Meskipun Alvin tidak mengetahui jika makanan yang dinikmati adalah hasil karyanya, tetapi Adinda tetap merasa bahagia. Apalagi setiap kali Tari memberi laporan jika makanan tersebut selalu habis tidak tersisa. Hal yang membuat Adinda semakin merasa semangat untuk memasak, dan mengeksplor berbagai resep. Setelah berhasil menyusup secara sembunyi-sembunyi melalui masakan, Adinda mulai memikirkan cara lain.
“Bi!” panggil Adinda pada ART yang sedang melangkah ke arah kamar Alvin.
“Ya, Mbak Dinda. Ada yang bisa saya bantu?” jawab wanita berusia sekitar empat puluh tahunan bernama Sri itu.
“Emm, Bibi mau bersihin kamar Mas Alvin?” tanya Adinda hati-hati. Ini hari Minggu dan Alvin baru saja ke luar untuk berolah raga.
“Eh, iya, Mbak.” Bi Sri terlihat kebingungan juga ada aura waspada yang wanita itu tunjukkan.
“Boleh saya saja,
“Aduh, Mbak, takuuut,” bisik Almira yang sudah berdiri di depan kamar Alvin. Sementara di tangan gadis itu, bernaung nampan berisi nasi beserta lauk dan minumannya. “Dia, kan, Mas kamu. Nggak papa.” Adinda yang memiliki ide ini, berusaha membuat Almira semangat. Padahal Adinda sendiri juga sebenarnya takut. Bisa ia bayangkan reaksi yang akan Alvin berikan nanti. Sepertinya, laki-laki itu akan marah, dan itu sebabnya ia mengajak Almira. “Ih, tapi aku beneran takut. Mbak aja!” Almira menyorongkan nampan di tangannya pada Adinda. Mereka memang baru saja saling mengenal, tetapi satu sama lain sudah tidak lagi memiliki rasa sungkan. Adinda menggeleng dengan ringisan ngeri. “Kalau sama kamu marahnya pasti nggak yang gimana-gimana. Secara kamu, kan, adiknya.” Itu kenapa Adinda merasa Almira bisa ia andalkan untuk membantunya menjalankan rencana ini. Jika dirinya sendiri yang mendekat, sudah pasti Alvin akan sangat
Alvin bersedekap sembari memperhatikan Adinda yang sedang mengajak Sofia mengobrol. Hal yang biasanya hanya ia lakukan seorang diri karena yang lainnya tidak pernah mau walaupun untuk sekadar mengecek kondisi istrinya ini. Saat ini Alvin hanya sedang memberi Adinda kesempatan, jadi dia tidak boleh lengah. Ia hanya akan mengizinkan Adinda masuk ke dalam kamar saat dirinya ada. Alvin menitipkan Sofia pada Bi Sri jika dirinya sedang tidak ada di rumah. Ia percaya pada wanita itu karena sejak dulu Sofia dan Bi Sri memang sangat akrab. Sebenarnya, ibunya dan Almira juga sangat dekat dengan Sofia. Namun, semenjak kecelakaan nahas itu, keduanya seperti kecewa dengan kondisi yang kini istrinya alami, dan tidak pernah mau untuk sekadar melihat. “Saya pamit ke kamar dulu, ya, Mas.” Adinda sudah berdiri di hadapannya dan sempat membuat Alvin terkejut karena sedari tadi pikirannya memang sedang tidak ada di tempat. “Suda
Adinda hanya diam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Senantiasa berdiri di belakang laki-laki itu, meski kadang keberadaannya seperti tidak terlihat. Alvin hanya akan menjawab dengan senyum tipis, jika pertanyaan tentang siapa dirinya muncul. “Oh, ini istrinya Pak Alvin?” tanya salah satu laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan. Ada kumis tipis yang menghiasi wajah laki-laki itu. Sekilas tampak ramah dan sopan, tetapi entah mengapa lama kelamaan tatapan itu seakan mengandung makna lain. Seperti ada seringai menggoda yang membuat Adinda merasa risi. Alvin tidak menjawab, memilih mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama sekali Adinda tidak mengerti. Namun, ia tahu yang Alvin bahas adalah mengenai pekerjaan. Jadi, sudah pasti bapak-bapak genit yang masih berusaha memancing perhatiaanya ini adalah salah satu kilen Alvin. “Ada yang salah dengan istri saya, Pak?” Adinda sontak mendongak untuk mena
Adinda hanya diam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Senantiasa berdiri di belakang laki-laki itu, meski kadang keberadaannya seperti tidak terlihat. Alvin hanya akan menjawab dengan senyum tipis, jika pertanyaan tentang siapa dirinya muncul.“Oh, ini istrinya Pak Alvin?” Contohnya yang satu ini. Seorang laki-laki berkumis dengan usia kisaran lima puluh tahunan bertanya sembari mencuri pandang kea rah Adinda. Sekilas tampak ramah dan sopan, tetapi entah mengapa lama kelamaan tatapan itu seakan mengandung makna lain. Seperti ada seringai menggoda yang membuat Adinda merasa risi.Alvin tidak menjawab, memilih mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama sekali Adinda tidak mengerti. Namun, ia tahu yang Alvin bahas adalah mengenai pekerjaan. Jadi, sudah pasti bapak-bapak genit yang masih berusaha memancing perhatiaannya ini adalah salah satu kilen perusahaan keluarga Alvin.“Ada yang salah d
Alvin berdecap kesal saat bayangan Adinda yang menyorotkan wajah penuh luka terus saja melintas di kepalanya. Padahal hal itu sudah berlalu duapuluh empat jam, dan seharusnya ia lupakan. Bahkan, percakapan terakhir mereka pun masih terekam jelas hingga saat ini. “Kenapa kamu diam saja dihina seperti itu?” tanya Alvin yang merasa bingung dengan reaksi Adinda saat mendapat penghinaan. “Saya sudah terbiasa mendapatkan cercaan. Dan lagi, saya memang bersalah kepada wanita tadi,” jelas Adinda dengan senyuman sendu. Namun, saat menoleh ke arahnya, wanita itu menghilangkan raut sendu dengan senyuman ceria yang nyatanya tidak berhasil menutupi luka yang tersirat dari netra lentik itu. “Siapa wanita tadi?” Alvin tahu seharusnya dia tidak ikut campur dan berlagak peduli seperti ini. “Maaf, saya nggak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang jelas, dia adalah alasan saya menika
Seperti biasa, Adinda akan menyiapkan makan siang untuk Alvin dengan mengemasnya di dalam bok seperti makanan yang dipesan dari katering. Hal ini sudah berjalan hampir dua minggu dan sampai hari ini Alvin belum menyadari jika masakan yang ia santap adalah olahan Adinda. Wanita itu memang sengaja membedakan masakan yang ia masak untuk sarapan dan makan siang, jadi Alvin tidak perlu curiga sama sekali.“Ibu ke mana?” Adinda menjatuhkan mangkuk yang ia pegang karena terkejut. Alvin tiba-tiba saja muncul di dapur tanpa memberi tanda.“Ah, maaf, saya ngagetin kamu?” ringis Alvin tidak enak. Lalu dengan sigap membantu Adinda memebereskan makanan yang berantakan.“Mas Alvin kok tumben udah pulang?” tanya Adinda untuk mengalihkan rasa canggung yang tercipta. Setelah Alvin menanggalkan tatapan sinisnya, suasana yang sering terjadi di antara mereka malah penuh dengan kecanggungan.
“Mbak Dinda ngapain?” Almira ikut duduk di lantai, berdampingan dengan Adinda yang kini terlihat sibuk mengerjakan sesuatu. “Lagi iseng aja, nggak punya kerjaan bingung aku,” jawab Adinda sembari tersenyum, lalu kembali fokus pada pekerjaan di tangannya. “Itu mau bikin tas, Mbak?” tanya Almira lagi seraya mengamati gerakan tangan Adinda di mana ada benda seperti besi kecil di tangan kanan wanita itu, sementara tangan sebelah kiri terdapat benang dengan ukuran besar yang melilit telunjuknya. “Iya, ini namanmya ngerajut,” jelas Adinda. Ia sering membuat berbagai macam benda seperti; tas, gelang, cincin, sepatu bayi. Dulu, biasanya semua barang itu ia tawarkan pada tetangga atau teman-temannya. Sekarang, ia seperti terputus dengan kontak dunia luar, sehingga apa yang ia buat memang hanya sebntuk untuk mengisi waktu luang. “Mbak Dinda itu apa si yang nggak bisa,” ujar Almira dengan tatapan kagum.
“Cantik sekali,” gumam Adinda sembari membuka album foto di tangannya. Isinya foto pernikahan Alvin dan juga Sofia. Hari di mana semuanya masih tampak indah dan berbagai rencana sudah tersusun rapi. Namun, hari itu juga semua tragedi berawal hingga merubah Alvin menjadi sosok yang dingin.“Dia memang cantik,” bisik Alvin sembari menatap satu titik di atas tempat tidur. Di mana di matanya, Sofia tengah terlelap begitu damai dalam tidurnya.Adinda yang akhirnya mendongak untuk melihat ekspresi Alvin saat menggumamkan kata cantik, ikut menggerakkan kepala ke arah yang sama. Ada senyum sendu yang wanita itu berikan ketika tahu ke mana mata Alvin mengarah.“Ini kalian prewed di mana? Lokasinya bagus,” tanya Adinda sengaja untuk memutus hening yang terasa tidak mengenakkan. Alvin pun terpancing dan ikut menunduk untuk melihat foto yang Adinda maksud.“Itu di Bogor,