Share

Dikerjai ipar

“Jangan bosen berdoa, ya. Haqqul yakin, suatu saat Allah akan mengabulkan doamu,“ kata Uwak Piah. 

Saat tengah menikmati jamuan Uwak Piah, terdengar deru suara motor. Kami saling pandang dan menyorot sosok yang mengendarai motor matic milik Ningrum. Aku melongo saat melihat Mas Hasan datang menjemput. Dia segera menghampiri kami yang kini tengah menikmati bakso. 

“Khalid mana?“ tanyanya sambil mencocolkan mangga muda ke sambal rujak.

“Khalid tidur. Awas, jangan dibangunkan. Kasihan dia,“ jawab Uwak Piah.

“Yaah ... Padahal Ningrum ngajakin foto bareng.“

Aku terbatuk saat mendengarnya. Uwak Piah segera memberiku air, “hati-hati,“ katanya sambil melirikku cemas.

“Serius, Mas?“ tanyaku dengan mata membulat sempurna. Mas Hasan mengangguk.

“Kalau begitu biar Aku bangun—“

“Jangan ah, kasihan.“ Uwak Piah memotong. “tapi, Wak ...“

Belum selesai aku berbicara, Khalid menangis. Dia berjalan dengan mata setengah terpejam. Mas Hasan segera menangkapnya, lalu menciumi perut Khalid hingga dia tertawa.

“Ayo, Dek!“ ajaknya sambil bangkit berdiri.

“Ayo. Uwak ayo, kita foto bareng pengantin,“ kataku. Uwak Piah menggeleng pelan.

“Kalian sajalah. Uwak puyeung, pengen tidur,“ sahutnya.

“Oh yaudah, kalo gitu kami pulang ya, Wak.“ Uwak Piah mengangguk.

“Iya. Oh iya, jangan lupa kalau nanti mau pulang ke Bogor, mampir dulu ke sini,“ katanya setelah aku menaiki motor.

“Insya Allah, Wak. Assalamualaikum.“

“Waalaikumussalam.“

Senyumku langsung berkembang. Membayangkan akan berfoto dengan pengantin dan keluarga Mas Hasan. Sepertinya Mas Hasan benar, tadi mereka memang lupa mengajak kami. Aku berdecak, tak seharusnya berpikiran negatif seperti itu. Bukankah setiap manusia punya sisi baik?

Bayangan bahagia berfoto dengan pengantin, hancur seketika begitu kami tiba di halaman samping rumah. Pelaminan sudah kosong melonpong. Tidak ada Ningrum, Ikmal, Mamah, Bapak maupun besan. Aku tersenyum miris saat sadar sudah dighosting keluarga Mas Hasan.

“Mana pengantinnya, Mas? Kok nggak ada?“ tanyaku lemas.

“Tadi ada kok, Dek.“ Mas Hasan menjawab sambil melangkah masuk ke rumah melalui pintu dapur. 

Kuedarkan pandangan ke sekitar  taman. Sudah tidak ada siapapun di sini, selain Aku dan Khalid. Musik pun sudah berhenti. Itu berarti acara sudah selesai. Lalu apa maksud Ningrum mengajak kami berfoto jika bukan ingin mengerjaiku?

“Ningrum sama Ikmal udah ganti pakaian, Dek. Katanya kelamaan nunggu kita.“ Mas Hasan menghampiri dengan raut wajah kecewa. Matanya menatapku dengan perasaan bersalah.

“Kelamaan ya, Mas?“ Aku tersenyum miris.

“Perasaan nggak deh. Tadi pas Ningrum ngajak foto, masih ada tamu nggak? Terus tadi musiknya masih nyala nggak?“ lanjutku mencercanya. Mas Hasan mengernyitkan dahi, lalu menggeleng.

“Tinggal satu dua orang, Dek. Kalau musik sih, emang sudah berhenti.“

Aku mengembuskan napas. Kalau memang niat, mereka pasti menunggu kami. Fix! Kami kena ghosting. Benar-benar iparku itu, hobi banget bikin iparnya kesal. 

“Ningrum cuma basa-basi, Mas. Dia emang gak pernah niat ngajakin kita foto bareng. Emang dasar ...“ ucapku menggantung sambil berjalan  melewatinya.

Saat aku masuk ke rumah, Ningrum, Nuri dan Rika tengah tertawa sambil menatap layar ponsel.

“Eh, Teh Hanna kemana aja? Dari tadi aku nyariin Teh Hanna loh,“ ujar Nuri sambil cengengesan. Aku hanya meliriknya tajam sambil menghela napas. Menahan sesuatu yang bergejolak di dada.

“Dih ... Teh Hanna gitu amat. Jangan marah-marah, Teh. Nanti cepet tua loh.“

Nuri memang paling gemar memancing emosiku. Aku menoleh, menatapnya tajam. Dia tersenyum menyeringai. Aku memperhatikan penampilannya lalu mengulum senyum, menyadari ada yang tak beres dengan penampilannya.

“Itu kancing kebaya emang sengaja ya nggak kancingin?“ tanyaku sambil tersenyum menyeringai

Nuri langsung memperhatikan kebayanya, lalu menjerit kencang.

“Teh Hanna kok  nggak ngasih tahu dari tadi sih,“ sewotnya panik. Ia membenahi kancing yang terbuka tepat di bagian dada. 

“Jangan marah-marah. Nanti makin tua.“ Aku tersenyum jahil sambil melenggang kangkung.

“Teh Rika lihat nih. Ya Allah, tadi orang-orang pada sadar nggak ya?“ tanyanya panik.

Lebih panik lagi saat Ningrum memperlihatkan sesuatu dari gawainya.

“Ya Allah, Mbak ... Yang ini jelas banget.“ Ningrum memekik keras.

Sukurin. Salah siapa pake kebaya anak SMP. Udah tahu badan sintal, masih aja pengen baju yang ngepas badan.

**

Aku dan Khalid baru keluar kamar setelah shalat isya. Ruang tamu sudah jadi lautan kado pernikahan Ningrum. Sementara di ruang keluarga, Saudara jauh Mamah tengah menyiapkan makan malam bersama. Aku segera memberikan Khalid pada Mas Hasan yang tengah mengobrol dengan kedua adik dan ipar barunya. Lalu membantu saudara jauh Mamah.

“Tadi ke mana, Teh?“ bisiknya saat aku mengeluarkan sendok dari lemari perabotan.

“Di rumah Uwak Piah, Bi. Khalid rewel susah tidur,“ jawabku. Dia mangut-mangut.

“Iya sih. Di sini kan berisik banget.“ Dia menimpali.

Makanan sudah. Semua orang mengambil posisi masing-masing. Ningrum dengan suaminya, Hadi dan Rika, Nuri dan Haikal. Ditambah saudara-saudara jauh Mamah yang dari luar kota. Aku celingukan mencari Mas Hasan dan Khalid. Entah ke mana pergi bapak dan anak itu.

“Mas Hasan di ruang tamu, Teh Hanna. Sama Mamah Bapak, nemenin tamu,“ kata Hadi sambil tersenyum aneh. Ada apa dengannya? 

Rika langsung mencubit pahanya dan mendelik tajam padaku. Sikap dan perhatian Hadi padaku bisa dibilang memang berlebihan. Dari awal menikah dengan Mas Hasan, dia selalu terang-terangan memberikan perhatian. 

Aku melangkah ke ruang tamu. Selain ada Mas Hasan dan Khalid, di sana juga ada Bapak dan Mamah yang sedang mengobrol dengan perempuan bertubuh kecil bermake-up menor. Aku tidak tahu siapa, karena baru pertama kali melihatnya. 

“Eh kebetulan ada Hanna. Sini duduk, Na.“

Tampaknya Mamah menyadari kehadiranku. Dia berkata sambil tersenyum padaku. Aku mengernyit seketika, mencium gelagat tak baik dari perlakuannya. 

Aku duduk di samping Mas Hasan. Mas Hasan langsung menggenggam tanganku, aku menatapnya penuh tanya dan paham saat menangkap perempuan itu menatap tangan kami berdua. Mas Hasan sedang menunjukkan kepemilikannya akan diriku.

“Hanna, dia Yanti. Saudara jauh Mamah, Janda anak satu, pemilik Yanka bakery, toko kue dan jajanan pasar di jalan Angsana.“ Mamah menatapku penuh makna. Perkataannya sudah mirip seorang biro jodoh. Apa jangan-jangan, Mamah memang ingin menjodohkannya dengan Mas Hasan? Mendadak aku merasa gerah.

Kutatap Mas Hasan. Wajahnya merah padam, sepertinya dia tidak suka dengan perkataan ibunya.

“Ummaa ... Khalid lapal.“

Ucapan Khalid mencairkan suasana. Bapak menggendongnya lalu menyuruh kami ke ruang tengah, makan malam berjamaah. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
aduhpunya mertua orang kampung sok kaya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status