Pov : Niken Rahayu (Ayu) Aku adalah anak tunggal. Bapak sudah pergi semenjak aku sekolah dasar. Aku dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja serabutan sebagai buruh cuci di rumah-rumah orang. Selain bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup, ibu juga harus membayar hutang-hutang bapak yang dia tinggalkan. Sedih, kecewa dan kesal mungkin ibu rasakan, tapi apa mau dikata. Hutang tetap harus dibayar sebab tanggungjawabnya sampai akhirat. Ibu jelas nggak ingin bapak sengsara karena hutangnya di dunia belum terselesaikan. Sekalipun bapak tak pernah mempedulikan ibu, tapi ibu tetap dan mencintai dan menghormatinya sebagai suami. Ibu paham bagaimana kodrat seorang istri. Selama ini, kami hidup di bawah garis kemiskinan bukan karena ibu malas bekerja atau karena aku foya-foya, namun memang karena bapak kurang bertanggung jawab atas keluarga. Bahkan saat pergi pun harus menyisakan hutang puluhan juta yang ibu sendiri tak paham, uang-uang itu digunakan untuk apa. Bapak selal
Pov : Lisha Weekend. Hari ini aku ingin ke rumah papa. Sudah cukup lama aku tak menengoknya. Selain melepas rindu, aku juga ingin menenangkan pikiran. Sepertinya aku harus belajar mengontrol emosi karena boleh jadi mulai hari ini banyak masalah yang harus aku hadapi. Semua berawal dari Mas Dimas yang akan mengajak perempuan itu ke Jakarta. "Lisha ... besok Ayu sama anaknya datang ke sini. Kamu nggak apa-apa, kan? Kasihan dia jarang ketemu suaminya. Mungkin di rumah kesepian, makanya mau ke kota sekadar cari hiburan," ucap mas Dimas kemarin sore, saat aku duduk di gazebo belakang sembari membaca novel online. Aku memang tetap bersandiwara seperti biasanya. Pura-pura tak tahu dan tak kenal siapa Rahayu sebenarnya."Kamu bilang sekadar cari hiburan, Mas? Memangnya kamu pikir rumah ini tempat wisata? Lagipula di kampung bukannya ada ibunya? Kesepian gimana sih?" tanyaku sekenanya. Tak menoleh sedikit pun ke arah Mas Dimas sampai dia ikut duduk di sampingku lalu mencomot pi
Rencana pertama mengusir perempuan itu dari rumah ini berhasil. Mas Dimas benar-benar mengontrakkan Ayu di rumah Pak Burhan. Rumah di seberang jalan yang letaknya tepat di depan rumahku. Rumah itu adalah rumah Pak Burhan yang stroke pasca ditinggal pergi istrinya menghadap Illahi, hingga akhirnya dia memilih pindah ke Semarang untuk tinggal bersama anak sulungnya, sedangkan rumah ini di kontrakkan. Meski aku secara halus mengusir dia dari rumah ini, namun aku tak lantas mengacuhkannya sebagai tamu. Aku tetap meminta Bik Minah untuk melayani dan mempersiapkan kebutuhan makannya. Aku pun tahu bagaimana caranya memuliakan tamu, hanya saja aku memang kurang nyaman jika dia serumah denganku. Kalau soal shopping itu urusannya pribadi, aku tak mau tahu. "Sha, pinjam uangnya dulu lah buat ngontrakin Ayu tiga bulan. Ini cuma ada buat ngontrak dia sebulan," ucap mas Dimas pagi tadi. Enak banget main pinjam-pinjam segala. Selama ini juga dia bebas menggunakan uangnya, salah sendiri nggak
"Sha, kenapa kamu nggak latihan berjalan? Akhir-akhir ini kulihat kamu kok malas-malasan, ya? Biasanya kamu semangat banget kalau diminta latihan jalan," ucap Mas Dimas tiba-tiba datang dan duduk di kursi depan meja kerjaku, saat aku masih sibuk memeriksa laporan keuangan. Aku mendongak sekilas, menatap wajahnya yang tenang. Benar-benar lihai sekali dia bersandiwara. Selalu merasa baik-baik saja seolah tak ada masalah serius yang dia lakukan. Masalah yang perlu dikhawatirkan jika tiba-tiba terbongkar. "Nggah ah, Mas. Kapan-kapan saja latihannya, lagipula sudah pakai kruk juga, kan? Kalau di kantor juga duduk manis," balasku sekenanya. "Kamu nggak capek seharian kerja? Jangan terlalu diforsir lah, Sha. Ingat pesan papa, kamu harus banyak istirahat. Kamu juga harus banyak latihan jalan supaya otot-ototnya nggak kaku," ucapnya lagi. "Iya sih, Mas. Hari ini rencananya aku juga mau pulang lebih awal, mau ke rumah papa." Mas Dimas seketika tersenyum. Aku curiga dia akan berbuat sesua
Bakda ashar kupacu mobil menuju rumah papa yang tak terlalu jauh dari rumahku, sekitar 15 menitan untuk sampai ke sana. Kulihat mobil dokter Akbar terparkir di garasi. Akhir-akhir ini dia memang sering mengontrol kesehatan papa, kadang sekadar ngobrol atau cerita panjang lebar agar papa tak jenuh saat tak berkunjung ke rumahnya. Mereka menoleh ke arah mobilku saat aku mulai memasuki garasi, memarkir mobil bersebelahan dengan mobil Sang Dokter. Dua laki-laki beda usia itu pun menoleh seketika. Gegas kubuka pintu lalu mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum. Oh ada Dokter Akbar juga, ya," ucapku mengawali pembicaraan. "W*'alaikumsalam. Tumben ke sini nggak kasih papa kabar dulu, Sha. Ada apa?" tanya papa dengan wajah berbinar. Entah kebahagiaan apa yang menyelimuti hatinya detik ini. Aku merasakan aura berbeda di wajahnya yang menua. "Iya, pa. Kasih kejutan aja buat papa," balasku singkat. Kulihat papa tersenyum kecil sembari melirik Dokter Akbar. "Ohya Dokt
Jarum jam sudah menunjuk angka delapan malam. Sejak papa sampai di rumah sakit, Dokter Akbar yang membantu mengurus keperluannya. Dia begitu pengertian karena memang aku tak bisa ke sana-sini dengan cepat. Kakiku masih menggunakan kruk sementara Mas Dimas belum tahu kalau aku dan papa berada di rumah sakit. Aku sengaja belum mengabarinya. Bukan tanpa alasan tapi aku ingin melihat dan mendengar jawaban papa. Aku ingin tahu apa solusi atau pun nasehat yang akan diberikan papa untuk masalah ini. Segera berpisah atau justru membiarkanku bersandiwara untuk membuat mereka jera. |Mas, Si Lisha nggak ada di rumah, kan, sekarang? Makan di luar yuk| Tak sengaja aku membuka pesan dari Ayu yang masuk ke ponsel Mas Dimas. Begini enaknya menyadap ponsel pasangan, dia tak akan bisa mengelak lagi saat nanti aku beberkan semuanya di persidangan. |Dapat duit dari mana, Sayang? Di Atm ludes sekarang, bagi hasil dari bisnis properti yang kuceritakan waktu itu juga belum datang. Entah mengapa bisa te
Pov : Dimas"Aku lagi telepon Lisha loh, Ay. Kenapa kamu tiba-tiba manggil begitu? Lisha bisa mendengar suaramu. Dia pasti curiga kenapa sepagi ini kamu sudah di sini. Kalau dia semakin curiga, bisa gawat kita," ucapku sedikit kesal. Ayu memang tipe manja, cemburuan dan nggak sabaran. Apa yang dia inginkan sering kali harus ditepati saat itu juga. Sikap manjanya terkadang membuatku kangen namun kalau berlebihan aku juga jengah. Tak seperti Lisha yang lebih mandiri dan dewasa. Meski usia mereka tak jauh beda. Lisha lebih tua satu tahun dibandingkan Ayu. "Kamu tanya aku kenapa manggil-manggil saat kamu telepon Lisha, Mas?" tanyanya santai."Iya, kenapa?""Kamu cemburu kan dengar Dokter itu perhatian ke Lisha? Kenapa, Mas? Kamu mulai menyukai istri sandiwaramu itu? Kamu mulai bermain hati, Mas?" tanyanya ketus. Pertanyaan yang membuat dadaku berdebar. Cemburu? Apakah aku memang cemburu dengan Dokter Akbar? Apa aku memang mulai menyukai Lisha dan tak ingin dia jatuh ke tangan orang lain
Jarum jam menunjuk angka sepuluh pagi, namun kulihat Mas Dimas belum juga datang. Entah ke mana dia, padahal tadi dia ijin berangkat lebih dulu. Kupikir dia akan langsung ke kantor tapi ternyata nggak. Aku sudah siapkan berkas pengalihan kerja sama dengan Pak Agustian itu. Dia harus segera menandatanganinya. Modal usaha itu dari kantor papa, otomatis kontrak kerja samanya harus beralih nama papa. Dia harus menandatangani kesepakatan ini. Untuk melancarkan misi ini, ada baiknya aku harus hati-hati. Aku harus membuatnya terburu-buru agar dia langsung menandatangani berkas ini tanpa membacanya terlebih dahulu. |Dapat nggak, Mas? Pokoknya harus dapat. Kamu bilang sebagai permintaan maaf karena masalah kemarin? Di mall-mall biasanya banyak, itu kue baru launching beberapa hari yang lalu dari artis favoritku. Aku mau foto buat dinner kita nanti malam karena hari ini tahun kedua pernikahan kita|Pesan Ayu tiba-tiba terkirim ke ponsel Mas Dimas. Aku sedikit mengernyitkan dahi membaca pesan