Hujan rintik-rintik mengisi keheningan malam. Angin dingin menembus masuk dari celah jendela. Denting jam mulai merayap naik. Saat ini sudah pukul sebelas malam, tapi mata belum jua bisa terpejam. Aku biasanya tak pernah seinsomnia ini. Aku selalu bisa tidur cepat. Namun malam ini memang sangat berbeda.
Pikiranku melayang ke mana-mana. Mengingat masa lalu sebelum dan sesudah menikah dengan Mas Dimas. Rasanya terlalu manis hingga membuatku benar-benar tak habis pikir jika Mas Dimas sudah menipuku dan papa sejauh ini. Kepalaku pusing tapi mata belum jua bisa terpejam. Aku masih terus memikirkan Mas Dimas dan aku benar-benar nggak bisa tidur.
Bagaimana aku bisa tidur jika sampai detik ini, Mas Dimas belum juga memberi kabar padahal dia sendiri bilang akan segera memberiku kabar jika urusannya sudah kelar.
Urusan yang baru tadi pagi kutahu jika itu tak ada sangkut pautnya dengan urusan di kantor papa melainkan urusannya sendiri dengan istri pertamanya yang entah kapan kelarnya.
Mau menghubungi pun aku tak tahu nomor barunya. Lagipula gengsiku terlalu tinggi untuk menghubunginya lebih dulu sejak tahu kelicikannya itu. Padahal sebelumnya, aku tak pernah absen menanyakan kabarnya meski semua hanya sia-sia, karena tiap kali Mas Dimas ke luar kota, dia mematikan ponselnya. Aku harus rela menunggu, kapan dia sempat menghubungiku
Saat ini, aku tak mungkin merendahkan diri sendiri dengan mencari tahu keberadaannya seperti biasanya. Biar saja dia puas. Sesuka hatinya. Sebelum semua fasilitas yang dia punya kembali ke tempatnya.
|Sayang, lagi ngapain? Ini aku Dimas suamimu. Maaf sayang baru bisa kirim kabar, ponselku hilang. Sudah kucoba telepon berkali-kali namun tak aktif. Entah jatuh di mana. Kalau jatuh di rumah, tolong simpan dulu ya, sayang. Aku besok pulang|
Sebuah pesan dari nomor baru muncul di aplikasi hijauku. Nomor baru Mas Dimas ternyata. Tengah malam baru dia memberiku kabar. Begini kah nasib sebagai istri kedua? Harus rela mendapatkan waktu yang tersisa?
Malas sekali membalas pesannya jika teringat obrolan teman-teman lelakinya di grup w******p tadi pagi. Sungguh, hati ini masih terasa perih dan nyeri.
|Sayang, kamu belum tidur, kan? Aku tahu kamu pasti masih rebahan di kamar. Mana mungkin kamu bisa tidur kalau aku belum memberi kabar|
Lagi-lagi sebuah pesan masuk di ponselku. Air mata mulai menitik satu-satu. Kamu tahu kebiasaanku, Mas. Aku tak mungkin bisa tidur jika kamu belum memberi kabar, itu benar.
Bahkan berulang kali kamu bilang jangan menghubungi saat kamu ke luar kota, biar kamu yang menghubungiku dulu, aku pun tak mempedulikan itu. Beberapa jam sekali pasti kukirimkan pesan singkat padamu. Meski kutahu kamu tak mungkin membalasnya secepat yang kumau. Jangankan membalas pesanku bahkan kadang kamu tak membaca pesan-pesan yang kukirimkan hingga hari telah berganti. Entah kesibukan seperti apa yang dia lakukan tiap kali keluar kota, sampai membalas pesan dari istrinya saja seolah tak sempat.
Kamu tahu mas, bagaimana khawatirnya aku tiap kali kamu pamit ke luar kota. Jangankan ke luar kota, sekadar ke kantor saja aku selalu menanti pesan singkat darimu. Sekadar bilang bahwa kamu sudah sampai kantor dalam keadaan baik-baik saja. Entah mengapa begitu mengkhawatirkanmu. Tak tenang rasanya jika aku belum tahu bagaimana keadaanmu.
Maafkan aku yang mungkin terdengar over protektif. Tapi begitulah aku. Tak bisa dipaksakan sama dengan perempuan lain yang mungkin biasa saja jika suaminya berangkat kerja. Atau mungkin itu lah salah satu caraku untuk mencintaimu.
Sama sekali aku tak menyangka jika perhatian, kesetiaan dan kekhawatiranku tentangmu selama ini justru hanya kamu jadikan pelampiasan. Aku tak sadar jika selama ini kamu sudah mengkhianati cinta tulus yang sudah kubangun dan kutitipkan padamu.
Cinta yang kupikir akan menjadi yang pertama dan terakhir, namun nyatanya kini harus hancur berkeping-keping karena sebuah sandiwara penuh dusta. Luka di hatiku detik ini jauh lebih dalam dan sakit dibandingkan luka kakiku setahun lalu karena kecelakaan itu.
"Aku mencintaimu, Lisha. Apa pun yang terjadi padamu, cinta itu tetap akan tumbuh. Bukan kah dokter bilang jika kamu hanya lumpuh sementara? Kenapa aku harus mengkhawatirkannya?"
Ucapan cinta yang dulu selalu kamu koarkan ternyata hanya semu belaka. Palsu tiada pernah nyata adanya. Bodohnya aku yang dimabuk cinta percaya jika semua ucapanmu tak mungkin dusta. Aku yang salah memang, terlalu mempercayaimu yang licik dan curang.
"Tapi aku lumpuh, Mas. Aku nggak mungkin bisa melayanimu dengan baik. Aku nggak bisa menjadi istri seperti yang kamu harapkan," ucapku lirih di sela isakku. Kamu yang saat itu baru beberapa bulan bekerja di kantor papa, namun sudah membuatku jatuh cinta dengan kegigihan dan semangatmu dalam bekerja.
"Lumpuh di kakimu tak akan pernah melumpuhkan cintaku, Lisha. Percayalah, kamu akan tetap menjadi yang terbaik di hatiku. Kamu bisa menjadi istri yang baik dengan caramu, meski kaki tak bisa melangkah namun hati dan ketulusanmu tak akan pernah kalah. Aku yakin keputusanku tak salah, aku sangat bersyukur jika kamu mau menerima cinta ini. Atau--
"Atau apa mas?" tanyaku gugup.
"Atau kamu memang merasa aku bukan levelmu? Karena kasta kita memang jauh berbeda. Kamu punya segalanya, sementara aku hanya pemuda kampung yatim piatu yang tak punya harta benda."
Air mata ini menetes seketika saat kamu mengatakan itu. Bagaimana mungkin aku memikirkan soal harta, sementara dalam hatiku disesaki bunga cinta. Aku hanya takut kamu tak bisa menerima kekuranganku, itu saja. Apalagi saat kudengar kamu memiliki hubungan spesial dengan teman SMA mu. Rasanya hati ini semakin tak karuan.
"Bukan kah kamu punya hubungan dengan teman SMA mu di kampung, Mas?"
"Siapa? Niken? Hahaha teman kecilku itu sudah menikah beberapa bulan yang lalu, Lisha," ucapmu dengan suara bergetar.
Aku tak pernah curiga apa pun yang kamu katakan, termasuk tentang hubunganmu dengan perempuan itu yang sekadar teman biasa, katamu. Lagi-lagi, bodohnya aku terlalu percaya akal bulusmu. Memang benar perempuan itu sudah menikah, namun ternyata bukan dengan lelaki lain seperti dugaanku melainkan denganmu!
Astaghfirullah ... kepolosan yang kamu tunjukkan selama ini ternyata penuh kepalsuan. Entah apa yang sudah kamu rencanakan selanjutnya, aku pun tak tahu. Tapi yang pasti, aku tak akan pernah membiarkan seorang pun menghancurkan perasaan dan perusahaan papaku. Banting tulang dia membangun semuanya, tak mungkin kubiarkan kamu menikmati hasilnya dengan perempuan itu sesukamu.
Kamu harus tahu, Mas. Cintaku memang dalam, namun sakit hati yang kini menjalar di hatiku jauh lebih dalam. Begitu lah bangkai, serapat apa pun kamu menutupi, angin pasti akan menyebarkan dan membawa baunya pergi.
***
Dering ponsel kembali terdengar. Entah sudah ke berapa kalinya. Aku sengaja tak menggubris. Biar saja dia bosan. Aku tak terlalu peduli dengan segala urusan atau kebohongannya lagi Lebih baik fokus dengan kakiku, belajar jalan sampai dia tak sadar jika istri lumpuhnya itu sudah bisa berlari. Jika dia bisa berpura-pura lajang untuk bisa mencuri hatiku, aku juga bisa berpura-pura tetap di kursi roda untuk menyelidiki apa sebenarnya rencana busuk di balik sandiwaranya. Benar kata orang, cinta dan benci hanya terpisah serat tipis. Orang yang begitu mencinta bisa saja berubah menjadi begitu membenci. Pun sebaliknya. Seperti halnya apa yang kurasa. Tak kurang rasanya cinta yang pernah kuberikan padanya, namun nyatanya dia hanya membalas dengan dusta. Kini, entah mengapa cinta yang dulu begitu erat kugenggam dan kudekap dalam dada, hilang seketika. Lenyap ditelan sakit dan kecewa. Aku benar-benar terluka. |Sayang, maaf aku sepertinya pulang telat. Ada hal yang tak bisa k
Lima hari sudah Mas Dimas tak pulang ke rumah, masih dengan alasan yang sama ada pekerjaan penting yang belum bisa dia tinggalkan, takut papa marah, katanya. Aku hanya tersenyum malas membaca pesan-pesan yang dikirimkannya. Pesan yang kadang hanya satu atau dua kali kubalas. Tak seperti biasanya, aku begitu antusias tiap kali Mas Dimas mengirimkan pesan padahal isinya hanya sekadar membalas pertanyaan-pertanyaan dari pesanku sebelumnya. Tak ada lagi kekhawatiran dalam dada, apakah dia sudah makan. Apakah dia bisa tidur dengan nyenyak. Apakah dia capek. Apakah dia sakit. Kecemasan yang selama ini selalu menggangguku tiap kali dia tak ada di rumah seolah lenyap begitu saja. Berganti dengan luka dan air mata. Kalau tahu dia sudah menikah sebelumnya, tak sudi rasanya aku dijadikan yang kedua apalagi jika alasan pernikahan yang dia lakukan hanyalah karena iba dan harta. Iba karena aku lumpuh dan harta papa yang menumpuk sementara aku pewaris tunggal karena aku anak sema
Deru mobil Mas Dimas memasuki garasi. Entah mengapa ada rasa malas untuk menyambut. Tak seperti biasanya momen seperti ini yang paling kunanti. Hari-hari sebelumnya, tiap kali kudengar suara klakson mobil Mas Dimas, aku pasti sudah dandan begitu rapi dan menyiapkan air hangat untuknya. Tak lupa kusiapkan juga teh dan roti panggang kesukaannya, menata kamar sedemikian rapi agar dia semakin nyaman saat membaringkan badan karena kelelahan. Apalagi jika ada tugas luar kota seperti ini. Biasanya, gegas kuputar kursi roda menuju teras untuk menyambutnya dengan senyum termanis. Mencium punggung tangannya dan membawakan tas jinjing atau koper yang dia bawa. Iya, itu hari-hari biasanya. Hari yang terlalu berbeda dengan detik ini. Kini aku yang justru pura-pura terlelap di atas sofa. Tak mempedulikan kedatangannya dan pura-pura tak mendengar suara berisik dari sepatunya. Dia yang dulu kupikir kerja sekuat tenaga untuk memajukan perusahaan papa, nyatanya justru mengham
Lisha!" Panggilan Mas Dimas dari garasi cukup membuatku terkejut. Aku bahkan hampir tersedak teh hangat karena mendengar teriakannya. Di luar, sepertinya dia mengomel entah apa. Tumben dia pulang kantor teriak-teriak begitu. Biasanya selalu berseri-seri apalagi kalau abis nelepon istri pertamanya atau dapat kiriman paket. Seperti yang dibilang Fina, wajahnya tampak berbeda, ada manis-manisnya. Manis ngeselin! Apa jangan-jangan dia sudah cek gajinya bulan ini yang sisa lima juta saja, sedangkan 20 jutanya sudah aku potong sekalian. Itu yang jadi jatah bulananku sekarang. Mendadak aku tersenyum geli membayangkan ekspresinya saat tahu jatah bulanannya. Biar kapok! Setahun lebih dia transfer 20 juta per bulan untuk istri pertamanya tanpa kuminta sepeser pun, sekarang gantian aku yang menikmati jatahku. Jika dia ingin memberi nafkah istrinya, bisa cari kerja sampingan. Aku tak peduli. Aku yakin Mas Dimas pasti sangat jengkel melihat rekeningnya yang hanya bertambah lim
Pagi-pagi sekali Mas Dimas sudah pergi. Sejak cekcok soal gaji tempo hari, mungkin dia memang cari pekerjaan sampingan. Iya, sepertinya begitu sebab dia berangkat ke kantor selalu awal dan pulang selalu telat. Sepertinya dia sengaja membuatku kesal karena keterlambatannya. Tapi aku tak peduli. Rasa khawatir yang dulu selalu bersemayam dalam hati itu benar-benar sudah mulai mati. Dulu aku selalu menanyakan keadaan dan keberadaannya tiap kali pulang telat, sibuk mempersiapkan makan malam dan air hangat. Sekarang? Semua kubiarkan berjalan sesukanya. Sekali dua kali kuminta dia agar bisa mengatur waktu namun sia-sia. Justru hanya ada percekcokan lagi dan lagi, mengungkit masalah gaji itu kembali, hingga akhirnya aku seperti detik ini. Tak peduli. Pulang atau menginap, rasanya bukan urusanku lagi. Kalau tak mengingat kesehatan papa, sudah aku gugat cerai dia jauh-jauh hari. Sayangnya papa begitu mempercayainya dan tak mungkin percaya begitu saja dengan apa yang kuk
Pov : Dimas Dimas. Sesingkat itu nama yang diberikan kedua emak dan bapak untukku. Sesingkat kurasakan dekapan dan cinta kasih mereka. Tak sampai delapan tahun kurasakan hangat mesra kasih mereka, mereka sudah pergi ke hadapanNya. Saat usiaku tujuh tahun, bapak meninggalkanku dan emak pergi selamanya ke hadapan Illahi. Sejak saat itu pula emak sering sakit-sakitan, hingga menyusul bapak enam bulan kemudian. Begitulah ... belum genap delapan tahun aku sudah yatim piatu. Berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Membantu tetangga membenarkan genting rumah, menyapu halaman, mengangkat dagangan, kuli panggul, membersihkan kebun, mencangkul dan sebagainya sudah pernah kulakukan dulu, pasca sepulang sekolah. Sedih sekali jika membayangkan kembali kejadian beberapa tahun silam. Di saat teman-teman masih asyik dengan dunia bermainnya, aku harus sudah sibuk dengan dunia yang seharusnya kulalui setelah dewasa. Tapi sudahlah. Aku percaya jalan takdirku ini memang yang terbaik. Seper
Pov : Dimas Ponsel di atas meja kerja berdering begitu nyaring sejak beberapa menit lalu. Rasanya malas untuk sekadar melihat layarnya. Sudah pasti Rahayu, siapa lagi yang sibuk menerorku sepagi ini kalau bukan dia. Makin lama dibiarkan bukannya berhenti, justru semakin membuat polusi telinga. Terpaksa, mau tak mau aku harus mengangkatnya juga. Kalau tidak, dia tak akan pernah berhenti meneror. Kadang aku nggak habis pikir, berapa pun uang yang kukirim tiap bulan untuk Ayu pasti habis tak bersisa. Kupikir buat tabungan namun ternyata buat membeli barang-barang branded yang sekadar dijadikan pajangan semata. Diupload di sosial medianya agar dipandang wah oleh orang lain. Transfer banyak atau pun sedikit, tak ada bedanya sama sekali. Dia juga bakal minta jatah lagi dan lagi. Bahkan 15 juta yang kuberi seringkali habis belum pada waktunya. Tiap akhir bulan dia minta lagi sekian juta untuk sekadar makan bersama teman atau beli susu buat anak. Padahal sudah kuminta dia kasih A
Pov : Niken Rahayu (Ayu) Aku adalah anak tunggal. Bapak sudah pergi semenjak aku sekolah dasar. Aku dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja serabutan sebagai buruh cuci di rumah-rumah orang. Selain bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup, ibu juga harus membayar hutang-hutang bapak yang dia tinggalkan. Sedih, kecewa dan kesal mungkin ibu rasakan, tapi apa mau dikata. Hutang tetap harus dibayar sebab tanggungjawabnya sampai akhirat. Ibu jelas nggak ingin bapak sengsara karena hutangnya di dunia belum terselesaikan. Sekalipun bapak tak pernah mempedulikan ibu, tapi ibu tetap dan mencintai dan menghormatinya sebagai suami. Ibu paham bagaimana kodrat seorang istri. Selama ini, kami hidup di bawah garis kemiskinan bukan karena ibu malas bekerja atau karena aku foya-foya, namun memang karena bapak kurang bertanggung jawab atas keluarga. Bahkan saat pergi pun harus menyisakan hutang puluhan juta yang ibu sendiri tak paham, uang-uang itu digunakan untuk apa. Bapak selal