LOGIN"Kok diem sih, Bu? Aah, kacau, nih ..." Gilang menurunkan ponselnya dari depan Mayang dengan seringai kecil. "Nggak boleh tau, Bu. Entar Ibu kepengen nyobain, bisa repot, loh!"
Dengan santai, Gilang segera bangkit dari duduknya, dan memasukkan ponsel ke saku celana. "Udah ah, saya pergi dulu, Bu. Mau ngerjain tugas Pak Sidik," ucapnya, lagi-lagi menjadikan Pak Sidik sebagai alasan menghindar.
Namun, baru saja ia membalikkan badan, langkahnya terhenti suara omelan Mayang.
"Eh, Lang!" Mayang berseru, seraya berdiri dan bertolak pinggang. "Kamu jangan pura-pura lupa! Tinggal kelompok kamu saja yang belum ngumpulin tugas! Kalau besok nggak ngumpulin, satu kelompok saya kasih nilai E!"
Gilang memutar badan, sok terkejut. "Apaahh? Eh? Serius, Bu? Serem banget deh."Mayang melipat tangan di bawah dadanya, membuat pandangan Gilang terpeleset ke arah gundukan besar di balik blus yang kancingnya nyaris terlepas itu.
"Saya serius, ya!" Mayang menyipitkan matanya galak. "Cepet kerjain sana!"
"Beres, Bu! Kalau Gilang udah turun tangan, satu jam juga kelar," sahut Gilang. Sebelum pergi, dia sempat melirik nakal dan mengedipkan sebelah matanya.
***
Gilang pikir setelah kejadian di taman itu, dia tidak akan bertemu Mayang dalam waktu dekat. Yah, setidaknya, ada jeda waktu buat dosen itu melupakan videonya. Tapi, ternyata, keesokan harinya, Gilang sudah berdiri di depan pagar rumah bernuansa minimalis... rumah Mayang.
Gilang celingukan, mengintip, dan mencoba mencari bel di sekitar pagar, tapi tidak ada.
"Buset deh, rumah di komplek elite begini masa nggak ada belnya, sih?" batinnya.
Gilang menghela napas, dan merapikan rambutnya yang berantakan setelah melepas helm. Matanya menimbang jarak pagar ke pintu rumah yang cukup jauh.
"Kalau dipanggil pelan, pasti nggak denger. Harus teriak ini sih," gumamnya. Lalu, ia berpegangan pada pagar besi, menarik napas, dan berseru, "Permisi ...! Ibu Mayang ...! Permisi...!"
Hening.
"Buuu ...! Bu Mayang yang cant ---"
"Eh, berisik kamu!"
Pintu depan berderit terbuka, Mayang muncul dari baliknya. Celana pendek longgar membalut kakinya yang jenjang, dan kaus tipis sedikit ketat membungkus tubuhnya. Rambutnya yang biasa tertata rapi, hanya dicepol asal, dengan beberapa helai jatuh ke pelipisnya.
"Masih pagi udah teriak-teriak depan rumah orang! Mau apa, sih?!" gerutu Mayang, suaranya agak serak, dan matanya mengerjap malas seperti baru saja bangun tidur.
Gilang menaikkan sebelas alisnya. "Pagi? Udah siang, Bu! Ini, Bu. Saya mau ngumpulin tugas kelompok," sahutnya, mengeluarkan sebundel makalah dari balik jaketnya.
"Tugas?" Mayang mengerutkan kening, mengingat-ingat sesuatu.
"Masa lupa?! Saya kan takut dapet nilai E. Jadi mending sekalian saja saya anterin ke rumah ibu," sahut Gilang.
Mata Mayang yang tadi masih sayu seketika terbuka lebar. "Kamu tau rumah saya dari mana?" tanyanya bingung.
"Oh, tadi kan saya ke ruang dosen, nyariin Ibu. Kata Bu Jenny, Ibu nggak masuk. Ya udah, saya tanya aja rumah ibu di mana. Ternyata nggak jauh dari kampus. Gitu Ibu, Can---"Belum sempat Gilang menyelesaikan kalimatnya, Mayang sudah lebih dulu melangkah cepat ke arah pagar. Lagi-lagi, mata Gilang langsung tertuju pada sepasang gundukan indah Mayang yang memantul lentur. Dan, sebelum pikirannya semakin melantur, Mayang sudah membuka pintu pagar, merebut makalah dari tangan Gilang.
"Bukannya taruh aja di meja dosen, malah dianterin ke sini." Mayang mendengus, sambil membolak-balik kertas makalah dengan alis sedikit berkerut. "Saya lihat dulu. Kalau masih salah, mending kamu bawa lagi aja. Kerjain ulang!"
Gilang ikut menunduk ke atas kertas. "Loh, kalau ada yang salah, harusnya dibimbing lagi dulu, Bu. Kasih tau mana yang salah, terus baru saya kerjain ulang deh. Bukan malah nyuruh saya bolak-balik," sahutnya dengan cengiran jahil.
Mayang mengangkat wajah, melayangkan tatapan tajam. "Alasan! Bilang aja kamu mau ditawarin masuk ke dalam dulu," ujar Mayang.
"Tuh, ibu tau. Dari kampus ngebut ke sini, lumayan bikin haus, Bu," cengir Gilang.
Mayang mengabaikan ucapan Gilang. Ia sudah fokus lagi pada lembaran kertas makalah."Duh, kelompok kamu ini gimana, sih? Masih banyak yang salah, nih!" Mayang menamparkan bundelan kertas itu ke dada Gilang. "Ulang lagi sana!"
Gilang tersentak dramatis. "Yah, Bu! Masa ulang lagi? Udah habis duit banyak nih buat ngeprint!" protesnya.
"Nggak ada tawar-menawar!" bentak Mayang tegas. "Pokoknya kalian ulang sampai ... Aduh ..."
Mayang tiba-tiba meremas bagian tengah dadanya, dan napasnya menjadi pendek-pendek. Raut wajahnya dalam sekejap berubah kesakitan.Gilang yang awalnya masih ingin berdebat soal makalah tadi, seketika panik. "Bu, ibu kenapa?" Suaranya meninggi. "Duh, saya lupa! Kata Bu Jenny, ibu lagi sakit, ya? Sakit apa, Bu?" tanyanya cemas.
Dan, tanpa sadar, Gilang sudah melangkah masuk melewati pagar. "Dada saya ... sesak dari semalam. Kayak masuk angin ... Duh ..." Mayang merintih, tangannya berusaha menyangga tubuhnya di pagar. "Bu, saya bantu masuk ke rumah, ya ..."Mayang berpegangan erat pada tepi meja dapurnya. Celah surganya sudah basah yang seperti tidak ada habisnya meski sudah dikerjai habis-habisan oleh Gilang. Dan Mayang pasrah kalau harus mengganti sprei yang baru mereka tiduri belum sampai dua jam itu."Mayang, kamu lapar nggak? Mau makan?" Mata Gilang membulat sangat nakal."Ma - mau makan gimana sih maksudnya, Lang? Roti oles aku sudah berantakan ..." erang Mayang."Kamu makan aku saja," Gilang mengedipkan sebelah matanya, lalu menyelipkan dirinya, berdiri di depan tubuh Mayang."Astaga, Lang! Kamu kan bukan roti ..." ucap Mayang, malu-malu."Tapi ... aku punya sosis ..." cengir Gilang menunjuk pusakanya. "Mau...?"Kemudian dengan lembut Gilang mendorong bahu Mayang untuk berjongkok, dan menyodorkan 'sosis'-nya sudah yang matang sempurna itu. Mayang menelan ludah. Ia masih tak habis pikir dengan ukuran kejantanan Gilang. Bagaimana caranya pemuda itu melatih bagian inti tubuhnya hingga menjadi besar dan berurat seperti itu?Mayang men
Mayang terdiam sejenak, berusaha mencerna kata-kata Gilang terlebih dulu sebelum menjawabnya. Jujur saja, keberadaan Gilang sudah menjadi kekuatan baru baginya. Tanpa kehadiran pemuda itu mungkin saat ini ia masih terlena pasrah dengan pernikahannya yang terombang-ambing seperti perahu di tengah badai."Bohong kalau aku bilang, kamu nggak ikut andil dalam keputusan aku, Lang. Tetapi, bercerai dengan Cipto bukan semata-mata agar aku bisa bebas bercinta dengan kamu," tutur Mayang sembari mengusap dahinya yang mulai nyut nyutan. "Kata kamu, aku harus tegas untuk kebahagiaan aku sendiri, kan? Karena itulah, aku putuskan untuk bercerai dengan Cipto."Gilang mengelus pipi Mayang pelan. Berat sekali! Yang dirasakan Mayang pasti berat!Namun, meskipun alasan yang sekuat itu, predikat janda jauh lebih mengerikan ketimbang duda. Fakta yang ada di masyarakat kita, jika ada seorang wanita yang menjadi janda, pasti mendapat cap buruk. Wanita bermasalah, tidak becus mengurus keluarga, emosional, se
"Sopan sedikit sama suami kamu, Mayang!" Nada suara Cipto tak kalah tinggi."Amit-amit! Ngaca dulu kamu kalau mau nyuruh saya sopan. Oh, apa di rumah ibu kamu nggak ada kaca, ya? Mau saya kirimin pake kargo?" sindir Mayang."Sialan kamu, Mayang! Sejak kapan kamu belajar melawan suami? Ingat ya, Mayang! Seorang istri itu letaknya di bawah kaki suami! Menunduk, menurut, patuh sama suami!" sentak Cipto, tak suka dengan perubahan nada bicara Mayang yang drastis."Saya berubah karena sudah capek! Capek ... lelah ... dengan semua drama yang kamu dan ibu kamu susun untuk menyakiti saya. Seenaknya saja ibu kamu ngatain saya mandul. Saya udah pernah hamil... bahkan berkali-kali. Itu artinya saya nggak mandul!" tegas Mayang.Cipto berdecak. "Minggu depan kamu udah jadi wanita mandul sesungguhnya, Mayang! Kamu cukup berterimakasih saja sama aku, karena aku belum bilang apa-apa tentang operasi kamu sama ibu. Kalau ibu tahu, sudah pasti ibu akan menyuruh aku untuk menceraikan kamu," ucap Cipto, se
Mereka berciuman, tangan Mayang menekan dada Gilang dengan pinggul yang terus bergerak maju mundur. Dada Gilang sangat bidang, berotot dengan sempurna sesuai usianya, berbulu tipis dan menggairahkan. Perutnya rata dan kencang. Rambut pemuda itu juga tak kalah wangi dengan rambutnya. Membuktikan bahwa pemuda itu tidak sembarangan merawat tubuhnya. Terlepas dari pekerjaan sampingannya itu.Gilang menaikkan setengah tubuhnya, tidak tahan untuk membenamkan kepalanya di antara dada Mayang dan mengerangkan nama wanita itu. Mayang membelainya sampai Gilang tak tahan lagi, dia ingin Gilang merasakan buncahan kenikmatan yang telah dia rasakan berulang kali.Mereka bersatu dalam gerakan cepat yang dipimpin langsung oleh pihak wanita. Dalam posisi setengah duduk, Gilang mendekap erat-erat tubuh Mayang, tidak bergerak dan hanya menikmati kenikmatan dari gerakan pinggul Mayang. Lalu perlahan dia menjilati pucuk dada Mayang. Mengigitnya hingga wanita itu menjerit."Fuck me, Mam!!" erang Gilang yang
Debaran jantung mereka berpacu bagai hentakan musik yang asyik dinikmati bersama secangkir kopi. Mengalun, mengayun dan menerobos dengan lincah. Ciuman panas bagai bara yang membakar, meletupkan gairah yang tak pernah padam meski pernah coba diredam."Aku sungguh sangat bermimpi, untuk mendampingi hatimu ... sangat besar harapanku tuk hidup berdua denganmu. Tuhan ... jadikanlah dia jodohku ..."Lantunan sepenggal lirik lagu dari Astrid itu menjerit di hati kedua insan yang tengah berpeluh nafsu di atas ranjang bermotif bunga.Meski Gilang berucap siap menjadi perebut istri orang, tetapi dia sungguh tidak mau menambah masalah dalam hidup Mayang.Dia juga harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Harus berusaha keluar dari lingkaran setan White House, meski tidak bisa semudah itu. Ia terikat kontrak. Dan seorang wanita yang telah memberikan segalanya kepada dirinya, pasti tak akan mudah melepaskan begitu saja.Ah, sudahlah! Nikmati saja dulu, bukan begitu?Gilang memilin helai-helai
Sambil merangkul Mayang, Gilang bangkit dan membawa Mayang untuk berdiri. Tanpa melepaskan ciuman, mereka saling mendekap dan membawanya ke ruang paling pribadi di rumah itu. Tubuh mereka bergesekan dan mengerang penuh gairah.Gairah dari sesuatu yang salah tapi mampu memacu adrenalin untuk terus beradu desahan. Dengan ahli Gilang melucuti pakaian Mayang, menghempaskannya ke lantai. Mayang membusungkan dadanya, menantang bibir Gilang untuk memainkan dadanya.Gilang menundukkan kepalanya menciumi dada Mayang. Tangannya meremas dada Mayang dengan posesif seolah hanya dirinya yang berhak memanjakan wanita itu. Membelainya, meremasnya hingga Mayang kehilangan kendali atas dirinya."Sentuhan tangan kamu ... aku suka ... aku suka yang udah berpengalaman ..." bisik Mayang.Gilang terus menyapukan ciuman di kulit Mayang. Hawa panas menjalar di dada wanita itu, turun ke perut, lalu ke pangkal pahanya."Buka baju kamu, Lang ..." pinta Mayang. "Ajarkan aku semua yang pernah dilakukan tante-tante







