LOGINTanpa berpikir panjang, Gilang meraih bahu Mayang, menuntun wanita itu masuk ke dalam rumah. Mayang yang sudah terlalu lemah untuk menolak, membiarkan pemuda itu membimbingnya hingga ke ruang tamu. Ia terduduk di sofa dengan napas sedikit tersengal, sebelah tangannya masih menekan dadanya.
Melihat wajah Mayang yang mulai pucat, Gilang sedikit membungkuk di depannya dengan raut bersalah.
"Maaf ya, Bu. Saya jadi ganggu istirahat ibu ..."
Mayang menyandarkan kepala ke sandaran sofa, matanya terpejam. Keringat dingin mulai bermunculan di pelipisnya.
"Boleh saya minta tolong ambilkan minyak angin di rak sana, Lang?" ucapnya lemah, sembari menunjuk rak dekat meja televisi.
"Emm ... boleh," sahut Gilang, segera berjalan ke arah yang ditunjuk.
Namun, saat ia mengambil botol kecil berisi minyak bangin, rasa penasarannya terusik dan spontan bertanya, "Rumah ibu sepi banget. Suami ibu mana?" tanyanya.
Mayang membuka sebelah matanya, lalu mendesis pelan. "Apa sih kamu tanya-tanya?"
"Saya cuma nanya aja, Bu. Nggak usah sewot kali. Kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa," ujar Gilang santai.
Gilang berjalan kembali ke sofa, tetapi bukannya tetap berdiri, ia malah dengan sengaja menjatuhkan dirinya tepat di sebelah Mayang.
"Nih, Bu," katanya, sambil membuka tutup botol minyak angin dan menggoyangkannya di depan wajah Mayang. Aroma mentol yang kuat langsung memenuhi di ruangan itu.
Mayang membuka mata perlahan. Mungkin dia sudah gila, atau mungkin terlalu haus kasih sayang. Dengan napas masih tersendat, bibirnya melontarkan pengakuan yang seharusnya tak perlu diucapkan.
"Suami aku udah hampir setahun berlayar, belum pulang-pulang, Lang," gumamnya.
Gilang membeku sesaat. Otot-ototnya menegang, otaknya mulai berkelana liar. Tatapannya turun ke dada Mayang yang naik-turun terengah, lalu ke botol minyak angin di tangannya. Jantung dan inti tubuhnya berdenyut bersamaan. Ia mencondongkan tubuhnya, bibirnya mendekati telinga Mayang menyunggingkan senyum nakal.
Setengah berbisik, ia berkata, "Ibu masuk angin, ya? Mau saya kerokin?"
Suara rendahnya meluncur halus di antara hembusan aroma mentol yang semakin memenuhi ruangan. Syahdu dan ... menggoda.
Mayang tertegun. Tawaran Gilang barusan terdengar kurang ajar—dan seharusnya sih bisa ia tolak mentah-mentah. Namun, suara maskulin pemuda itu seakan mengalir begitu halus di telinganya, menembus ke dalam pikirannya, hingga membuatnya hanya mampu menyahut,
"Aku udah lama nggak dikerokin, Lang ..."
Gilang bergeser semakin dekat memepeti Mayang yang masih terduduk lemah di sofa.
"Dada ibu masih sesak?" tanyanya lembut, penuh perhatian.
Mayang menelan ludah. Faktanya, memang dadanya masih nyeri dan napasnya terasa berat. Ia pun mengangguk pelan.
Tanpa banyak basa-basi, Gilang menuangkan minyak angin ke telapak tangannya, menggosokkannya sebentar hingga hangat, lalu perlahan menaruh tangannya di belakang leher Mayang. Jemarinya mulai memijat pelan, menekan titik-titik di sekitar tengkuk dengan gerakan lembut.
Mayang menarik napas perlahan. Kehangatan dari minyak angin bercampur dengan sentuhan jari Gilang membuat tubuhnya relaks, meskipun pikirannya mulai kalang kabut.
"Harusnya bukan dipijat di sini sih," gumam Gilang, dekat sekali dengan telinga Mayang. "Biar Ibu bisa sendawa biar lebih lega."
Mayang menutup mata. Ini gila! Ia harus menghentikan Gilang sekarang juga. Namun, bodohnya, ia malah membiarkan sentuhan pemuda itu bertahan sedikit lebih lama. Dengan penuh perasaan Gilang menurunkan pijatannya ke bahu Mayang, terus merosot ke arah punggung. Spontan Mayang menegakkan tubuhnya, memberi ruang agar tangan pemuda itu semakin leluasa.
"Badan ibu panas banget. Mau sekalian dibalurin semua, Bu?" tanya Gilang, jemarinya terus bergerak memijat perlahan.
Namun, tanpa menunggu jawaban, tangannya sudah menyusup ke balik kaos longgar Mayang, dan dengan kelincahan luar biasa—klik!—pengait bra wanita itu terlepas begitu saja.
Mayang membelalakkan mata. "Gilang?! Kamu—"
"Ibu, mau sembuh nggak?" potong Gilang, tersenyum usil. "Kata buku kesehatan yang pernah saya baca, kalau aliran darah lancar, masuk angin bisa cepat hilang."
Mayang mengatupkan bibir, setengah ingin membentak, setengah lagi... tak kuasa menahan perasaan nyaman atas pijatan tangan Gilang yang kini meluncur dari punggung ke lekuk pinggangnya. Sesekali, telapak tangannya menekan titik-titik tertentu, bahkan ke arah bokongnya yang padat.
"Hmm..." sekilas erangan lolos dari bibir Mayang. "Kamu belajar pijat di mana, Lang?" tanyanya, mencoba mengalihkan getaran ringan yang menjalari tubuhnya.
Gilang menahan tawa. “Ohhh … dulu waktu kecil saya suka perhatikan Si Mbah kalau lagi mijetin orang-orang di kampung. Mbah putri saya tuh tukang pijet sekaligus dukun beranak, Bu. Tapi sekarang sudah meninggal dunia," papar Gilang, mengarang bebas.
"Ooohh ..." sahut Mayang, nyaris seperti desahan.
Gilang menekan lagi bagian belakang leher Mayang. Bulu-bulu halus wanita berusia matang itu menggoda Gilang untuk mendaratkan sebuah kecupan. Mayang terkejut. Namun, keterkejutannya tertutupi cepat dengan sendawa dari mulutnya.
"Asiiikkk! Keluar deh anginnya. Kalau saya analisa lagi, badan ibu nih abis kemasukan angin gunung," ucap Gilang, sok tahu.
“Angin gunung? Angin gunung dari mana? Saya seharian kemarin di kampus aja. Abis itu pulang ke rumah, nggak ke mana-mana, apalagi ke gunung..." protes Mayang.
“Serius, Bu. Ini tuuhh ... Angin dari gunung kembar …” bisik Gilang di belakang telinga Mayang, lidahnya menjilat ujung cuping telinga Mayang, dan sebelah tangannya dengan cekatan meraba perut Mayang yang panas.
"Bu ..."
Gilang meniup halus telinga Mayang yang pantulan tubuhnya terlihat jelas di kaca buffet ruang tamu. Bra yang sudah merosot akibat ulah tangannya, membuat gundukan indah Mayang semakin terbayang jelas di benaknya.
"Enak nggak, Bu?" tanya Gilang. "Kalau enak bilang 'enak Gilang'. Enak nggak?"
Mayang berpegangan erat pada tepi meja dapurnya. Celah surganya sudah basah yang seperti tidak ada habisnya meski sudah dikerjai habis-habisan oleh Gilang. Dan Mayang pasrah kalau harus mengganti sprei yang baru mereka tiduri belum sampai dua jam itu."Mayang, kamu lapar nggak? Mau makan?" Mata Gilang membulat sangat nakal."Ma - mau makan gimana sih maksudnya, Lang? Roti oles aku sudah berantakan ..." erang Mayang."Kamu makan aku saja," Gilang mengedipkan sebelah matanya, lalu menyelipkan dirinya, berdiri di depan tubuh Mayang."Astaga, Lang! Kamu kan bukan roti ..." ucap Mayang, malu-malu."Tapi ... aku punya sosis ..." cengir Gilang menunjuk pusakanya. "Mau...?"Kemudian dengan lembut Gilang mendorong bahu Mayang untuk berjongkok, dan menyodorkan 'sosis'-nya sudah yang matang sempurna itu. Mayang menelan ludah. Ia masih tak habis pikir dengan ukuran kejantanan Gilang. Bagaimana caranya pemuda itu melatih bagian inti tubuhnya hingga menjadi besar dan berurat seperti itu?Mayang men
Mayang terdiam sejenak, berusaha mencerna kata-kata Gilang terlebih dulu sebelum menjawabnya. Jujur saja, keberadaan Gilang sudah menjadi kekuatan baru baginya. Tanpa kehadiran pemuda itu mungkin saat ini ia masih terlena pasrah dengan pernikahannya yang terombang-ambing seperti perahu di tengah badai."Bohong kalau aku bilang, kamu nggak ikut andil dalam keputusan aku, Lang. Tetapi, bercerai dengan Cipto bukan semata-mata agar aku bisa bebas bercinta dengan kamu," tutur Mayang sembari mengusap dahinya yang mulai nyut nyutan. "Kata kamu, aku harus tegas untuk kebahagiaan aku sendiri, kan? Karena itulah, aku putuskan untuk bercerai dengan Cipto."Gilang mengelus pipi Mayang pelan. Berat sekali! Yang dirasakan Mayang pasti berat!Namun, meskipun alasan yang sekuat itu, predikat janda jauh lebih mengerikan ketimbang duda. Fakta yang ada di masyarakat kita, jika ada seorang wanita yang menjadi janda, pasti mendapat cap buruk. Wanita bermasalah, tidak becus mengurus keluarga, emosional, se
"Sopan sedikit sama suami kamu, Mayang!" Nada suara Cipto tak kalah tinggi."Amit-amit! Ngaca dulu kamu kalau mau nyuruh saya sopan. Oh, apa di rumah ibu kamu nggak ada kaca, ya? Mau saya kirimin pake kargo?" sindir Mayang."Sialan kamu, Mayang! Sejak kapan kamu belajar melawan suami? Ingat ya, Mayang! Seorang istri itu letaknya di bawah kaki suami! Menunduk, menurut, patuh sama suami!" sentak Cipto, tak suka dengan perubahan nada bicara Mayang yang drastis."Saya berubah karena sudah capek! Capek ... lelah ... dengan semua drama yang kamu dan ibu kamu susun untuk menyakiti saya. Seenaknya saja ibu kamu ngatain saya mandul. Saya udah pernah hamil... bahkan berkali-kali. Itu artinya saya nggak mandul!" tegas Mayang.Cipto berdecak. "Minggu depan kamu udah jadi wanita mandul sesungguhnya, Mayang! Kamu cukup berterimakasih saja sama aku, karena aku belum bilang apa-apa tentang operasi kamu sama ibu. Kalau ibu tahu, sudah pasti ibu akan menyuruh aku untuk menceraikan kamu," ucap Cipto, se
Mereka berciuman, tangan Mayang menekan dada Gilang dengan pinggul yang terus bergerak maju mundur. Dada Gilang sangat bidang, berotot dengan sempurna sesuai usianya, berbulu tipis dan menggairahkan. Perutnya rata dan kencang. Rambut pemuda itu juga tak kalah wangi dengan rambutnya. Membuktikan bahwa pemuda itu tidak sembarangan merawat tubuhnya. Terlepas dari pekerjaan sampingannya itu.Gilang menaikkan setengah tubuhnya, tidak tahan untuk membenamkan kepalanya di antara dada Mayang dan mengerangkan nama wanita itu. Mayang membelainya sampai Gilang tak tahan lagi, dia ingin Gilang merasakan buncahan kenikmatan yang telah dia rasakan berulang kali.Mereka bersatu dalam gerakan cepat yang dipimpin langsung oleh pihak wanita. Dalam posisi setengah duduk, Gilang mendekap erat-erat tubuh Mayang, tidak bergerak dan hanya menikmati kenikmatan dari gerakan pinggul Mayang. Lalu perlahan dia menjilati pucuk dada Mayang. Mengigitnya hingga wanita itu menjerit."Fuck me, Mam!!" erang Gilang yang
Debaran jantung mereka berpacu bagai hentakan musik yang asyik dinikmati bersama secangkir kopi. Mengalun, mengayun dan menerobos dengan lincah. Ciuman panas bagai bara yang membakar, meletupkan gairah yang tak pernah padam meski pernah coba diredam."Aku sungguh sangat bermimpi, untuk mendampingi hatimu ... sangat besar harapanku tuk hidup berdua denganmu. Tuhan ... jadikanlah dia jodohku ..."Lantunan sepenggal lirik lagu dari Astrid itu menjerit di hati kedua insan yang tengah berpeluh nafsu di atas ranjang bermotif bunga.Meski Gilang berucap siap menjadi perebut istri orang, tetapi dia sungguh tidak mau menambah masalah dalam hidup Mayang.Dia juga harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Harus berusaha keluar dari lingkaran setan White House, meski tidak bisa semudah itu. Ia terikat kontrak. Dan seorang wanita yang telah memberikan segalanya kepada dirinya, pasti tak akan mudah melepaskan begitu saja.Ah, sudahlah! Nikmati saja dulu, bukan begitu?Gilang memilin helai-helai
Sambil merangkul Mayang, Gilang bangkit dan membawa Mayang untuk berdiri. Tanpa melepaskan ciuman, mereka saling mendekap dan membawanya ke ruang paling pribadi di rumah itu. Tubuh mereka bergesekan dan mengerang penuh gairah.Gairah dari sesuatu yang salah tapi mampu memacu adrenalin untuk terus beradu desahan. Dengan ahli Gilang melucuti pakaian Mayang, menghempaskannya ke lantai. Mayang membusungkan dadanya, menantang bibir Gilang untuk memainkan dadanya.Gilang menundukkan kepalanya menciumi dada Mayang. Tangannya meremas dada Mayang dengan posesif seolah hanya dirinya yang berhak memanjakan wanita itu. Membelainya, meremasnya hingga Mayang kehilangan kendali atas dirinya."Sentuhan tangan kamu ... aku suka ... aku suka yang udah berpengalaman ..." bisik Mayang.Gilang terus menyapukan ciuman di kulit Mayang. Hawa panas menjalar di dada wanita itu, turun ke perut, lalu ke pangkal pahanya."Buka baju kamu, Lang ..." pinta Mayang. "Ajarkan aku semua yang pernah dilakukan tante-tante







