Share

Melawan

Setelah makan berjamaah, Bibi Ndeh pamit pulang. Selain memberi bingkisan, Mamah juga memberinya uang. Bibi Ndeh memang pantas menerimanya, karena dia begitu totalitas dalam rewang. Mas Hasan dan Khalid mengantarnya sampai ke terminal.

 

 

Kulangkahkan kaki ke dapur. Masih ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum pulang ke Bogor.

 

“Hanaaa ... cepat kesini!“

 

Aku segera menghampiri Mamah yang sedang menjejerkan bingkisan dan kakaren hajatan. 

 

“Ada apa Mah?“ tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang keluarga.

 

 

“Kamu anterin bingkisan dan kakaren, ke sini,“ jawabnya seraya memberikan selembar kertas berisi nama-nama saudara Mamah dan Bapak. 

 

 

“Maaf Mah, nggak bisa. Hanna mau siap-siap.“ Aku menolaknya dengan lembut. 

 

 

Aku dan Mas Hasan memang sudah berencana pulang hari ini. Aku bekerja sebagai pengajar TPA dan Mas Hasan jadi penanggung jawab masjid, lebih tepatnya marbot di Yayasan pendidikan Islam di kota Bogor. Kami sudah terlalu lama izin. Malu jika harus izin lagi.

 

 

 

“Mau siap-siap kemana?“ bentaknya. Aku beringsut mundur.

 

 

 

“Mau pulang ke Bogor, Mah.“

 

 

Mamah melipat tangan di dada, menatapku dengan tatapan meremehkan.

 

 

“Bagus ya! Mau lepas tanggung jawab ya, kamu?“ teriaknya. Semua yang ada di ruangan sontak menatapku. Hadi, Haikal, Ningrum, Rika, Nuri, Ikmal dan ... Yanti. Juga Bapak mertua yang duduk di sofa sudut. 

 

 

 

“Lepas tanggung jawab gimana maksud Mamah?“ Aku mendongakkan wajah, menatapnya dengan berani.

 

 

 

“Ya lepas tanggung jawab. Tuh kamu lihat, rumah masih berantakan, sampah masih berserakan, cucian piring numpuk, baju-baju kotor juga masih banyak. Kamu mau pulang meninggalkan itu semua? Begitu?“ kali ini Mamah berkacak pinggang. Aku tersenyum sinis, lalu menatap Nuri dan Rika bergantian.

 

 

“Kan ada dua mantu kesayangan Mamah,“ kataku.

 

 

“Mereka bukan babu, Hanna. Mereka menantu Mamah—“

 

 

“Terus aku?“ Aku memotong ucapannya. Tak sopan memang, tapi aku sudah tak tahan diperlakukan seperti ini.

 

“Ya kamu ...“ Pandangan Mamah meliar ke sana kemari.

 

“Aku apa Mah?“ tanyaku tak sabar.

 

“Kamu menantu. Tapi menantu yang tak diinginkan. Kamu itu menantu miskin yang tak pernah memberikan kebahagiaan. Kamu hanya bisa menyusahkan Mamah. Asal kamu tahu ya, Nuri dan Rika sudah ngasih banyak uang sama Mamah. Nah kamu? Kemarin saja kamu nggak ngasih uang hajatan sama Mamah. Jadi harusnya kamu sadar, karena nggak bisa ngasih uang hajatan, kamu harus mau disuruh-suruh. Harus mau jadi babu!“ Mamah berteriak dengan napas terengah-engah.

 

 

Aku tersenyum miris dengan mata berembun. Kutarik napas dalam-dalam, seraya menahan air mata. Aku kecewa dan lebih kecewa karena Bapak mertua diam saja, padahal Mas Hasan sudah memberikan uang hajatan padanya yang jumlahnya cukup lumayan untuk ukuran orang miskin seperti kami. Dengan gontai kulangkahkan kaki ke kamar. Mau menyanggah pun percuma, karena Mamah pasti tak terima. Terlebih Bapak hanya diam. Seperti tak ada niat untuk menguraikan kesalah pahaman ini.

 

 

“Dasar mantu miskin, nggak punya sopan santun, durhaka! Tunggu saja, Allah bakal memberimu kesempitan rezeki karena sudah berani menentang Mamah!“ umpatnya yang masih bisa kudengar jelas.

 

 

 

Peduli amat. Aku sudah terlanjur sakit hati. Aku bertekad tidak akan ke sini sebelum bisa membungkam kesombongan mereka semua. 

 

 

Kukemasi pakaian kami bertiga. Lalu mengganti pakaian. Kukenakan niqob yang selalu jadi bahan cibiran Mamah. Selama di sini aku bahkan tak diperbolehkan memakainya.

 

 

Usai berkemas, kubereskan kamar. Lalu menunggu Mas Hasan dan Khalid. Beberapa menit kemudian, Mas Hasan mereka datang. Mas Hasan menatapku penuh tanya.

 

 

“Kita pulang sekarang, Mas.“ Aku mengatakannya dengan bergetar.

 

“Sekarang? Bukannya nanti sore?“ tanyanya dengan dahi mengerut.

 

 

“Sekarang saja Mas.“ 

 

 

“Kenapa? Ada apa?“

 

 

Air mata yang sedari tadi kubendung, akhirnya meluap juga. Aku tergugu dalam tangisan. Mas Hasan memelukku, mengusap punggungku dengan lembut.

 

 

“Mamah sudah keterlaluan, Mas. Dia menganggapku seorang babu,“ kataku parau.

 

 

“Kata siapa?“ tanyanya lembut.

 

 

“Mamah yang bilang sendiri Mas. Mamah bilang seperti itu di hadapan semua orang. Aku sudah nggak tahan, Mas. Mas tahu, Mamah menyinggung uang hajatan. Bapak nggak ngasih tahu ke Mamah, Mas. Bapak bahkan diam saja saat harga diriku diinjak-injak di hadapan orang banyak.“

 

 

Kuluapkan uneg-uneg yang menghimpit dada diiringi air mata. Mas Hasan belum bereaksi. Dia masih bergeming, usapan tangannya di punggungku pun sudah berhenti.

 

“Kalau Mas nggak percaya dan belum mau pulang, nggak apa-apa. Aku sama Khalid bisa kok pulang sendiri,“ kataku.

 

 

“Nggak, Dek. Bukan begitu. Tapi Mas harus menyelesaikan kesalahpahaman ini sebelum pulang ke Bogor,“ katanya.

 

 

“Bukan salah paham, Mas. Tapi kesengajaan. Bapak sengaja nggak ngasih tahu Mamah—“

 

 

“Stop, Dek. Jangan memperkeruh keadaan. Jangan menjelekkan Bapak.“ Mas Hasan memotong.

 

 

Aku menarik tubuh dari pelukannya lalu membuka niqob,menatap sambil tersenyum sinis.

 

“Aku tidak menjelekkan Bapak, Mas. Tapi memang itu kenyataannya. Tapi yasudahlah, terserah Mas. Tanpamu, aku dan Khalid akan tetap pulang ke Bogor,“ kataku seraya membenahi niqob lalu menggendong Khalid. Kuambil tas yang isinya ponsel dan dompet lalu berjalan ke luar kamar.

 

“Kami pamit. Assalamualaikum,“ ucapku sebelum membuka pintu. 

 

Aku melangkah dengan tegak. Tak kupedulikan mereka yang masih berkumpul di ruang keluarga. 

 

“Tuh lihat mantu durhaka. Diluar penampilannya sok alim, tapi dalamnya jahannam.“

 

Kuanggap cibiran Mamah sebagai cambuk penyemangatku dalam membungkam kesombongan mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status