Ini udah aku singkat lho, masa tidak sat set? Liam aja sekilas, Rere juga langsung pergi, nggak aku ungkap caranya.emang harus proses, akak!
Suara detak jam dinding di ruang praktik terdengar teratur, seolah menambah ketegangan suasana. Keya duduk di kursi pasien, tangannya terus meremas jari Liam yang duduk di sampingnya. Wajahnya tampak lebih segar daripada kunjungan pertama, meski masih ada sedikit pucat karena mual yang mulai sering datang."Jadi, ini pemeriksaan lanjutan ya, Bu Keya," ujar Dokter Sinta sambil menyiapkan alat USG. "Usia kehamilan sekitar enam minggu lebih sedikit. Biasanya, di tahap ini, sudah bisa terlihat kantung janin, bahkan detak jantung."Keya menoleh cepat pada Liam, matanya berbinar. "Dengar nggak, Kak? Detak jantung. Aku pengin banget denger itu."Liam tersenyum tipis, meski jelas terlihat ada kecemasan di wajahnya. "Iya, Ey. Semoga semuanya lancar."Keya membalas senyumnya. "Aku yakin, Kak. Bayi kita kuat. Dua jagoan kecil kita pasti sehat."Liam menghela napas dalam, tangannya semakin erat menggenggam. "Kamu masih yakin mau dua cowok, Ey?""Udah bulat tekadku," jawab Keya mantap, meski suara
“Mau aku bawa kamu lagi ke pasar besok?” tanya Ranying sambil melirik Nabil yang duduk termenung di serambi rumah kepala desa.Nabil menoleh pelan. “Pasar lagi?”Ranying mengangguk, wajahnya ceria. “Iya. Kamu kan belum puas kemarin. Sungai itu selalu hidup. Ada saja yang bisa dilihat.”Nabil menimbang. “Kamu seperti hafal betul.”“Tentu. Aku besar di sini.” Suara Ranying ringan, tapi tatapannya menusuk sekejap. “Aku tahu alur mana yang ramai, mana yang sepi.”Nabil menelan ludah. “Sepi? Maksudnya?”“Ah, maksudku jalur tenang. Perahu jarang lewat. Cocok kalau mau lihat burung-burung air.” Ranying tersenyum samar, lalu berbalik masuk.Nabil terdiam. Kata-kata itu berputar di kepalanya. Jalur sepi. Perahu jarang lewat.Keesokan harinya, kabut pagi kembali menggantung. Perahu mereka mengayun pelan. Ranying duduk di depan, matanya hidup penuh antusias.“Lihat sana,” katanya menunjuk sebuah perahu kecil. “Itu yang jual sayur segar dari ladang. Murah, kan?”Nabil tersenyum tipis. “Iya.” Pand
"Kamu nggak keberatan nemenin aku besok pagi?" tanya Ranying lirih, tapi ada nada iseng.Nabil menoleh. "Kemana?""Pasar." Senyum nakal muncul di wajahnya. "Ada pasar apung, seru lho. Kamu belum pernah kan?"Nabil mengerjap. "Pasar apung? ""Asik lho. Perahu-perahu kecil, ibu-ibu jual sayur, ikan, buah. Kalau kamu beruntung bisa lihat mereka tawar-menawar sambil arus sungai jalan terus." Ranying tertawa, matanya berbinar. "Kamu pasti suka."Nabil mengangguk ragu. "Ok, kayaknya asik," ucap Nabil dengan masih melirik ke dalam, berharap dia bertemu Rere. Beberapa hari ini dia tahu, Rere menghindarinya. Dia ingin mengatakan sesuatu secara angsung, tapi setiap ia mendekati Rere, Ranying seolah selalu ada."Kamu akan lihat sendiri suasana asli kampung ini. Jangan cuma dengar cerita orang lain." Nabil tersenyum. Ada rasa hangat sekaligus waspada. Pasar apung—jalur sungai—terdengar sederhana, tapi instingnya mengingatkan sesuatu. Sungai bukan sekadar tempat mancing atau belanja. Sungai bisa
"Ey, tenang,.." Liam menggenggam tangan Keya yang seolah dingin membeku. Pagi itu mereka di ruang tunggu rumah sakit. Keya membalas genggaman tangan itu erat, seolah mmencari pegangan di sana. Hatinya campur aduk—antara takut dan berharap. Beberapa menit terakhir seolah lebih lama daripada perjalanan bertahun-tahun yang mereka lalui bersama.Pintu ruang dokter terbuka. Seorang perawat tersenyum, mempersilakan mereka masuk. Keya menarik napas panjang, sementara Liam meremas tangannya pelan. “Apapun hasilnya, kita sudah berjuang,” bisiknya. Keya hanya mengangguk, bibirnya gemetar.Dokter menatap mereka dengan senyum menenangkan. Ia membuka map hasil laboratorium, lalu mengangkat wajahnya. “Selamat,” ucapnya pelan, penuh kehangatan. “Tes darah yang kita lakukan hari ini menunjukkan hasil positif. Embrio sudah berhasil menempel. Artinya… program ini berhasil.”Hening sesaat. Keya terpaku, matanya membesar, seolah tak mampu mencerna kata-kata itu. Liam menatap dokter, lalu kembali ke istr
"Lho..Mas Nabil, kok umpannya hilang lagi?" ejekan Haris menggema dari seberang sungai, tawa renyahnya menyusul.Nabil mengangkat kail kosong, wajahnya masam. "Entah ikan di sini pinter atau aku yang sial."Dian menyahut dari tepi. "Mungkin ikannya udah tau kalau umpanmu jebakan."Gelak tawa pecah, air sungai beriak kecil terkena lemparan batu anak-anak. Aroma tanah basah dan daun pisang terbawa angin pagi. Suara burung enggang jauh terdengar, menambah ramai suasana.Nabil duduk di batang kayu melintang, pandangan jatuh pada air tenang. Tangannya memegang pancing seolah itu senjata paling canggih yang pernah ia gunakan, padahal hasilnya nol.Tiba-tiba suara lembut mengalun di sampingnya. "Masang umpan jangan asal tusuk. Lihat, harus begini."Nabil menoleh. Ranying sudah duduk, jilbabnya berkelebat sedikit tertiup angin. Ia meraih kail dari tangan Nabil tanpa ragu. Jemari mungil itu cekatan, menusuk cacing ke mata kail, lalu mengaitkannya rapi."Mau saya ajari?" tanyanya sambil terseny
"Sheryn, kamu udah bangun?" tanya Nabil pelan, nyaris berbisik. Subuh baru saja usai, azan masih menggema samar dari surau desa.Dari seberang, suara mengantuk gadis kecil itu terdengar. "Bangun, Ayah. Anak ayah kan pintar.""Jadi seneng nih Ayah.""Hari ini yang jemput aku sekolah Akung. Bunda sama Ayah Liam ke Surabaya.""Memangnya ada apa?""Mau bikinkan aku adik yang banyak," bisik Sheryn lalu terkikik.Nabil tersenyum kecil, matanya masih menatap jendela rumah kayu yang berembun. "Sholat lalu berdoa ya, semoga mereka pulang bawa kabar gembira. Syukurlah kalau mereka mau mencoba lagi."Sheryn menguap. "Ayah Nabil juga doakan, ya.""InsyaAllah," Nabil menegakkan tubuhnya. "Ayah doakan semoga terkabul. Kamu jangan manja kalau Akung yang jemput, ya. Kalau kamu manja nani ngak jadi-jadi adiknya.""Benar begitu, Yah?" guman Sheryn. "Apa karena aku masih manja sama Ayah Liam, hinggah aku belum punya adik, padahal aku sekarang sudah hampir setinggi Bunda.""Sheryn, ayo bangun, ditunggu A