Share

Bab 2

BUNDA, PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH BAG 2.

**

POV RAISA

Mendengar kabar yang kuterima dari Lastri. Aku jadi semakin dilema. Aku ingin sekali pulang. Dalam dua tahun ini, aku memang belum pulang ke kampung melihat anak-anakku. Aku akan mengurus cuti kepulangan ku atau sekalian tak kuperpanjang lagi kontrak kerja di sini.

Padahal aku sudah merasa nyaman. Majikanku baik hati. Aku di sini mengurus seorang wanita berusia empat puluh lima tahun yang hanya terbaring di tempat tidurnya karena menjadi korban kecelakaan. Bukan cuma aku saja yang bekerja di rumah ini. Ada beberapa orang sama sepertiku menjadi asisten rumah tangga dan bantu-bantu di sini. Semua sudah ada tugasnya.

"Kamu kok sedih gitu, Raisa. Ada masalah di kampung?" tanya Marni saat kami sedang kumpul.

Biasanya kami para pekerja di sini sangat kompak dan berkumpul kalau lagi hari libur untuk mengurangi berbagai beban yang begitu banyak dan menghibur diri juga dari rutinitas kerja sekalian saling bersilaturahmi.

Aku menghela napas panjang. Ku lirik Marni dan air mataku berjatuhan. Aku gak tau mau berbagi beban ini sama siapa. Seharusnya di hari libur ini aku bisa lebih sedikit ceria karena bisa kumpul dan saling tertawa dengan rekan-rekan seperjuangan di sini. Namun, masalahku berat. Aku rindu anakku. Rindu keluargaku. Hanya anak-anak yang kupunya. Kalau mereka mendapat penyiksaan dari Mas Emran dan istri barunya. Hatiku sangat r i s a u.

Dulu aku sebenarnya gak mau bekerja ke luar negeri karena khawatir meninggalkan Rindu yang baru dua tahun. Tapi, Mas Emran selalu meyakinkan dan memberi harapan kalau hanya ini jalan kami punya rumah. Jika tidak, selamanya aku akan tinggal bersama mertua. Apalagi dia saat itu sedang kurang baik kondisinya. Mas Emran bilang kalau dia akan segera pulih dan menjaga anak-anak dengan baik. Tapi, janji tinggal janji. Ini salah ku. Kenapa tak menuntut Mas Emran saja bekerja. Dia malah membebankan ku mencari nafkah.

"Mar, suamiku menikah lagi dan anakku ...."

Tak sanggup kulanjutkan ceritaku. Sudah terlampau sakit ke ulu hati. Bulir bening yang mengalir menjadi bukti hatiku teriris. Perjuanganku selama ini di bayar dengan peng-khia-natan.

"Astagfirullah, terus?"

Marni memelukku dan me-nge-lus lenganku agar aku sedikit punya kekuatan.

"Aku gak tau, Mar. Aku cuma mikirin nasib anakku," kataku.

"Ya udah, sekarang kamu urus aja cuti. Ini masalah besar, Raisa," katanya.

Aku hanya mengangguk. Selama dua tahun belakangan, dengan saran Marni. Tak sepenuhnya uang kuberikan ke Mas Emran. Aku menyimpan sebagian. Jadi aku masih punya tabungan. Itulah yang membuat Mas Emran selalu bertanya kenapa uang yang ku kirim kurang dan kurang.

Aku juga selalu tanya sama dia. Apakah dia kerja juga di sana untuk menafkahi anak-anak? Aku selalu menyuruh dia memakai sepuluh juta sebagai modal jualan bakso keliling. Mas Emran tak menjawabnya. Apakah dia hanya memeras ku dan mengandalkan tenagaku untuk mencukupinya? Seharusnya dia di sana juga berusaha. Malah menikah lagi. Aku menghela napas panjang, berpikir tentang ke b o d o han ku yang mau saja di peralatnya.

Malam harinya setelah pekerjaanku selesai. Aku mengirim pesan Lastri untuk bertanya tentang semuanya. Kali ini aku sudah jauh lebih tenang. Yang harus ku bangun adalah ketenangan untuk menghadapi ini serta terus berdoa untuk anak-anakku semoga Allah melindungi dua malaikat kecilku.

[Assalamualaikum, Lastri.]

[Waalaikumsalam, Raisa.]

[Maaf, kemarin aku cukup terpukul dengan masalah ini. Kamu gak bilang sama Mas Emran tentang aku yang suruh kamu, 'kan?]

[Enggaklah, aku juga tanya sama tetangga kamu. Gak berani ke rumah kamu. Aku cuma photokan saja.]

[Terus, kamu kok tau kabar anakku. Kamu jumpa mereka?]

[Hanya melihat sekilas. Aku gak berani terlalu dekat. Kamu tau sendiri Liana seperti apa. Pokoknya kasihan anak kamu, Raisa. Pulang ajalah.]

[Aku sedang mengurus semuanya. Sebentar lagi aku pulang. Aku juga kalau bisa pulang sekarang. Tapi, urusan di sini gak segampang itu. Terima kasih, Lastri. Kamu udah mau bantu aku. Semoga Allah membalas kebaikan kamu.]

[Haduh, gak seberapa. Aku yang terima kasih sama kamu. Karena kebaikan kamu. Aku bisa jadi istri tukang kaca. Omset suami banyak. Aku gak sesusah dulu.]

[Alhamdulillah.]

Aku tersenyum tipis. Teringat dulu aku yang menjodohkan Lastri dengan lelaki yang berprofesi sebagai karyawan di Toko kaca sebagai tukang kacanya.

Sedangkan aku naksir dengan seorang lelaki yang berprofesi sebagai perangkat desa. Tapi, terlalu sakit kalau ku ingat. Liana, menikungku. Dia yang mendapatkan lelaki yang kutaksir sampai mereka menikah.

Liana, wanita itu dulu temanku. Kami berteman bertiga dengan Lastri. Namun, Liana selalu menyukai apa yang kusukai. Aku tak sangka sampai dia rebut juga suamiku setelah menjadi janda.

[Lastri, boleh kamu share nomor Liana?] tanyaku.

[Aduh, aku gak ada. Tapi, nomor Pak RT kalian aku ada. Lagian, udah lama kita gak reuni. Kemarin sempat ku minta buat kamu tanya-tanya.] katanya membagi nomor Pak RT padaku.

[Baik, terima kasih.]

[Aku mendoakan semoga masalah ini cepat selesai dan kamu segera pulang, Raisa.] kata Lastri menutup percakapan kami.

Setelah mendapatkan nomor dari Pak RT. Aku mencoba menghubungi dan bertanya padanya nomor Handphone Liana. Pak RT terkejut saat aku menghubungi dia. Aku berkata pada perangkat desa itu agar merahasiakan pada warga kalau aku menghubungi. Aku juga meminta pada Pak RT untuk melihat-lihat kondisi anakku. Kalau terjadi apapun, berharap Pak RT memberikan informasi padaku.

Dari informasi yang kudapat, kata Pak RT, Liana dan Mas Emran menikah secara siri dan tidak mengundang orang banyak. Suami Liana juga sudah di pecat karena ketahuan korupsi dana desa.

Aku menghela napas panjang berusaha menahan amarah yang memuncak. Ku t e k a n nomor Handphone Liana dan menghubunginya.

"Halo," katanya mengangkat panggilanku.

"Halo, Liana. Apa kabar? Udah lama kita gak jumpa. Tiba-tiba aku teringat kamu teman lama," kataku.

"Ini siapa ya?"

"Aku, Raisa."

"Ha, Raisa? Dari mana kamu tahu nomorku?" katanya.

"Adalah. Karena aku sudah lama gak komunikasi sama kamu. Tiba-tiba, aku teringat aja sama kamu," kataku mencoba tenang.

"Oh, ada perlu apa?" katanya ketus.

"Bagaimana kabar kamu? Aku dengar kamu sudah bercerai dari Faisal. Kamu sudah menikah lagi?" tanyaku.

"Eh, anu ...."

Samar-samar aku mendengar suara Rindu yang memanggil Reyhan. Ya Allah, sungguh aku sangat merindukan anakku.

"Kok seperti ada suara anak kecil," kataku.

"Itu .... Keponakan ku," dustanya.

"Aku teringat sesuatu, Liana. Di sini ada guru yang menyakiti anak majikanku. Majikanku melaporkan guru itu ke Polisi dan sekarang masuk penjara. Aku tiba-tiba teringat anakku. Kalau sampai ada yang menyakiti anakku. Aku akan melakukan hal yang sama seperti di lakukan majikanku. Melaporkan yang menyakiti anakku sampai masuk penjara. Apalagi mengambil dan mencuri milikku. Aku gak akan tinggal diam!" kataku dengan suara dingin seolah-olah memberikan rasa takut ke Liana.

"Eh, udah dulu ya. Aku ada keperluan!"

Klik.

Liana mematikan sambungan teleponnya. Mungkin dia takut ketahuan atau curiga padaku. Cuma aku belum menyampaikan secara langsung kalau dia sudah merebut suamiku dan me-lu-kai anak-anakku.

Sampai aku pulang, Liana dan Mas Emran akan membayar mahal apa yang mereka lakukan padaku.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Raisa mendingan pulang kasihan anak anak nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status