Aku ... Dara Larasati Atmajaya, putri dan pewaris tunggal dari pemilik perusahaan dengan brand yang menguasai hampir seperempat perekonomian di negeri ini. Nyatanya ... lahir dalam keluarga yang bergelimpang harta tak selalu bisa membuat seseorang bahagia ....
"Dara, Papa membawakan calon suami untukmu."Aku memutar kepala perlahan, menatap ke arah pria yang merupakan cinta pertamaku itu. Di sampingnya, terlihat Mama menatap ke arahku dengan pandangan sendu. Pandangan yang setiap hari kulihat sejak kejadian laknat beberapa tahun yang lalu.Persaingan bisnis. Sungguh alasan yang tidak masuk akal seseorang membayar para preman untuk menghancurkan masa depan penerus bisnis saingannya tersebut. Tapi mereka berhasil. Mereka berhasil membuatku hancur dengan merenggut kehormatanku.Bahkan ketika para preman itu tertangkap, para polisi tidak membuat mereka mengakui siapa yang telah membayar mereka. Sedangkan aku yang jadi korban, tak bisa berbuat apa-apa. Kenapa mereka tidak membu--nuhku saja waktu itu?"Siapa yang mau menikah dengan wanita kotor sepertiku, Pa?" tanyaku dengan wajah datar."Dara, itu semua sudah masa lalu, Sayang. Kamu berhak untuk masa depan." Mama duduk di sampingku, mengelus kepalaku lembut."Tapi aku sudah kotor, Ma .... Kenapa kalian tidak membiarkan aku m4ti saja?""Dara, tolong. Jangan membuat kami merasa bersalah lagi karena tidak bisa menjagamu." Mama mulai menangis, seperti biasanya."Kamu adalah putri kami satu-satunya, juga satu-satunya pewaris yang kami miliki. Tolong jangan berbuat nekad lagi," sambung Papa.Aku menarik napas berat. Kutatap pergelangan tangan yang masih terbungkus perban. Baru beberapa minggu yang lalu aku mencoba memutuskan urat nadiku lagi. Entah yang ke berapa kali selama beberapa tahun ini. Namun sepertinya malaikat maut enggan mencabut nyawaku. Apakah karena aku sekotor itu?"Baiklah, bagaimana kalau kita bertaruh, Pa?" ucapku kemudian.Mama dan Papa saling berpandangan sesaat."Apa maksudmu, Dara?""Jika dalam tiga bulan suamiku tidak bisa membuatku bahagia, relakan saja aku mengakhiri hidupku ....""Dara!" Wajah Mama seketika berubah gusar mendengar ucapanku.Papa terlihat menarik napas panjang, lalu menatapku."Baiklah, Dara. Jika Lana tidak bisa membuatmu bahagia, Mama dan Papa akan membiarkan kamu berbuat sesukamu setelah ini," ucapnya kemudian."Pa!" Mama menggoncang lengan Papa. Dia mulai menangis lagi.Aku kembali membisu. Aku tahu mungkin kedua orang tuaku juga sudah lelah menghadapiku. Dan lagi, aku begitu yakin jika pria yang menikahiku mungkin hanya akan mengincar satu hal saja. Apa lagi kalau bukan harta?Akhirnya, aku bersedia menikah. Aku tak pernah mengira jika pernikahanku akan berlangsung di sebuah rumah sederhana yang berada jauh di perkampungan. Bohong jika aku bilang dulu aku tak pernah memikirkan pernikahan impian. Namun sejak kehormatanku dirampas paksa oleh para ba--jingan itu, jangankan berpikir tentang pernikahan, yang ada dalam otakku hanya bagaimana caranya untuk m4ti.Dan yang paling tak aku sangka, pria yang telah mengucapkan janji suci pernikahan di depan penghulu, tak lain adalah Maulana Sadewa, pria yang selama ini menjadi salah satu asisten keluarga kami. Kenapa Papa bisa berpikir, jika seorang asisten perumahan bisa membuatku bahagia?"Nduk, ayo sarapan."Aku tersentak dari lamunan ketika Ibu meletakkan sepiring nasi hangat di depanku. Aroma sayur asem menguar, begitu juga dengan sambal terasi yang bersanding dengan tempe dan tahu goreng. Hidangan yang begitu sederhana, tapi membuat air liurku ingin menetes."Mas Lana sudah berangkat dari pagi, Bu?" tanyaku berbasa-basi ketika Ibu duduk berseberangan denganku.Padahal aku sudah tahu jawabannya. Mas Lana tidak pernah sekalipun terlambat datang saat bekerja. Sebenarnya Papa ingin memberinya jabatan di kantor setelah menikah denganku, tapi dia menolak. Alasannya karena dia hanya lulusan SMP, jadi merasa tidak pantas."Iya, Nduk. Tadi kamu masih tidur, gak tega mau membangunkan," jawab Ibu seraya memulai suapannya. "Ayo dimakan, Nduk."Aku mengangguk, lalu mengambil sesendok sayur asam dan memasukkannya ke dalam mulut. Sedap sekali. Ternyata Bu Aisyah begitu pandai memasak. Dia kelihatan tersenyum ketika aku memakan masakannya dengan lahap.Ketika kami masih menikmati sarapan kami, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di halaman rumah kami. Aku dan Ibu saling bertatapan sesaat."Siapa yang datang, Bu?" tanyaku."Entahlah, Nduk."Aku dan Ibu akhirnya berdiri, lalu berjalan menuju pintu depan. Sebuah mobil merk Alphard sudah terparkir di sana. Seorang wanita yang kelihatannya seumuran dengan Ibu, namun tertutupi oleh make up tebalnya, berjalan ke arah kami."Mbak Sarah ...." Belum selesai ibu menyapa, wanita itu melewati ibu dengan angkuhnya."Aku dengar Maulana baru menikah, Aisyah?." Wanita berpenampilan glamor itu masuk begitu saja, lalu duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu kami."Kenapa tidak mengundangku?" tanyanya lagi sambil melepas kaca mata hitamnya dan menatap ke arah kami."M-maaf ... acaranya mendadak, Mbak," jawab Ibu, terlihat gugup. "Ini mantu saya, Dara."Ibu menggandeng lenganku, memperkenalkanku pada wanita itu. Aku mengulurkan tangan padanya, tapi dia tidak mau menyambutnya, membuatku kesal."Lancang kamu, Aisyah! Bukannya sudah kubilang kami yang akan menikahkan Lana? Setidaknya dengan gadis yang kaya, bukan yang kampungan seperti ini! Jadi kamu bisa segera melunasi utangmu pada kami!" ucap wanita bernama Sarah itu lagi.Aku seketika mengepalkan tangan erat, tak bisa menahan kesal."Maaf, Ibu ini siapa?" tanyaku kemudian.Bu Sarah menatap ke arahku dengan pandangan sinis, lalu menjawab dengan lantang."Saya ini istri sah dari Papanya Maulana! Asal kamu tahu, ya? Ibu mertuamu ini perampas suami orang, alias pelakor!"Mereka semua benar-benar terkejut, karena ternyata yang berdiri di depan mereka rupanya adalah Pak Firman. Penampilannya telah berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dia tampak lebih kurus, dengan setelah baju koko yang dia kenakan."Aisyah ...." Kata pertama yang keluar dari bibirnya, diiringi oleh kedua matanya yang berkaca. Tampak sekali dia merindukan sosok mantan istrinya itu."Ya Allah, Mas. Mas Firman menghilang begitu saja, dan ternyata ... di sini?" ucap Bu Aisyah, belum mampu mengungkapkan perasaannya ketika akhirnya bertemu kembali dengan sang mantan suami.Pak Firman tak langsung menjawab. Dia menatap satu-persatu orang-orang yang amat dia kenal itu. Wajah mereka masih diliputi perasaan kaget, juga penuh tanda tanya. Kemudian pandangannya kembali jatuh pada mantan istrinya itu."Alhamdulillah, aku menemukan kedamaian di tempat ini, Aisyah," jawab Pak Firman kemudian seraya tersenyum simpul."Masyaa Allah, Mas." Bu Aisyah tak bisa menahan rasa haru, melihat Pak Firman yang se
"Astaghfirullah, apa yang terjadi?" Dara ikut khawatir melihat keadaan Bu Sarah."Suster! Tolong, Suster!" Lana akhirnya memanggil Suster dengan panik.Tak berapa lama kemudian, beberapa orang petugas rumah sakit akhirnya datang, dan langsung melakukan pertolongan pada Bu Sarah."Ya Allah, semoga semuanya baik-baik saja," ucap Bu Aisyah kemudian."Pasti berat bagi Bu Sarah melihat kondisi putrinya seperti itu," ucap Lana seraya mengelus pundak ibunya. "Apalagi secara tidak langsung, Bu Sarah sudah memaksakan jalan yang salah pada Nikita.""Semoga setelah ini Mbak Sarah menyadari semua kesalahannya," ucap Bu Aisyah lagi, turut membayangkan apa yang Bu Sarah rasakan."Mereka terlalu menganggap enteng keluarga Heryawan," sahut Bu Laila. "Dan rupanya mereka memang dalang di balik apa yang dialami Dara tiga tahun yang lalu. Tidak bisa dimaafkan!"Dara hanya bisa terdiam. Memang semua yang telah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Namun setidaknya, Rafka sudah dengan berani membongkar kej
"Siapa, Dek?" tanya Lana ketika melihat ekspresi wajah istrinya yang begitu kaget."Ini ... Rafka, Mas," jawab Dara dengan suara bergetar."Rafka?" Bu Sarah seketika menyahut dalam tangisnya. "Dia pasti tahu sesuatu! Tapi dia tidak mau mengatakannya padaku! Dia pasti bersekongkol dengan Papanya!""Tenanglah, Mbak. Nikita pasti baik-baik saja," ucap Bu Aisyah, berusaha menenangkan Bu Sarah yang dari tadi histeris."Aku tidak bisa tenang, Aisyah. Tolong, aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi." Badan Bu Aisyah ambruk, dia duduk berlutut dengan kedua tangan menangkup di dada."Jangan seperti ini, Mbak. Kita akan berusaha membantu." Bu Aisyah membantu Bu Sarah berdiri.Dara seketika mengetik balasan pada Rafka, memintanya untuk memberitahunya di mana lokasinya saat ini."Ayo, Mas, kita pergi sekarang juga," ucap Dara kemudian pada Lana."Ibu ikut ya, Nduk?" sahut Bu Aisyah."Jangan, Bu. Ibu di rumah saja bersama Bu Sarah. Tunggu saja kalau kami sudah mendapatkan kabar baik," ja
"Minumlah, Nduk."Bu Aisyah mengulurkan secangkir teh hangat untuk Dara. Sejak bertemu dengan dengan Rafka dan Nikita di rumah sakit, menantunya itu lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Semua itu membuatnya cemas saja."Terima kasih, Bu." Dara menerima cangkir teh itu, lalu menyeruputnya. Rasa hangat seketika mengalir ke arah tenggorokannya."Nduk Dara baik-baik saja, kan?" tanya Bu Aisyah lagi, seraya menatap menantunya itu dengan tatapan sedih."Aku baik-baik saja, Bu," jawab Dara seraya mencoba tersenyum.Memang dia tak bisa berbohong, jika hatinya tengah kalut, mungkin juga terlalu sakit hati. Bahkan mungkin dia seharusnya merutuki kebo--dohannya sendiri. Dulu dia terlalu naif, menjalin hubungan dengan pria yang jelas-jelas berasal dari keluarga yang menjadi musuh besar keluarganya. Berharap jika suatu saat mereka bisa menyatukan kedua keluarga itu."Dek ...." Lana memegang pundak Dara, membuyarkannya dari lamunan. "Apa tidak sebaiknya kita bicara pada Mama dan Papa mengenai
"Katakan padaku, Rafka!" Dara mengulangi ucapannya.Rafka menatap ke arah Dara. Bibirnya bergetar, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak punya keberanian. Dia kemudian menepis tangan Dara, kemudian membuang muka."Aku tidak tahu apapun!" ucapnya kemudian."Kejadian tiga tahun yang lalu?" Lana ikut menatap Rafka tajam. "Apa benar semua itu ulah keluarga Heriyawan?""Jangan ikut campur kamu, Lana! Sudah kubilang aku tidak tahu apapun!" jawab Rafka lagi."Sudah pasti saya harus ikut campur! Dara istri saya, dan apa yang terjadi padanya adalah tanggung jawab saya juga," sahut Lana kemudian."Keluargaku tidak ada kaitannya dengan kejadian apapun! Harus berapa kali aku menjelaskan?" Rafka tetap menyangkal.Dara menggertakkan rahang. Dia tahu Rafka berbohong. Dia pasti menyembunyikan sesuatu. Dara ingat dengan benar, malam itu Rafka yang sedang punya janji dengannya, dan dia tidak datang tanpa alasan. Tanpa kabar. Dara yang berusaha melupakan kejadian mengerikan itu, kini mulai in
"Astaghfirullah, Bu. Jangan seperti ini," ucap Lana kemudian sambil membantu Hajah Saidah berdiri."Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan pada Syifa, Lana. Tolong, Lana. Cuma kamu yang bisa menolong anak saya," ucap Hajah Saidah lagi."Istighfar, Bu Hajah. Pasti ada jalan keluar yang lebih baik. Serahkan sepenuhnya pada Allah, Bu," sahut Bu Aisyah, turut merasa sedih melihat Hajah Binti.Hajah Saidah tidak mempedulikan ucapan Bu Aisyah. Dia justru beralih menatap ke arah Dara."Saya tahu kamu adalah istrinya Lana, tapi kamu juga perempuan. Anak saya sudah mencintai Lana lebih dulu. Jadi tidak bisakah kamu membagi cinta Lana dengan putri saya?" ucapnya, yang langsung membuat Dara membulatkan mata."Astaghfirullah, Bu. Tolong jangan mengajukan permintaan yang tidak mungkin pada istri saya," sahut Lana. "Saya akan bicara dengan Syifa. Saya akan menjelaskan semuanya, agar dia bisa segera melupakan perasaannya pada saya.""Itu benar, Bu Hajah." Bu Aisyah menimpali. "Pasti Syifa