BUNDA, PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH
"Bun, Pulanglah ... Kami takut ...," kata anak lelakiku.
"Takut ... Kamu takut sama siapa, Sayang?" tanyaku bingung.
"Kami takut sama Ayah ...,"
"Reyhan ... Bicara apa kamu sama Bunda. Tidur sana udah malam ini. Berani kamu ambil HP Ayah buat telepon Bunda diam-diam!" kata suamiku merebut telepon itu dari Reyhan anak lelakiku.
"Tapi, Yah ..."
"Diamkan adikmu itu. Jangan nangis terus!"
Suamiku masih berkata ketus. Hatiku rasanya perih mendengar kemarahan suamiku. Apakah Rindu dan Reyhan berbuat salah pada Mas Emran.
"Assalamualaikum, Raisa, kamu apa kabar? Maaf anak-anak suka ngambil HP Mas sembarangan," katanya berbicara padaku.
"Alhamdulillah, aku baik, Mas. Mas, kenapa kamu marah sama Reyhan. Aku masih mau bicara sama dia. Terus bagaimana kabar Rindu? Aku kangen sama Reyhan dan Rindu. Aku mau ngomong sama Rindu juga," ucapku.
"Oh, tadi si Rindu nangis. Dia mimpi. Tapi, udah tidur lagi. Jangan khawatir. Reyhan juga udah Mas suruh tidur. Ini juga udah malam di sini. Besok dia sekolah."
"Aku kangen sama anakku, Mas."
"Besok kamu telepon lagi, Raisa. Oh, Mas mau tagih kiriman uang kamu. Kok, makin sedikit sih jumlahnya?"
"Kenapa setiap kita telepon kamu selalu menanyakan uang padaku. Aku juga sudah jarang sekali berbicara dengan anak-anakku. Apa yang kamu sembunyikan, Mas?" tanyaku penasaran.
"Gak ada kok yang ku sembunyikan semuanya baik. Besok kita video call sama anak-anak dengan catatan kamu kirimkan uang untuk kebutuhan mereka. Kebutuhan anak kamu banyak!"
"Mas, apa uang yang aku kirimkan ada kamu buat modal? Beberapa tahun aku kerja di sini. Kamu pakai sepuluh juta buat modal jual bakso keliling, 'kan, Mas? Terus rumah kita bagaimana di sana? Kamu udah buat rumah untuk kita tinggal, 'kan, Mas?" tanyaku lagi.
Pertanyaan ini selalu kutanyakan. Namun, Mas Emran menjawabnya ogah-ogahan, antara iya dan tidak.
"Iya, kamu jangan khawatir uang yang kamu kirimkan semua aman. Cuma kebutuhan makin banyak!"
"Tapi, kamu kerja, 'kan, Mas? Seharusnya kamu lebih giat kerja, Mas. Karena menafkahi keluarga tanggung jawab kamu. Tolonglah, pergunakan uang yang aku berikan sebaik-baiknya."
"Kamu gak percaya sama aku? Bawel kamu, Raisa. Baru kerja jadi Babu Hongkong aja belagu! Kalau kamu mau anak-anak terjamin. Kirim uang banyak! Paham!"
Klik
Mas Emran mematikan penggilan teleponnya. Aku menghela napas, kenapa dia sekasar ini? Aku hanya bertanya dan berkata seadanya.
Aku, Raisa dan terpaksa harus bekerja sebagai pahlawan devisa di luar negeri. Bagaimana tidak, Mas Emran kerjanya serabutan. Kami dulu masih numpang dengan mertua. Jujur, aku tak betah tinggal dengan mertua. Apa yang ku kerjakan selalu salah.
Belum lagi ada adik ipar yang juga tinggal dengan suaminya di rumah mertua. Di tambah adik lelakinya yang membuat ku tak nyaman. Suami adek iparku itu sedikit genit dan aku merasa risih. Jujur, benar-benar risih.
Ketika ku utarakan niatku untuk pindah dari sana. Mas Emran berkata, tidak punya uang. Aku bekerja sebagai buruh cuci untuk bisa mengumpul uang agar bisa ngontrak. Tapi, Mas Emran tiba-tiba kecelakaan yang menyebabkan biaya lebih banyak yang harus kamu perlukan. Belum lagi nyinyiran Ibu mertua dan Iparku membuat kepalaku sakit.
Mau pinjam uang dengan Mbak Rita juga gak enak. Dia pun juga hanya ibu rumah tangga biasa. Tak mungkin aku mengganggu rumah tangga kakak kandungku dengan meminjam uang dalam jumlah besar. Setelah Bapak dan Ibu kami meninggal, keluarga tempat ku berteduh hanya Mas Emran. Tapi, keluarga suamiku justru tak suka padaku. Hatiku rasanya perih.
Setelah kejadian itu, aku merasa gelisah. Beberapa kali menghubungi Mas Emran tak pernah diangkat. Menghubungi keluarganya juga sama.
Hari ini aku menghubungi Mas Emran dengan meminjam ponsel temanku. Dengan senang hati temanku memberikan akses ponselnya untuk kugunakan. Mungkin dengan menggunakan nomor lain Mas Emran mau menjawab panggilan teleponku.
"Halo," sapa seseorang di seberang setelah panggilan tersambung.
Baru satu kata yang dia ucapkan membuat hatiku bagaikan di r e m a s. Siapakah dia? Kenapa suaranya wanita? Apakah Lala, adik iparku?
"Halo, maaf saya ada perlu sama Pak Emran. Ini nomornya, Mbak? Kalau boleh tahu Mbak siapa?" tanyaku dengan bibir bergetar.
Aku menghela napas panjang berusaha menetralkan rasa gugup yang merajalela.
"Oh, saya istrinya. Mbak ini siapa?" tanyanya.
Aku tersentak tak bisa berkata apa-apa. Beberapa kali wanita yang mengaku istri dari suamiku berbicara tapi tak kudengarkan lagi.
Tak berselang lama Mas Emran merebut gawai itu dari wanita itu. Terdengar juga suara anakku yang menangis dan di bentak wanita tadi.
"Halo, ini siapa?" tanya Mas Emran setelah gawai ada di tangannya.
Aku serta merta mematikan sambungan telepon. Tak sangka dengan apa yang terjadi. Apakah suamiku menikah lagi di sana? Kenapa dia tega menipuku?
Pikiranku semakin bercabang. Aku mengambil gawaiku dan menghubungi salah satu temanku. Kebetulan hari ini hari libur. Jadi aku tak bekerja dan sedang berkumpul bersama teman-temanku. Setelah memberikan gawai pada salah satu temanku. Aku sedikit menjauh untuk berbicara dengan temanku di tanah air.
Marni si pemilik gawai heran dengan raut wajahku yang berubah. Dia mengetahui sedikit masalahku. Kami beberapa kali saling tukar pendapat.
"Assalamualaikum, Lastri. Apa kabar?" kataku setelah tersambung.
"Waalaikumsalam, Alhamdulillah, baik. Kamu apa kabar, Say?" katanya.
"Alhamdulillah, aku baik. Boleh minta tolong gak sama kamu," kataku.
"Boleh, apaan."
Aku menceritakan uneg-uneg yang kurasakan. Berharap Lastri mau membantu. Lastri ini temanku dan juga tetangga waktu sekolah dulu. Jarak rumah dia dan suamiku tak terlalu dekat dan juga jauh. Jadi dia juga gak tau apa yang terjadi di kampung Mas Emran.
"Astagfirullah, ya udah nanti aku cari tau. Kamu sabar dan banyak berdoa. Semoga semuanya gak benar," katanya.
Beberapa hari aku harap-harap cemas dengan yang terjadi dan menunggu telepon dari Lastri. Hingga akhirnya dia menghubungi ku.
"Assalamualaikum, Raisa ..."
Lastri berkata dengan suara bergetar dan takut. Perasaan ku mulai tak menentu padahal Lastri belum berbicara.
"Waalaikumsalam, Lastri. Apa yang terjadi dengan kehidupan keluargaku?" tanyaku mulai panik.
"Kamu harus segera pulang, Raisa. Anak kamu kayaknya di perlakukan tidak baik sama suami dan istri barunya."
Aku terkejut mendengar perkataan Lastri. Mas Emran menikah lagi? Kenapa dia mengkhianati aku? Di sini aku kerja banting tulang agar kehidupan kami lebih baik. Namun, alangkah tega dia melakukan ini padaku.
"Astagfirullah, Lastri. Apa benar? Terus bagaimana dengan rumah kami? Apakah Mas Emran membangun rumah kami dan siapa perempuan yang menikah dengan dia?" tanyaku. Sekujur tubuh rasanya lemas mendengar berita yang menyakitkan ini.
"Dia bangun rumah kalian. Photo rumahmu sudah aku kirimkan. Terus wanita itu Liana," kata Lastri pelan.
Ya Allah, aku terduduk begitu saja mendengar nama itu.
"Raisa ... Raisa ...."
Aku tak mendengarkan penggilan dari Lastri lagi. Terlalu sakit hati ini di khianati. Apa salahku, Mas? Apa? Dulu kamu yang meyakinkan aku untuk kerja di luar negeri. Kamu bilang akan menjaga anak-anak dengan baik. Kamu berjanji akan setia padaku dan memperlakukan Reyhan dan Rindu dengan baik pula. Tapi apa balasan kamu padaku.
Aku menatap nanar photo yang di kirim Lastri. Ya Allah, rumah kami bahkan belum di plaster. Padahal uang yang ku kirim begitu banyak untuk Mas Emran membangun rumah sederhana yang akan kami tinggali. Photo rumah ini masih sama seperti dulu dan tak ada perubahan.
Reyhan, Rindu. Bunda kangen, Nak. Jangan di tanya rasanya hatiku, sakit ... Terlampau sakit.
Lanjut?
BUNDA, PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH BAG 2.**POV RAISAMendengar kabar yang kuterima dari Lastri. Aku jadi semakin dilema. Aku ingin sekali pulang. Dalam dua tahun ini, aku memang belum pulang ke kampung melihat anak-anakku. Aku akan mengurus cuti kepulangan ku atau sekalian tak kuperpanjang lagi kontrak kerja di sini.Padahal aku sudah merasa nyaman. Majikanku baik hati. Aku di sini mengurus seorang wanita berusia empat puluh lima tahun yang hanya terbaring di tempat tidurnya karena menjadi korban kecelakaan. Bukan cuma aku saja yang bekerja di rumah ini. Ada beberapa orang sama sepertiku menjadi asisten rumah tangga dan bantu-bantu di sini. Semua sudah ada tugasnya."Kamu kok sedih gitu, Raisa. Ada masalah di kampung?" tanya Marni saat kami sedang kumpul.Biasanya kami para pekerja di sini sangat kompak dan berkumpul kalau lagi hari libur untuk mengurangi berbagai beban yang begitu banyak dan menghibur diri juga dari rutinitas kerja sekalian saling bersilaturahmi.Aku menghela na
BUNDA, PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH BAG 3.**Terakhir aku menghubungi Liana setelah itu dia memblokir nomor teleponku sehingga aku tidak bisa lagi menghubunginya. Aku benar-benar g e r a m dengan wanita itu yang sudah merebut segalanya dariku. Dalam hal ini Mas Emran juga perlu dipertanyakan karena dia lah yang membuka akses untuk menikahi Liana.Saat ini, aku sedang menyusuni pakaianku. Akhirnya aku bisa juga menyelesaikan semua pekerjaanku di sini aku tidak tahu apakah aku akan kembali lagi ke negara ini atau tidak. Tapi yang paling terpenting adalah keadaan anakku. Suasananya sudah tidak kondusif lagi aku bekerja pun tidak tenang.Aku hanya ingin segera kembali ke tanah air untuk melihat keadaan anak-anakku yang sudah sangat kurindukan. Tiba-tiba gawaiku ku bergetar dan aku melihat panggilan dari Mas Emran. Akhirnya dia menghubungiku juga. Mungkin dia curiga dari mana aku bisa mengetahui nomor Liana. Pasti lelaki itu akan bertanya hal ini kepadaku."Assalamualaikum, Raisa," kata
BUNDA, PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH BAG 4.**POV RAISAAku terkejut membaca pesan dari Pak RT. Tak sangka kalau anakku masuk Rumah Sakit. Pak RT juga memberikan alamat Rumah Sakit setempat di mana Rindu dirawat. Dengan perasaan bergemuruh aku bergegas meninggalkan Bandara.Tak berselang lama aku mendapat telepon dari Lastri beberapa kali Lastri mencoba menghubungiku. Namun aku tidak mengangkatnya ketika aku di pesawat. Aku ketiduran sebab kelelahan akibat banyak pikiran.Aku segera mengangkat telepon dari Lastri setelah di Bandara. Apa yang membuat Lastri menghubungiku? Mungkin, ada hal penting yang ingin disampaikannya."Assalamualaikum, Lastri.""Waalaikumsalam, Raisa. Kemarin kamu bilang sama aku kalau kamu bakal pulang ke tanah air. Aku sedang di Bandara untuk menjemput mu. Kamu di mana sekarang?""Kamu serius. Makasih banget karena kamu benar-benar mau meluangkan waktumu untuk menyambut kepulanganku. Aku udah di Bandara sekarang""Tentu aja. Kamu sedang menghadapi masalah besa
BUNDA, PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH 5.**PoV Raisa.Patah ....Satu kata yang menggambarkan perasaanku ketika melihat Rindu terbaring lemah di bangsal rumah sakit dan berada di ruang ICU. Aku b a n t i ng tulang bekerja agar kehidupan kami menjadi lebih baik tapi kenyataannya seperti ini.Apa gunanya aku pergi jauh-jauh kalau anak-anakku menderita. Kenapa balasan Mas Emran begitu tega kepadaku. Ini adalah cobaan yang begitu besar untukku menyaksikan buah hati tercinta terbaring tak berdaya."Pasien terkena benturan yang cukup keras di kebagian kepala sehingga menyebabkan dia tak sadarkan diri," kata Dokter yang menangani.Bulir-bulir bening berjatuhan mendengar perkataan Dokter. Pasti anakku mendapatkan perlakuan yang begitu kasar dari Mas Emran dan juga Liana. Padahal Rindu adalah anak kandung Mas Emran sendiri. Kenapa dia tega melakukan ini kepada Rindu?"Saya ingin pemeriksaan yang lebih lagi untuk anak saya, Dokter. Saya ingin seluruh tubuh anak saya diperiksa. Apakah anak saya
BUNDA, PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH 6.Hai, Kak jangan lupa subscribe dan like ya 🙏**POV RAISA."Raisa, kamu jangan kasar sama Liana!" kata Mas Emran tak suka.Aku mencibirnya. Sekarang terang-terangan dia membela gundiknya."Kamu bela dia? Kamu gak suka kalau dia tersakiti?" kataku g e r a m."Bukan gitu, Raisa.""Sekarang kamu jujur aja, Mas. Kamu bisa kan jujur. Nggak perlu ke rumah segala. Apa hubungan kamu sama dia?!" kataku dengan kilatan amarah."Raisa. Ini masalah pribadi nggak mungkin kita menceritakannya di Rumah Sakit. Apalagi kita harus menghormati anak kita yang sedang sakit!" Mas Emran berkilah.Menghormati? Bukankah Rindu sakit juga ulah mereka."Kamu menghormati Rindu yang sedang sakit? Kamu tahu nggak apa yang terjadi sama Rindu ini sebenarnya perlu dilaporkan ke pihak yang berwajib. Kamu nggak lihat lebam-lebam di badannya dan juga tiba-tiba dia itu terbentur. Seharusnya sebagai orang tua kamu udah melakukan tindakan tegas. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu bahka
Aku melirik Liana dengan amarah yang begitu besar. Tatapanku setajam pisau yang baru saja diasah. Liana menelan ludah melihat wajahku dan dia terus saja menarik tangannya agar aku melepaskan. Begitu pula dengan mas Emran yang tidak menyangka kalau aku bisa berbuat seperti ini. Dia tahu bagaimana karakterku yang nekat. Dulu pun aku ke luar negeri karena benar-benar nekat sekaligus ada dorongan dari dia yang terus-menerus untuk mengangkat derajat keluarga kami menjadi lebih baik."Baik, kita bicarakan saja semuanya baik-baik," kata Mas Emran akhirnya.Aku pun kemudian memberikan pengertian ke Reyhan kalau Lastri itu wa-ni-ta baik dan dia temanku. Lastri tidak mencelakakan Reyhan. Aku tahu betul siapa Lastri, keluarganya, tempat tinggalnya, anaknya. Lastri juga membantu ku sejauh ini. Begitupun saat ini Lastri memberikan pengertian ke Reyhan kalau aku harus menyelesaikan masalahku dengan ayah dan juga gundik ayahnya."Sayang, kamu percaya sama Bunda kalau Bunda akan terus di sisi kamu da
BUNDA PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH 7.**Jangan Lupa Subscribe ya Kak tersayang ❤️PoV RaisaAku sama sekali tidak terkejut mendengar perkataan Mas Emran yang mengatakan kalau mereka sudah menikah. Aku sudah tahu sebelumnya. Itulah yang menyebabkan diriku gusar ketika bekerja di luar negeri dan ingin segera pulang untuk melihat kondisi anakku.Namun, aku tersentak, Liana hamil. Ah, mereka sudah menikah mungkin terlebih dahulu selingkuh. Jadi wajar wanita di depanku ini hamil. Hal yang tidak ku sukai adalah dia menyiksa anak-anakku, menjadikan Rindu, Di rumah sakit. Sedangkan Reyhan nggak terurus. Bahkan anakku itu juga mengalami kekerasan yang aku belum melihat sendiri apa saja yang sudah dilakukannya ke Reyhan.Mereka peng-khia-nat dan tidak ada tempat untuk seorang pen-ja-hat seperti mereka."Kapan kalian menikah?" tanyaku."Sekitar enam bulan uang lalu, Raisa. Mas minta maaf," kata Mas Emran tertunduk.Aku tahu betul apa yang di katakannya itu palsu. Minta maaf? Kalau aku nggak p
"Astagfirullah, keterlaluan kamu, Mas. Itu uang hasil kerja kerasku. Seenaknya saja kamu gadaikan sesuka hati mu. Di mana pikiran kamu!" sentakku gak terima.Sakit hatiku. Dia melakukan ini sesukanya. Sepertinya pekerjaanku semua sia-sia. Untunglah masih ada tabungan hasil kerja kerasku selama dua tahun tak kuberikan sepenuhnya."Maafkan, Mas, Sayang. Maaf sekali ... Bantu Mas bayar cicilan rumah kita ke Bank ya," katanya memelas.**"Raisa .... Mas Minta maaf. Kita bisa bicara baik-baik," kata Mas Emran mengetuk pintu kamar setelah kami selesai dari Rumah Pak RT.Ternyata masalah kami lebih dari kompleks. Jadi tak bisa selesai sehari juga.Aku sengaja mengunci pintu kamar agar mereka tak menggangguku. Bagaimanapun ini tetap rumahku walau Mas Emran membangunnya atas nama dia. Makanya dia bisa gadaikan surat tanah dari rumah ini. Aku frustasi dengan ke-bo-do-han ku di masa lalu.Gawaiku bergetar dan itu panggilan dari Lastri. Lastri mengajak Reyhan jalan-jalan untuk menyenangkan hati a