Keya melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Sore itu terasa dingin, angin menerpa wajahnya, membawa serta air matanya yang terus menetes tanpa bisa dia kendalikan. Tangannya yang menggenggam setang pun gemetar, bukan karena udara, tapi karena luka di dalam hatinya. Kata-kata papinya tadi terngiang berkali-kali di kepalanya.
"Jangan pernah kembali ke rumah ini sebelum dia mengawinimu!" Sakit. Sangat sakit. Keya bahkan tak tahu apakah jantungnya masih berdetak seperti biasa. Semua terasa kacau. Dunianya seakan runtuh. Sekolah, rumah, orangtua... tak satu pun yang menjadi tempat pulang. Sudah cukup lama ia berkendara. Tak terasa hari sudah malam, lampu-lampu jalan mulai terlihat. Hanya saja saat memasuki kawasan desa, hanya sorot lampu motornya yang menembus gelap, menuntunnya ke arah desa yang terpampang di G****e Maps. Keya menyeka air matanya dan menunduk pada layar ponsel di holder motornya. Tak salah. Ini jalannya. Beberapa menit kemudian, sebuah tugu besar bertuliskan nama desa yang asing muncul di depan matanya. Inilah desa Nabil. Pria yang sebenarnya teramat dicintainya. Pria yang katanya juga mencintainya dan bersamanya sudah merencanakan masa depan mereka setelah menjadi sarjana. Tapi kini? Hanya nama itu yang bisa dia andalkan. Motor Keya dipelankan. Dia mengingat percakapan dengan Nabil saat mereka bersama. Tentang rumahnya yang punya pagar besar berwarna hijau tua, di ujung jalan yang sepi, dekat sebuah warung kelontong. Keya menelusuri jalan itu. Tak lama, rumah yang dimaksud berdiri kokoh di hadapannya. Rumah besar, berbagai jenis bunga di halamannya yang luas seperti halaman kebanyakan rumah desa di sana. Rumah itu bersih dan rapi. Tapi sunyi. Keya belum sempat memencet bel, pintu rumah sudah terbuka. Seorang ibu dengan kerudung warna salem berdiri di depan pintu. "Maaf, Bu... apa betul ini rumahnya Nabil?" tanya Keya, suaranya parau, kelelahan dan nyaris tenggelam dalam tangis. Ibu itu memandang Keya dari atas ke bawah. Wajahnya ramah, tapi tatapannya mencermati. Mungkin heran melihat seorang gadis datang malam-malam, terlebih dengan dandanan Keya yang tak biasa di desa itu. "Benar. Kamu siapa?" "Saya Keya, Bu. Teman sekolahnya. Bisa bertemu dengannya?" Ibu itu tampak ragu sesaat, tapi tetap mempersilakannya masuk. "Ayo, masuk." Langkah kaki seorang pria terdengar dari dalam. Lelaki setengah baya dengan wajah serius menghampiri mereka. "Siapa, Mi?" tanyanya ramah. Bahkan seulas senyum tersungging saat melihat gadis itu begitu cantik berada di depannya. Tubuhnya yang mungil namun sedikit tinggi nampak cantik di kulitnya yang putih. Rambut bergelombang terurai sepunggung. "Saya Keya, Pak," jawab Keya lagi, menunduk sopan. "Ada keperluan apa kok malam datang kemari?" Pertanyaan itu seperti membangunkan Keya dari mimpi buruk. Lidahnya kelu. Tapi dia tahu dia harus bicara. Ini satu-satunya alasan dia datang sejauh ini. "Saya... saya,... hamil, Pak. Anaknya Nabil" Waktu berhenti. Seakan semua bunyi di dunia ikut membeku. Pria yang tadi ramah itu mendadak berubah. Tatapannya tajam menatap Keya. Ibu itu menutup mulutnya dengan tangan, sementara lelaki di hadapannya berdiri terpaku memegangi dadanya. Lalu, dengan cepat, wajahnya berubah merah padam. "Apa?!" teriaknya. "Pergi kamu dari rumah ini! Anak saya tidak mungkin melakukan itu! Nabil anak yang baik. Dan sekarang sudah ke Surabaya. Dia kuliah!" "Tapi Pak, saya bisa—" "PERGI!" hardiknya, dorongannya keras dan mengejutkan Keya sampai ia jatuh terduduk di lantai teras rumah. Ranselnya terlempar. Beberapa pakaian yang dia bawa terburai dari resleting yang tak tertutup rapat. "Aba!" teriak sang istri, menghampiri Keya dan mencoba menolongnya berdiri. Lelaki itu menggeram. "Tutup pintunya. Jangan biarkan perempuan ini kembali lagi!" Pintu ditutup keras, hampir mengenai kaki Keya yang belum sempat bangkit. Keya terdiam. Pundaknya berguncang. Matanya sudah tak bisa menahan limpahan air mata yang selama ini ia tahan. "Maaf, Dhuk..." suara sang ibu sayup-sayup terdengar dari balik pintu. Tapi pintu itu tetap tertutup. Keya berdiri perlahan. Pakaian yang berserakan ia masukkan ke tas dengan tangan gemetar. Setelah berdiri mematung di depan pintu yang kini tertutup rapat, Ia lalu kembali menaiki motornya. Kembali meneruskan perjalanan pulang? Tak mungkin. Dia bahkan tak tahu harus ke mana. Rumah? Sudah diusir. Rumah Nabil? Ditolak. Dunia serasa menutup semua pintunya. Angin malam makin menusuk. Jalan desa makin sepi. Bahkan jangkrik pun seolah tak sudi bersuara malam itu. Keya memandangi awan yang seolah gelap seketika. Dia sudah tak tau arah. Tangannya kembali menggenggam erat setang motor. "Ke mana, Keya? Ke mana kamu harus pergi sekarang?" gumamnya sendiri disertai air mata yang sudah tumpah di pipi putihnya. Dia melaju pelan. Lampu jalan seolah menghilang satu per satu. Lalu lintas kosong. Dada Keya terasa berat, dan pandangannya mulai kabur oleh air mata yang tak henti. Tak jauh dari sana, di tengah jalan kecil yang diapit sawah, motor Keya berhenti. Dia menurunkan standar, mematikan mesin, dan duduk di atas motor itu, memandangi hamparan gelap di depannya. Hanya langit kelam, tanpa bintang. Tangannya memeluk perutnya yang masih rata. "Maaf ya... kamu harus punya ibu seburuk aku..." Keya menangis di sana. Sendiri. Sepi. Dunia seperti tak sudi mendengarnya. Tak ada tempat aman. Tak ada yang bisa dipercaya. Beberapa kendaraan melintas cepat tanpa melihatnya. Dia duduk diam di pinggir jalan. Lalu sebuah truk melaju kencang dari arah belakang. Truk itu mendadak membunyikan klakson panjang. Keya menjerit .Nabil sudah menyelesaikan ospeknya. Pagi sekali dia bermaksud pulang ke desanya.Dia menatap layar handphonenya. Wajah ceria Keya yang duduk dengannya masih menjadi wallpapernya. Kali ini kerinduan yang sangat membuat dia mencoba menelpon handphone Keya, ternyata berdering."Alhamduuulillah, tidak diblokir lagi."Nabil kembali teringat masa-masa SMA-nya bersama Keya. Walau dia tak pernah satu tim dengan Keya, dia sering bersama Keya mewakili sekolah mereka sebagai duta anak-anak yang gemar lomba karya ilmiah. Dari sanalah akhirnya cinta itu tumbuh. Kebersamaan yang kerap mengundang kagum, bahkan mengundang iri yang menimbulkan bencana. Nabil sendiri sampai sekarang tidak dapat memastikan, di antara dua puluh temannya yang mengajak mereka ke puncak, apakah semua terlibat memberi dia dan Keya obat itu. Yang jelas setelah kejadian itu, dia tak ingin lagi mengenal nama anak-anak itu, apalagi berhubungan dengan mereka—yang rata-rata juga murid berprestasi sekaligus anak orang tajir.SMA ya
"Kamu mau menggugurkan bayimu?" tanya Maryam mengikuti pertanyaan Liam.Keya menganggukkan kepala dengan tertunduk. Dia sudah tak dapat berfikir lain. Hatinya terombang ambing."Sabar, Dhuk, jangan melakukan dosa besar. Yang telah kamu lakukan itu salah, jangan menambah dosa lagi.""Bukan salah saya, Bu. Saya hanya korban. Kami dijebak dengan diberi minuman yang dicampur obat," bela Keya."Maksud kamu?" Liam heran dengan perkataan Keya."Aku dan..." Keya menutup mulutnya agar tak keceplosan bicara tentang Nabil. "Aku dan dia dijebak hingga kami melakukan perbuatan tak bermoral itu, Bu. Bukan keinginan kami."Maryam dan Liam menatap prihatin. Dari awal mereka memang tidak yakin jika gadis seperti Keya bukanlah gadis baik-baik. Sikapnya bahkan seperti seorang anak polos yang masih tak memahami hal-hal yang aneh-aneh."Masih ada waktu saya masuk kuliah, Bu. Tinggal beberapa hari lagi, jika saya tak masuk saya dianggap tidak menjadi mahasiswi lagi. Sedangkan menjadi dokter adalah impian s
Liam mengucek matanya. Sepertinya dia tertidur setelah melaksanakan shalat tahajut. Hanya sekejap, tapi yang sekejap itu memberinya jawaban. Pertanyaan yang sejak kemarin dia seperti pernah melihat gadis itu entah di mana. Ternyata dia adalah gadis yang pernah hadir di mimpi-mimpi Liam beberapa hari yang lalu. Mimpi sekejap seperti saat ini. Biasanya setelah sholat Tahajut dia tak pernah tidur, tapi berzikir atau membaca Al Qur'an sampai Subuh pergi ke masjid, tapi saat itu, sama seperti hari ini, dia mengantuk sekali dan terlelap dalam duduk, lalu datanglah mimpi itu.Kembali Liam mempertanyakan makna mimpinya, terlebih gadis itu kini telah di rumahnya dengan keadaan yang sepertinya tak baik.-baik saja. Maryam ataupun dirinya belum berani menanyakan apa sebab dia pergi dari rumahnya. Padahal dia masih teramat muda, belum mengenal apapun.Apakah ini artinya mereka harus menolong gadis itu seperti yang kini Maryam dan dia lakukan? Liam tak memiliki adik. Dia bungsu dari 3 bersaudara. B
"Sebentar," kata Maryam, lalu menarik tangan putranya. Setelah berunding beberapa menit, akhirnya mereka keluar."Kamu boleh tinggal di sini sebentar, Dhuk, apalagi ini sudah malam. Kalau kamu pergi belum ada tujuan, bagaimana?" Biar nanti Liam yang bilang ke Pak RT," kata Maryam mengelus rambut Keya."O, ya...siapa namamu?""Keya, Bu,... panggil saja Key. Terima kasih sudah diperkenankan menginap di sini." Keya terlihat berbinar matanya. Setidaknya untuk sementara dia bisa tenang, tidak tahu bagaimana besok harus ke mana."Saya Bu Maryam, panggil saja...., Ibu, Dhuk." Maryam lalu menengok ke belakang."Itu anak ibu yang terakhir, namanya Liam."Liam mengangguk dan tersenyum."Mana kontakmu, biar motormu dimasukkan Liam ke dalam, nanti kamu ibu tunjukkan kamarmu."Keya merogoh kontaknya di saku celananya, dia kemudian baru menyadari di saku celananya yang satu, yang biasa dia letakkan handphone-nya, kini tak terasa tebal. Dia berdiri, dan sekali lagi dia merogoh sakunya,... Keya benar
"Kalau pingin mati jangan melibatkan orang lain, Mbak. Sana,nyebur sungai!"teriak kenek truk kencang.Keya terperanjak. "Astaghfirullah!" Untuk kesekian detik Keya memegangi dadanya. "Tidak, aku bukan orang yang sepicik itu hinggah aku harus membunuh diriku sendiri," gumannya lirih.Keya menata helmnya kembali, melajukan motornya menyusuri jalan yang di sekelilingnya hanya terhampar sawah dengan padi yang mulai menguning.Sampai akhirnya Keya tiba di depan sebuah rumah Jawa besar di ujung desa. Rasa lelah membuatnya tak bisa berpikir mau ke mana. Tak ada penginapan di desa.Dia turun dari motor. Ada sebuah bale-bale bambu di depan rumah itu, di bawah pohon mangga.Keya duduk di sana. Kerongkongannya terasa kering, sementara dia tak berfikir untuk membawa air minum seperti yang sering dia lakukan jika bepergian."Ke mana aku akan berjalan?" Belum sempat berpikir panjang, tiba-tiba pintu rumah terbuka."Dhuk, kamu siapa?" Keya terjaga dari pikiran bingungnya, menoleh ke arah pintu ya
Keya melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Sore itu terasa dingin, angin menerpa wajahnya, membawa serta air matanya yang terus menetes tanpa bisa dia kendalikan. Tangannya yang menggenggam setang pun gemetar, bukan karena udara, tapi karena luka di dalam hatinya. Kata-kata papinya tadi terngiang berkali-kali di kepalanya."Jangan pernah kembali ke rumah ini sebelum dia mengawinimu!"Sakit. Sangat sakit. Keya bahkan tak tahu apakah jantungnya masih berdetak seperti biasa. Semua terasa kacau. Dunianya seakan runtuh. Sekolah, rumah, orangtua... tak satu pun yang menjadi tempat pulang.Sudah cukup lama ia berkendara. Tak terasa hari sudah malam, lampu-lampu jalan mulai terlihat. Hanya saja saat memasuki kawasan desa, hanya sorot lampu motornya yang menembus gelap, menuntunnya ke arah desa yang terpampang di Google Maps. Keya menyeka air matanya dan menunduk pada layar ponsel di holder motornya. Tak salah. Ini jalannya.Beberapa menit kemudian, sebuah tugu besar bertuliskan n
Mahda menatap dengan tatapan yang sulit diartikan."Maaf, Bu. Keya positif."Waktu seolah berhenti.Melihat wajah tetangganya yang langsung berubah gelap, Bu Mahda, bidan itu, memilih pamit dengan cepat. Ia tak ingin menjadi saksi dari badai yang siap meledak.Neyna dan Chandra menatap anak gadisnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran marah, kecewa, dan sedih yang berkelindan menjadi satu. "Key!""Ada apa ini? Bisa jelaskan ke kami?" Suara Chandra tenang, tapi dinginnya menampar lebih keras dari teriakan.Keya berdiri terpaku. Keringat dingin kembali mengalir dari pelipisnya, matanya mengembun. Tangannya gemetar, ia meremas ujung bajunya sambil menunduk."Aku... aku dan Nabil ,.." ucapnya lirih."Nabil?" suara Chandra meninggi. "Jadi dia pelakunya?Dia yang memperkosamu?""Dia nggak maksa aku, Pi. Tapi... tapi aku juga nggak pernah mau ini terjadi. Kami dijebak. Seseorang—entah siapa—menyusun semuanya. Aku... aku bahkan nggak ingat semua detailnya.""Bisa-bisanya, kalian,