombol angka 10 lalu tombol untuk menutup pintu lift.

"Stop," teriak seseorang dari luar.

Segera, Eliza menekan tombol lift untuk menahan pintu agar kembali terbuka. Selain berbaik hati, Eliza berpikir, mungki pria itu sedang terburu-buru dan akan terlambat. Jadi Eliza berniat membantunya.

Sosok pria tadi memasuki lift. Namun saat berhadapan dengan Eliza, pria itu mengernyitkan dahinya. Seolah masih mengingat wajah gadis itu.

Eliza mengatupkan bibirnya. Eliza tahu pria yang baru saja masuk itu adalah Bos perusahaan ini. Yang waktu itu menolaknya mentah-mentah.

Eliza tidak menegur ataupun menyapa Vico. Vico juga langsung memusatkan pandangannya kedepan. Wajah arogannya semakin terlihat jelas saat mereka sedang berdua.

Ting.

Lift telah sampai di lantai 10. Eliza segera keluar saat pintu lift itu terbuka. "Permisi, Tuan," ucap Eliza untuk berbasa basi.

Vico tidak menjawab, namun dia juga tidak segera menutup pintu lift kembali. Sejenak dia memperhatikan Eliza yang memasuki ruangan Reiz.

'Apa yang wanita itu lakukan disana?' batin Vico penasaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status