Perempuan mana yang tidak berpikir aneh-aneh kalau melihat suaminya di dalam mobil dengan seorang wanita yang tidak dia kenal. “Akan aku tanyakan setelah aku tiba di restoran.”
Ojek yang aku tumpangi tak terasa sudah sampai di pelataran restoran. Langsung segera aku masuk dan minum segelas air dingin agar pikiranku juga ikut dingin. “Tumben mbak minum kaya orang kehausan begitu?” tanya Evan yang melihatku datang langsung mengambil minum seperti orang yang sedang kesurupan. “Mbak lagi dinginkan hati dan otak, Van,” jawabku sekenanya. Evan hanya meringis mendengar jawabanku. “Oh yah, tadi kiriman barang sudah tiba mbak.” “Ada kendala?” tanyaku kembali fokus dengan persoalan restoran. Aku mengecek semua laporan termasuk persiapan acara untuk yang booking beberapa hari lagi. Persiapan dimulai dari sekarang. Aku sudah mempersiapkan menu dari permintaan klien jadi timku mempersiapkan bahan-bahan hingga pada saat hari H, proses memasak lebih singkat. Tak terasa, aku berada di restoran sudah dua jam lamanya sampai aku lupa untuk menelepon mas Farhan. Hari pun sudah sore, aku putuskan akan aku tanyakan langsung selepas mas Farhan kembali pulang. Lagi pula, ini sudah hampir pukul empat sore. “Mbak pulang dulu yah. Kalau ada apa-apa hubungi mbak!” pamit pada Evan dan anak-anak lainnya. “Siap, mbak! Hati-hati di jalan!” Aku kembali pulang pakai ojek online menuju rumah. Sebentar lagi mas Farhan pulang dan aku pun harus mempersiapkan masakan untuk makan malam. Segera aku masak makan malam, lalu segera mandi sambil menunggu mas Farhan. “Assalamualaikum,” ucap mas Farhan dari arah pintu. “Waalaikumsalam,” jawabku sambil bergegas menyambutnya. “Uang arisan untuk ibu dan uang Ratih sudah diberikan?” tanya mas Farhan selepas memberikan tas kantornya kepadaku. “Sudah. Karena pengeluaran ibu dan Ratih, 1,5 juta, jadi tabungan bulan ini hanya 500 ribu, yah mas?” tanyaku memastikan. Mas Farhan pun tahu setiap bulan, kita berupaya untuk menabung perbulan dua juta. “Iya, mas tahu, tapi apa gak pake uang sisa belanja, buat tabungan?” “Uang belanja kan, memang jatahnya sehari seratus ribu mas–.” “Sebaiknya, dikurangi saja. Kita kan makan cuma berdua, lagi pula siang aku makan diluar. Hanya kamu sendiri, jadi mas rasa lima puluh ribu cukup. Sisanya dibuat tabungan.” “Ngomong-ngomong makan diluar, apa mas hari ini makan diluar?” pancingku. “Iya, hari ini mas makan di luar dengan supplier, namanya bu Erika. Mas tadi coba makan ayam goreng lesehan, ternyata enak. Nanti kapan-kapan, kita makan disana yah?” Mendengar penjelasan mas Farhan, hatiku yang semula cemburu menjadi luluh karena mas Farhan jujur dengan apa yang terjadi pada hari ini. “Boleh, kita makan disana, tapi gak pake uang belanja yah!” “Semua uang gajiku, aku berikan padamu loh.” “Setelah mas Farhan meminta untuk menghemat belanja harian, maka tidak usah berharap untuk pergi ke ayam goreng lesehan,” ucapku dengan kesal sambil berlalu ke kamar. Aku tidak habis pikir dengan mas Farhan. Seharusnya dia memikirkan mana yang paling penting. Sebaiknya aku tidur saja daripada berdebat untuk sesuatu yang tidak penting. “Dek? Marah yah?” tanya mas Farhan yang masuk ke dalam kamar, melihatku tidur dengan memunggunginya. “Aku sudah mempercayakan uang bulananku padamu untuk kamu atur, Dek, tapi tolong juga kamu harus mengerti, aku juga tulang punggung untuk ibu dan adikku. Tunggu sampai adikku selesai kuliah dan bekerja ya? Maka bebanku untuk adikku lepas.” “Aku tidak marah kok, Mas. Cuma Mas harus bisa memilah permintaan ibu dan adikmu, mana yang penting. Karena setiap keinginan ibu atau adikmu disampaikan, pasti kamu menyuruhku untuk memberikannya. Contoh tadi ibu meminta uang lima ratus ribu untuk arisan dengan alasan kebutuhan semesteran Ratih. Sedangkan kita sudah menyiapkan anggaran semesteran Ratih satu juta tiap bulan. Jadi menurutku, permintaan ibumu itu bukan menjadi prioritas. Lalu masalah Ratih, dia meminta dana untuk pergi penelitian keluar kota, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Jika dia bisa menabung untuk membeli barang kesukaannya dengan harga yang mahal, kenapa dia tidak bisa menabung untuk kuliahnya sendiri?” “Apa maksudmu dengan membeli barang mahal?” tanya mas Farhan. “Aku lihat ponsel Ratih merek ipon terbaru. Harganya diatas dua puluh juta. Masa cuma sejuta saja tidak bisa menabung?” Mas Farhan mengerutkan keningnya, seakan-akan tidak percaya apa yang aku bicarakan. Lalu mengambil ponselnya dan menelepon Ratih secara langsung. Aku tampak kaget, karena mas Farhan langsung bereaksi seperti itu. “Halo Ratih, kata mbak Alea, kamu pakai ponsel ipon keluaran baru ya?” “Kata mba Alea? Mbak Alea salah lihat kali. Ini ipon lama kok, dikasih sama mantan aku. Lagian kenapa sih mbak Alea kepo banget lihat-lihat ponsel aku? Emang mbak Alea ngerti type ipon yang aku pakai? Jangan karena ipon aku pegang, disangkanya keluaran terbaru. Mungkin di kampungnya ipon type aku baru datang, jadi dianggap dia keluaran terbaru. Makanya Mas, punya duit beliin juga mbak Alea ponsel ipon. Atau mbak Alea gak bisa pake ipon?” Ponsel mas Farhan di loud speaker agar aku bisa mendengarnya. “Tuh, dek! Jangan suka kepo, jadinya salah kan? Kalo Mas belum bisa kasih ponsel baru buat kamu, artinya masih ada yang lebih penting daripada ganti ponsel. Lagian, itu ipon juga dikasih sama mantan pacar Ratih, jadi jangan suudzon, jatuhnya fitnah.” Mas Farhan tampak tidak suka kalau aku membahas keluarganya, apalagi sangkut paut dengan masalah uang. “Ya Mas, maaf.” Hanya permintaan maaf yang bisa aku lakukan. Walau mas Farhan membela adiknya dan menyalahkan aku, aku tahu ipon keluaran terbaru karena para tamu yang makan di restoran, rata-rata memakai ipon. Aku diam saja, kalau aku menyanggah, yang ada akan terjadi keributan. Diam adalah pilihan bijaksana pada saat ini. “Nah, gitu dong. Kamu minta maaf sama Ratih ya, sudah suudzon sama dia.” “Aku rasa tidak perlu mas.” Aku merasa benar, rasanya tidak ikhlas kalau harus meminta maaf padanya. Apalagi mas Farhan tidak melihat langsung ponsel yang dipakai Ratih. “Kok gitu? Kamu loh dek, yang salah sudah suudzon sama Ratih. Gak mau kan kalau kamu dianggap kakak ipar yang kampungan?” “Loh, kenapa aku yang kampungan?” Entah kenapa mas Farhan malah menyudutkan aku. “Ya karena kamu ‘kan gak pernah pegang ipon tapi serasa tahu ipon punya Ratih.” “Ya, Mas lihat saja sendiri. Itu pun kalau Ratih mau kasih lihat.” Aku kembali membalikkan punggungku. Rasanya malas berdebat untuk sesuatu yang menurutku tidak penting. Mas Farhan pun sepertinya malas berdebat denganku, dia keluar kamar membawa ponselnya dan duduk di sofa ruang keluarga sambil menyalakan televisi. Sejam berlalu, aku terbangun karena haus, tapi mas Farhan belum kembali tidur. Aku meraih gelas disamping ranjang dan aku mengintip mas Farhan diluar, tapi kudengar, mas Farhan sedang video call dengan seseorang. “Siapa yang video call dengan mas Farhan malam-malam begini?”Aku duduk di ruanganku di restoran sambil menggulir layar ponsel. Berita tentang penangkapan Joko Supriono terus muncul di berbagai platform berita online. Ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial, dan aku bisa membayangkan betapa kacaunya situasi di pihak Erika dan keluarganya saat ini. Evan baru saja kembali dari honeymoon-nya di Bali. Begitu masuk ke restoran, dia tampak lebih segar dengan senyum santainya yang khas. Aku melihatnya melangkah ke arahku sambil melepaskan kacamata hitam yang masih menggantung di wajahnya. "Hei, bos! Aku kembali," katanya dengan nada riang. "Kau merindukanku?" Aku tersenyum kecil dan mengangkat alis. "Kau hanya pergi seminggu, Evan." "Tapi tetap saja, restoran tanpa aku pasti terasa sepi, kan?" Dia tertawa, lalu menarik kursi di depanku. Namun, senyumnya sedikit memudar saat melihat aku masih sibuk menatap layar ponsel. "Kau kenapa sih? Dari tadi main ponsel terus," tany
Aku menggeleng, mencoba tetap tenang. “Tunggu sebentar, Ratih. Maksudmu, Mas Calvin sudah tahu semua ini sejak awal?” Ratih menatapku dengan ekspresi datar, tapi aku bisa melihat ada sedikit ketegangan di sana. “Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya. Tapi beberapa waktu lalu, suamimu menemui Mas Farhan dan menunjukkan bukti bahwa perusahaan yang dikelola mbak Erika sebenarnya mendapat suntikan dana dari seseorang yang mencurigakan. Mas Farhan tidak percaya pada awalnya, tapi setelah diselidiki lebih jauh, ternyata perusahaan Erika hampir bangkrut dan di saat itulah nama mas Joko muncul.” Aku menahan napas. “Jadi, Joko yang menyelamatkan perusahaan Erika?” Ratih mengangguk. “Iya. Dan Mbak tahu sendiri siapa mas Joko, bukan?” Tubuhku membeku. Joko bukan orang baik. Aku tahu itu. Tapi yang lebih mengejutkan adalah keterlibatan Mas Calvin dalam semua ini. Kenapa dia menyelidikinya? “Mbak Alea,” panggil Ratih pelan,
Aku menghela napas sebelum mengangkatnya."Ada apa?" tanyaku datar."Apa yang kamu lakukan kepada Erika, Alea?!" suara Farhan terdengar penuh amarah di seberang sana.Aku mengernyit. "Apa maksud Mas Farhan?""Erika masuk rumah sakit! Dia tiba-tiba stres dan pingsan! Dia bilang ini semua gara-gara kamu!"Aku menggeleng tak percaya. "Dengar, Mas. Aku bahkan tidak bertemu Erika hari ini. Kalau dia merasa bersalah atau tertekan, itu urusannya, bukan salahku.""Jangan pura-pura tidak tahu! Kamu selalu iri dengan kebahagiaan kami, kan?! Makanya kamu sengaja membuat kekacauan!"Aku tertawa sinis. "Kebahagiaan? Mas serius? Dari awal, aku tidak pernah peduli dengan hubungan kalian. Aku sudah lama melupakan semuanya. Jadi kalau Erika merasa bersalah atau takut rahasianya terbongkar, itu bukan urusanku!""Kamu keterlaluan, Alea!" bentaknya lagi.Aku mendengus. "Mas, aku sudah cukup lelah dengan drama kalian. Kalau
Setelah pertemuan tak terduga dengan Ibu Aminah, aku menghela napas panjang, mencoba mengabaikan semua yang baru saja terjadi. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting bagiku lagi. Fokus utamaku saat ini adalah restoran. Aku segera melanjutkan keperluanku di pasar, bertemu dengan beberapa supplier yang selama ini bekerja sama dengan restoranku. Karena Evan sedang cuti menikah, akulah yang harus memastikan semua bahan baku tetap tersedia dengan kualitas terbaik. “Bu Ningsih, seperti biasa, saya pesan ayam fillet dan daging sapi kualitas premium, ya. Kirim ke restoran sore ini.” Bu Ningsih, seorang pemasok daging yang sudah lama bekerja sama denganku, mengangguk sambil mencatat pesananku. “Siap, Mbak Alea. Stok lagi bagus, jadi tenang saja.” Aku melanjutkan ke lapak sayuran, memastikan semua bahan segar yang aku butuhkan tersedia. Setelah semua pesanan sudah diatur, aku mengec
Aku mengerutkan kening dan menatap karyawan yang berbisik padaku. “Tamu?” tanyaku, memastikan aku tidak salah dengar.Karyawan itu mengangguk. “Ya, seorang pria bernama Joko Supriono. Dia bilang ingin bertemu dengan Mbak Alea secara langsung.”Jantungku berdegup lebih cepat. Nama itu bukanlah nama yang ingin kudengar di malam spesial ini. Dengan perasaan waspada, aku melangkah ke arah pintu masuk restoran.Begitu aku keluar, di sana dia berdiri. Joko Supriono, pria paruh baya dengan perut buncit dan senyum yang selalu terasa menjijikkan di mataku. Dia mengenakan kemeja mewah yang sedikit terbuka di bagian atas, seolah ingin menunjukkan kepercayaan dirinya yang berlebihan.“Lama tidak bertemu, Alea,” ucapnya dengan nada yang terdengar akrab, seolah kami adalah teman lama.Aku mengatur napas dan berusaha tetap tenang. “Pak Joko, ada keperluan apa malam-malam begini?” tanyaku dengan nada datar.Dia terkekeh kecil, melirik ke sekelil
Semua orang masih larut dalam kebahagiaan setelah Nadine menerima lamaran Evan. Aku tersenyum puas melihat mereka saling menggenggam tangan dengan mata berbinar. Tapi, kejutan sesungguhnya baru akan dimulai.Aku melirik ke arah mas Calvin yang duduk di sebelahku sambil memangku Shasha. Dia mengangguk kecil, tanda bahwa semuanya sudah siap. Aku pun berdiri dan mengambil mikrofon.“Terima kasih untuk semua yang sudah datang dan menyaksikan lamaran Evan dan Nadine malam ini,” ujarku dengan suara mantap. “Tapi, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”Semua mata kini tertuju padaku, termasuk Evan yang menatapku dengan alis berkerut. Aku menarik napas dan melanjutkan, “Setelah berdiskusi dengan keluarga Nadine dan Evan, kami memutuskan untuk mengubah acara malam ini… dari sekadar lamaran menjadi akad nikah.”Ruangan mendadak hening. Aku bisa melihat wajah Evan langsung menegang, matanya melebar karena terkejut. Sementara Nadine, meski tampak terkejut, ti