Nick meringkuk di dalam temaramnya kamar. Putih sprei yang memangku punggung perlahan berubah menjadi milyaran kristal berwarna kecokelatan. Kawanan angin yang bermigrasi membawa sebagian besar butiran paling halus yang tertidur dilapisan paling atas. Nick menunduk, tak mengizinkan pasir terbang menyerang sepasang jendela dunianya yang terang.
“Di mana aku?”
Nick meninggalkan jejak meskipun belenggu badai mengikat tulang kakinya. Sesekali ia terantuk, tidak berhasil berdamai dengan kekuatan alam sebesar itu. Sebagian debu pasir berselimut memberatkan punggung. Jakun Nick yang naik turun mengisyaratkan betapa menyusutnya buih saliva yang selalu bermukim di sepanjang mulut dan kerongkongan.
Gurun pasir yang ditumpu seolah tak memiliki ujung. Nick menyeret tubuhnya berharap menemukan oase. Akan tetapi, hanya ada kaktus meranggas di bawah arkamaya kelabu. Haruskah ia menyerahkan diri kepada penguasa takdir? Membiarkan tubuhnya perlahan berubah menj
Boleh kritik tapi kasih saran, ya.
Sengat mentari merangsang pori-pori, Jessy segera bangun ketika menyadari dirinya berada di bahu jalan. Ia merasakan sakit di sekujur tubuh, bahkan luka di punggung tangan masih terlihat basah. Jess memindai sekeliling, ternyata ia berada di dekat katredal. Jessy berusaha mengingat apa yang terjadi, tentang bagaimana ia bisa tergeletak di pinggir jalan begitu saja. “Arrrgh!” Jessy memegang kepala dengan kedua tangannya seperti tengah merasakan sakit. “Sial! Kenapa aku tidak mengingat apa pun?” Karena bingung harus melakukan apa dan akan pergi ke mana, Jessy memutuskan untuk masuk ke katredal unik berkaca patri itu. Namun, rupanya kekuatan Jessy hanya sampai di salah satu patung Penginjil. Ketika wanita bergelar ibu itu hampir kehilangan kesadaran, seorang lelaki berkacamata berlari ke arahnya. Lelaki tak dikenal itu membantu Jess untuk duduk. “Nyonya, maaf izinkan aku membawamu ke rumah sakit. Kau terluka!” ucapnya penuh kelembutan.
Brasilia digegerkan oleh berita ledakan sebuah mansion. Polisi dalam penyelidikannya menemukan satu korban jiwa yang mengalami luka bakar serius sebanyak 60%. Wajah korban tidak dikenali, dan para petugas tidak menemukan apa pun yang dapat menjadi petunjuk identitas korban. Joana mengernyit mendengar berita itu di layar ponselnya.“Mansion itu, aku sering melintasinya. Apa yang terjadi?” Joana meletakkan kembali benda pipihnya, tangannya beralih ke meja, membereskan sisa-sisa barang yang berserakan. Pekerjaan hari ini cukup menguras tenaga dan membuatnya lupa bahwa ia telah melewati separuh malamnya di ruang yang memusingkan itu. Perempuan itu melirik arloji yang melingkar di tangan ketika sebuah panggilan tiba-tiba masuk ke ponselnya.“Aku tidak peduli, jangan menghubungiku sebelum kau mendapatkan informasi keberadaan Jessy!” Tanpa sadar, tangan kiri Joana meremas berkas yang tengah dibereskannya.“Tidak berguna! Untuk apa aku memb
Di Flat Particular, Jessy menyaksikan tayangan televisi dengan liur yang hampir menetes. Waktu satu detik tanpa sensor pada korban ledakan di mansion yang sedang hangat-hangatnya disiarkan oleh acara berita seolah menciptakan sensasi liar pada wanita berparas cantik tersebut. Jessy meneguk minuman kaleng seolah kerongkongannya tidak dialiri air selama berhari-hari.“Kau belum tidur?” Jessy terkesiap mendapati Michele yang tiba-tiba bersuara dari belakang punggungnya.“Maaf, maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu.” Michele berucap seraya menangkupkan kedua tangan.“Ah, tidak masalah. Aku yang terlalu serius.”“Kau menonton apa?”“Biasa, acara berita.”“Em, berhubung kita sama-sama tidak tahu siapa namamu, bolehkah aku memanggilmu Jeselyn?” Jess terbatuk dan sontak memegang kepala. Kata-kata Jeselyn seperti sebuah clue dari sepotong memorinya yang ingin
Hening mendominasi perjalanan pulang Michele dan Jessy. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Melihat sekilas foto Nick ketika sampai di rumah, Michele seperti bingung dengan kejadian itu. Akan tetapi, dia tidak begitu memusingkan hal tersebut karena Nick hanyalah pasien yang mengalami gangguan jiwa. Berbeda dengan Jess yang terus gelisah sepanjang waktu. Usaha untuk tidak memikirkan pria itu dengan berlebihan gagal total. Sentuhan, ucapan, dan tatapan Nick seolah menempel di semua indera hingga terbawa ke mana pun kaki melangkah. Bayang-bayang itu sama sekali tidak memberinya waktu beristirahat.“Apa yang terjadi? Itu semua, apakah hanya kebetulan? Malam itu, mulutku spontan mengucapkan nama Nick dan pagi harinya aku bertemu pasien Michele yang memiliki nama serupa.” Jessy membuang selimut yang terbentang di sebagian tubuh. Segelas air putih langsung tandas setelah sebutir pil masuk ke kerongkongan. Mengendap-endap, ia melihat Michele mendengkur di unit s
“Harus kukatakan berapa kali? Aku tidak gila!” Seorang perawat terlihat kewalahan menghadapi salah satu pasien. Berbagai obat, vitamin, dan buah-buahan berhamburan di lantai. Begitu pula dengan nampan berisi sarapan yang baru saja datang.“Maria, ada apa?” Suara Michele berhasil membuat orang-orang yang berada dalam ruangan menoleh dengan serentak.“Dokter, tidak ada apa-apa. Tuan Nick hanya tidak mau memakan sarapan dan obat,” terang Maria sedangkan Nick hanya mendengkus, menatap Michele penuh amarah, lalu membuang muka.“Maria, pasien lain memerlukanmu.”“Baiklah!” Perawat berhijab putih tersebut memungut semua barang yang berserakan di lantai dengan cekatan, dan segera meninggalkan ruangan menyisakan dua pria dewasa yang saling mematung.“Tuan ….”“Jangan coba-coba menggerakkan kakimu! Kau sama saja dengan semua orang di rumah sakit jiwa, dan semua polisi
“Sudah kukatakan, aku tidak mau, Michele!” Berkata lirih, tetapi penuh penekanan, Nick menusuk iris biru pria yang berada dalam satu ruangan dengannya. Ketukan sepatu terdengar, lawan bicaranya mengikis jarak. Hanya empat jengkal yang disisakan, pria berkacamata yang telah berhenti berjalan ke arah Nick menautkan pandangan. Seolah ingin mengatakan bahwa dia tidak takut dengan keegoisan dan keras kepala yang ditunjukkan oleh Nick. “Tuan Nick, kau selalu mengatakan kalau kau tidak gila seperti persangkaan semua orang, ‘kan? Jika kau ingin semua orang mempercayaimu, maka buktikanlah! Rangkaian pemeriksaan ini bertujuan untuk itu! Aku harus melakukan diagnosis ulang, semua itu demi dirimu sendiri.” Bergeming, Nick merasa kalah untuk yang ke sekian kali. Tidak dipungkiri, apa yang dikatakan pria bule itu benar. Nick Erhan harus belajar menekan ego. “Ikutlah ke ruanganku. Maaf, jika menurutmu aku terlalu kasar, itu karena aku tidak tahu lagi cara menaklukkan hatimu yang se
“Kau apakan istriku, Michele?” Nick tiba-tiba datang meremas jas lelaki bertubuh kurus di ruang kerja.“Apa yang kau bicarakan, Nick?” Pria itu tak sedikitpun berkutik atas serangan sang pasien.“Kenapa istriku tidak mengingatku?”“Hilang ingatan!” Tercengang, Nick mengendurkan cengkeraman tangan.“Aku menemukan dia di katredal. Waktu itu kondisinya sangat memprihatinkan!” jelas Michele, membuat Nick kembali tak menyangka.“Apa?”Beralih posisi, Michele duduk di kursi ketika tangan Nick telah luruh dari pakaiannya. Pria itu mulai menceritakan segalanya tentang kondisi Jess. Otak Nick mulai berpikir. Jika kemalangan sampai menimpa istrinya, bagaimana dengan anak-anak? Amarah yang bergulung di dada menimbulkan ekspresi terbakar di wajah. Nick meraskan kecewa untuk yang kesekian kali. Di saat musuh meneror keluarga, ia justru menjadi pecundang di bangsal kejiwaan. Menggeram
Di ruang makan, tersaji banyak menu makanan di meja. Meja yang dikelilingi dua belas kursi Inggris bergaya chippendale itu hanya diisi oleh Nick dan Jess. Senyap, hanya denting sendok yang terdengar. Sesekali Nick mencuri pandang, tetapi Jess sibuk mengalihkan pandang pada set porselen cantik dari India Timur yang tertata di meja kecil berwarna cokelat gelap.“Jessy, kau baik-bak saja?” Nick bertanya usai makan.“Ya, aku baik. Aku akan ke kamar.”“Aku akan menyusul setelah menyelesaikan urusanku.” Nick mengecup lama kening istrinya, lalu berjalan ke perpustakaan.Menelisik seluruh sudut ruangan, rak yang berdiri memenuhi sisi dinding menyimpan banyak jenis buku. Pria itu kerap menghabiskan waktu di sana semasa lajang, membaca buku adalah hobinya ketika senggang. Rumah impian itu sudah lama dimiliki sebelum bertemu dan menikah dengan Jess. Semua yang ada tampak terawat walaupun bertahun-tahun semenjak meringkuk di rumah