Share

BUKIT TENGKORAK
BUKIT TENGKORAK
Penulis: Rosa Rasyidin

Misi Pembantaian

Bagian 1

Pada tahun 1904 tepatnya dari bulan Februari, Belanda memulai misinya ke daerah Gayo dan Alas di Aceh. Dari sinilah genosida negeri Serambi Mekah dimulai, sebagai rangkaian panjang perang Aceh melawan penjajah Belanda. 

Yohannes Benecditus Van Heutz selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang sangat berambisi mengusai seluruh Aceh memberi perintah pada Van Daalen. 

Long march selama 163 hari pun penjajah Belanda jalani. Mulai dari menipisnya cadangan logistik, kelelahan, hingga serangan-serangan mendadak yang dilancarkan oleh kaum gerilyawan, dialami oleh Belanda. 

Sesaat setelah tiba di tanah Gayo, Van Daalen segera mengirimkan surat kepada raja-raja Gayo agar takluk di bawah kaki Belanda dan sesegera mungkin menandatangani ‘Perjanjian Takluk’.

Respon para pemimpin Gayo diluar dugaan, mereka lebih memilih berperang dan mati Syahid. Pemimpin dan rakyat Gayo mengenakan baju berwarna putih sebagai simbol dari perang suci. Meskipun dengan senjata seadanya dan munajat kepada Yang Maha Pencipta, perang dimulai, mereka melawan hingga titik darah penghabisan.

Ratusan bahkan ribuan rakyat dibantai dari satu desa ke desa lainnya, wanita dan anak-anak turut serta menjadi korban. 

Misi penaklukkan dilanjutkan ke suatu wilayah, Alas menjadi target berikutnya. Dengan angkuh Van Daalen berjalan setelah turun dari kudanya.

Peta ia bentangkan, dengan tongkat di tangan satu demi satu desa ia lingkari sebagai target dari peperangannya kali ini.

Lelaki Belanda itu terlalu berambisi, meski ia akui perlawanan rakyat Aceh sangat dahsyat. Ia pun tak mau menyerah. 

Malam hari ketika sebagian warga Kampung Rikit Gaib beristirahat. Di bawah komando Van Daalen, serdadu Belanda menyerang dan membumi hanguskan desa kecil itu.

Perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang cukup untuk membuat sebagian penjajah tewas. Namun, tak sedikit juga warga kampung yang menjadi korban. 

Desingan peluru, tetesan darah, panasnya api turut serta meramaikan peperangan malam itu. Pekik takbir senantiasa bergema ketika para pejuang mengangkat pedang dan rencongnya. Satu demi satu pejuang gugur. 

Hingga perhatian Van Daalen tertuju pada perlawanan seorang wanita dengan kerudung putih yang menutupi kepalanya. Wanita yang terus melawan meski keringat dan darah terus menetes dari kulit coklatnya. 

Wanita yang kini berlutut setelah berulang kali ditendang dan dihantam oleh besi senapan serdadu Belanda. Terbatuk beberapa kali dan memuntahkan darah, wanita itu masih berusaha untuk menyerang. 

“Kau, cantik. Lebih baik menjadi gundikku daripada berjuang melawan kami.” Daalen menarik kerudung yang menutupi kepalanya hingga rambut hitamnya tersingkap. 

“Cuih!” Wanita pemberani itu meludah tepat di wajah Daalen. Satu tamparan ia dapatkan sebagai balasan. 

“Siapa kau, hai, nona berwajah manis?” Tak ada sahutan yang terdengar. Hanya desingan peluru sesekali masih meletus dan rintihan sakit yang keluar dari mulut warga Rikit Gaib yang terluka. 

Wanita pemberani itu menoleh ke arah sekitarnya. Air matanya menetes, rakyatnya telah banyak menjadi korban. Semuanya tanpa pandang bulu dan umur. Laki-laki dan perempuan juga anak-anak turut berjuang membela wilayah dan agamanya. 

Napas wanita itu naik turun, emosi melihat pembantaian di depan matanya. Ia juga berjuang sekuat tenaga melawan penjajah dengan rencong dan pedangnya. Bahkan orang tua dan guru mengajinya turut menjadi korban. 

Berusaha sekuat tenaga melepaskan ikatan tali pada tangannya, wanita itu lalu meraih rencong terakhir yang disematnya di kain yang melingkar di pinggangnya. Ia lemparkan pada penjajah yang menembaki mayat-mayat Syuhada yang bergelimpangan. 

Pekik kesakitan menggema di kampungnya, serdadu Belanda tadi seketika tubuhnya roboh, rencong tepat menancap di dahinya. Ia tewas saat itu juga. Dua tamparan di pipi kiri dan kanan wanita tersebut dapatkan lagi. 

“Gadis sombong!” bentak Daalen. 

“Matilah kau, penjajah laknat!” Wanita pejuang itu menahan perih di pipinya. 

“Cari tahu siapa dia!” Perintah Daalen pada salah satu serdadunya. Ia menendang betis wanita berbaju serba putih itu hingga berlutut di hadapannya. Bahunya di tahan oleh dua penjajah agar tak bisa berdiri. 

Beberapa saat menunggu, serdadu yang ia perintahkan tadi datang dan berbisik di telinganya. Ia menggeledah rumah kepala kampung Rikit Gaib yang juga orang tua wanita pejuang itu. 

“Oh, jadi namamu Cempaka?” Daalen memegang pipi kiri dan kanan wanita itu hingga bibirnya mengerucut. 

Hanya tatapan mata Cempaka yang menjadi jawaban. Pandangan penuh amarah sebab seluruh warga kampungnya dibantai.

Rumah yang terbuat dari kayu dan atap rumbia dibakar, bahkan masjid yang menjadi pusat kegiatan kampung tak luput dari serangan. 

“Diammu menjadi jawaban bagiku. Kurung dan bawa dia bersama kita. Akan kucuci otaknya dengan buku-buku dewasa. Agar dia tak lagi menjadi gadis suci. Pikirannya tak lama lagi akan terisi dengan hal-hal kotor!” perintah Daalen pada seluruh bawahannya. 

Cempaka, putri sulung kepala kampung masih mencoba berontak. Tak kurang dari lima orang serdadu yang menahan pergerakannya.

Satu hantaman dari senapan, wanita pemberani itu dapatkan di bagian ulu hati. Ia jatuh tersungkur merasakan nyeri luar biasa yang membuatnya kembali memuntahkan darah. 

Tali diikat padanya di bagian leher lalu disambung ke kedua tangannya. Kini, Cempaka tak ubahnya seperti binatang peliharaan. Ia diseret paksa mengikut langkah Daalen dan pasukannya.

Baju putih sucinya telah kotor disebabkan darah dan tanah yang menempel. Kerudung kainnya sengaja dilepaskan oleh Daalen. Lelaki Belanda itu senang memandang legam rambutnya. 

Sebelum meninggalkan Kampung Rikit Gaib, terlebih dahulu Daalen memerintahkan juru foto untuk mengabadikan hasil kerjanya.

Dari tempat Cempaka berdiri ia juga bisa menyaksikan beberapa serdadu Belanda yang terluka mendapat pertolongan dari pihak medis yang turut serta di bawa oleh Daalen. 

“Pengecut!” umpatnya dan didengar oleh Daalen. 

“Tunggulah. Keberanianmu akan luntur dalam genggamanku. Kau akan jadi salah satu gundikku. Bukankah sangat sayang kulit sehalus ini harus terluka di medan perang.” Petinggi Belanda itu memegang dua telapak tangan Cempaka yang terluka. 

Wanita itu menepis sentuhan haram dari Daalen. Murka merajai hatinya, tanpa pikir panjang ia mengadukan kepalanya dengan kepala petinggi Belanda tersebut. Seketika lelaki itu terhuyung ke belakang beberapa langkah. Sedangkan Cempaka merasa pusing dan nyeri. Ia tertawa sejenak walau tak lama kemudian salah satu serdadu Belanda menghadiahinya sebuah tamparan. 

Daalen beringsut maju. Salah seorang medis datang menyeka lukanya yang mengalirkan darah. 

“Masukkan dia di sebelah kandang anjing. Dia harus dididik menjadi wanita yang anggun dan lemah lembut seperti gadis-gadis di negara Kita.” 

Cempaka di tarik paksa walau sekuat tenaga ia menahan. Sambil berjalan setengah berlari menuju kandang anjing, di sepanjang jalan ia saksikan sendiri mayat-mayat bergelimpangan penuh darah. Dengan seenak hatinya para serdadu Belanda melangkah, menendang bahkan menginjak mereka yang sudah gugur di medan perang. 

Wanita putri tertua Kampung Rikit Gaib itu terdiam di tempat ketika ia melihat sendiri jenazah calon suaminya terbaring di sana dengan beberapa tubuh berlubang terkena letusan peluru. 

Ia yang dalam tiga hari kedepan akan dinikahkan oleh orang tuanya tak menyangka akan berakhir seperti ini. Benteng kayu setebal tiga lapis yang dijaga oleh calon suaminya runtuh dan terbakar terkena mesiu dari meriam serdadu Belanda. 

Hati Cempaka hancur, rakyat, orang tua dan juga calon suaminya gugur dalam medan peperangan. Kini satu orang lagi menjadi kekhawatirannya. Sang adik, Kenanga, gadis bisu dan tuli yang ia tugaskan dalam sebuah perjalanan ke tengah hutan. 

‘Allah, jauhkan Kenanga dari marabahaya. Alihkan perjalanannya, jangan biarkan ia kembali ke sini,’ gumamnya dalam hati. 

Cempaka dilemparkan ke dalam penjara kayu berbentuk segi empat. Ia diletakkan di sebelah kandang anjing-anjing pelacak milik Daalen. 

Satu pemandangan pilu lagi harus ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Serdadu Belanda atas perintah Daalen menumpuk mayat-mayat syuhada layaknya sebuah bukit kecil, disiram dengan minyak lalu dibakar hingga bau dan asap pembakarannya memenuhi langit Kampung Rikit Gaib. 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status