MasukAyra menoleh ke arah Revan dan menatapnya dengan malas. Bukan karena takut, tapi Ayra cukup lelah hari ini. Badannya masih sakit akibat kejadian tadi. Ayra diam dan tetap melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam rumah. Dia hanya ingin cepat istirahat malam ini.
Tapi Revan yang melihat hal itu justru berpikir Ayra sedang menantangnya. Ayra yang cuek dan hanya diam tidak menjawab apalagi minta maaf padanya membuat emosinya semakin naik. Nafasnya semakin memburu dipenuhi amarah. Dia menarik kasar pergelangan tangan kiri Ayra. Ayra menjerit karena tangan itu habis terkilir dan masih sangat sakit. Dia reflek mendorong kuat tubuh Revan dan memegangi tangannya. Ayra mendesis dan hampir menangis. "Berani kamu ya! Sudah berselingkuh dan sekarang malah mau menantangku! Kurang ajar!" Revan maju lalu menampar pipi Ayra sebanyak dua kali. Ayra yang tidak siap akan hal itu langsung terhuyung sambil memegangi pipinya yang terasa panas. "Aku harus memberimu pelajaran biar gak semakin kurang ajar sama suami!" Revan mengangkat tangannya lagi hendak memukul Ayra. "Mamiiiii!" Terdengar suara Arzha dan Zetha yang bersamaan berlari dari dalam rumah. Mereka melihat pertengkaran kedua orang tuanya. Kedua bocah itu langsung menghambur ke pelukan Ayra. Ayra yang mulanya terpejam karena melihat tangan Revan di udara, langsung membuka mata merasakan pelukan Arzha dan Zetha. Dia membalas pelukan mereka yang langsung menangis ketakutan di dalam pelukannya. Ayra menahan air mata yang ingin ikut jatuh melihat mereka. Rasa sakit pada pergelangan tangannya tidak dirasakan lagi. Ayra menenangkan putrinya sambil tetap merangkul putranya. "Tidak apa-apa, Sayang, tidak apa-apa. Jangan takut ya." dia terus menenangkan anak-anaknya. Menciumi mereka secara bergantian. Revan yang sudah terlanjur terbakar emosi langsung menarik paksa kedua anaknya lalu menyeret mereka masuk ke dalam mobil. Ayra berteriak mencoba menghentikan Revan. Tapi tubuhnya tersungkur ditendang oleh Revan. Arzha dan Zetha semakin menangis kencang di dalam mobil meminta tolong pada Ayra. Ayra bangkit lagi dan mencoba mengejar Revan. Terlambat. Revan sudah masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesin. Mobil langsung keluar dari carport dan melaju kencang pergi meninggalkan Ayra sendiri yang berteriak panik. Ayra menangis menatap mobil yang hilang di belokan. Menyadari takut akan terdengar oleh tetangganya, dia masuk menutup gerbang dan pintu rumahnya. Ayra sejenak linglung dan bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Setelah tersadar, dia mengambil tasnya dan mencari ponsel disana. Lalu menelpon Mbak Fujia, kakak iparnya, untuk menanyakan apakah Revan membawa Arzha dan Zetha ke rumah mertuanya. "Halo, Dek. Ada apa?" Mbak Fujia langsung merespon panggilannya. "Assalamu'alaikum, Mbak. Mbak, apa Mas Revan datang kesitu sama Arzha dan Zetha?" "Gak ada, Dek. Memangnya kenapa?" "Oh, sepertinya belum sampai ya, Mbak?" Ayra khawatir Revan membawa anaknya entah kemana. Air matanya mengalir lagi. "Oh, Dek, itu mobil Revan baru saja sampai. Mungkin itu mereka." Mbak Fujia menjelaskan setelah melihat mobil milik Ayra berhenti di depan rumah. "Mbak, biar saja. Aku cuma mau minta tolong untuk sementara jagain Arzha dan Zetha ya. Mas Revan sedang marah, kami bertengkar barusan. Jadi dia pergi dari rumah membawa anak-anak. Tolong ya, Mbak." Ayra menjelaskan cepat sambil terisak. Sedih, kecewa, bingung dan khawatir memenuhi pikirannya. "Ada apa dek? Kenapa begini?" Mbak Fujia justru bingung dan penasaran dengan apa yang sudah terjadi. Apalagi mendengar suara Ayra yang sepertinya sedang menangis. "Nanti saja cerita lengkapnya Mbak. Yang terpenting sekarang aku minta tolong itu dulu ya, Mbak. Besok pagi-pagi banget Mbak juga tolong ambil perlengkapan sekolah anak-anak di rumah. Sudah dulu ya mbak. Maaf merepotkan. Aku tutup dulu. Assalamu'alaikum." Ayra mengakhiri panggilan dengan cepat. Dia tidak ingin Revan mengetahui dan mulai marah lagi. Ayra khawatir kedua anaknya ketakutan lagi. Ayra termenung sejenak dan teringat harus menghubungi siapa. Dia mencari kontak di ponselnya dan panggilan itu segera terhubung tanpa menunggu lama. "Hai, Beb. Kamu baik-baik aja?" Nesya di seberang langsung bertanya dengan nada khawatir pada Ayra. "Gak terlalu." Ayra menjawab lemah. "Kenapa? Apa gak berjalan sesuai rencana?" "Belum. Aku bahkan belum menjalankan rencananya." Ayra lagi-lagi menangis saat menceritakan soal kedua anaknya yang menangis ketakutan dan dibawa pergi dengan paksa oleh Revan. "Emang anj*ng. Dirinya sendiri jelas-jelas ketahuan selingkuh tapi istri sendiri cuma diantar pulang laki-laki lain langsung dituduh selingkuh." Nesya sangat marah setelah mendengar cerita Ayra. "Seorang pengecut yang merasa salah jelas berpikir semua orang pasti melakukan kesalahan seperti dirinya." Ayra menatap lurus ke depan dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Iya benar. B*bi bodoh." Nesya benar-benar emosi dan tidak puas mengatai suami sahabatnya itu. "Aku belum punya bukti apapun. Aku masih ingin bukti kuat sampai membuat dia gak bisa mengelak lagi. Aku ingin dia hancur bahkan lebih hancur dari hidupku saat ini." "Oke. Kalau begitu ayo kita lanjutkan." Nesya mendukung dan memberi beberapa saran. Mereka mengobrol dan berdiskusi lumayan lama. Semua detail rencana mereka bicarakan hingga kemungkinan-kemungkinan terkecil yang akan terjadi. Ayra begitu ingin semuanya matang dan berjalan sesuai keinginannya. Sampai akhirnya hampir satu jam mereka mengobrol, Ayra berencana mengakhiri panggilannya. "Ya sudah, aku butuh istirahat malam ini meski entah bisa atau tidak." "Iya. Kamu harus paksain buat istirahat. Mulai besok, kamu butuh tenaga yang lebih besar. Kalau ada apa-apa jangan lupa selalu bilang ke aku. Kabari aku terus ya. Jaga kesehatanmu." Nesya memberi wejangan layaknya orang tua Ayra. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan Ayra saat ini. "Oke. Makasih." Ayra mematikan teleponnya. Setelah memejamkan matanya sebentar untuk menenangkan pikirannya, dia beranjak ke kamar mandi. Dia mandi dengan tenang. Selesai mandi dan mengganti bajunya dengan piyama tidur, dia masuk lagi ke dalam kamar kedua anaknya. Dia menyiapkan semua kebutuhan sekolah anak-anaknya esok hari. Tak lupa dia juga menyiapkan sejumlah uang pada amplop untuk dia berikan kepada Mbak Fujia besok pagi. Uang itu untuk kebutuhan kedua anaknya selama dia titipkan disana. Juga untuk Mbak Fujia yang sudah dia minta membantu mengurus dan menjaga kedua anaknya. Mbak Fujia tidak bekerja, sedangkan suaminya seorang supir ojek online. Mereka tinggal serumah dengan mertua Ayra. Setelah semua kebutuhan anaknya dirasa cukup, Ayra mengeluarkan beberapa kamera kecil yang tadi dia beli dari dalam tasnya. Dia mengaktifkan semua kamera itu dan memasangnya di sudut-sudut bagian rumahnya yang dia pikir potensial untuk merekam semua gerak-gerik di rumah itu tanpa terkecuali. Lewat tengah malam, Ayra puas melihat layar ponselnya yang menampilkan semua rekaman dari kamera-kamera itu secara bergantian. Setelah itu dia mematikan seluruh lampu dan pergi ke kamarnya. Ayra berbaring sendirian di ranjang besar miliknya, tak butuh waktu lama dia langsung terlelap.Abrar tertegun mendengar kalimat Ayra. Matanya dipenuhi embun yang siap menetes kapan saja. Namun dia melihat tak ada keraguan dalam raut wajah perempuan di hadapannya itu. Jadi keputusan yang sudah terucap, jelas sudah dipikirkan selama beberapa jam saat Ayra menghilang. Abrar menunduk menyembunyikan tetesan air mata yang lolos meluncur di permukaan pipi. Punggung tangannya menghapus jejak tersebut dengan tergesa. Hilang sudah harapannya. Habis sudah kesempatannya.Ayra. Wanita yang sudah bertahun-tahun dicintainya, hanya bisa dia miliki dalam waktu sekejap saja. Wanita yang posisi di hati belum pernah tergoyah setelah sekian lama, justru kecewa karena sikapnya. Abrar merasa menjadi orang paling bodoh sedunia. Menjadi orang yang sangat rugi dan tidak berguna. Kebohongan kecil yang dia pikir hanya untuk sementara, namun ternyata begitu fatal untuk Ayra yang memang mempunyai bekas luka yang masih basah. Iya. Dia lupa. Ayra mempunyai bekas luka yang teramat besar dan dalam. Ayra memp
Jam tujuh malam Ayra baru terbangun dari tidurnya. Dia melihat langit-langit kamar hotel yang dia tempati. Saat menoleh ke arah jendela dan tau langit di luar telah gelap, dia teringat dengan Arzha dan Zetha. Ayra duduk dan meraih tas jinjing yang ia letakkan di atas nakas. Dia mencari ponselnya. Dia telah membisukan ponsel tersebut sejak masuk ke dalam hotel. Ternyata sudah ada puluhan pesan dan panggilan masuk.Ayra memilih untuk menelepon nomor mamanya. Tak menunggu lama, panggilan tersebut langsung tersambung."Halo ma, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Ya Allah kamu dimana, Nak? Semua orang lagi khawatir dan cariin kamu. Kenapa sampai malam begini belum pulang?" Bu Yasmin langsung mengomel karena khawatir. "Ayra. Kamu dimana, Nak? Kamu baik-baik aja?" kali ini suara Pak Surya juga terdengar sangat khawatir. "Aku baik-baik aja kok, Ma, Pa. Maaf ya udah buat mama dan papa khawatir. Aku ketiduran." Ayra merasa bersalah setelah mendengar kekhawatiran kedua orang tuanya. "Ketid
"Apa kamu sudah pikirkan baik-baik tentang nasehat nenek beberapa waktu lalu?" Nenek Wanda menatap Abrar yang telah selesai mengupas buah pir. "Aku mau semuanya mengalir saja dulu nek. Kalau memang sudah sampai pada waktunya, hal itu akan jelas akan mengarah kemana." Abrar meletakkan buah pir dan pisau kembali ke tempatnya. Dia sama sekali tidak ingin memakan itu. "Gimana kalau nenek menyarankan itu untuk Leana? Kalian saling mengenal saja dulu dengan pelan-pelan, biarkan saja mengalir. Kalau sudah sampai pada waktunya, barulah bisa memutuskan." perkataan Nenek Wanda cukup tegas. "Kamu paham betul, dengan Leana nggak akan serumit dengan Ayra. Kalau cocok, nggak ada yang perlu berkorban. Dan kalau memang nggak cocok, yasudah hanya kalian berdua yang akan sakit, tidak melibatkan yang lain. Kamu pasti paham kan apa maksud nenek?" Abrar tertegun. Dalam hatinya, dia membenarkan semua perkataan Nenek Wanda. Namun otaknya menolak untuk menuruti itu. Tanpa mereka sadari, seseorang yan
Setelah mengantar Tania masuk ke dalam mobil polisi yang akan mengantarnya kembali ke rumah sakit, Ayra dan Nesya langsung berjalan ke arah mobil masing-masing. Mereka sepakat berpisah dan melanjutkan kesibukan masing-masing. Ayra hendak pergi ke kantor. Belum tengah hari, lumayan untuk memanfaatkan waktu memeriksa laporan keuangan hari kemarin. Namun langkah mereka terhenti saat Abrar tiba-tiba menghadang tepat di hadapan Ayra. Nesya melihat suasana canggung di antara mereka berdua hingga segera memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. "Aku duluan ya beb." Nesya melirik ke arah Ayra dan Abrar secara bergantian. "I-iya beb. Hati-hati ya." Ayra menoleh dan tersenyum kikuk kepada Nesya. Dia juga merasakan hawa canggung di sekitarnya. "Oke." Nesya segera melangkah pergi menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari situ. Setelah Nesya pergi, Ayra dan Abrar kembali saling bertatapan. Abrar merasa sikap Ayra sedikit dingin kepadanya. Namun di sisi lain, dia takut perubahan sika
Hari ini jadwal persidangan kasus Tania dilaksanakan. Seorang polisi wanita menjemput Tania di kamar perawatan rumah sakit untuk membawanya ke pengadilan negeri Kota Lumia menggunakan mobil polisi.Tania sudah selesai bersiap sejak setengah jam yang lalu. Dibantu oleh suster pribadinya, Tania duduk di kursi roda hingga naik ke mobil. Suster itu juga akan menemani dan mengurus kebutuhan Tania di ruang persidangan.Sesampainya di kantor pengadilan, terlihat Nesya dan Ayra sudah menunggu Tania dengan khawatir. Tapi begitu melihat gadis itu turun dari mobil polisi, mereka berdua merasa lega dan berusaha menunjukkan wajah ceria agar membuat Tania lebih rileks. Para wartawan menyambut dan langsung mengelilingi Tania dengan rapat. Mereka sangat bersemangat mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk Tania. Untungnya, para pengawal yang sudah disiapkan oleh Abrar, dengan sigap mengatur kerumunan itu dan memasang badan agar Tania bisa masuk ke dalam area tunggu ruang sidang dengan aman. Suster me
Abrar melemparkan kembali map hitam itu ke tengah meja dengan kasar. Matanya semakin tajam menatap Leana. Dia sadar sekarang gadis licik ini tidak bisa dianggap remeh.Dari awal bertemu, Abrar sudah bisa menilai Leana dan keluarganya punya maksud tersembunyi. Namun karena mereka kenal baik dengan neneknya, Abrar mengabaikan dan memilih tidak terlalu peduli. "Apa ini? Kamu pikir aku percaya dengan lembaran kertas nggak bermutu ini?" nada bicara Abrar terdengar semakin dingin dibanding sebelumnya. "Kamu bisa cek dan tanya ke dokter yang bertanda tangan disitu. Aku yakin seorang Abrar nggak akan susah bikin orang bicara jujur." Leana tetap mempertahankan senyuman percaya dirinya. "Meskipun itu bener, lalu apa urusannya sama kamu?"Leana tidak menjawab. Dia justru mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah rekaman suara dengan volume paling keras."Nenek kenapa ke rumah sakit sendiri? Abrar kemana nek?"Itu suara Leana. "Dia lagi kerja. Aku nggak mau ganggu, dia sudah capek ngurus peru







