Share

Terpisah

Penulis: Ayri Aster
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-16 08:06:54

Ayra menoleh ke arah Revan dan menatapnya dengan malas. Bukan karena takut, tapi Ayra cukup lelah hari ini. Badannya masih sakit akibat kejadian tadi. Ayra diam dan tetap melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam rumah. Dia hanya ingin cepat istirahat malam ini.

Tapi Revan yang melihat hal itu justru berpikir Ayra sedang menantangnya. Ayra yang cuek dan hanya diam tidak menjawab apalagi minta maaf padanya membuat emosinya semakin naik. Nafasnya semakin memburu dipenuhi amarah. Dia menarik kasar pergelangan tangan kiri Ayra.

Ayra menjerit karena tangan itu habis terkilir dan masih sangat sakit. Dia reflek mendorong kuat tubuh Revan dan memegangi tangannya. Ayra mendesis dan hampir menangis.

"Berani kamu ya! Sudah berselingkuh dan sekarang malah mau menantangku! Kurang ajar!" Revan maju lalu menampar pipi Ayra sebanyak dua kali. Ayra yang tidak siap akan hal itu langsung terhuyung sambil memegangi pipinya yang terasa panas.

"Aku harus memberimu pelajaran biar gak semakin kurang ajar sama suami!" Revan mengangkat tangannya lagi hendak memukul Ayra.

"Mamiiiii!" Terdengar suara Arzha dan Zetha yang bersamaan berlari dari dalam rumah. Mereka melihat pertengkaran kedua orang tuanya. Kedua bocah itu langsung menghambur ke pelukan Ayra.

Ayra yang mulanya terpejam karena melihat tangan Revan di udara, langsung membuka mata merasakan pelukan Arzha dan Zetha. Dia membalas pelukan mereka yang langsung menangis ketakutan di dalam pelukannya. Ayra menahan air mata yang ingin ikut jatuh melihat mereka. Rasa sakit pada pergelangan tangannya tidak dirasakan lagi.

Ayra menenangkan putrinya sambil tetap merangkul putranya. "Tidak apa-apa, Sayang, tidak apa-apa. Jangan takut ya." dia terus menenangkan anak-anaknya. Menciumi mereka secara bergantian.

Revan yang sudah terlanjur terbakar emosi langsung menarik paksa kedua anaknya lalu menyeret mereka masuk ke dalam mobil. Ayra berteriak mencoba menghentikan Revan. Tapi tubuhnya tersungkur ditendang oleh Revan.

Arzha dan Zetha semakin menangis kencang di dalam mobil meminta tolong pada Ayra. Ayra bangkit lagi dan mencoba mengejar Revan. Terlambat. Revan sudah masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesin. Mobil langsung keluar dari carport dan melaju kencang pergi meninggalkan Ayra sendiri yang berteriak panik.

Ayra menangis menatap mobil yang hilang di belokan. Menyadari takut akan terdengar oleh tetangganya, dia masuk menutup gerbang dan pintu rumahnya. Ayra sejenak linglung dan bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

Setelah tersadar, dia mengambil tasnya dan mencari ponsel disana. Lalu menelpon Mbak Fujia, kakak iparnya, untuk menanyakan apakah Revan membawa Arzha dan Zetha ke rumah mertuanya.

"Halo, Dek. Ada apa?" Mbak Fujia langsung merespon panggilannya.

"Assalamu'alaikum, Mbak. Mbak, apa Mas Revan datang kesitu sama Arzha dan Zetha?"

"Gak ada, Dek. Memangnya kenapa?"

"Oh, sepertinya belum sampai ya, Mbak?" Ayra khawatir Revan membawa anaknya entah kemana. Air matanya mengalir lagi.

"Oh, Dek, itu mobil Revan baru saja sampai. Mungkin itu mereka." Mbak Fujia menjelaskan setelah melihat mobil milik Ayra berhenti di depan rumah.

"Mbak, biar saja. Aku cuma mau minta tolong untuk sementara jagain Arzha dan Zetha ya. Mas Revan sedang marah, kami bertengkar barusan. Jadi dia pergi dari rumah membawa anak-anak. Tolong ya, Mbak." Ayra menjelaskan cepat sambil terisak. Sedih, kecewa, bingung dan khawatir memenuhi pikirannya.

"Ada apa dek? Kenapa begini?" Mbak Fujia justru bingung dan penasaran dengan apa yang sudah terjadi. Apalagi mendengar suara Ayra yang sepertinya sedang menangis.

"Nanti saja cerita lengkapnya Mbak. Yang terpenting sekarang aku minta tolong itu dulu ya, Mbak. Besok pagi-pagi banget Mbak juga tolong ambil perlengkapan sekolah anak-anak di rumah. Sudah dulu ya mbak. Maaf merepotkan. Aku tutup dulu. Assalamu'alaikum." Ayra mengakhiri panggilan dengan cepat. Dia tidak ingin Revan mengetahui dan mulai marah lagi. Ayra khawatir kedua anaknya ketakutan lagi.

Ayra termenung sejenak dan teringat harus menghubungi siapa. Dia mencari kontak di ponselnya dan panggilan itu segera terhubung tanpa menunggu lama.

"Hai, Beb. Kamu baik-baik aja?" Nesya di seberang langsung bertanya dengan nada khawatir pada Ayra.

"Gak terlalu." Ayra menjawab lemah.

"Kenapa? Apa gak berjalan sesuai rencana?"

"Belum. Aku bahkan belum menjalankan rencananya." Ayra lagi-lagi menangis saat menceritakan soal kedua anaknya yang menangis ketakutan dan dibawa pergi dengan paksa oleh Revan.

"Emang anj*ng. Dirinya sendiri jelas-jelas ketahuan selingkuh tapi istri sendiri cuma diantar pulang laki-laki lain langsung dituduh selingkuh." Nesya sangat marah setelah mendengar cerita Ayra.

"Seorang pengecut yang merasa salah jelas berpikir semua orang pasti melakukan kesalahan seperti dirinya." Ayra menatap lurus ke depan dan mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Iya benar. B*bi bodoh." Nesya benar-benar emosi dan tidak puas mengatai suami sahabatnya itu.

"Aku belum punya bukti apapun. Aku masih ingin bukti kuat sampai membuat dia gak bisa mengelak lagi. Aku ingin dia hancur bahkan lebih hancur dari hidupku saat ini."

"Oke. Kalau begitu ayo kita lanjutkan." Nesya mendukung dan memberi beberapa saran.

Mereka mengobrol dan berdiskusi lumayan lama. Semua detail rencana mereka bicarakan hingga kemungkinan-kemungkinan terkecil yang akan terjadi. Ayra begitu ingin semuanya matang dan berjalan sesuai keinginannya.

Sampai akhirnya hampir satu jam mereka mengobrol, Ayra berencana mengakhiri panggilannya. "Ya sudah, aku butuh istirahat malam ini meski entah bisa atau tidak."

"Iya. Kamu harus paksain buat istirahat. Mulai besok, kamu butuh tenaga yang lebih besar. Kalau ada apa-apa jangan lupa selalu bilang ke aku. Kabari aku terus ya. Jaga kesehatanmu." Nesya memberi wejangan layaknya orang tua Ayra. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan Ayra saat ini.

"Oke. Makasih." Ayra mematikan teleponnya. Setelah memejamkan matanya sebentar untuk menenangkan pikirannya, dia beranjak ke kamar mandi. Dia mandi dengan tenang.

Selesai mandi dan mengganti bajunya dengan piyama tidur, dia masuk lagi ke dalam kamar kedua anaknya. Dia menyiapkan semua kebutuhan sekolah anak-anaknya esok hari. Tak lupa dia juga menyiapkan sejumlah uang pada amplop untuk dia berikan kepada Mbak Fujia besok pagi.

Uang itu untuk kebutuhan kedua anaknya selama dia titipkan disana. Juga untuk Mbak Fujia yang sudah dia minta membantu mengurus dan menjaga kedua anaknya. Mbak Fujia tidak bekerja, sedangkan suaminya seorang supir ojek online. Mereka tinggal serumah dengan mertua Ayra.

Setelah semua kebutuhan anaknya dirasa cukup, Ayra mengeluarkan beberapa kamera kecil yang tadi dia beli dari dalam tasnya. Dia mengaktifkan semua kamera itu dan memasangnya di sudut-sudut bagian rumahnya yang dia pikir potensial untuk merekam semua gerak-gerik di rumah itu tanpa terkecuali.

Lewat tengah malam, Ayra puas melihat layar ponselnya yang menampilkan semua rekaman dari kamera-kamera itu secara bergantian. Setelah itu dia mematikan seluruh lampu dan pergi ke kamarnya. Ayra berbaring sendirian di ranjang besar miliknya, tak butuh waktu lama dia langsung terlelap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Babak Belur Pernikahanku   Mengobrol

    Abrar telah pulang sekitar setengah jam yang lalu. Ayra juga baru saja selesai menemani Arzha dan Zetha tidur. Kini tinggal dirinya sendiri yang masih terjaga. Waktu menunjukkan masih pukul sepuluh. Karena belum merasakan kantuk sama sekali, Ayra bingung hendak melakukan apa. Hingga akhirnya dia berpikir untuk memakai lulur badan dan masker wajah saja. Dia mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi. Ayra melumuri dan memijat lembut seluruh badannya dengan lulur beraroma bunga sakura. Dia juga memasang masker pada wajahnya yang sudah dia bersihkan dengan air hangat sebelumnya. Ayra mengambil buku bacaan dan mulai fokus membaca sambil menunggu lulur dan maskernya meresap. Dia selalu menikmati momen quality time untuk dirinya sendiri seperti ini. Rutinitas harian yang melelahkan dan pekerjaan yang menyita pikiran, memang membutuhkan hal-hal yang bisa membuat rileks agar tidur menjadi lebih nyaman dan nyenyak. Tak terasa dua puluh menit berlalu. Ayra beranjak dan melepas maskernya

  • Babak Belur Pernikahanku   Gosip

    Ayra memberi Abrar tatapan yang sangat tajam dan penuh kecurigaan. Dia cukup familiar dengan suara gadis yang didengarnya barusan. Apalagi posisi gadis tersebut sedang berada di rumah Abrar bersama dengan Nenek Wanda. "Aku tau apa yang sedang kamu pikirin. Dan aku bisa pastiin ini semua nggak seperti yang ada di dalam pikiranmu." Abrar terlebih dahulu berkata dengan sangat hati-hati. "Emang apa yang aku pikirin?" mata Ayra semakin tajam. "A-aku beneran nggak tau ataupun sama sekali nggak janjian sama mereka. Beberapa hari ini mereka berkali-kali datang ke kantor tapi emang sengaja aku tolak. Aku sama sekali nggak pernah ketemu lagi sama cewek itu sejak aku pergi keluar negeri lima tahun lalu."Sorot mata Abrar terlihat jujur namun was-was. Nada suaranya juga pelan dan penuh kehati-hatian. "Terus?" Ayra sengaja terus menekan. Dalam hatinya banyak rasa berkecamuk. Ada curiga, percaya, cemburu, takut namun juga senang. Dia tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya dia rasakan. "Ya b

  • Babak Belur Pernikahanku   Rusak

    Hari ini akhirnya Zetha diperbolehkan pulang oleh dokter. Ayra sedang mengemas barang-barang mereka setelah mempersiapkan Zetha. Gadis cilik itu sudah terlihat segar setelah cuci muka dan berganti baju. Abrar yang selalu setia menemani Ayra menginap di rumah sakit, kini sedang mengurus administrasi. Tidak ada Willi yang bisa dia perintah untuk hal ini. Asistennya tersebut sedang menetap di kantor untuk mewakilinya. Ayra dan Abrar saat ini terlihat jauh lebih kompak dan serasi. Mereka selalu bekerja sama dan saling mengisi untuk merawat dan memenuhi kebutuhan Zetha selama di rumah sakit.Ayra juga merasa sangat terbantu dengan kehadiran Abrar. Bahkan Pak Surya dan Bu Yasmin juga menjadi lebih tenang jika harus meninggalkan Ayra di rumah sakit. Kedua orang tua itu sedang sibuk mengurus keperluan keberangkatan mereka untuk perjalanan umroh dan beberapa negara lainnya. "Sudah diberesin semua?" Abrar yang baru saja masuk langsung bertanya dengan lembut kepada Ayra. "Sudah." Ayra mengan

  • Babak Belur Pernikahanku   Keraguan

    "Mami sama papi lama banget sih. Adek mau minum, haus." Zetha langsung protes. "Iya sayang, maaf ya. Bentar mami ambilkan minumnya dulu." Ayra merasa bersalah. Dia mengambil air mineral dalam botol kemasan yang tersedia di atas nakas. Abrar juga bergerak membantu Zetha untuk duduk. Dia menarik bantal agar menjadi sandaran yang nyaman untuk bocah yang masih terlihat lemah itu. Setelah membuka tutup botolnya, Ayra segera membantu Zetha untuk minum secara perlahan. Abrar juga tetap pada posisinya menjaga tubuh Zetha di sisi yang lain. Mereka terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. Saling perhatian dan penuh kasih sayang. "Mau apa lagi sayang? Mau makan roti nggak?" Ayra menawarkan sesuatu untuk Zetha sambil merapikan anak rambut putrinya tersebut. "Mau, tapi dikit aja ya, Mi." Zetha mengangguk. "Oke. Mami suapin ya." Ayra tersenyum lalu meraih roti sobek di atas nakas. Dia mengambil secukupnya dan mulai menyuapi Zetha. Sesekali dia memberi minum agar roti tersebut denga

  • Babak Belur Pernikahanku   Kembali

    Abrar dan Ayra saling berpandangan untuk beberapa saat. Mereka sama-sama tertegun dengan perkataan masing-masing. Sama-sama masih mencerna apa yang baru saja didengar. "Aku tanya lagi, siapa yang udah menikah? Istri siapa yang kamu maksud tadi?" akhirnya Abrar yang pertama memecah keheningan diantara mereka. Mulut Ayra terbuka hendak menjawab namun langsung terhenti karena bingung dengan jawaban yang kini tidak dia yakini lagi kebenarannya. Ayra berpikir sejenak, lalu menjawab saat dia telah menemukan kata-kata yang tepat. "Bukannya kamu udah menikah? Bukannya dulu nenek yang jodohin kamu sama Leana? Bukannya itu berarti kalian udah menikah sekarang?" Ayra memberikan jawaban berupa pertanyaan. Dahi Abrar semakin berkerut mendengar prasangka Ayra. Pertanyaan itu seperti menyindir namun sepenuhnya salah. Dia harus segera meluruskannya. "Kamu dapat kabar dari mana?" Abrar bertanya dengan lembut kepada Ayra. Ayra semakin bingung. Pertanyaan Abrar kali ini seperti memberi membenarka

  • Babak Belur Pernikahanku   Janji Palsu

    "Makanannya biar aku yang pesankan. Nanti kalau udah datang kita ajak Arzha makan juga. Kasian dia." Abrar kembali berbicara karena melihat Ayra hanya diam menatapnya. "Kenapa kamu nggak pergi?" Ayra tidak menanggapi ucapan Abrar namun justru menanyakan soal hal lain. "Aku mau temani kamu disini." Abrar menjawab tulus. "Aku baik-baik aja. Aku bisa sendiri. Kamu pergi aja." tatapan Ayra berubah menjadi dingin. Bagaimanapun, Abrar telah menikah. Sangat tidak baik jika Abrar terus disini menemaninya. Itu akan menimbulkan masalah besar. Mengingat sifat Leana, wanita itu tidak akan tinggal diam jika tau tentang hal ini. Lima tahun ini hidup Ayra sudah cukup tenang. Dia tidak ingin merusak ketenangan itu. Dia tidak ingin memancing masalah yang sebenarnya tidak penting dan sangat bisa dihindari."Kenapa kamu suruh aku pergi?" kening Abrar berkerut karena perubahan sikap Ayra. Dia merasa tadi tidak ada masalah lagi diantara mereka. Semuanya baik-baik saja sampai sekarang akhirnya mereka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status