Share

MELIHAT ALMARHUM ADIK....

"Cukup, Rif! Aku tahu, kamu enggak pernah suka dengan Ronan, tapi please jangan begini, kamu orang yang paling aku dengar selama ini, tapi kalau kamu mengatakan hal buruk tentang Ronan, aku juga enggak akan terima!"

Suara Riska terdengar gemetar ketika mengucapkan kalimat tersebut, pertanda ia sendiri berusaha untuk mengatasi perasaannya kala mengucap kata-kata itu lantaran foto di galeri ponsel sang suami didukung pengakuan suaminya tersebut bahwa ia memiliki wanita cadangan yang lain bertolak belakang dengan apa yang ia ucapkan.

Namun, jika ia membicarakan hal itu pada sang adik, pasti akan membuat perasaan adiknya dengan sang suami semakin buruk saja. Riska tidak mau.

Ia memiliki harapan, suatu hari nanti akan membuat adiknya bisa menerima sang suami bagaimana pun caranya.

Rifky menghela napas mendengar perkataan sang kakak, niatnya yang ingin mengatakan tentang apa yang dilakukan oleh Ronan di luar, terpaksa diurungkannya.

Sekarang, sang kakak terlihat sedang tidak baik. Ia yakin tadi kakaknya bertengkar dengan suaminya hingga ia bisa melihat ada sisa air mata di sudut mata sang kakak.

Namun, Riska memang selalu saja berusaha untuk kuat di hadapan siapapun, hingga terkadang Rifky -lah yang membongkar segalanya sampai kakaknya itu mau berbagi beban padanya.

"Kak, semenjak Kak Rizky meninggal, Kakak memikul tanggung jawab yang berat menggantikan posisi Kak Rizky, aku tahu itu, jadi aku harap, Kakak bisa membaginya denganku. Mungkin, di mata Kakak, dibandingkan Kak Rizky, aku ini tidak ada gunanya, tapi, aku selalu ingin hidup Kakak bahagia dengan siapapun itu."

Setelah bicara demikian, Rifky pamit untuk berangkat ke kantor.

Riska hanya merespon ucapan salam yang diucapkan oleh Rifky seiring langkahnya yang beranjak pergi.

Kata-kata sang adik menyentuh hatinya yang terdalam. Bayangan adiknya, Rizky, anak kedua dari ayah dan ibunya itu meninggal karena kanker otak stadium akhir berkelebat.

Saat itu, Rizky masih duduk di bangku SMU, dan mereka sekeluarga masih tinggal di Samarinda.

Adiknya itu pria yang aktif dibandingkan Rifky yang pendiam dan terkesan introvert.

Rizky pria yang banyak sekali melakukan aktivitas positif, hingga mengabaikan kesehatannya sendiri.

Gejala sakit kepala dan darah yang keluar dari hidungnya tiba-tiba selalu tidak diperiksakan secara serius oleh adiknya tersebut.

Semangat Rizky saat masih hidup membuat seluruh keluarga tidak ada yang menyangka, pria tampan yang tercatat sebagai vocalis band yang berencana akan rekaman itu ternyata menderita penyakit mematikan tersebut (kisah almarhum Rizky ada di buku cetak saya yang sudah terbit berjudul MALAIKAT SMILE).

Adik nomor duanya itu meninggal meskipun segala cara dilakukan untuk membuat penyakitnya sembuh.

Kanker itu terlanjur menguasai nyaris keseluruhan otak sang pemuda aktif, hingga Rizky menghembus napasnya yang terakhir dipelukan Riska.

Meskipun Rizky seorang adik, Riska merasa Rizky adalah kakak buatnya.

Sikap adiknya yang dewasa dan bijak membuat Riska tidak pernah bermain rahasia pada saudara nomor duanya itu. Tidak seperti dengan Rifky. Riska mengakui sedikit jauh.

Namun, ketika Rizky meninggal, perlahan sikap Rifky yang dingin dan tertutup dengan keluarga berubah. Adik bungsunya itu mulai perhatian dengan ia dan kedua orang tuanya.

Rifky mulai dewasa dan bijak serta terbuka dengannya, hanya saja Riska yang masih belum mampu terbuka dengan adik bungsunya itu, karena ia selalu merasa Rifky tidak pernah ada di jalur yang ia pilih.

Seperti pada saat ia menikah dengan Ronan, Rifky orang pertama yang menolak habis-habisan niat itu meskipun Riska melakukannya untuk kebaikan perusahaan sang ayah.

"Kak...."

Riska tergagap ketika mendengar suara adik nomor duanya itu terdengar jelas di indera pendengarannya.

Wanita itu melepaskan sapu lantai yang ia pegang sejak tadi, dan memandang berkeliling di ruangan tersebut dengan pandangan mata nanar.

"Rizky! Apakah itu kamu?" tanya Riska dengan nada suara yang sedikit keras.

Dua anaknya berada di kamar ketika Riska meminta anak-anaknya itu untuk ke kamar sebelum ia dan Rifky tadi bicara.

Tidak ada sahutan ketika Riska melontarkan pertanyaan itu pada seseorang yang diyakininya adalah suara almarhum adiknya.

Merasa ia hanya berhalusinasi, Riska menjatuhkan diri ke lantai. Memohon ampun pada Tuhan, mengapa belakangan ini ia seperti sedang terus saja berhalusinasi?

Ia selalu mendengar suara almarhum adiknya itu memanggilnya tatkala ia sedang tidak tahu harus bagaimana saat bertengkar dengan sang suami.

Kedua mata wanita cantik itu kembali digenangi air mata.

Kali ini, karena ia tidak sedang bersama orang lain, Riska membiarkan butiran bening itu turun membasahi pipinya perlahan.

Ia perlu menangis sekarang. Belakangan ia berusaha kuat agar ia terlihat baik-baik saja atas perubahan sikap sang suami karena ia melahirkan anak perempuan terus menerus, lantaran tidak mau membuat ayahnya yang masih tidak sehat akan sedih.

Perusahaan baik-baik saja, bagi Riska sudah cukup, namun ternyata, semakin ditahan, semakin sesak rasanya hatinya sekarang.

"Kakak boleh menangis, kalau memang sudah tidak sanggup lagi menahan, tapi, setelah itu, Kakak harus bangkit dan tunjukkan pada pria itu, bahwa Kakak bukan perempuan yang bisa ditindas seenaknya...."

Suara itu terdengar lagi, dan kali ini Riska yakin bahwa yang bicara adalah almarhum adiknya karena ia sangat hafal suara itu, hingga Riska menengadahkan kepalanya mencari-cari sosok yang jujur saja sangat ia rindukan tersebut.

Matanya yang basah oleh air mata menemukan sesuatu yang ia yakin bayangan itu siapa. Almarhum adiknya!

Sosok itu berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tatapan mata sedih ke arahnya. Hingga membuat Riska bangkit dan berdiri seraya menatap tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

"Rizky, ini benar kamu? Ternyata, apa yang dikatakan Mitha itu benar, kamu datang di waktu-waktu tertentu, apakah itu artinya tidurmu tidak tenang?"

Entahlah, Riska sekarang tidak peduli, dirinya waras atau tidak. Yang jelas, ia sekarang sangat menikmati pertemuan dengan adiknya itu, hingga perempuan berambut panjang tersebut melangkah mendekati adiknya yang sudah lama meninggal tersebut, namun ia tidak bisa menggerakkan kedua kakinya untuk melangkah, seperti ada sesuatu yang menahannya hingga ia mau tidak mau tetap di tempatnya.

"Kenapa diam? Jawab aku? Aku pengen ngobrol banyak sama kamu, Dek! Hidupmu terlalu singkat, kami, terkhusus aku belum siap untuk kehilangan kamu!"

Karena di sana sosok almarhum adiknya diam saja, Riska kembali bicara demikian seolah-olah tidak terima sang adik tidak menanggapi apa yang ia katakan tadi.

"Kak! Kakak ngomong sama siapa? Siapa di sana?"

Sebuah suara lain terdengar, membuyarkan kefokusan Riska pada sosok almarhum adiknya.

Perempuan itu berbalik, ternyata Rifky yang bicara. Adik bungsunya itu kembali lagi karena khawatir dengan kondisi sang kakak yang menurutnya tidak sedang baik-baik saja.

Ketika Rifky kembali, apa yang dikhawatirkannya terbukti, sang kakak bicara sendiri seperti sedang bicara dengan almarhum kakaknya.

"Aku tadi melihat Rizky, Rif! Dia ada di sana, dan bicara sama aku!"

Riska melaporkan apa yang tadi dialaminya pada Rifky sambil menunjuk ke hadapannya di mana tadi sosok almarhum adiknya berdiri di sana.

Namun, tidak ada siapa-siapa di sana....

"Istighfar, Kak! Kak Rizky sudah lama meninggal, dia tidak mungkin hidup dan bicara dengan Kakak di sini!"

"Tapi tadi itu nyata, Rifky! Aku melihat Rizky, dan nyata mendengar dia bicara padaku! Aku yakin itu suara dia, aku enggak bohong!"

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Mariska Stevy Rizmawan
aku juga.........
goodnovel comment avatar
Elpit
sesak bacanya ......
goodnovel comment avatar
Mariska Stevy Rizmawan
iya aku sesek...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status