Share

BUKAN MENANTU MISKIN
BUKAN MENANTU MISKIN
Penulis: Ariesa Yudistira

Hari pertama di rumah mertua

"Demi Allah, saya tidak ikhlas dengan tuduhan kalian! Jika memang benar saya yang mengambil uang itu, silakan po--tong kedua tangan saya! Tapi jika ini fitnah, semoga Allah akan mengangkat derajat saya lebih tinggi dari kalian semua!"

Aku mengerjapkan mata berulang kali ketika mendengar suara Bu Aisyah, ibu mertuaku, dari luar sana. Aku yang memang tadinya masih terlelap, akhirnya bangkit dan duduk. Kepala masih terasa pusing karena semalam hampir tak bisa tidur. Ini memang baru pertama kalinya aku tidur di rumah mertua, setelah resmi menikah beberapa waktu yang lalu, dan belum terbiasa dengan suasana kampung.

Aku meraih ponsel dari samping bantal. Masih jam tujuh pagi. Kenapa ada ribut-ribut di luar sana sepagi ini? Apa ini kebiasaan orang-orang kampung?

"Halah! Ngaku saja kamu, Aisyah! Jangankan uang, suami orang saja berani kau curi!" Terdengar suara seorang wanita yang sepertinya sedang memaki ibu.

Aku seketika bangun dan berjalan keluar, memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat di depan rumah kami yang masih terbuat dari bambu itu, beberapa orang tetangga seperti sedang menginterogasi ibu. Wajah mereka terlihat diliputi emosi.

"Demi Allah, saya tidak mengambilnya, Bu." Ibu meletakkan tangannya di dada, sepertinya amat sedih dengan tekanan yang diberikan para tetangganya.

"Ada apa ini, ibu-ibu?" Aku yang tak tahan melihat itu semua, akhirnya berjalan mendekat ke arah mereka.

Semua ibu-ibu itu seketika menatap ke arahku dengan pandangan sinis.

"Oh, jadi ini mantunya Bu Aisyah? Kok mau sih, nikah sama anak haram," celetuk salah satu dari mereka.

"Astaghfirullah, Bu. Ucapan Bu Siti keterlaluan," sahut ibu seraya menatap ke arah wanita bertubuh tambun yang ternyata bernama Bu Siti itu.

"Loh, memang benar kan, kalau Maulana itu anak haram? Hasil Bu Aisyah merayu suami orang!" sahut yang lain.

"Tolong hati-hati bicara, Bu Dewi. Jangan sakiti hati menantu saya," sahut Ibu lagi.

"Sebenarnya ada apa ini?" Aku langsung menyahut dan melotot ke arah mereka. "Pagi-pagi sudah bikin ribut di rumah orang. Apa kalian tidak ada kerjaan?"

"Sombong amat kamu, Neng! Jadi mantu pelakor saja bangga!" Bu Siti bersungut-sungut. "Tuh, tanya ibu mertuamu. Dia sudah mengambil uang Bu Dewi yang jatuh di warung tadi!"

Aku seketika menatap ke arah Ibu, dan terlihat ibu mertuaku itu langsung menggeleng dengan pandangan mengiba. Aku kembali menatap ke arah para tetangga.

"Memangnya kalian ada bukti?" tanyaku kemudian.

"Gak perlu bukti segala!" sahut Bu Dewi. "Di kampung kita, gak mungkin lagi ada maling yang butuh duit selain Bu Aisyah!"

"Betul itu!" Bu Siti menimpali, seraya menunjuk kantong belanjaan yang di bawa Ibu. "Lagian lihat itu, baru kali ini Bu Aisya belanja banyak! Duit dari mana coba? Si Maulana kerjanya cuma pelayan, itu pun gajinya pasti habis buat bayar utang!"

"Bu, saya sengaja belanja banyak hari ini karena ingin masak untuk mantu saya," jawab Ibu. "Dan ini pakai uang saya sendiri, Bu. Demi Allah."

"Gak usah bawa-bawa Allah kamu, Aisyah! Maling mana ada yang ngaku! Pakai jilbab cuma buat kedok doang. Maling mana ada yang ngaku?"

"Sudah, cukup!" Aku meninggikan suara, membuat mereka terlihat tersentak karena kaget. Aku benar-benar marah ketika ada orang yang membawa-bawa jilbab dalam cacian mereka, padahal aku saja belum mampu menutup aurat.

"Berapa uang yang hilang itu?" tanyaku kemudian.

"Seratus ribu!" jawab Bu Dewi.

"Tunggu di sini sebentar," ucapku lagi pada mereka.

Baru aku mau beranjak, Ibu memegang lenganku, menghentikanku.

"Jangan, Nduk. Ibu benar-benar tidak mengambil uang itu," ucapnya seraya menatapku sendu.

"Aku tahu, Bu," jawabku sambil menepuk punggung tangannya pelan. "Aku ingin menggantinya bukan karena ingin membenarkan tuduhan mereka, tapi anggap saja untuk menutup mulut mereka agar tidak menghina Ibu lagi."

Aku berjalan masuk ke dalam rumah, mengambil selembar uang ratusan ribu dan berjalan menghampiri para tetangga itu lagi.

"Ini, saya ganti," ucapku kemudian.

"Nah, gitu dong dari tadi!" Bu Dewi mengambil uang itu dari tanganku dengan kasar. "Mertua sama mantu kok kelakuannya sama saja!"

Baru saja mereka hendak pergi, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya datang mendekati Bu Dewi.

"Di sini rupanya kamu, Buk. Ini, uangmu ketinggalan di atas meja. Pergi belanja kok gak bawa duit," ucapnya sambil mengulurkan selembar uang berwarna merah pada Bu Dewi.

Wajah para ibu itu seketika berubah pias, dan saat itu juga mereka jadi terlihat salah tingkah ketika aku dan Ibu masih menatap ke arah mereka.

"Aduh, Ibuk kira jatuh tadi, Pak." Bu Dewi nyengir kuda pada lelaki yang sepertinya adalah suaminya.

Dia kemudian menoleh padaku dan Ibu, lalu mengulurkan uang yang kuberikan padanya tadi.

"Ini saya kembalikan," ucapnya, tanpa kata maaf sedikitpun.

"Ambil saja, Bu," jawabku sambil menatap mereka tajam. "Mungkin uang itu bisa menutup mulut kalian semua agar lebih hati-hati dalam bicara. Ingat, kalian sudah memfitnah ibu mertua saya! Semoga Allah mengabulkan doa yang ibu ucapkan!"

Aku menarik tangan ibu, mengajak ibu untuk masuk ke dalam rumah, meninggalkan para tetangga yang entah merasa malu atas tuduhan mereka atau tidak.

"Maafkan ibu, Nduk. Kamu jadi mendengar yang gak baik tentang Ibu dan Lana," ucap Ibu kemudian ketika kami berdua sudah sampai di dapur.

Aku menarik napas panjang, menatap ke arah wanita berpakaian lusuh yang berdiri di depanku dengan wajah menunduk itu. Aku belum lama mengenalnya, dan bahkan tak peduli bagaimana masa lalunya. Bagiku, tak ada manusia yang suci, termasuk diriku sendiri. Para tetangga itu hanya belum tahu, siapa wanita yang menjadi menantu Bu Aisyah yang selalu mereka hina ini.

"Tenang, Bu." Aku meraih tangan kurusnya, lalu menggenggamnya erat. "Sekarang sudah ada aku, Dara, mantu ibu. Setelah ini akan kupastikan tak ada siapapun yang akan berani menghina ibu lagi!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status