Share

Baru Sadar Kehilangan

Selesai sarapan pagi, Clara dan Lisa bersiap untuk bertemu dengan Mas Bramana di kantor. Mengendarai mobil berwarna hitam mereka menyusuri jalan ibukota yang mulai lengang.

"Yuk, Cla." Lisa memarkirkan mobil begitu sampai di tujuan.

Clara merapikan penampilannya terlebih dulu sebelum keluar dari mobil.

"Sudah cantik," celetuk Lisa.

"Emang aku cantik," sahut Clara mengembalikan cermin yang ia bawa ke dalam tasnya. Mendengar ucapan Clara, Lisa hanya bisa melengos sambil memutar kedua bola matanya. Sudah biasa dengan tingkah dan ucapan Clara.

Beberapa orang yang ada di kantor Mas Bramana menegur ramah saat Clara masuk.

"Langsung masuk aja ke ruangan Mas Bram, sudah ditungguin dari tadi," kata seorang pria yang mengenakan topi hitam.

"Iya, Mas," sahut Lisa.

Suara berat terdengar dari dalam, yang mempersilahkan mereka masuk saat Lisa mengetuk pintu.

"Pagi, Mas," sapa Clara dengan senyum khas yang memperlihatkan gigi gingsulnya.

"Hai selamat pagi, Cla," sapa Mas Bramana meletakkan segelas kopi yang baru ia seruput.

"Silahkan duduk dulu," lanjut Mas Bramana menatap Lisa dan Clara bergantian.

"Lagi sibuk, Mas?" tanya Clara basa basi.

"Nggak. Lagi santai aja nunggu kamu. Gimana sudah siapkan main film?"

"Siap banget, Mas," sahut Clara semangat.

"Semangat kaya gini yang saya suka. Kemarin sudah ada beberapa artis yang saya casting, tapi gak ada yang cocok. Ada sih satu dua yang sudah masuk list, tapi masih belum fix juga," ucap Mas Bramana.

"Aduh Clara jadi takut nih. Takut gak masuk kriterianya, Mas Bram," tukas Clara.

"Belum dicoba sudah takut," ucap Mas Bramana sambil mencolek tangan Clara.

"Tunjukkin pesona kamu dong sama Mas Bram, Cla," timpal Lisa membuat Mas Bramana tersenyum.

Beberapa menit kemudian seorang pria masuk ke dalam ruangan Mas Bram dengan membawa setumpuk kertas di tangannya,

"Ini Asep yang akan jelasin rencana film kita," kata Mas Bramana memperkenalkan.

Clara tersenyum menatap Mas Asep lalu serius mendengarkan pengarahan darinya. Mulai dari judul film, cerita apa yang akan diangkat jadi film, hingga peran yang bagaimana yang akan Clara perankan nanti.

"Gimana? Bisa kita mulai sekarang?" tanya Mas Asep selesai menjelaskan semuanya.

"Bisa, Mas." Clara menarik nafas dalam. Bersiap untung akting yang akan ia tunjukkan di depan Mas Bramana dan Mas Asep. Penentu apakah ia akan menjadi pemeran utama wanita atau tidak.

Clara berdiri pada latar yang telah disiapkan lalu mulai berakting sesuai arahan yang Mas Asep berikan tadi. Dalam hati Lisa berdoa agar Clara dapat memberikan yang terbaik untuk hari ini.

"Good!" Seru Mas Bramana bertepuk tangan saat Clara mengakhiri aksinya. Serupa dengan Mas Bramana, Mas Asep juga ikut bertepuk tangan.

"Cocok. Udah cocok kan, Mas?" tanya Mas Bramana pada Mas Asep dengan wajah penuh semangat.

"Iya, Mas. Clara sangat cocok untuk peran utama wanita di film kita ini," sambung Mas Asep mengiyakan ucapan Mas Bramana.

Clara dan Lisa saling memandang.

"Oke Clara, kamu resmi bergabung dalam film kita," ucap Mas Bramana memberikan selamat dengan tangan terulur.

"Yang benar, Mas?" Meski tak percaya, Clara tetap menyambut ukuran tangan Mas Bramana. Hal serupa juga dilakukan oleh Mas Asep. Ia turut menjabat tangan Clara dan memberikan selamat.

"Makasih banyak ya, Mas Bram, Mas Asep. Clara bahagia banget," ucap Clara dengan mata berkaca-kaca.

Mas Bramana mengangguk. Berbincang kurang lebih lima belas menit, Clara dan Lisa berpamitan pulang saat mendengar Mas Bramana menerima telepon penting.

"Jaga kesehatan ya, Clara. Minggu depan kita akan ketemu lagi dengan yang lain, karena kemungkinan besar awal bulan depan kita akan mulai proses syuting," pesan Mas Bramana sambil mengantarkan Clara dan Lisa sampai depan pintu ruangannya.

"Sudah pasti, Mas."

"Saya yang bakal jamin," timpal Lisa.

"Kalian hati-hati ya," kata Mas Bramana sebelum kembali ke ruangannya.

Begitu keluar dari kantor Mas Bramana, Lisa dan Clara pergi ke salon sebelum memutuskan untuk pulang.

"Cla," panggil Lisa.

"Hm…."

"Karena kamu gak ada jadwal, besok sama lusa aku izin ya," ucap Lisa tetap fokus menyetir.

"Mau kemana?" tanya Clara cepat.

"Mau nemenin Mama check up jantung, Cla," sahut Lisa lagi.

"Iya gapapa, Lis. Cukup dua hari?"

Lisa mengangguk.

***

"Kenapa tadi gak kepikiran buat nanya siapa lawan main film nanti ya," ucap Clara bingung dengan satu tangan mengaduk segelas susu coklat. Ia lalu berjalan menuju ruang tengah sambil menikmati segelas susu coklat yang baru ia seduh. Pikirannya jadi menerka-nerka beberapa aktor yang mungkin bisa saja menjadi lawan mainnya.

"Tapi kata Mas Bramana, aktor yang sedang naik daun," gumam Clara seraya meletakkan gelas di atas meja. Baru saja akan memikirkan nama aktor lainnya, matanya membesar saat melihat jemari tangan kanannya yang polos. Cincin berlian yang selalu ia pakai tak ada di jari manisnya.

"Loh ini cincin aku kemana?" Clara bingung bercampur kaget. Berkali-kali ia mengerjapkan mata menatap tangan kanannya namun tetap sama, tak ada cincin berlian di jari tangannya. Buru-buru ia menuju ke dalam kamar dan mengecek kotak perhiasan yang ia simpan di lemari.

"Gak ada," kata Clara cemas. Memeriksa beberapa laci dan meja, ia masih belum menemukan cincinnya. Lantas ia keluar kamar dan meraih ponselnya untuk menghubungi Lisa.

"Cincin kamu?" tanya Lisa mengulang ucapan Clara.

"Iya, Lis. Cincin berlian yang selalu aku pakai itu. Kamu liat gak?"

"Bukannya selalu kamu pakai, Cla?"

"Iya aku pakai terus. Tapi ini gak ada di jari aku," ucap Clara bingung.

"Tenang dulu, Cla. Cincinnya pasti ketemu kok. Kamu ingat-ingat dulu, mungkin kamu lepas," kata Lisa menenangkan.

"Iya aku ingat-ingat, Lis," sahut Clara kemudian menyudahi panggilannya.

Clara bersandar di sofa dengan mata menatap ke langit-langit. Mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu yang pada kenyataannya sudah tak bisa ia ingat dengan jelas.

"Halo, Pa." Clara menghubungi Papa. Berharap Papa bisa memberi sedikit ketenangan.

"Ada apa? Kamu belum tidur?"

"Sebentar lagi, Pa. Pa, Clara mau tanya," kata Clara.

"Ada apa, Clara?"

"Waktu pindahan kemarin, Papa ada liat cincin punya Clara gak?"

"Cincin? Gak ada. Memang ada apa?" tanya Papa penasaran.

"Cincin Clara hilang, Pa. Gak tau dimana. Clara baru sadar sekarang kalau cincinnya gak ada di tangan," ucap Clara dengan nada sendu.

"Papa gak ada liat," ucap Papa yang kemudian menanyakan hal yang sama pada Bi Asih, "Bi Asih juga gak ada liat, barusan Papa tanya. Besok Papa tanya sama orang bengkel yang bantu pindahan kemarin ya."

"Iya, Pa."

"Sudah kamu tidur aja. Jangan terlalu dipikirkan. Cincinnya pasti ketemu kok."

"Oke, Pa. Selamat malam." Clara mengakhiri panggilannya.

Hal yang sama dikatakan Papa dan Lisa sedikit membuat hatinya tenang. Ia berharap cincin berliannya itu akan ketemu. Pasalnya itu adalah barang pertama yang ia beli setelah beberapa tahun menabung dari hasil kerja kerasnya menjadi artis. Cincin berlian yang menjadi pembuktiannya bahwa ia juga bisa memiliki barang mahal seperti artis lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status