Home / Rumah Tangga / BUKAN MENANTU MISKIN / Hari pertama di rumah mertua

Share

BUKAN MENANTU MISKIN
BUKAN MENANTU MISKIN
Author: Ariesa Yudistira

Hari pertama di rumah mertua

last update Last Updated: 2024-03-16 11:00:19

"Demi Allah, saya tidak ikhlas dengan tuduhan kalian! Jika memang benar saya yang mengambil uang itu, silakan po--tong kedua tangan saya! Tapi jika ini fitnah, semoga Allah akan mengangkat derajat saya lebih tinggi dari kalian semua!"

Aku mengerjapkan mata berulang kali ketika mendengar suara Bu Aisyah, ibu mertuaku, dari luar sana. Aku yang memang tadinya masih terlelap, akhirnya bangkit dan duduk. Kepala masih terasa pusing karena semalam hampir tak bisa tidur. Ini memang baru pertama kalinya aku tidur di rumah mertua, setelah resmi menikah beberapa waktu yang lalu, dan belum terbiasa dengan suasana kampung.

Aku meraih ponsel dari samping bantal. Masih jam tujuh pagi. Kenapa ada ribut-ribut di luar sana sepagi ini? Apa ini kebiasaan orang-orang kampung?

"Halah! Ngaku saja kamu, Aisyah! Jangankan uang, suami orang saja berani kau curi!" Terdengar suara seorang wanita yang sepertinya sedang memaki ibu.

Aku seketika bangun dan berjalan keluar, memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat di depan rumah kami yang masih terbuat dari bambu itu, beberapa orang tetangga seperti sedang menginterogasi ibu. Wajah mereka terlihat diliputi emosi.

"Demi Allah, saya tidak mengambilnya, Bu." Ibu meletakkan tangannya di dada, sepertinya amat sedih dengan tekanan yang diberikan para tetangganya.

"Ada apa ini, ibu-ibu?" Aku yang tak tahan melihat itu semua, akhirnya berjalan mendekat ke arah mereka.

Semua ibu-ibu itu seketika menatap ke arahku dengan pandangan sinis.

"Oh, jadi ini mantunya Bu Aisyah? Kok mau sih, nikah sama anak haram," celetuk salah satu dari mereka.

"Astaghfirullah, Bu. Ucapan Bu Siti keterlaluan," sahut ibu seraya menatap ke arah wanita bertubuh tambun yang ternyata bernama Bu Siti itu.

"Loh, memang benar kan, kalau Maulana itu anak haram? Hasil Bu Aisyah merayu suami orang!" sahut yang lain.

"Tolong hati-hati bicara, Bu Dewi. Jangan sakiti hati menantu saya," sahut Ibu lagi.

"Sebenarnya ada apa ini?" Aku langsung menyahut dan melotot ke arah mereka. "Pagi-pagi sudah bikin ribut di rumah orang. Apa kalian tidak ada kerjaan?"

"Sombong amat kamu, Neng! Jadi mantu pelakor saja bangga!" Bu Siti bersungut-sungut. "Tuh, tanya ibu mertuamu. Dia sudah mengambil uang Bu Dewi yang jatuh di warung tadi!"

Aku seketika menatap ke arah Ibu, dan terlihat ibu mertuaku itu langsung menggeleng dengan pandangan mengiba. Aku kembali menatap ke arah para tetangga.

"Memangnya kalian ada bukti?" tanyaku kemudian.

"Gak perlu bukti segala!" sahut Bu Dewi. "Di kampung kita, gak mungkin lagi ada maling yang butuh duit selain Bu Aisyah!"

"Betul itu!" Bu Siti menimpali, seraya menunjuk kantong belanjaan yang di bawa Ibu. "Lagian lihat itu, baru kali ini Bu Aisya belanja banyak! Duit dari mana coba? Si Maulana kerjanya cuma pelayan, itu pun gajinya pasti habis buat bayar utang!"

"Bu, saya sengaja belanja banyak hari ini karena ingin masak untuk mantu saya," jawab Ibu. "Dan ini pakai uang saya sendiri, Bu. Demi Allah."

"Gak usah bawa-bawa Allah kamu, Aisyah! Maling mana ada yang ngaku! Pakai jilbab cuma buat kedok doang. Maling mana ada yang ngaku?"

"Sudah, cukup!" Aku meninggikan suara, membuat mereka terlihat tersentak karena kaget. Aku benar-benar marah ketika ada orang yang membawa-bawa jilbab dalam cacian mereka, padahal aku saja belum mampu menutup aurat.

"Berapa uang yang hilang itu?" tanyaku kemudian.

"Seratus ribu!" jawab Bu Dewi.

"Tunggu di sini sebentar," ucapku lagi pada mereka.

Baru aku mau beranjak, Ibu memegang lenganku, menghentikanku.

"Jangan, Nduk. Ibu benar-benar tidak mengambil uang itu," ucapnya seraya menatapku sendu.

"Aku tahu, Bu," jawabku sambil menepuk punggung tangannya pelan. "Aku ingin menggantinya bukan karena ingin membenarkan tuduhan mereka, tapi anggap saja untuk menutup mulut mereka agar tidak menghina Ibu lagi."

Aku berjalan masuk ke dalam rumah, mengambil selembar uang ratusan ribu dan berjalan menghampiri para tetangga itu lagi.

"Ini, saya ganti," ucapku kemudian.

"Nah, gitu dong dari tadi!" Bu Dewi mengambil uang itu dari tanganku dengan kasar. "Mertua sama mantu kok kelakuannya sama saja!"

Baru saja mereka hendak pergi, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya datang mendekati Bu Dewi.

"Di sini rupanya kamu, Buk. Ini, uangmu ketinggalan di atas meja. Pergi belanja kok gak bawa duit," ucapnya sambil mengulurkan selembar uang berwarna merah pada Bu Dewi.

Wajah para ibu itu seketika berubah pias, dan saat itu juga mereka jadi terlihat salah tingkah ketika aku dan Ibu masih menatap ke arah mereka.

"Aduh, Ibuk kira jatuh tadi, Pak." Bu Dewi nyengir kuda pada lelaki yang sepertinya adalah suaminya.

Dia kemudian menoleh padaku dan Ibu, lalu mengulurkan uang yang kuberikan padanya tadi.

"Ini saya kembalikan," ucapnya, tanpa kata maaf sedikitpun.

"Ambil saja, Bu," jawabku sambil menatap mereka tajam. "Mungkin uang itu bisa menutup mulut kalian semua agar lebih hati-hati dalam bicara. Ingat, kalian sudah memfitnah ibu mertua saya! Semoga Allah mengabulkan doa yang ibu ucapkan!"

Aku menarik tangan ibu, mengajak ibu untuk masuk ke dalam rumah, meninggalkan para tetangga yang entah merasa malu atas tuduhan mereka atau tidak.

"Maafkan ibu, Nduk. Kamu jadi mendengar yang gak baik tentang Ibu dan Lana," ucap Ibu kemudian ketika kami berdua sudah sampai di dapur.

Aku menarik napas panjang, menatap ke arah wanita berpakaian lusuh yang berdiri di depanku dengan wajah menunduk itu. Aku belum lama mengenalnya, dan bahkan tak peduli bagaimana masa lalunya. Bagiku, tak ada manusia yang suci, termasuk diriku sendiri. Para tetangga itu hanya belum tahu, siapa wanita yang menjadi menantu Bu Aisyah yang selalu mereka hina ini.

"Tenang, Bu." Aku meraih tangan kurusnya, lalu menggenggamnya erat. "Sekarang sudah ada aku, Dara, mantu ibu. Setelah ini akan kupastikan tak ada siapapun yang akan berani menghina ibu lagi!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Akhir ( END )

    Mereka semua benar-benar terkejut, karena ternyata yang berdiri di depan mereka rupanya adalah Pak Firman. Penampilannya telah berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dia tampak lebih kurus, dengan setelah baju koko yang dia kenakan."Aisyah ...." Kata pertama yang keluar dari bibirnya, diiringi oleh kedua matanya yang berkaca. Tampak sekali dia merindukan sosok mantan istrinya itu."Ya Allah, Mas. Mas Firman menghilang begitu saja, dan ternyata ... di sini?" ucap Bu Aisyah, belum mampu mengungkapkan perasaannya ketika akhirnya bertemu kembali dengan sang mantan suami.Pak Firman tak langsung menjawab. Dia menatap satu-persatu orang-orang yang amat dia kenal itu. Wajah mereka masih diliputi perasaan kaget, juga penuh tanda tanya. Kemudian pandangannya kembali jatuh pada mantan istrinya itu."Alhamdulillah, aku menemukan kedamaian di tempat ini, Aisyah," jawab Pak Firman kemudian seraya tersenyum simpul."Masyaa Allah, Mas." Bu Aisyah tak bisa menahan rasa haru, melihat Pak Firman yang se

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Pada akhirnya

    "Astaghfirullah, apa yang terjadi?" Dara ikut khawatir melihat keadaan Bu Sarah."Suster! Tolong, Suster!" Lana akhirnya memanggil Suster dengan panik.Tak berapa lama kemudian, beberapa orang petugas rumah sakit akhirnya datang, dan langsung melakukan pertolongan pada Bu Sarah."Ya Allah, semoga semuanya baik-baik saja," ucap Bu Aisyah kemudian."Pasti berat bagi Bu Sarah melihat kondisi putrinya seperti itu," ucap Lana seraya mengelus pundak ibunya. "Apalagi secara tidak langsung, Bu Sarah sudah memaksakan jalan yang salah pada Nikita.""Semoga setelah ini Mbak Sarah menyadari semua kesalahannya," ucap Bu Aisyah lagi, turut membayangkan apa yang Bu Sarah rasakan."Mereka terlalu menganggap enteng keluarga Heryawan," sahut Bu Laila. "Dan rupanya mereka memang dalang di balik apa yang dialami Dara tiga tahun yang lalu. Tidak bisa dimaafkan!"Dara hanya bisa terdiam. Memang semua yang telah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Namun setidaknya, Rafka sudah dengan berani membongkar kej

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Pengorbanan

    "Siapa, Dek?" tanya Lana ketika melihat ekspresi wajah istrinya yang begitu kaget."Ini ... Rafka, Mas," jawab Dara dengan suara bergetar."Rafka?" Bu Sarah seketika menyahut dalam tangisnya. "Dia pasti tahu sesuatu! Tapi dia tidak mau mengatakannya padaku! Dia pasti bersekongkol dengan Papanya!""Tenanglah, Mbak. Nikita pasti baik-baik saja," ucap Bu Aisyah, berusaha menenangkan Bu Sarah yang dari tadi histeris."Aku tidak bisa tenang, Aisyah. Tolong, aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi." Badan Bu Aisyah ambruk, dia duduk berlutut dengan kedua tangan menangkup di dada."Jangan seperti ini, Mbak. Kita akan berusaha membantu." Bu Aisyah membantu Bu Sarah berdiri.Dara seketika mengetik balasan pada Rafka, memintanya untuk memberitahunya di mana lokasinya saat ini."Ayo, Mas, kita pergi sekarang juga," ucap Dara kemudian pada Lana."Ibu ikut ya, Nduk?" sahut Bu Aisyah."Jangan, Bu. Ibu di rumah saja bersama Bu Sarah. Tunggu saja kalau kami sudah mendapatkan kabar baik," ja

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Lancang

    "Minumlah, Nduk."Bu Aisyah mengulurkan secangkir teh hangat untuk Dara. Sejak bertemu dengan dengan Rafka dan Nikita di rumah sakit, menantunya itu lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Semua itu membuatnya cemas saja."Terima kasih, Bu." Dara menerima cangkir teh itu, lalu menyeruputnya. Rasa hangat seketika mengalir ke arah tenggorokannya."Nduk Dara baik-baik saja, kan?" tanya Bu Aisyah lagi, seraya menatap menantunya itu dengan tatapan sedih."Aku baik-baik saja, Bu," jawab Dara seraya mencoba tersenyum.Memang dia tak bisa berbohong, jika hatinya tengah kalut, mungkin juga terlalu sakit hati. Bahkan mungkin dia seharusnya merutuki kebo--dohannya sendiri. Dulu dia terlalu naif, menjalin hubungan dengan pria yang jelas-jelas berasal dari keluarga yang menjadi musuh besar keluarganya. Berharap jika suatu saat mereka bisa menyatukan kedua keluarga itu."Dek ...." Lana memegang pundak Dara, membuyarkannya dari lamunan. "Apa tidak sebaiknya kita bicara pada Mama dan Papa mengenai

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Para Penjahat

    "Katakan padaku, Rafka!" Dara mengulangi ucapannya.Rafka menatap ke arah Dara. Bibirnya bergetar, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak punya keberanian. Dia kemudian menepis tangan Dara, kemudian membuang muka."Aku tidak tahu apapun!" ucapnya kemudian."Kejadian tiga tahun yang lalu?" Lana ikut menatap Rafka tajam. "Apa benar semua itu ulah keluarga Heriyawan?""Jangan ikut campur kamu, Lana! Sudah kubilang aku tidak tahu apapun!" jawab Rafka lagi."Sudah pasti saya harus ikut campur! Dara istri saya, dan apa yang terjadi padanya adalah tanggung jawab saya juga," sahut Lana kemudian."Keluargaku tidak ada kaitannya dengan kejadian apapun! Harus berapa kali aku menjelaskan?" Rafka tetap menyangkal.Dara menggertakkan rahang. Dia tahu Rafka berbohong. Dia pasti menyembunyikan sesuatu. Dara ingat dengan benar, malam itu Rafka yang sedang punya janji dengannya, dan dia tidak datang tanpa alasan. Tanpa kabar. Dara yang berusaha melupakan kejadian mengerikan itu, kini mulai in

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Iman

    "Astaghfirullah, Bu. Jangan seperti ini," ucap Lana kemudian sambil membantu Hajah Saidah berdiri."Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan pada Syifa, Lana. Tolong, Lana. Cuma kamu yang bisa menolong anak saya," ucap Hajah Saidah lagi."Istighfar, Bu Hajah. Pasti ada jalan keluar yang lebih baik. Serahkan sepenuhnya pada Allah, Bu," sahut Bu Aisyah, turut merasa sedih melihat Hajah Binti.Hajah Saidah tidak mempedulikan ucapan Bu Aisyah. Dia justru beralih menatap ke arah Dara."Saya tahu kamu adalah istrinya Lana, tapi kamu juga perempuan. Anak saya sudah mencintai Lana lebih dulu. Jadi tidak bisakah kamu membagi cinta Lana dengan putri saya?" ucapnya, yang langsung membuat Dara membulatkan mata."Astaghfirullah, Bu. Tolong jangan mengajukan permintaan yang tidak mungkin pada istri saya," sahut Lana. "Saya akan bicara dengan Syifa. Saya akan menjelaskan semuanya, agar dia bisa segera melupakan perasaannya pada saya.""Itu benar, Bu Hajah." Bu Aisyah menimpali. "Pasti Syifa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status