Share

BUNDA, PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH
BUNDA, PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH
Penulis: AirinNash

Bab 1

BUNDA, PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH

"Bun, Pulanglah ... Kami takut ...," kata anak lelakiku.

"Takut ... Kamu takut sama siapa, Sayang?" tanyaku bingung.

"Kami takut sama Ayah ...,"

"Reyhan ... Bicara apa kamu sama Bunda. Tidur sana udah malam ini. Berani kamu ambil HP Ayah buat telepon Bunda diam-diam!" kata suamiku merebut telepon itu dari Reyhan anak lelakiku.

"Tapi, Yah ..."

"Diamkan adikmu itu. Jangan nangis terus!"

Suamiku masih berkata ketus. Hatiku rasanya perih mendengar kemarahan suamiku. Apakah Rindu dan Reyhan berbuat salah pada Mas Emran.

"Assalamualaikum, Raisa, kamu apa kabar? Maaf anak-anak suka ngambil HP Mas sembarangan," katanya berbicara padaku.

"Alhamdulillah, aku baik, Mas. Mas, kenapa kamu marah sama Reyhan. Aku masih mau bicara sama dia. Terus bagaimana kabar Rindu? Aku kangen sama Reyhan dan Rindu. Aku mau ngomong sama Rindu juga," ucapku.

"Oh, tadi si Rindu nangis. Dia mimpi. Tapi, udah tidur lagi. Jangan khawatir. Reyhan juga udah Mas suruh tidur. Ini juga udah malam di sini. Besok dia sekolah."

"Aku kangen sama anakku, Mas."

"Besok kamu telepon lagi, Raisa. Oh, Mas mau tagih kiriman uang kamu. Kok, makin sedikit sih jumlahnya?"

"Kenapa setiap kita telepon kamu selalu menanyakan uang padaku. Aku juga sudah jarang sekali berbicara dengan anak-anakku. Apa yang kamu sembunyikan, Mas?" tanyaku penasaran.

"Gak ada kok yang ku sembunyikan semuanya baik. Besok kita video call sama anak-anak dengan catatan kamu kirimkan uang untuk kebutuhan mereka. Kebutuhan anak kamu banyak!"

"Mas, apa uang yang aku kirimkan ada kamu buat modal? Beberapa tahun aku kerja di sini. Kamu pakai sepuluh juta buat modal jual bakso keliling, 'kan, Mas? Terus rumah kita bagaimana di sana? Kamu udah buat rumah untuk kita tinggal, 'kan, Mas?" tanyaku lagi.

Pertanyaan ini selalu kutanyakan. Namun, Mas Emran menjawabnya ogah-ogahan, antara iya dan tidak.

"Iya, kamu jangan khawatir uang yang kamu kirimkan semua aman. Cuma kebutuhan makin banyak!"

"Tapi, kamu kerja, 'kan, Mas? Seharusnya kamu lebih giat kerja, Mas. Karena menafkahi keluarga tanggung jawab kamu. Tolonglah, pergunakan uang yang aku berikan sebaik-baiknya."

"Kamu gak percaya sama aku? Bawel kamu, Raisa. Baru kerja jadi Babu Hongkong aja belagu! Kalau kamu mau anak-anak terjamin. Kirim uang banyak! Paham!"

Klik

Mas Emran mematikan penggilan teleponnya. Aku menghela napas, kenapa dia sekasar ini? Aku hanya bertanya dan berkata seadanya.

Aku, Raisa dan terpaksa harus bekerja sebagai pahlawan devisa di luar negeri. Bagaimana tidak, Mas Emran kerjanya serabutan. Kami dulu masih numpang dengan mertua. Jujur, aku tak betah tinggal dengan mertua. Apa yang ku kerjakan selalu salah.

Belum lagi ada adik ipar yang juga tinggal dengan suaminya di rumah mertua. Di tambah adik lelakinya yang membuat ku tak nyaman. Suami adek iparku itu sedikit genit dan aku merasa risih. Jujur, benar-benar risih.

Ketika ku utarakan niatku untuk pindah dari sana. Mas Emran berkata, tidak punya uang. Aku bekerja sebagai buruh cuci untuk bisa mengumpul uang agar bisa ngontrak. Tapi, Mas Emran tiba-tiba kecelakaan yang menyebabkan biaya lebih banyak yang harus kamu perlukan. Belum lagi nyinyiran Ibu mertua dan Iparku membuat kepalaku sakit.

Mau pinjam uang dengan Mbak Rita juga gak enak. Dia pun juga hanya ibu rumah tangga biasa. Tak mungkin aku mengganggu rumah tangga kakak kandungku dengan meminjam uang dalam jumlah besar. Setelah Bapak dan Ibu kami meninggal, keluarga tempat ku berteduh hanya Mas Emran. Tapi, keluarga suamiku justru tak suka padaku. Hatiku rasanya perih.

Setelah kejadian itu, aku merasa gelisah. Beberapa kali menghubungi Mas Emran tak pernah diangkat. Menghubungi keluarganya juga sama.

Hari ini aku menghubungi Mas Emran dengan meminjam ponsel temanku. Dengan senang hati temanku memberikan akses ponselnya untuk kugunakan. Mungkin dengan menggunakan nomor lain Mas Emran mau menjawab panggilan teleponku.

"Halo," sapa seseorang di seberang setelah panggilan tersambung.

Baru satu kata yang dia ucapkan membuat hatiku bagaikan di r e m a s. Siapakah dia? Kenapa suaranya wanita? Apakah Lala, adik iparku?

"Halo, maaf saya ada perlu sama Pak Emran. Ini nomornya, Mbak? Kalau boleh tahu Mbak siapa?" tanyaku dengan bibir bergetar.

Aku menghela napas panjang berusaha menetralkan rasa gugup yang merajalela.

"Oh, saya istrinya. Mbak ini siapa?" tanyanya.

Aku tersentak tak bisa berkata apa-apa. Beberapa kali wanita yang mengaku istri dari suamiku berbicara tapi tak kudengarkan lagi.

Tak berselang lama Mas Emran merebut gawai itu dari wanita itu. Terdengar juga suara anakku yang menangis dan di bentak wanita tadi.

"Halo, ini siapa?" tanya Mas Emran setelah gawai ada di tangannya.

Aku serta merta mematikan sambungan telepon. Tak sangka dengan apa yang terjadi. Apakah suamiku menikah lagi di sana? Kenapa dia tega menipuku?

Pikiranku semakin bercabang. Aku mengambil gawaiku dan menghubungi salah satu temanku. Kebetulan hari ini hari libur. Jadi aku tak bekerja dan sedang berkumpul bersama teman-temanku. Setelah memberikan gawai pada salah satu temanku. Aku sedikit menjauh untuk berbicara dengan temanku di tanah air.

Marni si pemilik gawai heran dengan raut wajahku yang berubah. Dia mengetahui sedikit masalahku. Kami beberapa kali saling tukar pendapat.

"Assalamualaikum, Lastri. Apa kabar?" kataku setelah tersambung.

"Waalaikumsalam, Alhamdulillah, baik. Kamu apa kabar, Say?" katanya.

"Alhamdulillah, aku baik. Boleh minta tolong gak sama kamu," kataku.

"Boleh, apaan."

Aku menceritakan uneg-uneg yang kurasakan. Berharap Lastri mau membantu. Lastri ini temanku dan juga tetangga waktu sekolah dulu. Jarak rumah dia dan suamiku tak terlalu dekat dan juga jauh. Jadi dia juga gak tau apa yang terjadi di kampung Mas Emran.

"Astagfirullah, ya udah nanti aku cari tau. Kamu sabar dan banyak berdoa. Semoga semuanya gak benar," katanya.

Beberapa hari aku harap-harap cemas dengan yang terjadi dan menunggu telepon dari Lastri. Hingga akhirnya dia menghubungi ku. 

"Assalamualaikum, Raisa ..." 

Lastri berkata dengan suara bergetar dan takut. Perasaan ku mulai tak menentu padahal Lastri belum berbicara. 

"Waalaikumsalam, Lastri. Apa yang terjadi dengan kehidupan keluargaku?" tanyaku mulai panik. 

"Kamu harus segera pulang, Raisa. Anak kamu kayaknya di perlakukan tidak baik sama suami dan istri barunya." 

Aku terkejut mendengar perkataan Lastri. Mas Emran menikah lagi? Kenapa dia mengkhianati aku? Di sini aku kerja banting tulang agar kehidupan kami lebih baik. Namun, alangkah tega dia melakukan ini padaku. 

"Astagfirullah, Lastri. Apa benar? Terus bagaimana dengan rumah kami? Apakah Mas Emran membangun rumah kami dan siapa perempuan yang menikah dengan dia?" tanyaku. Sekujur tubuh rasanya lemas mendengar berita yang menyakitkan ini. 

"Dia bangun rumah kalian. Photo rumahmu sudah aku kirimkan. Terus wanita itu Liana," kata Lastri pelan. 

Ya Allah, aku terduduk begitu saja mendengar nama itu. 

"Raisa ... Raisa ...." 

Aku tak mendengarkan penggilan dari Lastri lagi. Terlalu sakit hati ini di khianati. Apa salahku, Mas? Apa? Dulu kamu yang meyakinkan aku untuk kerja di luar negeri. Kamu bilang akan menjaga anak-anak dengan baik. Kamu berjanji akan setia padaku dan memperlakukan Reyhan dan Rindu dengan baik pula. Tapi apa balasan kamu padaku. 

Aku menatap nanar photo yang di kirim Lastri. Ya Allah, rumah kami bahkan belum di plaster. Padahal uang yang ku kirim begitu banyak untuk Mas Emran membangun rumah sederhana yang akan kami tinggali. Photo rumah ini masih sama seperti dulu dan tak ada perubahan.

Reyhan, Rindu. Bunda kangen, Nak. Jangan di tanya rasanya hatiku, sakit ... Terlampau sakit. 

Lanjut?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Popy Aidil
lanjut thor
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status