Share

Bakal Calon Madu

Author: Fatimah
last update Last Updated: 2022-11-01 15:22:21

Cahaya matahari mulai menyembul dari arah timur saat aku menghangatkan makanan sisa hajatan kemarin. Setelah shalat subuh, aku dan Bibi Ndeh langsung ke dapur umum. Dia membereskan sisa-sisa bumbu, lalu membawanya ke dapur Mamah. 

 

“Kalau di sini udah beres, Bibi mau langsung pulang. Kasihan Mang Aden—suaminya—kalau bibi nggak pulang hari ini,“ katanya sambil menyapukan sampah-sampah yang berserakan. 

 

Setelah acara selesai, saudara dekat Mamah maupun Bapak tidak ada yang rewang, termasuk Uwak Piah. Sepertinya mereka lelah sudah karena sudah rewang dari jauh-jauh hari.

 

“Alhamdulillah, selesai. Hayu Teh, kita siapin makan. Bibi mau pulang nih,“ ajaknya. Aku mengangguk lalu mematikan kompor. 

 

Saat aku dan Bibi Ndeh ke ruang keluarga, Nuri dan Rika sedang asyik nonton berita artis. Mereka menonton sambil ngemil kue-kue sisa hajatan.

 

 

“Ya Allah, Teh Aas ... Lihat sini Teh!“ 

 

 

Mendengar teriakan Bibi Ndeh, Mamah langsung keluar dari kamarnya. Tangannya sedang memegang amplop dan uang. Sepertinya Mamah dan Bapak sedang menghitung amplop hajatan.

 

 

“Ada apa, Ndeh?“ tanya Mamah sambil menghampiri Bibi Ndeh yang berdiri tak jauh dari Nuri dan Rika.

 

 

“Itu tolong disuruh mantu-mantunya, Teh. Enak banget, pagi-pagi bukannya beres-beres, malah ngemil sambil nonton TV,“ jawab Bibi Ndeh. Bibirnya mencebik kesal.

 

 

“Nuri, Rika ... Matiin dulu tv-nya. Ayo bantuin nyiapin makanan,“ katanya lembut. Nuri dan Rika kompak beranjak, lalu mengikuti Bibi Ndeh yang sudah berjalan ke dapur dengan langkah dihentak-hentakkan.

 

 

Ketika hendak menggelar karpet, Yanti keluar dari kamar tamu. Dia tersenyum lalu menghampiriku. Pagi ini kepalanya tak ditutup hijab. Dia menggunakan piyama tidur lengan pendek dan celana yang hanya menutupi lututnya saja. Rambutnya pun dicepol asal tapi bibirnya begitu meriah dengan lipstik warna jingga. Melihatnya membuatku mengigit bibir bawah.

 

 

 

“Sini Teh, biar saya bantu,“ katanya. Aku tak mengangguk, juga tak menolak.

 

 

“Teteh asli Bandung?“ tanyanya saat aku memindahkan nasi dan lauk pauk ke atas karpet.

 

 

“Ya.“ Aku menjawabnya singkat.

 

 

“Baju Teteh bagus. Badan Teteh juga bagus,“ katanya.

 

 

Aku mengernyitkan dahi, merasa pujiannya berlebihan, karena aku hanya memakai gamis rumahan bahan rayon. Aku hanya tersenyum tipis lalu berjalan ke kamar. Malas meladeninya.

 

 

Kubangunkan Mas Hasan yang terlelap lagi seusai shalat subuh. Sementara Khalid sangat anteng dengan mainan legonya. Bukannya bangun, Mas Hasan malah menarik tubuhku hingga membuatku menindihnya. Dia tersenyum dengan mata sedikit terbuka.

 

“Kangen nih, Dek. Udah lama nggak bulan madu,“ katanya sambil mencium pipiku.

 

Aku hanya tersenyum, lalu memainkan jari di dagunya. Kasihan Mas Hasan, selama satu bulan di sini kami memang jarang berhubungan suami istri. Aku selalu sibuk di dapur dan Mas Hasan sibuk mengantar calon pengantin ke sana ke mari.

 

“Bangun, yuk ah. Makanan udah siap,“ kataku sambil beranjak bangun dari tubuhnya.

 

Mas Hasan pun mengangguk. Dia duduk di tepian ranjang sambil menatap putra semata wayang kami. Ada gurat lelah dan sendu di wajah tampannya. Mas Hasan masih terlihat tampan walau usianya lebih tua 13 tahun dariku. Dia mendesah pelan, lalu kembali merebah dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

 

“Kenapa Mas? Ada masalah?“ tanyaku sambil memijit pelan betisnya. Dia paling senang jika aku pijat.

 

“Mas nggak habis pikir sama jalan pikiran Mamah, Dek.“ Mas Hasan menjawab.

 

“Kenapa lagi sama Mamah, Mas?“ tanyaku. Kali ini tanganku memijit lembut telapak kakinya.

 

 

“Mamah nyuruh Mas nikahin Yanti. Subhanallah sekali kan,“ jawabnya sambil tersenyum miris.

 

 

 Aku tersenyum sinis. Ternyata instingku benar, Mamah memang menginginkan perempuan itu. 

 

“Ya kalau Mas mau, silahkan ...“ ucapku. Tanganku berhenti sejenak. Dia menatapku dengan mata memicing.

 

“tapi ceraikan dulu aku,“ lanjutku sambil kembali memijitnya. 

 

“Dari dulu Mas nggak pernah tertarik sama Yanti. Kalau tertarik, sudah dari dulu Mas nikahin dia,“ sewotnya. Aku terkekeh pelan.

 

“Dia itu cantik loh, Mas. Dia wanita karir, punya toko bakery. Idaman Mamah banget,“ godaku. Mas Hasan malah bergidik ngeri.

 

 

“Dia itu posesif, Dek. Dari dulu ngejar-ngejar Mas. Malam tadi juga kamu tahu sendiri kan, Dek. Dia pengen duduk samping Mas.“ Mas Hasan geleng-geleng kepala, dengan ekspresi wajah yang begitu keki. Aku sampai tertawa melihat ekspresinya.

Malam tadi Yanti memang hampir duduk di samping Mas Hasan, tapi Mas Hasan malah mengajakku pindah, duduk di dekat lemari.

 

 

“Mana dia penampilannya gitu. Coba tadi subuh, pas Mas mau ke masjid. Dia ke kamar mandi cuma pake handuk kimono. Astagfirullah ...“ 

 

 

Mas Hasan meraup wajahnya kasar membuat tawaku semakin kencang. 

 

“Emang kapan Mamah nyuruh Mas nikahin dia?“ tanya sambil menyeka sudut mata yang berair saking puasnya tertawa.

 

“Malam, Dek. Pas Adek tidur duluan. Mas tadinya mau nyusul Adek. Tapi Mamah nahan Mas. Ternyata Mamah nyuruh Mas nikahin Yanti. Makanya Mas nggak habis pikir sama pola pikir Mamah. Mana di ruang keluarga kan masih ada orang. Cuma Adek sama Bibi Ndeh yang pamit tidur,“ jelas Mas Hasan panjang lebar. Wajahnya menyiratkan kekecewaan pada Mamah.

 

 

“Terus gimana tanggapan yang lain?“ tanyaku dengan tenang seraya menahan sesuatu yang begitu bergejolak di dada. Rasa kecewa dan benci yang bercampur menjadi satu. 

 

 

“Bapak diam saja. Hadi dan Haikal juga. Tapi Ningrum, Nuri dan Rika malah mengompori, mendukung keinginan Mamah,“ ucap Mas Hasan dengan menunduk lesu.

 

Kali ini hatiku serasa hancur berkeping-keping. Bukan hanya karena keinginan gila Mamah, tapi juga karena matinya hati Nurani Ningrum, Nuri dan Rika. Apa mereka tak takut jika suatu hari pasangan mereka mendua?

 

 

Bapak dan kedua iparku juga. Mereka terlalu tunduk pada Mamah. Sebagian harga diri Bapak seakan hilang. Bapak memang baik, tak julid, sayang sama cucu. Tapi dia tidak pernah mengemukakan pendapat. Tak pernah mau membela. Dia selalu nurut manut sama keinginan Mamah. Sekalipun keinginan istrinya tak sesuai dengan syariat islam. 

 

 

Seperti saat Ningrum dan Ikmal melalukan foto prewedding super romantis, ada pose Ikmal memeluk pinggang Ningrum, pose Ikmal membenamkan kepala di ceruk leher Ningrum dan banyak lagi. Mamah mengabulkan keinginan sang putri bungsunya itu dan Bapak tak melarang sama sekali.

 

 

“Tapi Adek tenang saja. Insya Allah, Mas tidak akan melakukan itu. Bukan karena Mas takut sama Adek, tapi karena Mas memang tidak mampu. Poligami itu harus dilakukan oleh pria yang ilmu agamanya mumpuni. Supaya tidak mencederai pernikahan. Mas juga takut, Dek. Punya satu istri saja berat tanggung jawabnya. Apalagi kalau lebih ...“ Mas Hasan menarik napas sejenak.

 

“Nanti di akhirat bisa-bisa pundak Mas berat sebelah, pahala-pahala Mas habis karena kedzaliman yang Mas buat, karena tak adanya kebahagiaan yang istri Mas dapatkan. Naudzubillahi min dzalik,“ lanjutnya sambil bangkit duduk dan menggenggam tanganku.

 

 

 Aku terpaku sejenak. Semoga pegangannya bisa kujadikan pegangan.

 

“Jadi ... gimana keputusan Mas?“ pancingku. Mas Hasan mengembuskan napas lewat mulut.

 

 

“Mas menolak permintaan Mamah,“ katanya.

 

 

“Terus gimana reaksi Yanti?“ 

 

 

Mas Hasan mengendikkan bahu.

 

 

“Mas nggak tahu. Soalnya Mas masuk kamar, tidur di samping Adek,“ katanya. 

 

 

Aku tersenyum lega. Walau aku tahu Mamah takkan menyerah secepat itu. Aku yakin, dia akan terus meracuni otak Mas Hasan jika keinginannya belum tercapai.

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKAN MENANTU KAYA   Bertemu lagi

    BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng

  • BUKAN MENANTU KAYA   Zayn

    ”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu. ”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah. ”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.” ”Ayo, Dek.” Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku. ”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya. ”Tapi, Mas—” ”Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat. Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah

  • BUKAN MENANTU KAYA   Mertua Idaman

    Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,

  • BUKAN MENANTU KAYA   Sebuah Janji

    “Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k

  • BUKAN MENANTU KAYA   Mamah jatuh

    Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand

  • BUKAN MENANTU KAYA   Menjaga hati

    Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status