Share

4. Siapa?

"Jangan pernah takut akan sesuatu yang belum pasti terjadi."

-Princessa Elliazer-

****

Jam menunjukkan pukul 12.30 tepat saat Lingga keluar dari ruang kelasnya. Sejenak beristirahat dari padatnya jadwal perkuliahan hari ini.

"Eh, Ngga. Sumpah ya, si Aksa itu ngeselinnya tuh gini loh-"

Lingga menulikan telinga, ocehan demi ocehan tidak penting Cessa kini seperti volume yang tiba-tiba d mute.

Seluruh area jangkauan matanya menjadi blur, dan fokusnya hanya pada satu titik di ujung koridor sana.

Dari kejauhan, ia melihat sosok itu.

Gadis berponi dengan rambut hitam legam indah yang nampak tengah berbincang serius dengan para mahasiswa anggota HIMA fakultasnya.

Lingga hanya bisa mengagumi sosok itu dari kejauhan, tanpa memiliki setitik saja keberanian untuk menggapai sang rembang yang selalu menampakkan sinarnya di manapun ia berada.

Reana Juwita Soeharno, yang selalu menjadi bintang di sekolahnya.

Gadis sederhana peraih IPK cumlaude di tiap semester yang selalu tampil dengan senyum manisnya.

Jangan bertanya pada Lingga apa yang ia sukai dari gadis itu.

Sosok Reana Juwita yang hampir tanpa cela.

Gadis itu mampu membuat dirinya bersinar, tanpa perlu pencitraan atau membuat skandal.


Andai ia memiliki sedikit saja nyali,


Andai ia mengungkapkannya,


Andai ia punya nyali untuk bertanya,


Apakah Rea memiliki rasa yang sama?


Apakah kebersamaan mereka selama hampir tiga tahun lamanya memiliki Arti yang lebih bagi gadis itu?


Andai..


Anda ia memiliki keberanian itu.

.

.

"Lo mau sampe kapan sih liatin dia dari jauh kek gini terus?"

Tepukan halus di bahunya menyadarkan Lingga dari lamunan. Menoleh ke samping, menatap Cessa yang bertanya padanya dengan alis terangkat.


Kemudian arah pandangnya kembali lurus menatap gadis yang nampaknya tengah serius berbincang dengan para anggota organisasi itu.


"Nyali gue gak sampe ke sana, Sa," ucapnya lirih dengan tatapan sendu.


"Apa sih yang lo takutin?"


Air muka Lingga kini terlihat muram. "Kalo ternyata dia gak suka sama gue, terus jadi gak nyaman karena tau akan hal ini, dan akhirnya jauhin gue, gimana? Jadi nganggep gue orang asing. Gue belum siap buat hal itu."


"Gimana lo bakalan tau hasilnya kalo lo belum nyoba? Emang lo cenayang? Segala sesuatu pasti ada risikonya. Jangan pernah takut akan sesuatu yang belum pasti terjadi."


Mendengar wejangan itu, refleks Lingga kembali menoleh.


Ternyata, sahabat blangsaknya ini bisa berpikir bijak juga.


Belajar dari siapa?


"Kesambet apa lo pa'ul bisa jadi Mario Teguh kek gini?" tanya Lingga dengan mata mengerjap.


Cessa meninju pelan lengan lelaki keturunan tionghoa itu. "Anjir, gue khotbahin bukannya dapet pencerahan malah ngatain gue kesambet," balas gadis itu sembari tertawa renyah.


Kembali ia menatap Rea, namun Lingga melihat raut muka gadis itu kini terlihat tegang berselimut cemas.


Ada apa?


Setelah para mahasiswa anggota HIMA itu berlalu Lingga bergegas menghampiri gadis itu.


"Oy! Gue ditinggal!" Teriak Cessa dibelakangnya.


Nampak jelas raut cemas itu. Membuat Lingga ikut khawatir, "Ada apa, Re? muka kamu tegang banget gitu," tembak Lingga sesampainya ia di hadapan Rea.


"Itu.. Dika, ketua HIMA kita, masuk rumah sakit. Katanya tadi pagi dikeroyok orang, gatau sama siapa. Ini aku mau ke rumah sakit sekarang," ujar Rea sembari merapikan jaketnya.


Rea adalah salah satu anggota inti organisasi HIMA di fakultasnya, ia mendapat kabar tersebut dari sesama anggota HIMA yang baru saja menemuinya untuk mendiskusikan hal tersebut.


Cessa yang berada beberapa langkah di belakang Lingga tiba-tiba mematung. Tubuhnya menegang seketika.


Saat bertemu dengannya tadi pagi, Dika masih baik-baik saja.


Lalu, Dika..

.

.

Bukankah ini terlalu kebetulan?

.

***


Cessa melangkah secepat yang ia bisa menuju gedung olahraga, tempat Aksa biasa bermain basket di sana. 


Dadanya bergemuruh, pikirannya berkecamuk. Ia sangat cemas, jika kemungkinan yang ia takutkan, itulah yang terjadi. 


Mungkinkah Aksa yang melakukannya? 


Tidak, hatinya sulit mempercayai itu. 


Namun logika nyatanya berkhianat pada diri sendiri. 


Aksa selalu mengetahui berjumpa dengan siapa saja Cessa setiap harinya, dimana, dan melakukan apa.

Entah bagaimana ia melakukannya. 


Dan ketika lelaki itu menemukan bahwa yang dijumpainya ada seorang laki-laki, maka ia akan langsung membuat perhitungan dengan orang itu. Memberinya pelajaran dengan tangannya sendiri, hingga tak berani lagi mendekati Cessa walau hanya sekedar menyapa.


Tak lupa, ia juga melakukan perhitungan dengan Cessa dengan cara yang berbeda. 


Membuat Cessa perlahan dijauhi oleh semua temannya, hingga ia tak memiliki teman lelaki sama sekali. 


Kecuali Lingga, hanya lelaki itu satu-satunya sahabat Cessa sejak dulu hingga sekarang. 


Itu pun karena Lingga berada di titik yang tak bisa dijangkau oleh Aksa. 


Lebih tepatnya, Aksa tidak berani melakukannya. 


'Berani kamu sakitin dia, demi Tuhan kamu bakalan liat aku mati saat itu juga!' 


Sekelebat pertengkaran hebatnya dengan Aksa dua tahun lalu tiba-tiba kembali terngiang di benak Cessa. 


Cessa menggeleng pelan, sekarang bukan waktunya untuk bernostalgia. 


Sembari bergegas mencari letak gedung olahraga, ia merogoh ponsel dalam tasnya. 


Nomor yang anda tuju tidak menjawab, silakan coba beberapa saat lagi.


Sial! Lelaki itu tak mengangkat panggilannya sama sekali. 


Dengan kasar ia kembali memasukkan benda itu ke dalam tas.


'Gue harus pastiin sendiri.' Cessa membatin. 


Setibanya di gedung olahraga yang luas nan megah itu, netranya langsung menelisik ke setiap penjuru. 


Tidaklah sulit mencari sosok Aksa Mahatma, magnet kaum hawa dimana pun ia berada.


Akhirnya, ia menemukan sosok itu. 


Di ujung lapangan sana, Aksa yang sedang berdiri membelakanginya itu nampak tengah berbincang ringan dengan rekan bermainnya. 


Cessa melangkah cepat menghampirinya, menarik salah satu lengan Aksa, kemudian memegangi kedua telapak tangan lelaki itu. 


Melihat dengan teliti dari mulai punggung tangan, jari-jari, kemudian ia balikan tangan itu dan kembali ia telisik telapak tangannya. 


Tangan Cessa naik merabai wajah tampan itu. 


Nihil. 


Tidak ada sedikit pun baret, memar, ataupun bekas perkelahian di tubuh kekasihnya itu. 


Yang Cessa lihat hanya raut kebingungan Aksa. 


"Ada apa sih, Princess?" Tanya Aksa dengan dahi berkerut dalam, dan raut kebingungan. 


"Kamu gak habis mukulin orang kan?" Tembak Cessa tanpa basa-basi. 


"Enggak. Aku dari tadi main basket sama anak-anak, tanya aja mereka," balas Aksa sembari mengangkat bahunya acuh. 


Cessa pun mundur satu langkah. Arah pandangnya menelisik dari ujung kepala hingga kaki. 


Wajah yang memerah, dan kaos yang basah oleh keringat. 


Sepertinya Aksa memang telah menghabiskan cukup waktu di sini. 


Fakta yang ia temukan nyatanya tak mampu membuat hatinya melega. 


Tidak, ini masih praduganya saja. Belum ada bukti apapun yang menyatakan siapa yang melakukannya. 


Apakah lelaki itu adalah dalang dibalik penyerangan Dika? Entahlah, di mata Cessa semuanya masih abu-abu.


Ia harus ke rumah sakit dan bertanya langsung pada Dika. 


"Ada apa sih?" Kembali, lelaki itu bertanya. 


Lelaki itu sedikit menyeringai dengan kedua tangan melipat di dada. Sebenarnya Aksa tahu, Cessa pasti telah mendengar kabar itu dan kini tengah mencurigainya. 


Gadisnya itu memiliki insting yang tajam, karena selalu berpegang teguh pada fakta dan logika. 


Cessa pasti akan langsung mencurigainya ketika mendengar berita mengenai Dika. 


Aksa sudah memperhitungkan segalanya. 


Ia harus melakukan segalanya dengan rapi dan tanpa cela. Salah satu langkah saja, gadis itu akan meninggalkannya.


Mendengar pertanyaan itu, Cessa pun menggeleng cepat. "Nothing, aku denger ada insiden di kampus. Aku pikir kamu ada hubungannya." 


Aksa kembali menaikkan sebelah alisnya. Lelaki itu pun tersenyum sembari mencubit gemas pipi Cessa, "Aku gak terlalu peduli sama masalah gak penting kayak gitu. Karena duniaku isinya cuman kamu, bee. Yang lain cuman iklan." 


Cessa memutar malas kedua bola matanya. "Heleh, alay banget kang buchen," cibir Cessa dengan bibir mengerucut. 


Aksa tertawa ringan. "Aku gak alay. Definisi alay tuh, hm," balas Aksa sembari mengarahkan dagunya. 


Tak jauh dari tempat Cessa berada, seorang mahawiswi nampak tengah melakukan entah vlog, atau live instagram, dengan pakaian glamournya. Juga dengan gaya bicara ala seorang youtuber atau selebgram. 


Namun, Cessa melihat gaya bicara gadis itu agak sedikit... Alay dan norak.


"Guys, sumpah gue lagi sad banget bucin kesayangan gue masih belum balik dari luar negeri ..." 


Sepintas, itulah yang ditangkap oleh telinga Cessa. 


Memerhatikan penampilan gadis itu dari puncak kepala hingga kaki, Cessa menaikkan sebelah alisnya. 


'Anjir, itu mau kuliah apa kondangan?' Cibirnya dalam hati. 


Aksa tahu betul bahwa gadis berpenampilan simpel seperti Cessa Cessa tidak terlalu menyukai gaya berbusana yang tidak sesuai tempatnya seperti itu. 


Itu terkesan norak, dan hanya ingin pamer penampilan saja. 


Cessa mengibaskan satu tangannya. Untuk apa juga ia menghujat seseorang yang bahkan tidak ia kenal? 


"Amit-amit jangan sampe gue punya hubungan sama itu cewek. Malu-maluin," cibir Cessa sembari memutar malas bola mata dengan kedua tangan melipat di dada. 


Mendengar cibiran Cessa, Aksa malah tersenyum lebar. "Poor you, Princess. Actually.." Aksa menggantungkan kalimatnya di udara. 


.

..

.

"Dia pacar kakak kamu."

- TBC -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status