Pagi ini, Ayra telah rapi dengan pakaian semi formalnya berwarna tosca juga hijab putih yang senada dengan sepatu heelsnya. Tak lupa tas berukuran sedang berwarna abu-abu tergantung cantik di bahu sebelah kirinya. Wajahnya terlihat segar dan cantik dengan makeup tipis natural.
Hari ini Ayra berencana pergi ke kantor milik papanya untuk melamar kerja disana. Setelah berpikir matang-matang, dia yang akan mengambil pekerjaan yang sebenarnya ditawarkan papanya kepada Revan. Dia tau gaji di kantor papanya lebih besar dari gaji di kantor tempatnya bekerja sekarang. Ayra butuh uang lebih banyak untuk menjalankan rencana-rencananya ke depan. Tapi dia juga tidak ingin minta kepada kedua orang tuanya. Dia masih belum bisa menceritakan semua masalahnya kepada siapapun kecuali Nesya. Setelah memastikan sudah mengunci rapat semua pintu dan gerbang rumahnya, Ayra berangkat mengendarai motor yang biasa dipakai Revan. Semalam, mobilnya dibawa pergi oleh Revan begitu saja. Sesampainya di kantor papanya, Ayra menuju ke ruang HRD dan ikut mengantri untuk interview bersama dengan para pelamar lain. Dia duduk dengan tenang menunggu namanya dipanggil, memainkan ponselnya dan melihat foto-foto kedua anaknya. Ayra sudah merasa sangat rindu pada mereka. Baru pagi ini dia tidak menyiapkan sarapan dan mengurus kedua anaknya seperti biasa. Dia merasakan ada yang kosong di dalam hatinya. Tak beberapa lama, Ayra berdiri mendengar namanya dipanggil. Dia berjalan dengan tenang memasuki ruang HRD yang tidak asing untuknya. Dulu dia sering ikut papanya ke kantor, berjalan-jalan dan bermain ke semua ruangan di dalam gedung ini. Ayra mengetuk pintu. Begitu dipersilahkan, dia membuka pintu perlahan lalu masuk dan menganggukan kepala pada manager HRD yang duduk di balik meja kerjanya. Ayra mengucap salam dengan sopan. "Selamat pagi, Pak." setelah menutup pintu dia berjalan mendekat ke meja kerja manager HRD yang dikenalnya. Dia tersenyum. "Silahkan duduk, Mbak Ayra." Pak Toni, manager HRD yang sudah lama bekerja di kantor Pak Surya jelas sangat mengenal Ayra. Dia merasa canggung dan aneh harus menginterview anak bosnya sendiri. "Terima kasih." "Mbak Ayra ada apa ikut melamar disini? Apa Pak Surya tahu?" Pak Toni langsung bertanya. "Tidak, Pak. Saya memang ingin melamar untuk lowongan yang tersedia. Papa sama sekali gak tau." "Tapi, maaf, barusan saya sudah mengirimkan pesan pada Pak Surya untuk menanyakan hal ini. Saya takut ada kesalahan." Pak Toni menautkan kedua tangannya menatap khawatir kepada Ayra. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba ponsel Ayra berdering. "Maaf Pak." Ayra melihat layar ponselnya yang menampilkan nama papanya disana. Dia menunjukkan itu kepada Pak Toni di depannya. "Orangnya panjang umur." Mereka tersenyum bersamaan. "Assalamu'alaikum, Pa." Ayra langsung menerima panggilan papanya. "Wa'alaikumsalam, Nak. Kamu sedang melamar di kantor Papa? Kenapa bukan Revan? Bukannya kamu bilang kamu mencarikan pekerjaan untuk Revan?" Pak Surya langsung mengajukan pertanyaan beruntun pada Ayra. "Gak papa, Pa. Ayra ingin kerja disini. Tertarik sama gajinya. Mas Revan bilang dia sudah dapat tawaran kerja dari temannya." Ayra berbohong. "Kenapa kamu gak bilang ke Papa. Biar Papa suruh atur untuk langsung tempatkan kamu di posisi yang cocok." "Enggak, Pa, jangan. Ayra mau begini saja. Melamar sesuai jalannya seperti pelamar yang lain. Gak perlu seperti itu. Biarkan Pak Toni menempatkan Ayra sesuai dengan lowongan yang ditawarkan." "Kamu ini masih aja keras kepala. Ya sudah kalau begitu apa katamu saja. Tapi ingat, kamu serius ya. Jangan kecewakan Papa. Kalau ada apa-apa atau ada yang buat kamu kesusahan, minta tolong Pak Toni atau yang lainnya." Pak Surya akhirnya pasrah dengan kemauan putrinya. "Siap, Pak Bos." Ayra memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah melihat Pak Surya sudah mematikan telponnya. Ayra kembali menatap ke arah Pak Toni yang semakin canggung. Pak Toni bingung akan menempatkan Ayra di posisi mana. Bagaimanapun Ayra adalah anak bosnya. Kalau sampai ada kesalahan, dia pasti dimintai pertanggung jawaban oleh Pak Surya. Memikirkan itu dia pusing sendiri. "Jujur saya bingung mau kasih Mbak Ayra posisi apa. Mbak Ayra sendiri mau dimana? Biar saya aturkan saja." Pak Toni akhirnya meminta Ayra memilih sendiri. "Pak Toni jangan begitu. Jalankan saja tugas Pak Toni sebagai HRD seperti biasa. Di CV yang saya buat itu, Pak Toni bisa lihat saya melamar ke bagian apa, saya lulusan apa dan pengalaman kerjanya apa. Jadi Pak Toni bisa memutuskan dari sana saja." Ayra tetap berbicara dengan sopan. "Ya sudah, Mbak Ayra bisa bekerja mulai besok dan saya akan hubungi lagi nanti soal posisi yang akan Mbak Ayra tempati." Pak Toni akhirnya memutuskan. Dia berdiri mengulurkan tangan sebagai tanda selamat kepada Ayra. "Baik, Pak, terima kasih." Ayra menyambut uluran tangan Pak Toni dan langsung berpamitan. Keluar dari kantor papanya, Ayra melihat sebentar lagi adalah jam pulang sekolah kedua anaknya. Dia memilih langsung pergi kesana agar bertemu dengan mereka. Sesampainya di sekolah Arzha dan Zetha, kebetulan sekali tepat saat bel pulang berbunyi. Segerombolan murid langsung terlihat keluar dari pintu pagar dengan rapi. Ayra mendekat ke arah gerbang dan mencari-cari keberadaan kedua anaknya. Dia menunggu dengan cemas. Sekitar tiga menit kemudian, Ayra akhirnya melihat kedua anaknya sedang berjalan bersama. Dia tersenyum haru dan segera melambaikan tangan. "Arzha. Zetha." Ayra sedikit berteriak agar terdengar oleh mereka sambil terus melambai-lambaikan tangannya. "Mamiiii!" Zetha yang melihat Ayra langsung berteriak dan berlari ke arah ibunya. Arzha juga mengikuti lari adiknya. Mereka langsung memeluk Ayra dan tertawa gembira. Ayra menciumi kedua anaknya bergantian. Dia mengajak mereka untuk mencari tempat yang teduh dan nyaman untuk mengobrol. Ayra juga menawarkan beberapa makanan untuk dibeli dan dibawa pulang. Dia terus saja memeluk anak-anaknya seakan takut berjauhan lagi. Terlihat Mbak Fujia berjalan menghampiri mereka. Wanita itu juga baru datang untuk menjemput Arzha dan Zetha. "Ayra. Kamu gak kerja?" "Kerja kok Mbak, lagi istirahat jadi aku sempetin keluar. Aku kangen anak-anak." Ayra berbohong. Dia tidak mau keluarga Revan tahu bahwa dia sudah bekerja di kantor papanya. "Ya sudah. Biar mereka Mbak bawa ya, soalnya Mbak juga mau jemput Aline dan Icha." "Iya Mbak." Ayra beralih melihat Arzha dan Zetha yang masih asik makan es krim mereka. "Kakak sama adek ikut Tante Fujia ya. Mami mau kerja lagi." Ayra memberi pengertian. "Gak mau. Adek mau pulang." Zetha merengek memeluk Ayra. "Mami masih harus kerja, Sayang. Ikut Tante dulu ya." Ayra membelai lembut rambut putrinya. "Tapi nanti Mami jemput ya kalo sudah pulang kerja." Arzha memberi syarat. "Iya nanti ya." Ayra memeluk dan menciumi Arzha dan Zetha bergantian. Dalam hatinya berjanji secepatnya akan membawa mereka kembali padanya dan tidak akan terpisah lagi. "Dadah, Mami." Arzha dan Zetha melambaikan tangan kepada Ayra sambil berjalan menjauh mengikuti langkah Mbak Fujia. Ayra tersenyum melambai-lambaikan tangannya. Lalu mengusap air matanya yang tak terasa jatuh melihat kepergian kedua anaknya. Tiba-tiba ada sebuah tangan memegang selembar tisu terulur di depan wajah Ayra. "Butuh ini?" Ayra kaget dan menoleh ke suara yang tak asing di sampingnya. "Abrar."Abrar tertegun mendengar kalimat Ayra. Matanya dipenuhi embun yang siap menetes kapan saja. Namun dia melihat tak ada keraguan dalam raut wajah perempuan di hadapannya itu. Jadi keputusan yang sudah terucap, jelas sudah dipikirkan selama beberapa jam saat Ayra menghilang. Abrar menunduk menyembunyikan tetesan air mata yang lolos meluncur di permukaan pipi. Punggung tangannya menghapus jejak tersebut dengan tergesa. Hilang sudah harapannya. Habis sudah kesempatannya.Ayra. Wanita yang sudah bertahun-tahun dicintainya, hanya bisa dia miliki dalam waktu sekejap saja. Wanita yang posisi di hati belum pernah tergoyah setelah sekian lama, justru kecewa karena sikapnya. Abrar merasa menjadi orang paling bodoh sedunia. Menjadi orang yang sangat rugi dan tidak berguna. Kebohongan kecil yang dia pikir hanya untuk sementara, namun ternyata begitu fatal untuk Ayra yang memang mempunyai bekas luka yang masih basah. Iya. Dia lupa. Ayra mempunyai bekas luka yang teramat besar dan dalam. Ayra memp
Jam tujuh malam Ayra baru terbangun dari tidurnya. Dia melihat langit-langit kamar hotel yang dia tempati. Saat menoleh ke arah jendela dan tau langit di luar telah gelap, dia teringat dengan Arzha dan Zetha. Ayra duduk dan meraih tas jinjing yang ia letakkan di atas nakas. Dia mencari ponselnya. Dia telah membisukan ponsel tersebut sejak masuk ke dalam hotel. Ternyata sudah ada puluhan pesan dan panggilan masuk.Ayra memilih untuk menelepon nomor mamanya. Tak menunggu lama, panggilan tersebut langsung tersambung."Halo ma, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Ya Allah kamu dimana, Nak? Semua orang lagi khawatir dan cariin kamu. Kenapa sampai malam begini belum pulang?" Bu Yasmin langsung mengomel karena khawatir. "Ayra. Kamu dimana, Nak? Kamu baik-baik aja?" kali ini suara Pak Surya juga terdengar sangat khawatir. "Aku baik-baik aja kok, Ma, Pa. Maaf ya udah buat mama dan papa khawatir. Aku ketiduran." Ayra merasa bersalah setelah mendengar kekhawatiran kedua orang tuanya. "Ketid
"Apa kamu sudah pikirkan baik-baik tentang nasehat nenek beberapa waktu lalu?" Nenek Wanda menatap Abrar yang telah selesai mengupas buah pir. "Aku mau semuanya mengalir saja dulu nek. Kalau memang sudah sampai pada waktunya, hal itu akan jelas akan mengarah kemana." Abrar meletakkan buah pir dan pisau kembali ke tempatnya. Dia sama sekali tidak ingin memakan itu. "Gimana kalau nenek menyarankan itu untuk Leana? Kalian saling mengenal saja dulu dengan pelan-pelan, biarkan saja mengalir. Kalau sudah sampai pada waktunya, barulah bisa memutuskan." perkataan Nenek Wanda cukup tegas. "Kamu paham betul, dengan Leana nggak akan serumit dengan Ayra. Kalau cocok, nggak ada yang perlu berkorban. Dan kalau memang nggak cocok, yasudah hanya kalian berdua yang akan sakit, tidak melibatkan yang lain. Kamu pasti paham kan apa maksud nenek?" Abrar tertegun. Dalam hatinya, dia membenarkan semua perkataan Nenek Wanda. Namun otaknya menolak untuk menuruti itu. Tanpa mereka sadari, seseorang yan
Setelah mengantar Tania masuk ke dalam mobil polisi yang akan mengantarnya kembali ke rumah sakit, Ayra dan Nesya langsung berjalan ke arah mobil masing-masing. Mereka sepakat berpisah dan melanjutkan kesibukan masing-masing. Ayra hendak pergi ke kantor. Belum tengah hari, lumayan untuk memanfaatkan waktu memeriksa laporan keuangan hari kemarin. Namun langkah mereka terhenti saat Abrar tiba-tiba menghadang tepat di hadapan Ayra. Nesya melihat suasana canggung di antara mereka berdua hingga segera memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. "Aku duluan ya beb." Nesya melirik ke arah Ayra dan Abrar secara bergantian. "I-iya beb. Hati-hati ya." Ayra menoleh dan tersenyum kikuk kepada Nesya. Dia juga merasakan hawa canggung di sekitarnya. "Oke." Nesya segera melangkah pergi menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari situ. Setelah Nesya pergi, Ayra dan Abrar kembali saling bertatapan. Abrar merasa sikap Ayra sedikit dingin kepadanya. Namun di sisi lain, dia takut perubahan sika
Hari ini jadwal persidangan kasus Tania dilaksanakan. Seorang polisi wanita menjemput Tania di kamar perawatan rumah sakit untuk membawanya ke pengadilan negeri Kota Lumia menggunakan mobil polisi.Tania sudah selesai bersiap sejak setengah jam yang lalu. Dibantu oleh suster pribadinya, Tania duduk di kursi roda hingga naik ke mobil. Suster itu juga akan menemani dan mengurus kebutuhan Tania di ruang persidangan.Sesampainya di kantor pengadilan, terlihat Nesya dan Ayra sudah menunggu Tania dengan khawatir. Tapi begitu melihat gadis itu turun dari mobil polisi, mereka berdua merasa lega dan berusaha menunjukkan wajah ceria agar membuat Tania lebih rileks. Para wartawan menyambut dan langsung mengelilingi Tania dengan rapat. Mereka sangat bersemangat mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk Tania. Untungnya, para pengawal yang sudah disiapkan oleh Abrar, dengan sigap mengatur kerumunan itu dan memasang badan agar Tania bisa masuk ke dalam area tunggu ruang sidang dengan aman. Suster me
Abrar melemparkan kembali map hitam itu ke tengah meja dengan kasar. Matanya semakin tajam menatap Leana. Dia sadar sekarang gadis licik ini tidak bisa dianggap remeh.Dari awal bertemu, Abrar sudah bisa menilai Leana dan keluarganya punya maksud tersembunyi. Namun karena mereka kenal baik dengan neneknya, Abrar mengabaikan dan memilih tidak terlalu peduli. "Apa ini? Kamu pikir aku percaya dengan lembaran kertas nggak bermutu ini?" nada bicara Abrar terdengar semakin dingin dibanding sebelumnya. "Kamu bisa cek dan tanya ke dokter yang bertanda tangan disitu. Aku yakin seorang Abrar nggak akan susah bikin orang bicara jujur." Leana tetap mempertahankan senyuman percaya dirinya. "Meskipun itu bener, lalu apa urusannya sama kamu?"Leana tidak menjawab. Dia justru mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah rekaman suara dengan volume paling keras."Nenek kenapa ke rumah sakit sendiri? Abrar kemana nek?"Itu suara Leana. "Dia lagi kerja. Aku nggak mau ganggu, dia sudah capek ngurus peru