Aku melihat mas Farhan diam-diam karena aku hanya mendengar suaranya saja. Kulihat wajah mas Farhan yang tersenyum-senyum melihat pada layar ponselnya. Aku mendengar suara wanita tapi tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Ada keragu-raguan untuk aku mengatakan secara langsung atau diam untuk menanyakan kepadanya ketika kembali ke kamar.
Cukup lama aku berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja. “Ehem!” Aku berdehem, dan mas Farhan pun seperti tidak menyembunyikan sesuatu, tersenyum memanggilku. “Sayang! Kemarilah!” ujar mas Farhan dan aku pun menghampirinya. “Sini! Kenalkan Erika, ini istriku!” Mas Farhan menarikku untuk duduk di dekatnya. “Sayang, ini Erika yang aku ceritakan tadi, dia yang bertemu denganku dan kita meeting di Ayam Goreng lesehan itu loh. Tadi tidak sengaja, aku lihat I*******m, lihat profilnya Erika ini, dan ternyata, dia satu SD denganku! Coba bayangkan, Sayang! Teman SD yang ketemu tidak sengaja karena kerjasama. Jadi aku video call dengannya dan membahas mengenai teman-teman, guru, sekolah. Ternyata seru juga,” jelas mas Farhan tanpa kuminta. “Oh, jadinya reuni?” “Iya, Sayang.” “Apakah pantas reuni di jam 10 malam menjelang jam 11 disaat ada istrinya?” tanyaku pada layar ponsel yang mendadak raut muka Erika berubah. “Sayang … jaga ucapanmu.” “Apa dia tidak mempunyai suami, sehingga tanpa sadar berbicara dengan lelaki lain?” tanyaku lagi. “Dia sudah bercerai, Dek. Jadi tidak ada yang akan ditegur.” “Oh, karena Mas Farhan mempunyai istri, makanya bisa aku tegur sekarang. Mbak Erika, tolong untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk membahas pekerjaan ataupun reuni sekolah Mbak. Ini sudah terlalu malam, dan tidak baik juga seorang wanita menelepon suami orang,” cercaku. “Sayang! Jaga ucapanmu! Erika, tolong maafkan istriku yah, lain kali kita bahas pekerjaan. Maaf aku yang mengganggu karena ini sudah larut malam. Selamat malam,” tutup mas Farhan menutup video callnya. “Kamu kenapa sih, Dek? Lagi pms yah? Bawaannya cemburu terus. Marah-marah terus. Gak enak loh, Dek. Erika ‘kan akan mengadakan kerjasama dengan perusahaan mas. Kalau ternyata Erika adalah teman jaman SD, maka lebih mudah untuk bekerjasama dengan perusahaan milik Erika. Tentu saja, kalau jadi, toh Mas bakal dapat bonus. Bonus untuk menutupi tabungan yang sering boncos karena diminta sama ibu atau Ratih,” ucapnya. “Ngerti Mas, tapi gak malem-malem juga kali, kan bisa siang–.” “Sudahlah! Mas terus yang disalahkan! Bukannya tadi Mas sudah bilang, Mas ada disini karena kamu marah. Mas sampai buka-buka I*******m sampe ketemu Erika yang sedang upload sekolah Mas dulu. Dari situ Mas chat Erika dan berlanjut video call.” Sekali lagi mas Farhan menjelaskan siapa Erika itu. Apakah aku yang terlalu cemburu buta? Ataukah ada yang ditutupi dari mas Farhan? “Aku mau minum dan tidur lagi.” Aku ke dapur dan mengambil air minum dan meneguknya. Kulihat mas Farhan sudah kembali ke kamar, tidur dengan memunggungiku. Sepertinya aku terlalu cemburu, semua rasanya salah mas Farhan. “Mas, maafkan aku ya?” bisikku pada daun telinganya. Mas Farhan membalikkan badannya dan tersenyum. “Nah gitu dong seorang istri gak boleh cemburuan. Lagian mas gak ngelakuin apa-apa kan? Malah Mas kenalin dengan Erika.” “Hm, bener juga sih, kalau selingkuh, bukannya diam-diam?” pikirku kembali. “Dah, yuk kita tidur.” Mas Farhan memelukku, tapi tidak hanya memelukku, bahkan tangannya mulai menyelusup kebalik baju tidurku. “Mas pengen, Dek ….” Mau tidak mau, aku pun melayani mas Farhan. Setiap masalah yang terjadi di antara kita, pasti ujungnya ditutup dengan hubungan suami istri. *** “Dek, nanti kita ke dokter yuk?” tanya mas Farhan sambil memakai dasi yang sudah aku siapkan. “Ke dokter? Ngapain?” “Kita cek kandungan. Kita program hamil. Kita nikah udah 2 tahun, seharusnya kita sudah punya anak. Kamu pengen punya anak gak?” “Ya pengen sih Mas, kapan?” “Kamu mau? Gimana kalau nanti sore pulang Mas kerja?” tanya mas Farhan antusias. “Baiklah, sore pulang Mas kerja kita ke dokter kandungan.” Hari ini berjalan seperti biasanya. Selagi mas Farhan pergi, aku berkutat dengan pekerjaanku di rumah mengenai laporan-laporan restoran. Alhamdulillah, kalau weekend ini ada private wedding, yang pendapatannya setelah dikurangi biaya operasional termasuk gaji tim, aku bisa mengantongi dana dua kali jatah pemberian mas Farhan, yaitu empat juta. Ya, sekali event. Kebayang kalau dalam satu bulan booking restoran hampir penuh, baik hari biasa maupun hari weekend. Aku hanya bisa tersenyum membayangkannya. Walau demikian, restoran tidak bisa aku lepas begitu saja. Adakalanya customer meminta aku untuk membuat menu andalanku, maka aku akan meminta izin mas Farhan membantu di restoran. Walau terkadang pekerjaanku direndahkan karena mas Farhan hanya tahu aku membantu cuci piring. Lagi-lagi karena ketidaksengajaannya, setiap kali mas Farhan jemput aku setelah acara, terutama di malam hari, aku sedang membantu mencuci piring atau mengelap meja. Sudah berulang kali mas Farhan memintaku untuk tidak membantu restoran, tapi aku bisa meyakinkan mas Farhan, karena tidak setiap hari aku bekerja, hanya customer-customer yang benar-benar menginginkan aku masak saja, baru aku turun tangan. Lamunanku dikejutkan oleh bunyi notifikasi dari ponselku. Kuraih ponsel dan membaca pesan dari kakakku, Leo. “Alea, aku berencana membeli rumah. Rumahnya sih kecil, mau aku renovasi dan aku kontrakan, tapi pakai namamu yah?” tanya Leo. “Apa Sarah tidak keberatan?” Aku bertanya mengenai istri kakakku itu. Aku tidak mau di kemudian hari kakak iparku mempermasalahkan apa yang sudah kakakku lakukan. “Justru ini ide dari Sarah, Alea. Selama ini kamu belum mempunyai rumah dan masih kontrak rumah. Setidak-tidaknya, hasil kontrakan nanti, akan aku bagi dua denganmu. Hitung-hitung tabungan buatmu membeli rumah,” jawab Leo. “Aku masih ada dana dari restoran kak.” “Tidak apa, tapi ingat, jangan beritahu Farhan.” Entah kenapa, hanya kakakku yang terang-terangan tidak menyukai mas Farhan. Berbeda dengan ayah dan ibuku yang masih menerima baik mas Farhan. Jika aku bertanya langsung dengannya, dia tidak pernah menjawab. Kakakku hanya menjawab, “Aku tidak suka dengan wajahnya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan kakakku, mas Farhan memiliki wajah yang menurutku cukup tampan, bisa dibandingkan dengan artis-artis Indonesia yang berwajah blesteran. Ibu mas Farhan memang orang Jawa, tapi ayahnya, ada campuran Belanda, berkulit putih, mancung dengan mata bulat dan rahang yang tegas, berbeda denganku yang kulitku mengarah kepada sawo matang. “Ya, aku gak akan bilang-bilang sama mas Farhan.” Tidak lama, kakakku mengirimkan foto-foto rumah yang akan dibelinya itu. Rumah tipe minimalis yang akan direnovasi pada bagian dapur dan kanopi pada bagian depan rumah. Baru saja aku beres-beres dengan pekerjaanku, dan selesai masak untuk makan siangku, tiba-tiba ibu mertua kembali datang ke rumah. “Alea!” teriaknya memanggil namaku.Aku duduk di ruanganku di restoran sambil menggulir layar ponsel. Berita tentang penangkapan Joko Supriono terus muncul di berbagai platform berita online. Ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial, dan aku bisa membayangkan betapa kacaunya situasi di pihak Erika dan keluarganya saat ini. Evan baru saja kembali dari honeymoon-nya di Bali. Begitu masuk ke restoran, dia tampak lebih segar dengan senyum santainya yang khas. Aku melihatnya melangkah ke arahku sambil melepaskan kacamata hitam yang masih menggantung di wajahnya. "Hei, bos! Aku kembali," katanya dengan nada riang. "Kau merindukanku?" Aku tersenyum kecil dan mengangkat alis. "Kau hanya pergi seminggu, Evan." "Tapi tetap saja, restoran tanpa aku pasti terasa sepi, kan?" Dia tertawa, lalu menarik kursi di depanku. Namun, senyumnya sedikit memudar saat melihat aku masih sibuk menatap layar ponsel. "Kau kenapa sih? Dari tadi main ponsel terus," tany
Aku menggeleng, mencoba tetap tenang. “Tunggu sebentar, Ratih. Maksudmu, Mas Calvin sudah tahu semua ini sejak awal?” Ratih menatapku dengan ekspresi datar, tapi aku bisa melihat ada sedikit ketegangan di sana. “Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya. Tapi beberapa waktu lalu, suamimu menemui Mas Farhan dan menunjukkan bukti bahwa perusahaan yang dikelola mbak Erika sebenarnya mendapat suntikan dana dari seseorang yang mencurigakan. Mas Farhan tidak percaya pada awalnya, tapi setelah diselidiki lebih jauh, ternyata perusahaan Erika hampir bangkrut dan di saat itulah nama mas Joko muncul.” Aku menahan napas. “Jadi, Joko yang menyelamatkan perusahaan Erika?” Ratih mengangguk. “Iya. Dan Mbak tahu sendiri siapa mas Joko, bukan?” Tubuhku membeku. Joko bukan orang baik. Aku tahu itu. Tapi yang lebih mengejutkan adalah keterlibatan Mas Calvin dalam semua ini. Kenapa dia menyelidikinya? “Mbak Alea,” panggil Ratih pelan,
Aku menghela napas sebelum mengangkatnya."Ada apa?" tanyaku datar."Apa yang kamu lakukan kepada Erika, Alea?!" suara Farhan terdengar penuh amarah di seberang sana.Aku mengernyit. "Apa maksud Mas Farhan?""Erika masuk rumah sakit! Dia tiba-tiba stres dan pingsan! Dia bilang ini semua gara-gara kamu!"Aku menggeleng tak percaya. "Dengar, Mas. Aku bahkan tidak bertemu Erika hari ini. Kalau dia merasa bersalah atau tertekan, itu urusannya, bukan salahku.""Jangan pura-pura tidak tahu! Kamu selalu iri dengan kebahagiaan kami, kan?! Makanya kamu sengaja membuat kekacauan!"Aku tertawa sinis. "Kebahagiaan? Mas serius? Dari awal, aku tidak pernah peduli dengan hubungan kalian. Aku sudah lama melupakan semuanya. Jadi kalau Erika merasa bersalah atau takut rahasianya terbongkar, itu bukan urusanku!""Kamu keterlaluan, Alea!" bentaknya lagi.Aku mendengus. "Mas, aku sudah cukup lelah dengan drama kalian. Kalau
Setelah pertemuan tak terduga dengan Ibu Aminah, aku menghela napas panjang, mencoba mengabaikan semua yang baru saja terjadi. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting bagiku lagi. Fokus utamaku saat ini adalah restoran. Aku segera melanjutkan keperluanku di pasar, bertemu dengan beberapa supplier yang selama ini bekerja sama dengan restoranku. Karena Evan sedang cuti menikah, akulah yang harus memastikan semua bahan baku tetap tersedia dengan kualitas terbaik. “Bu Ningsih, seperti biasa, saya pesan ayam fillet dan daging sapi kualitas premium, ya. Kirim ke restoran sore ini.” Bu Ningsih, seorang pemasok daging yang sudah lama bekerja sama denganku, mengangguk sambil mencatat pesananku. “Siap, Mbak Alea. Stok lagi bagus, jadi tenang saja.” Aku melanjutkan ke lapak sayuran, memastikan semua bahan segar yang aku butuhkan tersedia. Setelah semua pesanan sudah diatur, aku mengec
Aku mengerutkan kening dan menatap karyawan yang berbisik padaku. “Tamu?” tanyaku, memastikan aku tidak salah dengar.Karyawan itu mengangguk. “Ya, seorang pria bernama Joko Supriono. Dia bilang ingin bertemu dengan Mbak Alea secara langsung.”Jantungku berdegup lebih cepat. Nama itu bukanlah nama yang ingin kudengar di malam spesial ini. Dengan perasaan waspada, aku melangkah ke arah pintu masuk restoran.Begitu aku keluar, di sana dia berdiri. Joko Supriono, pria paruh baya dengan perut buncit dan senyum yang selalu terasa menjijikkan di mataku. Dia mengenakan kemeja mewah yang sedikit terbuka di bagian atas, seolah ingin menunjukkan kepercayaan dirinya yang berlebihan.“Lama tidak bertemu, Alea,” ucapnya dengan nada yang terdengar akrab, seolah kami adalah teman lama.Aku mengatur napas dan berusaha tetap tenang. “Pak Joko, ada keperluan apa malam-malam begini?” tanyaku dengan nada datar.Dia terkekeh kecil, melirik ke sekelil
Semua orang masih larut dalam kebahagiaan setelah Nadine menerima lamaran Evan. Aku tersenyum puas melihat mereka saling menggenggam tangan dengan mata berbinar. Tapi, kejutan sesungguhnya baru akan dimulai.Aku melirik ke arah mas Calvin yang duduk di sebelahku sambil memangku Shasha. Dia mengangguk kecil, tanda bahwa semuanya sudah siap. Aku pun berdiri dan mengambil mikrofon.“Terima kasih untuk semua yang sudah datang dan menyaksikan lamaran Evan dan Nadine malam ini,” ujarku dengan suara mantap. “Tapi, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”Semua mata kini tertuju padaku, termasuk Evan yang menatapku dengan alis berkerut. Aku menarik napas dan melanjutkan, “Setelah berdiskusi dengan keluarga Nadine dan Evan, kami memutuskan untuk mengubah acara malam ini… dari sekadar lamaran menjadi akad nikah.”Ruangan mendadak hening. Aku bisa melihat wajah Evan langsung menegang, matanya melebar karena terkejut. Sementara Nadine, meski tampak terkejut, ti