Share

Bakal Calon Madu

Cahaya matahari mulai menyembul dari arah timur saat aku menghangatkan makanan sisa hajatan kemarin. Setelah shalat subuh, aku dan Bibi Ndeh langsung ke dapur umum. Dia membereskan sisa-sisa bumbu, lalu membawanya ke dapur Mamah. 

 

“Kalau di sini udah beres, Bibi mau langsung pulang. Kasihan Mang Aden—suaminya—kalau bibi nggak pulang hari ini,“ katanya sambil menyapukan sampah-sampah yang berserakan. 

 

Setelah acara selesai, saudara dekat Mamah maupun Bapak tidak ada yang rewang, termasuk Uwak Piah. Sepertinya mereka lelah sudah karena sudah rewang dari jauh-jauh hari.

 

“Alhamdulillah, selesai. Hayu Teh, kita siapin makan. Bibi mau pulang nih,“ ajaknya. Aku mengangguk lalu mematikan kompor. 

 

Saat aku dan Bibi Ndeh ke ruang keluarga, Nuri dan Rika sedang asyik nonton berita artis. Mereka menonton sambil ngemil kue-kue sisa hajatan.

 

 

“Ya Allah, Teh Aas ... Lihat sini Teh!“ 

 

 

Mendengar teriakan Bibi Ndeh, Mamah langsung keluar dari kamarnya. Tangannya sedang memegang amplop dan uang. Sepertinya Mamah dan Bapak sedang menghitung amplop hajatan.

 

 

“Ada apa, Ndeh?“ tanya Mamah sambil menghampiri Bibi Ndeh yang berdiri tak jauh dari Nuri dan Rika.

 

 

“Itu tolong disuruh mantu-mantunya, Teh. Enak banget, pagi-pagi bukannya beres-beres, malah ngemil sambil nonton TV,“ jawab Bibi Ndeh. Bibirnya mencebik kesal.

 

 

“Nuri, Rika ... Matiin dulu tv-nya. Ayo bantuin nyiapin makanan,“ katanya lembut. Nuri dan Rika kompak beranjak, lalu mengikuti Bibi Ndeh yang sudah berjalan ke dapur dengan langkah dihentak-hentakkan.

 

 

Ketika hendak menggelar karpet, Yanti keluar dari kamar tamu. Dia tersenyum lalu menghampiriku. Pagi ini kepalanya tak ditutup hijab. Dia menggunakan piyama tidur lengan pendek dan celana yang hanya menutupi lututnya saja. Rambutnya pun dicepol asal tapi bibirnya begitu meriah dengan lipstik warna jingga. Melihatnya membuatku mengigit bibir bawah.

 

 

 

“Sini Teh, biar saya bantu,“ katanya. Aku tak mengangguk, juga tak menolak.

 

 

“Teteh asli Bandung?“ tanyanya saat aku memindahkan nasi dan lauk pauk ke atas karpet.

 

 

“Ya.“ Aku menjawabnya singkat.

 

 

“Baju Teteh bagus. Badan Teteh juga bagus,“ katanya.

 

 

Aku mengernyitkan dahi, merasa pujiannya berlebihan, karena aku hanya memakai gamis rumahan bahan rayon. Aku hanya tersenyum tipis lalu berjalan ke kamar. Malas meladeninya.

 

 

Kubangunkan Mas Hasan yang terlelap lagi seusai shalat subuh. Sementara Khalid sangat anteng dengan mainan legonya. Bukannya bangun, Mas Hasan malah menarik tubuhku hingga membuatku menindihnya. Dia tersenyum dengan mata sedikit terbuka.

 

“Kangen nih, Dek. Udah lama nggak bulan madu,“ katanya sambil mencium pipiku.

 

Aku hanya tersenyum, lalu memainkan jari di dagunya. Kasihan Mas Hasan, selama satu bulan di sini kami memang jarang berhubungan suami istri. Aku selalu sibuk di dapur dan Mas Hasan sibuk mengantar calon pengantin ke sana ke mari.

 

“Bangun, yuk ah. Makanan udah siap,“ kataku sambil beranjak bangun dari tubuhnya.

 

Mas Hasan pun mengangguk. Dia duduk di tepian ranjang sambil menatap putra semata wayang kami. Ada gurat lelah dan sendu di wajah tampannya. Mas Hasan masih terlihat tampan walau usianya lebih tua 13 tahun dariku. Dia mendesah pelan, lalu kembali merebah dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

 

“Kenapa Mas? Ada masalah?“ tanyaku sambil memijit pelan betisnya. Dia paling senang jika aku pijat.

 

“Mas nggak habis pikir sama jalan pikiran Mamah, Dek.“ Mas Hasan menjawab.

 

“Kenapa lagi sama Mamah, Mas?“ tanyaku. Kali ini tanganku memijit lembut telapak kakinya.

 

 

“Mamah nyuruh Mas nikahin Yanti. Subhanallah sekali kan,“ jawabnya sambil tersenyum miris.

 

 

 Aku tersenyum sinis. Ternyata instingku benar, Mamah memang menginginkan perempuan itu. 

 

“Ya kalau Mas mau, silahkan ...“ ucapku. Tanganku berhenti sejenak. Dia menatapku dengan mata memicing.

 

“tapi ceraikan dulu aku,“ lanjutku sambil kembali memijitnya. 

 

“Dari dulu Mas nggak pernah tertarik sama Yanti. Kalau tertarik, sudah dari dulu Mas nikahin dia,“ sewotnya. Aku terkekeh pelan.

 

“Dia itu cantik loh, Mas. Dia wanita karir, punya toko bakery. Idaman Mamah banget,“ godaku. Mas Hasan malah bergidik ngeri.

 

 

“Dia itu posesif, Dek. Dari dulu ngejar-ngejar Mas. Malam tadi juga kamu tahu sendiri kan, Dek. Dia pengen duduk samping Mas.“ Mas Hasan geleng-geleng kepala, dengan ekspresi wajah yang begitu keki. Aku sampai tertawa melihat ekspresinya.

Malam tadi Yanti memang hampir duduk di samping Mas Hasan, tapi Mas Hasan malah mengajakku pindah, duduk di dekat lemari.

 

 

“Mana dia penampilannya gitu. Coba tadi subuh, pas Mas mau ke masjid. Dia ke kamar mandi cuma pake handuk kimono. Astagfirullah ...“ 

 

 

Mas Hasan meraup wajahnya kasar membuat tawaku semakin kencang. 

 

“Emang kapan Mamah nyuruh Mas nikahin dia?“ tanya sambil menyeka sudut mata yang berair saking puasnya tertawa.

 

“Malam, Dek. Pas Adek tidur duluan. Mas tadinya mau nyusul Adek. Tapi Mamah nahan Mas. Ternyata Mamah nyuruh Mas nikahin Yanti. Makanya Mas nggak habis pikir sama pola pikir Mamah. Mana di ruang keluarga kan masih ada orang. Cuma Adek sama Bibi Ndeh yang pamit tidur,“ jelas Mas Hasan panjang lebar. Wajahnya menyiratkan kekecewaan pada Mamah.

 

 

“Terus gimana tanggapan yang lain?“ tanyaku dengan tenang seraya menahan sesuatu yang begitu bergejolak di dada. Rasa kecewa dan benci yang bercampur menjadi satu. 

 

 

“Bapak diam saja. Hadi dan Haikal juga. Tapi Ningrum, Nuri dan Rika malah mengompori, mendukung keinginan Mamah,“ ucap Mas Hasan dengan menunduk lesu.

 

Kali ini hatiku serasa hancur berkeping-keping. Bukan hanya karena keinginan gila Mamah, tapi juga karena matinya hati Nurani Ningrum, Nuri dan Rika. Apa mereka tak takut jika suatu hari pasangan mereka mendua?

 

 

Bapak dan kedua iparku juga. Mereka terlalu tunduk pada Mamah. Sebagian harga diri Bapak seakan hilang. Bapak memang baik, tak julid, sayang sama cucu. Tapi dia tidak pernah mengemukakan pendapat. Tak pernah mau membela. Dia selalu nurut manut sama keinginan Mamah. Sekalipun keinginan istrinya tak sesuai dengan syariat islam. 

 

 

Seperti saat Ningrum dan Ikmal melalukan foto prewedding super romantis, ada pose Ikmal memeluk pinggang Ningrum, pose Ikmal membenamkan kepala di ceruk leher Ningrum dan banyak lagi. Mamah mengabulkan keinginan sang putri bungsunya itu dan Bapak tak melarang sama sekali.

 

 

“Tapi Adek tenang saja. Insya Allah, Mas tidak akan melakukan itu. Bukan karena Mas takut sama Adek, tapi karena Mas memang tidak mampu. Poligami itu harus dilakukan oleh pria yang ilmu agamanya mumpuni. Supaya tidak mencederai pernikahan. Mas juga takut, Dek. Punya satu istri saja berat tanggung jawabnya. Apalagi kalau lebih ...“ Mas Hasan menarik napas sejenak.

 

“Nanti di akhirat bisa-bisa pundak Mas berat sebelah, pahala-pahala Mas habis karena kedzaliman yang Mas buat, karena tak adanya kebahagiaan yang istri Mas dapatkan. Naudzubillahi min dzalik,“ lanjutnya sambil bangkit duduk dan menggenggam tanganku.

 

 

 Aku terpaku sejenak. Semoga pegangannya bisa kujadikan pegangan.

 

“Jadi ... gimana keputusan Mas?“ pancingku. Mas Hasan mengembuskan napas lewat mulut.

 

 

“Mas menolak permintaan Mamah,“ katanya.

 

 

“Terus gimana reaksi Yanti?“ 

 

 

Mas Hasan mengendikkan bahu.

 

 

“Mas nggak tahu. Soalnya Mas masuk kamar, tidur di samping Adek,“ katanya. 

 

 

Aku tersenyum lega. Walau aku tahu Mamah takkan menyerah secepat itu. Aku yakin, dia akan terus meracuni otak Mas Hasan jika keinginannya belum tercapai.

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status