Share

9. SAMPAI MAUT MEMISAHKAN

Selepas menunaikan shalat shubuh berjamaah di kamar hotel, Rakha dan Rania sempat berolah raga pagi mengelilingi area taman perhotelan mewah tempatnya melangsungkan resepsi pernikahan kemarin.

Mereka sarapan pagi dengan menu makanan yang Rakha sendiri tidak tahu apa namanya.

Semua masakan yang dihidangkan di hotel itu sepertinya masakan luar.

Sarapan pagi di hotel itu tersedia dalam bentuk prasmanan di mana para pengunjung bisa leluasa memilih dan mengambil sendiri menu sarapan yang sesuai dengan selera mereka.

"Ini apa namanya?" tanya Rakha sambil menunjuk ke arah menu makanan dihadapannya. Dia berbisik pada istrinya yang berdiri di belakangnya.

"Itu pancake, Mas! Norak banget sih gitu aja nggak tahu," Rania jadi sewot.

Rakha malah tersenyum. "Ya maklum, sayakan orang kampung. Biasa sarapan sama gudeg atau nasi kebuli di Jogya. Kalau di Jakarta, taunya sarapan sama bubur ayam, enak tuh," ujarnya sambil tertawa kecil.

Rania mencubit kecil pinggang suaminya, menyuruh suaminya itu lekas mengambil makanan karena pengunjung lain mulai antri di belakang.

Dengan membawa piring di tangan masing-masing, Rania memilih spot menarik untuk tempat mereka duduk yang berhadapan langsung dengan kolam renang.

"Kamu mau berenang?" tanya Rakha di sela-sela makan mereka.

Rania langsung menggeleng. "Ih, nggak mau. Tempatnya terbuka begitu, kalau tertutup, terus cuma ada kita berdua, aku mau deh," Rania tersenyum lebar di balik cadarnya.

Ke dua bola mata Rakha menyipit. "Hm, gimana kalau kita berenang di bath tub kamar hotel aja, kan luas tuh? Lima orang juga cukup nyemplung di situ," ucap Rakha dengan senyuman jahil.

Pipi Rania langsung memanas.

Rakha meladeni gombalannya, membuat dia jadi terjebak sendiri.

"Kalau begitu abis sarapan aja, gimana?" ucap Rakha lagi sambil melanjutkan makan.

"Kamu itu emang nggak berubah ya, selalu aja serius dan to the point kalo ngomongin masalah begituan! Nggak ada sisi romantisnya!" Rania jadi sewot.

Rakha malah tertawa. "Loh, kok jadi marah sih? Kan tadi kamu sendiri yang bilang, maunya cuma berenang berdua sama saya, di tempat tertutup. Sayakan cuma menyampaikan ide, kalau nggak mau yo wes, nggak apa-apa. Saya nggak maksa," balas Rakha malah meledek sang istri.

"Ih! Nyebelin!" Rania yang kesal malah pergi.

Sementara Rakha cuma senyum-senyum sambil geleng-geleng kepala menatap kepergian istrinya.

*****

"Hobi banget sih ngambek?" rayu Rakha pada Rania ketika mereka sudah kembali ke dalam kamar hotel.

Rakha berusaha meraih pinggul istrinya untuk dia peluk, tapi Rania terus saja menggeser duduknya menjauh.

"Biasanya nih, kalau cewek ngambek itu pasti ada maunya tapi dia malu buat bilang atau mengungkapkan. Ya semacam gengsi gitu, atau bisa jadi, dia lagi PMS," tebak Rakha sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.

Rania tidak menghiraukan, dia terus fokus menatap layar televisi. Menonton acara berita luar negeri.

Rakha mencuil pinggang Rania dengan ujung jari telunjuknya. Tubuh Rania terlonjak kaget, karena geli.

Rania menoleh dan memelototi Rakha yang malah cengengesan.

"Ayo, katanya mau berenang bareng," Rakha mencuil pinggang istrinya lagi.

"Ih, apaan sih?" Rania menepisnya. Meski dalam hati susah payah Rania menahan untuk tidak tersenyum. Perlakuan Rakha padanya selalu mampu membuat hatinya meleleh hingga lupa pada ngambeknya.

"Ayo dong," kali ini bukan pinggang yang di cuil Rakha, tapi ketiak Rania, membuat Rania menjerit.

Menahan kesal, Rania bangkit dan pindah tempat duduk.

"Sejak kapan ya, Rakha Al-Farizi jadi lelaki mesum?" ucap Rania dengan wajah juteknya.

Rakha tersenyum. Dia menatap lekat wajah istrinya yang super cantik itu. "Sejak kamu meninggalkan saya lima tahun yang lalu," jawab Rakha dengan wajah serius, padahal dia hanya bergurau saja.

Mendengar jawaban suaminya, Rania terdiam. Hal itu memang terlalu sensitif untuk dibahas. Perasaan bersalah seketika hadir kembali di benak Rania. Dalam sekejap, pertengkarannya dengan Rakha di malam pertama setelah pernikahan kedua mereka kembali merasuk dalam ingatannya.

*

"Dengar ya Rania, saya ini manusia, punya perasaan. Setelah lima tahun berlalu, setelah kamu meninggalkan saya begitu saja ke Kairo, kamu pikir hidup saya baik-baik saja? Tidak Rania! Kamu salah kalau kamu berpikir seperti itu!" ucap Rakha masih dengan suara dan ekspresi yang menunjukkan kemarahannya.

"Tidak ada satu malam pun yang saya lewati tanpa mengingat kamu! Bahkan terkadang saya sering menangis sendirian seperti orang gila! Saking rindunya saya sama kamu! Seandainya kamu tahu kesakitan hati saya selama ini? Kamu meminta cerai lalu sekarang kamu tiba-tiba datang lagi dengan cara yang begitu mengejutkan saya! Melamar saya? Memang kamu pikir hati dan perasaan saya ini mainan? Hah?"

Rania masih terdiam dalam wajah yang terus tertunduk. Ke dua jemarinya meremas kebaya yang masih dia kenakan. Dia mulai menangis. Menyesali kesalahannya. Perbuatannya.

Hingga akhirnya, tanpa pernah Rania duga, dua buah tangan meraih bahunya, menariknya dengan gerakan super cepat dan memeluknya.

Pelukan yang sangat erat.

"Saya mencintai kamu, Rania," gumam Rakha dengan tetesan air matanya yang meleleh di pipi. "Tidak mudah bagi saya melalui hari-hari tanpa kamu di sisi saya selama ini. Apalagi di saat kamu dengan teganya memblok semua akun media sosialmu, nomor teleponmu bahkan emailmu. Kenapa Rania? Kenapa? Apa salah saya sampai kamu menghukum saya sebegitu berat?" suara Rakha terdengar serak akibat tangisnya yang merebak.

"Kamu nggak salah! Aku yang salah! Aku yang bodoh! Aku cuma ingin memantaskan diri, berusaha menjadi seseorang yang lebih baik supaya nggak akan ada lagi yang mencela diriku di kemudian hari kalau sampai aku memang sudah ditakdirkan berjodoh sama kamu. Aku cuma malu, aku malu sama diri aku sendiri! Aku yang bahkan nggak bisa memberikan apa yang seharusnya aku berikan sama suami aku sendiri! Aku ini cuma wanita hina! Aku ini pezina! Aku ini pendosa, aku kotor, aku nggak pantas buat kamu," tangis Rania semakin tersedu-sedu. Bahkan Rakha bisa merasakan ke dua bahu istrinya yang berguncang hebat dalam pelukannya.

Rakha mengecup ubun-ubun kepala Rania, melepas pelukannya dan menuntun Rania untuk duduk di tepi ranjang tempat tidur. Mereka duduk berhadapan dengan ke dua tangan yang saling berpegangan.

"Jadi benar dugaan saya, bahwa alasan yang membuat kamu pergi karena perkataan Latifah?" tanya Rakha dengan suaranya yang mulai melunak. Dia menatap wajah Rania yang masih terus tertunduk.

"Sebegitu tersinggungnya kamu dengan perkataan Latifah? Dia itu hanya seorang gadis remaja, bahkan usia Latifah waktu itu baru 13 tahun,"

"Aku nggak menyalahkan Latifah! Justru aku bersyukur, karena kalimat Latifah sudah memotivasi aku untuk menjadi lebih baik. Kamu mau tau alasan kenapa aku memblok semua akun medsosku? Karena aku ingin benar-benar fokus belajar. Boleh kamu tanya sama Mamah, Papah, Mba Del atau Mas Dev, apa selama aku di Kairo, aku sering menghubungi mereka? Bahkan intensitas aku pegang Handphone sewaktu di sana itu mungkin bisa terhitung jari!" tutur Rania menjelaskan.

"Dalam waktu lima tahun aku di Kairo, aku berusaha keras supaya aku bisa lulus dengan nilai terbaik. Bisa meraih predikat Hafidzah, bisa mendapat penghargaan seperti apa yang dulu pernah kamu capai juga! Dan aku berhasil. Setelah aku berjuang, pagi, siang, malam, berkutat dengan setumpukan buku! Hafalan! Bahkan aku merasa aku hampir gila! Tapi, aku tidak menyerah! Allah bersamaku. Aku tetap berusaha. Aku bangun di sepertiga malam. Shalat tahadjud, lalu menyicil hafalan dan murajaah, sampai waktu shubuh. Siang harinya aku hanya makan dan istirahat lalu menyelesaikan tugas kuliah di perpustakaan. Malam harinya selepas Isya aku kembali melakukan hal yang sama seperti tadi pagi. Hafalan dan murajaah lagi, bahkan bisa sampai tengah malam, baru aku tidur, lalu aku bangun lagi di sepertiga malam, begitu saja seterusnya... Selama lima tahun... Demi kamu... Dan itu bukan hal yang mudah buat aku, kamu tahu itukan?"

Air mata Rakha semakin mengalir deras.

Dia terharu.

Sungguh-sungguh terharu.

Rakha kembali meraih tubuh istrinya ke dalam pelukan. Mengecup ubun-ubun kepala Rania berkali-kali.

"Saya sayang sekali sama kamu. Seharusnya kamu tidak perlu melakukan itu semua. Bukan manusia yang berhak menilai pantas tidaknya seseorang, baik buruknya seseorang. Melainkah Allah yang maha mengetahui apa-apa yang ada dalam hati dan pikiran seluruh makhluknya," Rakha melepas pelukannya lalu tersenyum.

"Ada sebuah kisah tentang seorang pelacur yang memberi minum anjing yang hampir mati karena kehausan. Lalu Allah mencatat amal baiknya itu dan mengampuni seluruh dosa-dosanya hingga menobatkan pelacur itu sebagai ahli syurga. Ini kisah yang diceritakan Rasulullah kepada para sahabatnya. Dari kisah ini, Rasulullah hendak memberi nasihat pada umatnya untuk tidak menghakimi siapapun orang yang di anggap telah melakukan dosa besar, sebagai contoh si pelacur tadi. Karena kita tak pernah tahu apa amalan yang akan membawa kita ke syurga kelak. Sebab bisa saja, di akhir hayatnya para pendosa itu justru melakukan amalan sholeh ahli syurga hingga Allah mengampuni seluruh dosa mereka. La Tahzan, Innallaha Ma'ana..."

Rakha selesai dengan ceritanya. Dia menghapus jejak-jejak air mata yang membanjir di pipi Rania menggunakan ibu jarinya. Di kecupnya kening Rania sekali lagi, kali ini cukup lama.

"Maafkan saya Rania, maaf karena sudah berpikiran buruk terhadap kamu," bisiknya lembut.

"Aku juga minta maaf... Mas..."

*

Tanpa sadar, Rania malah menangis.

Rakha buru-buru menghampiri istrinya itu.

"Kamu kenapa? Tadi saya cuma bercanda sayang," kata Rakha yang menyesali kebodohannya. Harusnya dia tahu kalau sampai detik ini Rania masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri setelah apa yang perempuan itu lakukan pada Rakha di bulan-bulan pertama pernikahan pertama mereka dulu.

Rania sadar dirinya bukan perempuan baik.

Dia bahkan hanya seorang perempuan yang telah memberikan mahkotanya pada lelaki yang belum berhak mendapatkannya.

Rania terlalu murah hingga mengobral dirinya sebelum kalimat Ijab dan Kabul terucap.

Bahkan saat dirinya telah menjadi istri sah Rakha, Rania sudah tidak suci.

Belum lagi semua perilaku kasarnya dahulu terhadap Rakha.

Dia sering memaki-maki Rakha dengan kata-kata kasar. Menyiram wajah Rakha dengan jus jeruk sewaktu makan malam cuma gara-gara Rakha menyuruh Rania makan sayur. Menampar pipi Rakha, bahkan bukan sekali tapi berkali-kali. Pernah juga dia mendorong suaminya itu dari kasur sewaktu Rakha sedang tertidur cuma karena kekesalan Rania pada Rakha yang tidak beralasan.

Cacat fisik yang diderita Rania akibat kecelakaan setelah Rakha menabraknya membuat sikap temperamental Rania jadi berlipat ganda.

Lalu terakhir, hal yang paling Rania sesali sampai detik ini, yaitu kata-katanya pada Rakha sebelum keberangkatan dirinya ke Amerika untuk menjalani operasi mata.

"SEANDAINYA NANTI GUE BISA MELIHAT LAGI, SATU-SATUNYA MANUSIA DI MUKA BUMI YANG NGGAK INGIN GUE TAHU WAJAH ASLINYA ITU LO! CUMA LO! JADI JANGAN PERNAH LO MENAMPAKKAN WAJAH LO DI DEPAN GUE! KARENA GUE AKAN MEMILIH UNTUK MENGABAIKAN KEBERADAAN LO DAN NGGAK MENGANGGAP LO ADA DIHADAPAN GUE! INGET BAIK-BAIK KATA-KATA GUE!"

Tangis Rania semakin pecah tatkala semua memori itu masih saja berputar-putar dalam ingatannya.

Rania benar-benar mengutuki dosa-dosa yang telah dia perbuat karena telah berbuat dzalim terhadap suaminya sendiri.

Dan hebatnya Rakha, sekasar apapun perilaku Rania, semenyakitkan apapun perkataan Rania kepadanya, tapi Rakha tidak pernah marah. Lelaki itu bahkan selalu saja tersenyum dan justru meminta maaf karena telah membuat hidup Rania menderita pasca kecelakaan yang tidak sepenuhnya menjadi kesalahan Rakha.

"Hei, Rania? Kamu kenapa?" Rakha mengguncang ke dua bahu istrinya yang terus saja menangis dihadapannya.

Rania mendongak, menatap sendu wajah suaminya yang tampan itu.

Sebuah wajah yang dulu begitu membuat Rania penasaran.

"Mas," bisiknya lirih.

"Hm?"

"Apa Allah akan mengampuni semua dosa-dosaku padamu di masa lalu?" tanya Rania setelahnya.

Rakha tersenyum hangat.

"Kitakan sudah sepakat untuk tidak membahas masalah itu lagi,"

Rania menggeleng. "Tapi aku tidak bisa melupakan semuanya begitu saja. Aku benar-benar merasa berdosa sama kamu,"

Rakha menggenggam erat kedua tangan Rania.

"Saya sudah melupakan semuanya. Saya sudah memaafkan kamu. Jadi apa yang sudah pernah terjadi di masa lalu, kita lupakan saja pelan-pelan. Sekarang kita sudah bersama lagi dan saya tidak mau membuat kamu terbebani dengan hal apapun yang menyangkut diri saya. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Manusia itu memang sudah ditakdirkan menjadi tempatnya khilaf dan salah. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk membuktikan bahwa kamu mampu berubah. Kamu mampu menjadi seorang Rania yang baru. Rania yang jauh lebih baik. Saya mencintai kamu dan kamu mencintai saya. Kita mulai semuanya dari awal lagi," tutur Rakha masih dengan senyuman mempesonanya itu.

Rania mengangguk lalu memeluk Rakha erat.

"Aku mencintai kamu, Mas. Aku akan terus berada di sisi kamu apapun yang terjadi,"

Rakha tersenyum. Dibelainya punggung Rania lembut.

"Saya juga akan terus berada di sisi kamu, sampai maut memisahkan..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status