Share

2. Anak Teman Mama yang Bonafit

“Alma, udah siap belum dandannya?” mama main nyelonong saja saat Alma sedang memperhatikkan wajahnya di depan meja rias.

Alma menengok ke arah mama yang sudah cantik mengenakan kebaya brokat berwarna merah lengkap dengan rok batiknya. Rambutnya juga sudah di sanggul seperti istri-istri pejabat yang sering ia lihat di acara HUT RI di televisi.

“Mama mau kemana kok-?”

Belum selesai bertanya, mama sudah melotot ke arah Alma, “Kamu ngapain aja dari tadi? Kok muka kamu masih polosan sih?”

“Emang kita mau kemana sih, ma? Bukannya mama bilang tadi anak temen mama mau kesini, kenapa harus terlalu bergaya?”

“Kamu itu, mau di manapun kita harus tetep dandan cantik dong, Ma, buat menghargai tamu yang dateng. Masa gitu aja mama harus jelasin?”

“Ya aku setuju andaikan mama cuma pake baju dress doang terus dandan tipis-tipis. Kalo ini mah bukan cantik aja mah, tapi heboh. Kayak mau ke Istana Negara tau gak?”

“Mulut kamu itu loh, kayak gak pernah mama didik. Masa mama cuma pake baju dress biasa di acara lamaran anak tunggalnya?”

Alma melotot, ia berdiri dan menatap mama tak percaya, “Apa? Lamaran? Mama kan tadi cuma bilang ketemu anak temen mama, bukan lamaran.”

“Udah, diem kamu. Sekarang dandan terus keluar, ketring udah siap tuh. Masa calon mantennya malah bengong mikirin pacarnya yang gak punya harapan buat di jadiin suami.”

“Ma! Jangan ngomong gitu sama Rio!”

“Loh, emang kenyataannya gitu kan? Empat tahun kamu pacaran sama dia, mama sama papa gak pernah ngerasain martabak yang dia bawa. Orang anaknya kalo mau jemput kamu aja diem di ujung kompleks kan? Masa cowok kayak gitu mau kamu jadiin suami sih! Jelas-jelas dia gak pantes jadi suami kamu.”

Alma tak menjawab ucapan mama. Semua yang mama katakan memang fakta kok, mau di apakan lagi. Ia juga sebenarnya tidak tahu kenapa Rio tidak pernah mau mampir ke rumah untuk bertemu mama dan papa apalagi membawa martabak seperti keinginan mama.

“Udah, jangan ngelamun kamu. Cepet dandan. Kalo nanti pas mama kesini lagi muka kamu masih polos, awas aja! Mama tepungin muka kamu!”

“Di tepungin? Emang aku mau di goreng apa, ma?”

“Ya itu kalo kamu gak mau dandan.”

“Gak usah lah mah, dandan gitu. Ini acara lamaran kan? Aku ketemu orangnya aja gak pernah, ma, jadi biarin dia sama orangtuanya tau kondisi muka aku tanpa make up.”

“Ngawur kamu! Mau ke minimarket depan aja kamu dandannya pol-polan kayak mau ikut lomba Abang None, giliran mau ketemu calon suami gak mau dandan. Cepetan!”

Mama keluar kamar dan menutup pintu kamarnya seperti tadi.

Tak ada yang bisa Alma lakukan lagi selain mulai mendempul wajahnya dengan puluhan make up yang ia miliki. Meski tidak tahu dengan siapa lamaran ini akan di gelar, tapi ia harus tetap berdandan cantik.

Sambil menggosok mukanya saat memakai primer, sebelah tangan Alma memainkan ponselnya untuk melihat apakah pesannya sudah di balas oleh Rio atau belum. Ternyata belum. Bahkan pesannya tidak di baca sama sekali, padahal tadi ia mengiriminya chat sebelum mandi. Dan saat itu Rio sedang istirahat di jam makan siang.

“Rio kemana sih. Tiap gue tanya hal-hal berbau serius dia gak pernah mau bales. Giliran gue bahas yang lain cepet nyautnya.”

Alma menggeser menu hingga ia bisa melihat story Rio. Ia men tapnya dan melihat pacarnya sedang berpose berdua dengan teman kerja perempuannya saat makan siang. Jarak duduk mereka dekat sekali bahkan tak ada jeda.

Alma menlock ponselnya dan melemparnya ke atas kasur. Dadanya terasa nyeri melihat postingan itu. Rio sadar tidak sih kalau ia sebagai pacarnya bisa melihat postingan itu? Jangan-jangan dia sengaja karena kesal padanya yang terus menagih keseriusan?

Dengan perasaan galau Alma mulai memakai serangakaian makeup yang biasa ia pakai ke kondangan. Tidak butuh waktu lama untuknya yang biasa makeup untuk menyelesaikan dandanan yang mama minta. Kini ia sudah siap dan tengah menatap wajahna di cermin.

Ia bersumpah dalam hati, jika benar Rio benar seperti apa yang mama bilang sebagai orang yang tidak pantas menjadi suami, maka ia akan balas dendam dengan menikah dengan anak teman mama itu.

“Eh, apaan sih, kalo bentukkan anak temen mama aneh gimana?” Alma menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kalo dia cakep dan bonafit sih ayo. Gue bakal mau nikah sama dia, biar bisa beliin mama sama papa martabak yang banyak. Mabok-mabok deh tuh si mamah.”

“Alma!” mama membuka pintu sekaligus. Matanya super melotot melihat anak tunggalnya.

“Mama kenapa melotot? Mama liat hantu?”

Mama menghampiri Alma dan berdiri di belakang tubuhnya. “Kamu cantik banget.”

Alma tersenyum. Dari cermin ia bisa melihat dirinya dan mama tersenyum bersama di sana.

“Cantik lah, cantikkan aku malah dari mama.”

Mama menepuk lengan Alma, “Kamu tuh.”

Alma tertawa, “Gak mau ngalah banget sih sama anaknya.”

“Ya intinya mama tercantik di rumah ini.”

“Wlee, kesel banget.”

“Ya udah yuk keluar.”

Alma menahan lengan mama yang memegangi kedua bahunya, “Bentar, ma.”

“Kenapa lagi? Itu orangnya udah ada.”

“Aku tuh sebenernya udah ketemu dia belum sih, ma?”

“Udaaah.”

“Yang mana sih orangnya?”

“Nanti juga kalo udah liat kamu inget.”

“Cakep, ma?”

Mama tertawa.

Alma mengernyit, “Ma! Jelek ya? Mirip om Gadun?”

“Om Gadun siapa? Temen papa?”

Alma tertawa.

“Kamu tuh, orang tua nanya tuh ya jawab, kok malah ketawa.”

“Mama juga tadi kayak gitu ke aku.”

“Kamu kan bukan orang tua.”

“Ih, gak mau ngalah banget sih, Maaa.”

“Yuk, keluar sekarang.”

Alma mengangguk. Ia berdiri dan berjalan sambil melendot manja di lengan mama. Mereka berjalan melewati lorong rumah yang panjang dan penuh dengan hiasan berupa bunga-bunga.

“Kamu gak pake kebaya cantik juga.” puji mama.

“Maaa, kenapa harus pake kebaya sih ceritanya, ini juga bagus kan?”

“Bagus. Tadi keliatan jelek soalnya muka kamu polos.”

Alma melirik mama, “Kalo sekarang penuh toping jadi cantik?”

“Hahaha, kamu tuh bercanda mulu, udah ah.”

Mama dan Alma menuruni anak tangga yang pegangan tangganya penuh dengan bunga mawar putih.

Alma melirik mama lagi, “Ma, ini kok banyak hiasan gini sih?”

“Ya masa anak tunggal mama mau lamaran, rumah polos aja?”

Alma tak menjawab lagi. Matanya menangkap sosok tak asing yang duduk meliriknya turun dari tangga. Itu kan dokter Adam?

Mama dan Alma baru sampai di ujung tangga. Papa yang sudah duduk bersama calon besan, hehe, ya sebut saja begitu langsung berdiri menyambut kedatangan istri dan anak tunggalnya yang cantik.

“Pa?”

“Kamu cantik banget.”

Alma tersenyum. Papa dan mama mengapit dan menuntunnya ke arah kursi sebelah dokter Adam yang sudah di hias sedemikian rupa. Dari sebelum duduk hingga kini sudah bersanding dengan manusia tampan brewok berwajah bule mewarisi wajah almarhum ayahnya, tatapan Alma tak lepas dari sosok ini.

“Alma, apa kabar?”

Bukannya menjawab, Alma malah tersenyum, lama-lama senyumnya berubah menjadi tawa kecil.

“Kalo kayak gini kan enak, calon suaminya bonafit.” ucapnya dengan suara kencang.

“Alma, kamu ngomong apa?” tanya mama dengan suara tak kalah kencang.

Alma melirik mama yang memberikkannya tatapan bombastic side eyes. Ia hanya bisa tersenyum dan mengangguk mohon maaf ke arah calon suami dan calon mertuanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status