Natasha merasa cemas dan gelisah saat berada dalam mobil milik Edgar. Ia berusaha keras membuka pintu, ingin segera keluar agar tidak ada mahasiswa lain yang melihatnya berada dalam satu mobil bersama pria asing. Namun, Edgar tidak memperdulikannya.
"Julian, jalankan mobilnya," titah Edgar pada sahabatnya yang duduk di kursi kemudi.
Dengan panik, Natasha berteriak, "Buka pintunya! Biarkan aku keluar!" Namun, Edgar tetap tidak menghiraukannya.
"Aku akan mengantarmu pulang," ucap Edgar tanpa menatap ke arah wanita bercadar yang duduk di sebelahnya.
Namun, Natasha menolak dengan tajam. "Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri!" ucapnya. Tangan Natasha masih terus berusaha membuka pintu mobil yang tengah ia naiki, meskipun ia tahu bahwa pintu itu terkunci.
Ceklek!
Ceklek!
Tiba-tiba, Edgar bergerak dan mendekati Natasha. Ia meletakkan salah satu tangannya pada kaca mobil di sisi wanita bercadar itu.
Brak!
"Hentikan!" ucap Edgar dengan suara baritone-nya yang dalam.
Natasha segera menghentikan gerakan tangannya saat jarak di antara mereka menjadi begitu dekat. Ia merasa terkejut oleh reaksi tegas Edgar.
"Me-Menjauhlah dariku," kata Natasha dengan suara gemetar, sambil memalingkan wajahnya dari tatapan Edgar.
Tanpa mengatakan apa pun, Edgar kembali duduk di posisi semula dan menatap ke arah depan dengan tatapan datar. Begitupun dengan Natasha, yang saat ini mulai diam dan tidak lagi berusaha membuka pintu mobil seperti sebelumnya. Suasana menjadi hening, dan keduanya saling diam.
Setelah beberapa saat berlalu, Natasha akhirnya memutuskan untuk membuka suara, "Dari mana kamu tahu kampusku?" tanya Natasha tiba-tiba, dengan pandangan yang menatap ke arah luar jendela.
Edgar menjawab dengan singkat, "Lihatlah ke belakang."
Mendengar itu, Natasha langsung menoleh ke belakang. Di sana, terlihat sebuah mobil berwarna hitam yang terus mengikuti mereka. Tatapan heran dan kebingungan muncul di wajah Natasha, karena ia tidak mengerti apa hubungan mobil tersebut dengan Edgar yang tahu tentang kampusnya.
"Kenapa mobil hitam itu mengikuti kita?" tanya Natasha tidak mengerti.
Namun, begitu Natasha menyadari sesuatu, ia langsung bertanya dengan suara yang sedikit tercekat, "Jangan bilang kalau kamu membayar seseorang untuk mengikutiku?"
"Hmm." Edgar mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.
"Sejak kapan mereka mengikutiku?" Tambah Natasha.
"Sejak kamu menandatangani surat perjanjian itu," jawab Edgar dengan datar.
Tiba-tiba Natasha diam sejenak, mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk negosiasi mengenai surat perjanjian pernikahan yang dibuat oleh Edgar.
"Mari kita batalkan semuanya," kata Natasha dengan serius.
Sontak, netra berwarna hazel milik Edgar menatap tegas ke arah Natasha yang tengah berbicara.
Natasha merasa jantungnya berdetak kencang saat dia melihat ekspresi serius di wajah Edgar. Dia bisa merasakan ketegangan yang mengisi udara di sekitar mereka. Namun, dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia telah belajar bagaimana menghadapi tantangan dalam hidupnya, dan saat ini, dia siap untuk melawan.
"Tidak bisa," jawab Edgar tanpa menggeser pandangannya sedikit pun.
"Jika kamu takut aku membocorkan rahasiamu, yang jelas-jelas aku tidak tahu. Aku siap menerima hukuman, meskipun harus mendekam di penjara," ujar Natasha dengan berani.
"Dengan ini rahasiamu akan aman, dan kamu tidak perlu repot-repot untuk menikahiku, kan?" lanjut Natasha, berharap Edgar akan memberikan jawaban yang dia harapkan.
Namun, Edgar masih tetap bungkam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Bagaimana?" tanya Natasha lagi, saat Edgar belum juga membuka suara. Ia pikir Edgar tengah mempertimbangkan negosiasinya, rupanya ia salah besar.
Edgar melirik ke arah Julian, yang tengah mengemudikan mobil sambil berkata, "Berikan map cokelat itu padaku."
Tanpa ragu, Julian mengulurkan tangannya dan dengan lembut meraih map cokelat yang tergeletak di kursi sebelahnya. Ia memberikannya pada Edgar tanpa bertanya.
Setelah menerima map tersebut, Edgar langsung memberikannya pada Natasha, dengan ekspresi serius di wajahnya.
"Ini apa?" tanya Natasha dengan bingung, sambil memandang map cokelat yang baru saja diterimanya.
Edgar menjawab dengan singkat, "Buka saja."
Dengan perlahan, Natasha mulai membuka map cokelat tersebut. Namun, saat ia melihat foto dirinya bersama Edgar sedang berada di sebuah kamar hotel, sontak ia membelalakkan matanya sempurna.
"Apa maksudnya kamu memberikan foto ini padaku?" tanya Natasha dengan heran, tak habis pikir dengan tindakan Edgar.
Edgar tersenyum dingin, menatap Natasha dengan tatapan tajam. "Itu hadiah kecil dariku untuk orang tuamu," jawabnya dengan suara yang tenang.
Tatapan tajam Natasha bertambah kuat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu bercanda?!"
Dengan gerakan cepat dan putus asa, Natasha merobek semua lembar foto yang ada di dalam map cokelat tersebut. Foto-foto itu berhamburan di sekitarnya, mencerminkan keputusasaan dan kemarahan yang dirasakannya.
"Sekarang sudah tidak ada alasan bagiku untuk mengikuti semua permainanmu," ucap Natasha dengan napas yang memburu.
Dengan gerakan santai, Edgar meraih map cokelat lainnya yang ada di sisinya. Dengan penuh percaya diri, ia membuka map tersebut dan menunjukkan beberapa lembar foto yang sama dengan foto yang baru saja Natasha robek.
Melihat foto-foto tersebut, Natasha merasa terkejut dan marah. Ia tidak percaya bahwa ada lebih banyak foto yang dimiliki Edgar.
"Kamu pikir foto itu hanya satu-satunya yang kupunya?" tanya Edgar dengan nada merendahkan, sambil melirik robekan foto di tangan Natasha dengan senyuman menyeringai.
Natasha merasa terjepit dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak ingin orang tuanya mengetahui tentang foto-foto tersebut, namun ia juga tidak ingin terus dipermainkan oleh Edgar.
"Jika tidak ingin orang tuamu mengetahui foto ini, berhentilah membuatku kesal," sambung Edgar dengan suara yang mengancam.
Natasha meremas robekan foto di tangannya dengan kuat, ekspresi wajahnya penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Dasar licik!" serunya dengan suara yang penuh emosi, sambil membuang wajahnya ke arah luar jendela.
Edgar tetap tersenyum menyeringai, ia merasa puas karena berhasil membuat Natasha kalah telak darinya. "Sekarang keputusan ada di tanganmu, Natasha," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kesombongan.
Natasha menghela napas panjang, ia benar-benar merasa lelah dengan semua permainan yang dilakukan oleh Edgar. Ia menatap Edgar dengan tatapan serius sebelum akhirnya berbicara.
"Apa di matamu pernikahan hanya sebuah permainan?" Tanya Natasha dengan suara lemah.
Edgar menatap Natasha dengan tajam sebelum menjawab dengan suara dingin, "Aku tidak membutuhkan pendapatmu. Tugasmu hanya menjadi pengantin kontrakku."
Natasha merasa hatinya berdesir ketika mendengar ucapan tajam yang keluar dari mulut Edgar. Dia merasa kecewa karena pria yang akan menjadi suaminya nanti tampaknya tidak menghargai sebuah pernikahan.
Saat mobil Edgar tiba-tiba berhenti, Natasha segera menoleh ke arah luar jendela, terkejut melihat bahwa mereka berhenti di depan rumahnya.
"Sejauh mana orang suruhanmu mengikutiku, sampai-sampai kamu tahu alamat rumahku?" tanya Natasha dengan tegang, mencurigai bahwa Edgar telah melakukan penyelidikan terhadapnya lebih dalam.
"Ini belum seberapa," jawab Edgar, kemudian keluar dari mobilnya.
"Hei, apa maksudmu?" tanya Natasha, bingung dengan pernyataan Edgar. Ia pun buru-buru ikut keluar dari mobil Rolls Royce Phantom itu.
Natasha mempercepat langkahnya mendekati Edgar dengan tergesa-gesa saat melihat pria itu hendak melangkah ke rumahnya.
"Bukankah kamu bilang hanya ingin mengantarku pulang? Kenapa masih di sini?" ucap Natasha, berharap agar Edgar cepat pergi dari sana sebelum orang tuanya melihatnya datang bersama seorang pria.
"Kapan aku mengatakannya?" tanya Edgar berpura-pura lupa.
Namun, saat Natasha hendak berbicara kembali, tiba-tiba Adam, ayah Natasha yang baru saja keluar dari rumahnya berkata, "Natasha. Siapa mereka?" tanyanya dengan rasa penasaran.
Sontak, Natasha segera menatap ke arah Adam. Hatinya berdegup kencang saat menyadari bahwa dia harus menjawab pertanyaan ayahnya dengan jujur. Dia meremas jari-jari tangannya sendiri, mencoba menenangkan diri.
Dengan hati yang berdebar, Natasha mendekati Adam dengan langkah mantap, berniat membawanya masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaannya.
"Ayo masuk, Pak," ajak Natasha dengan lembut.
Namun, sebelum Natasha dan Adam melangkah masuk, Edgar mendekati keduanya dengan tersenyum ramah, mencoba mencairkan suasana.
"Selamat siang, Om. Kenalkan, saya Edgar Pradipta," sapa Edgar dengan sopan, memperkenalkan dirinya dengan ramah. Wajahnya terlihat berbeda saat berada di depan Natasha.
Adam mengangguk bingung, memandang Edgar dengan tatapan heran. Ia kemudian menoleh ke arah Natasha, mencari jawaban tentang siapa pria di hadapannya itu.
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg