Seharian teman Keya bercanda dan berjalan ke sawah di belakang rumah, membantu Bi Ira menangkap Bebek untuk makan mereka. Mereka juga jalan Minggu pagi menikmati suasana desa itu, hinggah tak terasa sore menjelang."Sorry ya, Key,... kalau selama kita di sini ngrepotin kamu," pamit Rina dengan memeluk Keya. Isya' baru saja berlalu."Siapa bilang ngrepoti? Aku, juga Kak Liam malah senang kalian di sini. Dia malah berharap, selama dia pergi kalian mau temani aku.""Idih, tadi malam telponan ya kok tahu kita di sini? So sweet,.. jadi ngiri nih," canda Lesti."Makanya, cowok kamu yang ngacir itu biarlah ngacir, ngapain dipikirin? Cari yang baru biar bisa sweet-sweet," oceh Lili."Iya, juga, Beb!" Senyum Lesti mengembang.Namun saat mereka sudah mau beranjak pergi, sebuah motor matic keluaran terbaru datang. Lili yang lagi berjalan sambil mengambil jambu air di depan rumah, mengerling ke Keya."Lho..." Lili menghentikan tangannya yang menggapai jambu. "Itu... siapa, Key?"Keya mengerutk
"Aku,.. kayaknya aku pulang duluh, ya. Aku ngerasa salah bawa Sheryn ke tempat gini. Kak Liam nggak suka." Keya berusaha tersenyum agar teman-temannya tidak sakit hati dengan ucapannya.."Dia marah ya, Key?" tanya Rina."Gimana juga, dunia dia beda dengan dunia kita. Seharusnya aku yang maklum.""Jadi ngerasa salah nih, Key. Sorry ya?" sesal Mila."Nggak apa, nggak segitu juga kali," Keya tersenyum samar, "kalau kalian masih suka di sini, aku bisa naik grap kok.""Aku ikut kamu deh, Key. Takut kamu tiba-tiba pingsan di jalan," canda Rina sambil menyambar jaket denimnya."Aku juga deh," sahut Lesti. "Bentar, aku mau bangunin Sheryn duluh."Rina dan Mila hanya saling pandang."Kayaknya Liam itu agamis orangnya,"komentar Rina."Iya, aku bisa lihat dari Keya, seolah dia takut gitu ya, padahal kita kan nggak ngapa-ngapain, seneng aja, cuma cengar cengir nyanyi. Tempat ini juga nggak macam diskotik kok ya?""Udah, ayo, namanya orang nggak sama juga kayak kita yang abu-abu."Saat Keya sudah
"Aku... pingin ngomong sesuatu," suara Liam terdengar pelan dari layar ponsel.Keya menahan napas. Tangannya mengepal di atas pangkuan. Dia sebenarnya juga ingin ngomong ke Liam, kenapa Liam membohonginya dengan bilang hanya kapan hari itu saja terpeleset menghabiskan hasrat bersama Dania, namun kenyataannya Dania bilang seolah-olah mereka tak hanya sekali saja. Namun sebelum ia sempat bicara, suara lain menyela dari samping."Eh, itu siapa? Ganteng juga!" Lili tiba-tiba muncul di samping Keya dan menatap layar ponsel dengan mata membulat.Keya buru-buru memiringkan layar, tapi terlambat. Wajah Liam sudah terpampang jelas dan Lili langsung berseru, "Wah, beneran cakep! Ini yang katanya suami kamu itu, ya?""Lili, jangan..." Keya berbisik, menahan malu."Kamu masih muda, Mas. Yang aku dengar kalian beda jauh." Lili ikut bicara ke layar. "Sumpah, mukanya kayak seumuran Andra. Atau malah lebih muda, ya?""Aku sepuluh tahun lebih tua dari Keya," jawab Liam, mencoba tetap sopan walau jelas
Di pesantren, suasana aula perlahan mereda. Keya masih berdiri kaku dengan bingkisan di tangannya. Dania menyodorkan semua amplop penghargaan padanya."Ini semua untukmu. Kamu yang mendampingi Mas Liam sekarang. Aku hanya... singgah sebentar, Keya," ucap Dania pelan.Keya menatap amplop di tangannya. Tebal. Berat. Tapi bukan isinya yang membuat hatinya lunglai."Kenapa Kakak melakukan ini?" tanya Keya."Karena aku lelah membenci. Dan kamu... kamu tidak pantas dibenci oleh siapa pun. Bahkan oleh aku."Kata-kata itu mengendap di benaknya sepanjang perjalanan pulang. Bahkan saat beberapa guru perempuan menyentuh bahunya dengan nasihat berbeda-beda."Kalau kamu bisa legowo, kamu hebat sekali. Itu perempuan surga, Bu Keya," ujar Bu Tutik lirih."Tapi jangan sampai kamu disusupi. Hati-hati, ya. Ada hal-hal yang kalau dibiarkan, bisa makan kamu dari dalam," bisik Bu Mar.Setiba di rumah, Keya terperangah. Teras rumahnya ramai. Mila melambaikan tangan dengan antusias, disusul Lesti, Rina, dan
Tatapan-tatapan berputar ke segala penjuru aula. Sebagian menoleh ke arah Dania, sebagian lagi — tanpa sadar — melihat ke tempat duduk Keya.Keya menunduk. Tangannya mengepal di atas rok panjangnya. Wajahnya menegang, pipinya memanas.Ia ingin menghilang saat itu juga.Beberapa guru PAUD menoleh ke arahnya.Tapi bukan dia yang berdiri.Perlahan, seseorang dari arah tengah aula bangkit dari duduknya.Langkahnya ringan, percaya diri.Dania.Ya, Dania berdiri.Semua yang hadir mulai berbisik. "Bukannya Bu Keya ya yang istri pertama, seharusnya dia dong yang maju.""Tapi dia itu masih muda banget, lebih pantas Mbak Dania yang maju."Semua orang mengeluarkan pendapatnya."Lagian Dania kan sudah pulang ke rumah orang tuanya.""Itu kan cuma cara agar tak satu rumah. Bagimanapun nggak enak satu rumah dengan bini dua""Iya, kapan hari aku juga lihat Pak Liam datang ke rumah Mbak Dania. Mungkin biar mereka akur saja. Buktinya ya, tadi Mbak Dania akrab banget kan sama Bu Keya.""Cuma aku lihat
"Keya?"Seseorang memanggilnya. Suaranya tak asing walau sekarang terdengar lebih ramah. Keya menoleh perlahan.Wanita itu tersenyum, bahkan melambaikan tangan sebelum mendekat. Langkahnya mantap, seperti tak membawa beban apa pun."Alhamdulillah ketemu juga," ujar Dania dengan ramah. Lalu merangkul Keya dengan hangat, seolah semuanya terkesan tulus. "Aku tadi di bangku pojok, duduk bareng ibu-ibu yayasan."Dania llau mengedarkan pandangannya. " Kamu sendirian, Keya?"Keya mengangguk kecil. Seolah tak percaya dengan apa yang ditampakkan wanita yang kini sejengkal di depannya. "Saya bareng guru-guru PAUD.""Ohh, iya, ya,.." Dania memandang ke arah Bu Siti dan yang lain, lalu tersenyum. "Kalau gitu duduk di sebelahku aja, yuk?"Keya mengerutkan kening halus. "Makasih, Kak. Saya di sini aja, bareng teman-teman sekolah.""Oh... iya, nggak apa-apa," jawab Dania, senyumnya tetap terjaga walau tatapannya sekilas meredup. "Mungkin nanti kita bisa ngobrol, ya?"Keya hanya membalas dengan angguk