Share

Kebetulan

Author: Ayri Aster
last update Last Updated: 2025-06-16 08:13:06

Pagi ini, Ayra telah rapi dengan pakaian semi formalnya berwarna tosca juga hijab putih yang senada dengan sepatu heelsnya. Tak lupa tas berukuran sedang berwarna abu-abu tergantung cantik di bahu sebelah kirinya. Wajahnya terlihat segar dan cantik dengan makeup tipis natural.

Hari ini Ayra berencana pergi ke kantor milik papanya untuk melamar kerja disana. Setelah berpikir matang-matang, dia yang akan mengambil pekerjaan yang sebenarnya ditawarkan papanya kepada Revan.

Dia tau gaji di kantor papanya lebih besar dari gaji di kantor tempatnya bekerja sekarang. Ayra butuh uang lebih banyak untuk menjalankan rencana-rencananya ke depan. Tapi dia juga tidak ingin minta kepada kedua orang tuanya. Dia masih belum bisa menceritakan semua masalahnya kepada siapapun kecuali Nesya.

Setelah memastikan sudah mengunci rapat semua pintu dan gerbang rumahnya, Ayra berangkat mengendarai motor yang biasa dipakai Revan. Semalam, mobilnya dibawa pergi oleh Revan begitu saja.

Sesampainya di kantor papanya, Ayra menuju ke ruang HRD dan ikut mengantri untuk interview bersama dengan para pelamar lain. Dia duduk dengan tenang menunggu namanya dipanggil, memainkan ponselnya dan melihat foto-foto kedua anaknya.

Ayra sudah merasa sangat rindu pada mereka. Baru pagi ini dia tidak menyiapkan sarapan dan mengurus kedua anaknya seperti biasa. Dia merasakan ada yang kosong di dalam hatinya.

Tak beberapa lama, Ayra berdiri mendengar namanya dipanggil. Dia berjalan dengan tenang memasuki ruang HRD yang tidak asing untuknya. Dulu dia sering ikut papanya ke kantor, berjalan-jalan dan bermain ke semua ruangan di dalam gedung ini.

Ayra mengetuk pintu. Begitu dipersilahkan, dia membuka pintu perlahan lalu masuk dan menganggukan kepala pada manager HRD yang duduk di balik meja kerjanya. Ayra mengucap salam dengan sopan.

"Selamat pagi, Pak." setelah menutup pintu dia berjalan mendekat ke meja kerja manager HRD yang dikenalnya. Dia tersenyum.

"Silahkan duduk, Mbak Ayra." Pak Toni, manager HRD yang sudah lama bekerja di kantor Pak Surya jelas sangat mengenal Ayra. Dia merasa canggung dan aneh harus menginterview anak bosnya sendiri.

"Terima kasih."

"Mbak Ayra ada apa ikut melamar disini? Apa Pak Surya tahu?" Pak Toni langsung bertanya.

"Tidak, Pak. Saya memang ingin melamar untuk lowongan yang tersedia. Papa sama sekali gak tau."

"Tapi, maaf, barusan saya sudah mengirimkan pesan pada Pak Surya untuk menanyakan hal ini. Saya takut ada kesalahan." Pak Toni menautkan kedua tangannya menatap khawatir kepada Ayra.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba ponsel Ayra berdering. "Maaf Pak." Ayra melihat layar ponselnya yang menampilkan nama papanya disana. Dia menunjukkan itu kepada Pak Toni di depannya. "Orangnya panjang umur." Mereka tersenyum bersamaan.

"Assalamu'alaikum, Pa." Ayra langsung menerima panggilan papanya.

"Wa'alaikumsalam, Nak. Kamu sedang melamar di kantor Papa? Kenapa bukan Revan? Bukannya kamu bilang kamu mencarikan pekerjaan untuk Revan?" Pak Surya langsung mengajukan pertanyaan beruntun pada Ayra.

"Gak papa, Pa. Ayra ingin kerja disini. Tertarik sama gajinya. Mas Revan bilang dia sudah dapat tawaran kerja dari temannya." Ayra berbohong.

"Kenapa kamu gak bilang ke Papa. Biar Papa suruh atur untuk langsung tempatkan kamu di posisi yang cocok."

"Enggak, Pa, jangan. Ayra mau begini saja. Melamar sesuai jalannya seperti pelamar yang lain. Gak perlu seperti itu. Biarkan Pak Toni menempatkan Ayra sesuai dengan lowongan yang ditawarkan."

"Kamu ini masih aja keras kepala. Ya sudah kalau begitu apa katamu saja. Tapi ingat, kamu serius ya. Jangan kecewakan Papa. Kalau ada apa-apa atau ada yang buat kamu kesusahan, minta tolong Pak Toni atau yang lainnya." Pak Surya akhirnya pasrah dengan kemauan putrinya.

"Siap, Pak Bos." Ayra memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah melihat Pak Surya sudah mematikan telponnya.

Ayra kembali menatap ke arah Pak Toni yang semakin canggung. Pak Toni bingung akan menempatkan Ayra di posisi mana. Bagaimanapun Ayra adalah anak bosnya. Kalau sampai ada kesalahan, dia pasti dimintai pertanggung jawaban oleh Pak Surya. Memikirkan itu dia pusing sendiri.

"Jujur saya bingung mau kasih Mbak Ayra posisi apa. Mbak Ayra sendiri mau dimana? Biar saya aturkan saja." Pak Toni akhirnya meminta Ayra memilih sendiri.

"Pak Toni jangan begitu. Jalankan saja tugas Pak Toni sebagai HRD seperti biasa. Di CV yang saya buat itu, Pak Toni bisa lihat saya melamar ke bagian apa, saya lulusan apa dan pengalaman kerjanya apa. Jadi Pak Toni bisa memutuskan dari sana saja." Ayra tetap berbicara dengan sopan.

"Ya sudah, Mbak Ayra bisa bekerja mulai besok dan saya akan hubungi lagi nanti soal posisi yang akan Mbak Ayra tempati." Pak Toni akhirnya memutuskan. Dia berdiri mengulurkan tangan sebagai tanda selamat kepada Ayra.

"Baik, Pak, terima kasih." Ayra menyambut uluran tangan Pak Toni dan langsung berpamitan.

Keluar dari kantor papanya, Ayra melihat sebentar lagi adalah jam pulang sekolah kedua anaknya. Dia memilih langsung pergi kesana agar bertemu dengan mereka.

Sesampainya di sekolah Arzha dan Zetha, kebetulan sekali tepat saat bel pulang berbunyi. Segerombolan murid langsung terlihat keluar dari pintu pagar dengan rapi. Ayra mendekat ke arah gerbang dan mencari-cari keberadaan kedua anaknya. Dia menunggu dengan cemas.

Sekitar tiga menit kemudian, Ayra akhirnya melihat kedua anaknya sedang berjalan bersama. Dia tersenyum haru dan segera melambaikan tangan.

"Arzha. Zetha." Ayra sedikit berteriak agar terdengar oleh mereka sambil terus melambai-lambaikan tangannya.

"Mamiiii!" Zetha yang melihat Ayra langsung berteriak dan berlari ke arah ibunya. Arzha juga mengikuti lari adiknya. Mereka langsung memeluk Ayra dan tertawa gembira.

Ayra menciumi kedua anaknya bergantian. Dia mengajak mereka untuk mencari tempat yang teduh dan nyaman untuk mengobrol. Ayra juga menawarkan beberapa makanan untuk dibeli dan dibawa pulang. Dia terus saja memeluk anak-anaknya seakan takut berjauhan lagi.

Terlihat Mbak Fujia berjalan menghampiri mereka. Wanita itu juga baru datang untuk menjemput Arzha dan Zetha.

"Ayra. Kamu gak kerja?"

"Kerja kok Mbak, lagi istirahat jadi aku sempetin keluar. Aku kangen anak-anak." Ayra berbohong. Dia tidak mau keluarga Revan tahu bahwa dia sudah bekerja di kantor papanya.

"Ya sudah. Biar mereka Mbak bawa ya, soalnya Mbak juga mau jemput Aline dan Icha."

"Iya Mbak." Ayra beralih melihat Arzha dan Zetha yang masih asik makan es krim mereka. "Kakak sama adek ikut Tante Fujia ya. Mami mau kerja lagi." Ayra memberi pengertian.

"Gak mau. Adek mau pulang." Zetha merengek memeluk Ayra.

"Mami masih harus kerja, Sayang. Ikut Tante dulu ya." Ayra membelai lembut rambut putrinya.

"Tapi nanti Mami jemput ya kalo sudah pulang kerja." Arzha memberi syarat.

"Iya nanti ya." Ayra memeluk dan menciumi Arzha dan Zetha bergantian. Dalam hatinya berjanji secepatnya akan membawa mereka kembali padanya dan tidak akan terpisah lagi.

"Dadah, Mami." Arzha dan Zetha melambaikan tangan kepada Ayra sambil berjalan menjauh mengikuti langkah Mbak Fujia.

Ayra tersenyum melambai-lambaikan tangannya. Lalu mengusap air matanya yang tak terasa jatuh melihat kepergian kedua anaknya.

Tiba-tiba ada sebuah tangan memegang selembar tisu terulur di depan wajah Ayra. "Butuh ini?"

Ayra kaget dan menoleh ke suara yang tak asing di sampingnya. "Abrar."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Babak Belur Pernikahanku   Mengobrol

    Abrar telah pulang sekitar setengah jam yang lalu. Ayra juga baru saja selesai menemani Arzha dan Zetha tidur. Kini tinggal dirinya sendiri yang masih terjaga. Waktu menunjukkan masih pukul sepuluh. Karena belum merasakan kantuk sama sekali, Ayra bingung hendak melakukan apa. Hingga akhirnya dia berpikir untuk memakai lulur badan dan masker wajah saja. Dia mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi. Ayra melumuri dan memijat lembut seluruh badannya dengan lulur beraroma bunga sakura. Dia juga memasang masker pada wajahnya yang sudah dia bersihkan dengan air hangat sebelumnya. Ayra mengambil buku bacaan dan mulai fokus membaca sambil menunggu lulur dan maskernya meresap. Dia selalu menikmati momen quality time untuk dirinya sendiri seperti ini. Rutinitas harian yang melelahkan dan pekerjaan yang menyita pikiran, memang membutuhkan hal-hal yang bisa membuat rileks agar tidur menjadi lebih nyaman dan nyenyak. Tak terasa dua puluh menit berlalu. Ayra beranjak dan melepas maskernya

  • Babak Belur Pernikahanku   Gosip

    Ayra memberi Abrar tatapan yang sangat tajam dan penuh kecurigaan. Dia cukup familiar dengan suara gadis yang didengarnya barusan. Apalagi posisi gadis tersebut sedang berada di rumah Abrar bersama dengan Nenek Wanda. "Aku tau apa yang sedang kamu pikirin. Dan aku bisa pastiin ini semua nggak seperti yang ada di dalam pikiranmu." Abrar terlebih dahulu berkata dengan sangat hati-hati. "Emang apa yang aku pikirin?" mata Ayra semakin tajam. "A-aku beneran nggak tau ataupun sama sekali nggak janjian sama mereka. Beberapa hari ini mereka berkali-kali datang ke kantor tapi emang sengaja aku tolak. Aku sama sekali nggak pernah ketemu lagi sama cewek itu sejak aku pergi keluar negeri lima tahun lalu."Sorot mata Abrar terlihat jujur namun was-was. Nada suaranya juga pelan dan penuh kehati-hatian. "Terus?" Ayra sengaja terus menekan. Dalam hatinya banyak rasa berkecamuk. Ada curiga, percaya, cemburu, takut namun juga senang. Dia tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya dia rasakan. "Ya b

  • Babak Belur Pernikahanku   Rusak

    Hari ini akhirnya Zetha diperbolehkan pulang oleh dokter. Ayra sedang mengemas barang-barang mereka setelah mempersiapkan Zetha. Gadis cilik itu sudah terlihat segar setelah cuci muka dan berganti baju. Abrar yang selalu setia menemani Ayra menginap di rumah sakit, kini sedang mengurus administrasi. Tidak ada Willi yang bisa dia perintah untuk hal ini. Asistennya tersebut sedang menetap di kantor untuk mewakilinya. Ayra dan Abrar saat ini terlihat jauh lebih kompak dan serasi. Mereka selalu bekerja sama dan saling mengisi untuk merawat dan memenuhi kebutuhan Zetha selama di rumah sakit.Ayra juga merasa sangat terbantu dengan kehadiran Abrar. Bahkan Pak Surya dan Bu Yasmin juga menjadi lebih tenang jika harus meninggalkan Ayra di rumah sakit. Kedua orang tua itu sedang sibuk mengurus keperluan keberangkatan mereka untuk perjalanan umroh dan beberapa negara lainnya. "Sudah diberesin semua?" Abrar yang baru saja masuk langsung bertanya dengan lembut kepada Ayra. "Sudah." Ayra mengan

  • Babak Belur Pernikahanku   Keraguan

    "Mami sama papi lama banget sih. Adek mau minum, haus." Zetha langsung protes. "Iya sayang, maaf ya. Bentar mami ambilkan minumnya dulu." Ayra merasa bersalah. Dia mengambil air mineral dalam botol kemasan yang tersedia di atas nakas. Abrar juga bergerak membantu Zetha untuk duduk. Dia menarik bantal agar menjadi sandaran yang nyaman untuk bocah yang masih terlihat lemah itu. Setelah membuka tutup botolnya, Ayra segera membantu Zetha untuk minum secara perlahan. Abrar juga tetap pada posisinya menjaga tubuh Zetha di sisi yang lain. Mereka terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. Saling perhatian dan penuh kasih sayang. "Mau apa lagi sayang? Mau makan roti nggak?" Ayra menawarkan sesuatu untuk Zetha sambil merapikan anak rambut putrinya tersebut. "Mau, tapi dikit aja ya, Mi." Zetha mengangguk. "Oke. Mami suapin ya." Ayra tersenyum lalu meraih roti sobek di atas nakas. Dia mengambil secukupnya dan mulai menyuapi Zetha. Sesekali dia memberi minum agar roti tersebut denga

  • Babak Belur Pernikahanku   Kembali

    Abrar dan Ayra saling berpandangan untuk beberapa saat. Mereka sama-sama tertegun dengan perkataan masing-masing. Sama-sama masih mencerna apa yang baru saja didengar. "Aku tanya lagi, siapa yang udah menikah? Istri siapa yang kamu maksud tadi?" akhirnya Abrar yang pertama memecah keheningan diantara mereka. Mulut Ayra terbuka hendak menjawab namun langsung terhenti karena bingung dengan jawaban yang kini tidak dia yakini lagi kebenarannya. Ayra berpikir sejenak, lalu menjawab saat dia telah menemukan kata-kata yang tepat. "Bukannya kamu udah menikah? Bukannya dulu nenek yang jodohin kamu sama Leana? Bukannya itu berarti kalian udah menikah sekarang?" Ayra memberikan jawaban berupa pertanyaan. Dahi Abrar semakin berkerut mendengar prasangka Ayra. Pertanyaan itu seperti menyindir namun sepenuhnya salah. Dia harus segera meluruskannya. "Kamu dapat kabar dari mana?" Abrar bertanya dengan lembut kepada Ayra. Ayra semakin bingung. Pertanyaan Abrar kali ini seperti memberi membenarka

  • Babak Belur Pernikahanku   Janji Palsu

    "Makanannya biar aku yang pesankan. Nanti kalau udah datang kita ajak Arzha makan juga. Kasian dia." Abrar kembali berbicara karena melihat Ayra hanya diam menatapnya. "Kenapa kamu nggak pergi?" Ayra tidak menanggapi ucapan Abrar namun justru menanyakan soal hal lain. "Aku mau temani kamu disini." Abrar menjawab tulus. "Aku baik-baik aja. Aku bisa sendiri. Kamu pergi aja." tatapan Ayra berubah menjadi dingin. Bagaimanapun, Abrar telah menikah. Sangat tidak baik jika Abrar terus disini menemaninya. Itu akan menimbulkan masalah besar. Mengingat sifat Leana, wanita itu tidak akan tinggal diam jika tau tentang hal ini. Lima tahun ini hidup Ayra sudah cukup tenang. Dia tidak ingin merusak ketenangan itu. Dia tidak ingin memancing masalah yang sebenarnya tidak penting dan sangat bisa dihindari."Kenapa kamu suruh aku pergi?" kening Abrar berkerut karena perubahan sikap Ayra. Dia merasa tadi tidak ada masalah lagi diantara mereka. Semuanya baik-baik saja sampai sekarang akhirnya mereka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status