Share

Melawan

Author: Fatimah
last update Last Updated: 2022-11-18 05:49:06

Setelah makan berjamaah, Bibi Ndeh pamit pulang. Selain memberi bingkisan, Mamah juga memberinya uang. Bibi Ndeh memang pantas menerimanya, karena dia begitu totalitas dalam rewang. Mas Hasan dan Khalid mengantarnya sampai ke terminal.

 

 

Kulangkahkan kaki ke dapur. Masih ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum pulang ke Bogor.

 

“Hanaaa ... cepat kesini!“

 

Aku segera menghampiri Mamah yang sedang menjejerkan bingkisan dan kakaren hajatan. 

 

“Ada apa Mah?“ tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang keluarga.

 

 

“Kamu anterin bingkisan dan kakaren, ke sini,“ jawabnya seraya memberikan selembar kertas berisi nama-nama saudara Mamah dan Bapak. 

 

 

“Maaf Mah, nggak bisa. Hanna mau siap-siap.“ Aku menolaknya dengan lembut. 

 

 

Aku dan Mas Hasan memang sudah berencana pulang hari ini. Aku bekerja sebagai pengajar TPA dan Mas Hasan jadi penanggung jawab masjid, lebih tepatnya marbot di Yayasan pendidikan Islam di kota Bogor. Kami sudah terlalu lama izin. Malu jika harus izin lagi.

 

 

 

“Mau siap-siap kemana?“ bentaknya. Aku beringsut mundur.

 

 

 

“Mau pulang ke Bogor, Mah.“

 

 

Mamah melipat tangan di dada, menatapku dengan tatapan meremehkan.

 

 

“Bagus ya! Mau lepas tanggung jawab ya, kamu?“ teriaknya. Semua yang ada di ruangan sontak menatapku. Hadi, Haikal, Ningrum, Rika, Nuri, Ikmal dan ... Yanti. Juga Bapak mertua yang duduk di sofa sudut. 

 

 

 

“Lepas tanggung jawab gimana maksud Mamah?“ Aku mendongakkan wajah, menatapnya dengan berani.

 

 

 

“Ya lepas tanggung jawab. Tuh kamu lihat, rumah masih berantakan, sampah masih berserakan, cucian piring numpuk, baju-baju kotor juga masih banyak. Kamu mau pulang meninggalkan itu semua? Begitu?“ kali ini Mamah berkacak pinggang. Aku tersenyum sinis, lalu menatap Nuri dan Rika bergantian.

 

 

“Kan ada dua mantu kesayangan Mamah,“ kataku.

 

 

“Mereka bukan babu, Hanna. Mereka menantu Mamah—“

 

 

“Terus aku?“ Aku memotong ucapannya. Tak sopan memang, tapi aku sudah tak tahan diperlakukan seperti ini.

 

“Ya kamu ...“ Pandangan Mamah meliar ke sana kemari.

 

“Aku apa Mah?“ tanyaku tak sabar.

 

“Kamu menantu. Tapi menantu yang tak diinginkan. Kamu itu menantu miskin yang tak pernah memberikan kebahagiaan. Kamu hanya bisa menyusahkan Mamah. Asal kamu tahu ya, Nuri dan Rika sudah ngasih banyak uang sama Mamah. Nah kamu? Kemarin saja kamu nggak ngasih uang hajatan sama Mamah. Jadi harusnya kamu sadar, karena nggak bisa ngasih uang hajatan, kamu harus mau disuruh-suruh. Harus mau jadi babu!“ Mamah berteriak dengan napas terengah-engah.

 

 

Aku tersenyum miris dengan mata berembun. Kutarik napas dalam-dalam, seraya menahan air mata. Aku kecewa dan lebih kecewa karena Bapak mertua diam saja, padahal Mas Hasan sudah memberikan uang hajatan padanya yang jumlahnya cukup lumayan untuk ukuran orang miskin seperti kami. Dengan gontai kulangkahkan kaki ke kamar. Mau menyanggah pun percuma, karena Mamah pasti tak terima. Terlebih Bapak hanya diam. Seperti tak ada niat untuk menguraikan kesalah pahaman ini.

 

 

“Dasar mantu miskin, nggak punya sopan santun, durhaka! Tunggu saja, Allah bakal memberimu kesempitan rezeki karena sudah berani menentang Mamah!“ umpatnya yang masih bisa kudengar jelas.

 

 

 

Peduli amat. Aku sudah terlanjur sakit hati. Aku bertekad tidak akan ke sini sebelum bisa membungkam kesombongan mereka semua. 

 

 

Kukemasi pakaian kami bertiga. Lalu mengganti pakaian. Kukenakan niqob yang selalu jadi bahan cibiran Mamah. Selama di sini aku bahkan tak diperbolehkan memakainya.

 

 

Usai berkemas, kubereskan kamar. Lalu menunggu Mas Hasan dan Khalid. Beberapa menit kemudian, Mas Hasan mereka datang. Mas Hasan menatapku penuh tanya.

 

 

“Kita pulang sekarang, Mas.“ Aku mengatakannya dengan bergetar.

 

“Sekarang? Bukannya nanti sore?“ tanyanya dengan dahi mengerut.

 

 

“Sekarang saja Mas.“ 

 

 

“Kenapa? Ada apa?“

 

 

Air mata yang sedari tadi kubendung, akhirnya meluap juga. Aku tergugu dalam tangisan. Mas Hasan memelukku, mengusap punggungku dengan lembut.

 

 

“Mamah sudah keterlaluan, Mas. Dia menganggapku seorang babu,“ kataku parau.

 

 

“Kata siapa?“ tanyanya lembut.

 

 

“Mamah yang bilang sendiri Mas. Mamah bilang seperti itu di hadapan semua orang. Aku sudah nggak tahan, Mas. Mas tahu, Mamah menyinggung uang hajatan. Bapak nggak ngasih tahu ke Mamah, Mas. Bapak bahkan diam saja saat harga diriku diinjak-injak di hadapan orang banyak.“

 

 

Kuluapkan uneg-uneg yang menghimpit dada diiringi air mata. Mas Hasan belum bereaksi. Dia masih bergeming, usapan tangannya di punggungku pun sudah berhenti.

 

“Kalau Mas nggak percaya dan belum mau pulang, nggak apa-apa. Aku sama Khalid bisa kok pulang sendiri,“ kataku.

 

 

“Nggak, Dek. Bukan begitu. Tapi Mas harus menyelesaikan kesalahpahaman ini sebelum pulang ke Bogor,“ katanya.

 

 

“Bukan salah paham, Mas. Tapi kesengajaan. Bapak sengaja nggak ngasih tahu Mamah—“

 

 

“Stop, Dek. Jangan memperkeruh keadaan. Jangan menjelekkan Bapak.“ Mas Hasan memotong.

 

 

Aku menarik tubuh dari pelukannya lalu membuka niqob,menatap sambil tersenyum sinis.

 

“Aku tidak menjelekkan Bapak, Mas. Tapi memang itu kenyataannya. Tapi yasudahlah, terserah Mas. Tanpamu, aku dan Khalid akan tetap pulang ke Bogor,“ kataku seraya membenahi niqob lalu menggendong Khalid. Kuambil tas yang isinya ponsel dan dompet lalu berjalan ke luar kamar.

 

“Kami pamit. Assalamualaikum,“ ucapku sebelum membuka pintu. 

 

Aku melangkah dengan tegak. Tak kupedulikan mereka yang masih berkumpul di ruang keluarga. 

 

“Tuh lihat mantu durhaka. Diluar penampilannya sok alim, tapi dalamnya jahannam.“

 

Kuanggap cibiran Mamah sebagai cambuk penyemangatku dalam membungkam kesombongan mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKAN MENANTU KAYA   Bertemu lagi

    BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng

  • BUKAN MENANTU KAYA   Zayn

    ”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu. ”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah. ”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.” ”Ayo, Dek.” Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku. ”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya. ”Tapi, Mas—” ”Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat. Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah

  • BUKAN MENANTU KAYA   Mertua Idaman

    Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,

  • BUKAN MENANTU KAYA   Sebuah Janji

    “Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k

  • BUKAN MENANTU KAYA   Mamah jatuh

    Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand

  • BUKAN MENANTU KAYA   Menjaga hati

    Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status