Share

Buka Kado

Author: Fatimah
last update Last Updated: 2022-11-01 15:13:37

Kulirik Yanti yang menatap Mas Hasan dengan lekat. Sebagai sesama perempuan, dari caranya menatap, aku tahu kalau dia punya perasaan lebih pada Mas Hasan. Beruntung, Mas Hasan tak menanggapi. Suamiku itu khusyu melahap sambil menyuapi putra kami.

Setelah selesai, Ningrum, Rika dan Nuri mengajak Yanti ke ruang tamu. Sementara aku mengumpulkan piring-piring kotor yang berserakan dimana-mana. Kebiasaan mereka, kalau selesai makan enggan tuk sekadar menyimpan piring ke wastafel. 

Hadi turun membantuku. Dia membereskan makanan yang tersisa. Sementara Mas Hasan pamit menidurkan Khalid. 

“Teh, kita cuci piring aja sekarang aja gimana?“ Saudara jauh yang belum kutahu namanya bertanya. Aku berpikir sejenak.

“Jangan sekarang, Bibi Ndeh. Udah malam, nggak baik buat kesehatan. Mana cucian piringnya juga banyak,“ jawab Hadi yang ternyata sudah berdiri di belakangku.

“Sekarang aja yuk, Bi Ndeh.“ Kuhiraukan Hadi yang menatapku dengan mata memicing. Tampaknya dia keberatan dengan perkataanku.

Bibi Ndeh ternyata asik juga orangnya. Dia anak dari nenek tirinya Mamah. Dia bercerita banyak hal, termasuk keadaan ekonomi yang pas-pasan. Dia juga mengajakku ke rumahnya.

“Insya Allah, Bi.“ Aku menjawabnya singkat.

Semua piring dan perabotan kotor sudah bersih dan wangi. Aku dan Bibi Ndeh segera masuk, mengganti pakaian lalu menghampiri Mas Hasan yang kini duduk di ruang tamu. Bergabung dengan yang lain.

“Dari mana aja? Lihat nih, Mamah keteteran nyiapin bingkisan,“ semprot Mamah saat aku baru keluar dari kamar. Mamah sedang menyiapkan bingkisan untuk para saudara yang sudah ikut rewang. Aku pun segera duduk tak jauh darinya. Membantu mengemas bingkisan yang belum tersentuh.

“Habis nyuci piring sama perabotan, Mah,“ jawabku agak kencang. Mamah melotot mendengarnya. 

“Iya, Teh Aas. Itu cucian banyak banget. Saya heran deh. Kok cuma Teh Hanna yang mau turun. Mantu Teteh yang lain pada ke mana? Harusnya mantu yang lain diajarin buat pegang kerjaan rumah, Teh. Jangan dibiarin main hape terus,“ timpal Bibi Ndeh membuat wajah Mamah merah padam. Sedangkan Nuri dan Rika hanya saling lirik dengan wajah cemberut.

“Maafin istri saya ya, Bi. Nuri memang nggak biasa pegang kerjaan rumah. Di rumah juga saya yang kerjain semua,“ sahut Haikal terkekeh. Membuat bibir istrinya semakin mengerucut.

“Pantesan atuh. Jadi perempuan itu harus rapekan, jangan mageran. Sekarang belum punya anak, nah nanti kalau punya anak ...“ ucap Bibi Ndeh menggantung, dengan kepala menggeleng-geleng.

“Kalau punya anak saya mau pake art.“ Nuri membalas ketus dengan mata melirik tak suka.

“Baguslah kalau begitu.“ Bibi Ndeh tersenyum lebar. 

“Sudah ... sudah. Mending sekarang kita buka kado sama buka amplop.“ Mamah tampaknya geram karena satu mantu kesayangannya dipojokkan.

“Iya betul, Mah. Aa ... sini, kita buka kado!“ teriak Ningrum. Tak lama Ikmal keluar dari kamarnya sambil tersenyum ramah.

**

Ningrum begitu histeris, membuka satu persatu kadonya. Kado pernikahannya lumayan banyak tapi isinya biasa saja. Kebanyakan isinya sprei, gelas set dan bingkai foto. Ningrum mencolek suaminya saat membuka kado yang isinya lingeri warna merah. 

“Suka nggak Ning?“ tanya Rika sambil tersenyum menggoda.

“Ini dari Teh Rika?“ Ningrum balik bertanya dengan mata membulat. Rika mengangguk pasti. Ningrum menatap lingerie itu sekali lagi dengan tatapan yang agak ... kecewa. 

“Suka banget. Makasih ya,“ ucapnya sambil tersenyum tipis.

“Eh Ning, lihat ini isinya tas loh.“ Yanti membuka suara. Dia memberikan tas itu pada Ningrum. Ningrum meraihnya dengan senyum sumringah, terlebih saat membaca secarik kertas di dalamnya.

’Untuk adik iparku tersayang. Bahagia selalu untuk rumah tanggamu. Love you.’

“Ahh, Teh Nuri ... Makasih banyak. Tahu aja kalau Ning belum punya tas jelly,“ katanya sambil tertawa. Nuri tersenyum sambil melirik masam padaku. Entah apa maksudnya.

“Coba buka kado yang di pojokan, Ning.“

Kali ini Mas Hasan yang buka suara. Sepertinya dia tak mau istrinya diremehkan ipar-iparnya. Aku sih santai saja, toh kado mereka juga ternyata tak sesuai dengan penampilan glamor mereka.

Ikmal membawanya dari pojok ruang tamu. Nuri dan Rika saling pandang. Kulirik Rika mengendikkan bahunya. Kali ini Ikmal yang membukanya, Ningrum melongo tak percaya saat tahu isinya. Sebuah tv led keluaran terbaru.

“Itu kado dari Teh Hanna, bukan dari Akang. Semoga kalian suka, Ning,“ kata Mas Hasan. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Kulihat alis Mamah pun terangkat sebelah.

“Terimakasih, Teh, Aa,“ ucap Ikmal sambil mengusap layar tv.

“Coba nyalain. Kali aja tv rekondisi.“ Mamah menyunggingkan senyum.

Kuhembuskan napas melalui mulut seraya mengusap dada. Sabar, Hanna. Sabar ... Biarkan Mamah berucap sesuka hatinya. Ikmal langsung mencobanya. Begitu tv menyala, Mamah melirik pada kedua mantu dan anak bungsunya.

“Wah ini kan tv bagus. Harganya tiga juta lebih kalau nggak salah,“ kata Hadi. Mama sontak memegangi dadanya.

Aku tersenyum puas. Harga baru tv itu memang tiga juta lebih, tapi aku mendapatkannya hanya dengan sepuluh rupiah saja. Aku membelinya saat flash sale besar-besaran di Marketplace orange.

“Ini buka rekondisi, Mah. Ini kartu garansinya juga ada,“ lanjut Hadi membuat wajah Mamah pias seketika. 

“Ini kado dari Teteh, Ning. Semoga kamu suka.“ 

Yanti memberikan kadonya pada Ningrum. Sebuah kado berukuran dua puluh × lima belas centi meter. Ningrum langsung memeluknya setelah tahu isinya. Mini gold 0,25 gram. 

“Makasih banyak ya, Teh.“

Perlakuan yang begitu jomplang. Padaku jangankan memeluk, mengucapkan terimakasih pun tidak. Berbeda pada dua ipar dan Yanti. Begitulah jika hati sudah diisi dengki, mengucap terimakasih pun gengsi.

Semua kado sudah dibuka. Ningrum menawarkan pada semua orang yang ada. Lucunya, Nuri malah meminta tv dariku. Haikal sontak mencubit tangannya, lalu berbisik hingga membuat netra Nuri berkaca-kaca.

Ningrum hanya tersenyum paksa sembari menggaruk kepala. 

“Ja-jangan yang itu, Teh. Nanti Teh Hanna ngambek,“ katanya. Aku memutar bola mata, lalu bangkit berdiri. Andai dia cabe, sudah habis kuulek.

“Teh Hanna mau ke mana?“ tanya Ikmal membuat semua orang menoleh kepadaku.

“Mau tidur saja.Ngantuk,“ jawabku.

“Jangan dulu atuh, Teh. Ayo, Teteh mau apa, ambil aja jangan sungkan,“ tawar Ikmal. Aku menggeleng pelan.

“Nggak usah. Buat kalian saja.“ Aku menjawab dengan sopan.

“Iya, Hanna ... Ambil saja. Tuh ambil sprei satu, sprei di rumah kamu pasti sudah pada buluk,“ kata Mamah.

Aku yang jenuh, segera melangkah ke kamar. 

“Dasar sombong!“ umpat Rika.

“Iya. Udah miskin, sombong pula.“ Nuri menimpali.

 Aku geleng-geleng kepala. Mereka memang keterlaluan. Didiamkan semakin menginjak, dilawan semakin beringas. Entah harus kuapakan model manusia seperti mereka itu. 

**

Rapekan = Cekatan

Mager = Malas gerak

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKAN MENANTU KAYA   Bertemu lagi

    BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng

  • BUKAN MENANTU KAYA   Zayn

    ”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu. ”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah. ”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.” ”Ayo, Dek.” Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku. ”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya. ”Tapi, Mas—” ”Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat. Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah

  • BUKAN MENANTU KAYA   Mertua Idaman

    Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,

  • BUKAN MENANTU KAYA   Sebuah Janji

    “Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k

  • BUKAN MENANTU KAYA   Mamah jatuh

    Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand

  • BUKAN MENANTU KAYA   Menjaga hati

    Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status