Keesokan harinya, Ayra tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Setelah semua pekerjaan rumah beres dan kedua anaknya juga sudah selesai dengan sarapan masing-masing, Ayra meninggalkan uang jajan Revan di meja makan. Seperti biasa, suaminya itu belum bangun.
Lalu, dia mengantarkan Arzha dan Zetha ke sekolah sebelum berangkat ke kantornya. Semua kebiasaan itu sudah sangat lama dia lakukan. Dan saat ini akhirnya dia sadar, dia menjalani rumah tangganya sendirian. Sesampainya di kantor, Ayra mengerjakan tugas-tugasnya seperti biasa. Dia larut dalam tumpukan map dan tulisan angka-angka di atas meja kerjanya. Melupakan sejenak masalah pelik yang sedang dihadapinya. Beranjak siang, ponselnya berdering. Ayra yang sedang fokus mengetik laporan, melirik sekilas ke layar ponsel. Nama papanya tertera di sana. Ayra langsung menggeser tombol hijau dan menyapa riang. "Halo, Papa. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam, Nak. Kamu lagi di kantor ya?" "Iya, Pa. Ada apa? Tumben jam segini kangen sama aku?" Ayra tersenyum menggoda papanya. "Papa sama Mama tiap hari, tiap waktu juga kangen sama kamu. Tapi kamu yang sibuk terus sampai gak ada waktu buat mampir sebentar aja ke rumah." Pak Surya langsung menanggapi dengan nada protes. "Hehe, maaf Papa. Weekend ini deh Ayra kesana sama anak-anak ya. Trus Papa nelpon sekarang cuma mau protes soal ini?" "Jangan kegeeran kamu ya. Papa mau kasih tau ada lowongan di kantor papa. Kapan hari kamu kan minta lowongan untuk Revan. Nah, kebetulan kita mau ada proyek besar kerjasama dengan perusahaan Bimantara, jadi saat ini buka beberapa lowongan untuk mengisi posisi yang kosong." Ayra diam mendengarkan penjelasan papanya. Dia memikirkan Revan yang saat ini sebenarnya akan menjadi mantan suaminya. Tapi dia tidak bisa menjelaskan semua hal itu kepada orang tuanya sekarang. "Oke Pa, nanti Ayra bilang ke Mas Revan ya. Makasih banyak ya, Pa." Ayra tersenyum tulus mengingat banyak perhatian dan bantuan kedua orang tuanya. Meski Ayra tidak pernah bercerita soal masalah rumah tangganya, selalu menutupi sifat-sifat jelek Revan. Tetapi kedua orang tuanya seakan mengerti dan selalu datang disaat dia butuh bantuan. "Ya sudah, Papa cuma mau bilang itu. Kamu baik-baik ya kerjanya. Jangan lupa makan. Papa juga mau lanjutkan kerjaan Papa. Assalamu'alaikum, Nak." Pak Surya memberi nasehat untuk putri sulungnya. "Siap, Pak Bos. Wa'alaikumsalam." Panggilan pun diakhiri oleh Pak Surya. Hati Ayra menghangat menerima perhatian dari papanya yang tidak pernah berubah. Sore ini, pekerjaan Ayra masih menumpuk. Dia berniat lembur untuk menyelesaikan beberapa diantaranya, agar besok pagi tidak terlalu banyak pekerjaan menantinya. Dia menyempatkan diri untuk menelpon mertuanya dan menanyakan keadaan kedua anaknya. Energinya seperti langsung terisi begitu mendengar suara celotehan kedua anaknya. Sedikit rasa sesal terbesit mengingat keadaan rumah tangganya yang akan segera berakhir. Dia gagal menciptakan rumah yang nyaman untuk mereka. Setelah menutup telponnya, Ayra langsung fokus lagi ke pekerjaannya. Semua orang di divisi keuangan sudah pulang kecuali dirinya. Sedangkan hiruk pikuk masih terdengar di bagian resepsionis, restoran, dan kitchen yang memang melayani tamu hotel selama 24 jam penuh. Ayra menyandarkan punggung dan menarik otot-ototnya yang kaku ketika sudah menyelesaikan pekerjaannya. Menatap jam dinding yang menunjukkan waktu sudah lewat dari jam 7 malam. Dia menghabiskan sisa kopi yang mulai dingin lalu merapikan meja kerjanya dan bersiap untuk pulang. Melihat layar ponselnya yang menampilkan beberapa pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari Revan, dia langsung mengetik balasan dan menyertakan foto komputer kerjanya yang masih menyala. Ayra masih berencana untuk mampir ke toko alat elektronik terlebih dahulu untuk membeli beberapa kamera pengawas. Dia diam-diam akan memasang beberapa kamera di sudut rumahnya untuk keperluan urusan perceraian yang akan diajukannya. Meski akhirnya harus mengeluarkan uang tabungan yang dia sembunyikan dari Revan, dia tidak peduli. Yang terpenting adalah urusannya segera selesai dan dia dapat melanjutkan hidup bersama kedua anaknya dengan tenang. Ayra mengendarai mobilnya perlahan melewati jalanan yang cukup padat. Sampai di toko tujuannya, Ayra melihat area parkir yang penuh dan terpaksa memarkirkan mobilnya di seberang jalan. Cukup lama Ayra memilih dan mendengarkan penjelasan karyawan toko soal fungsi, perbedaan dan kualitas beberapa macam kamera yang ditunjuknya. Sampai akhirnya, Ayra memilih jenis kamera yang berukuran kecil dan membeli beberapa sesuai kebutuhannya. Setelah membayar harga yang lumayan mahal dan mengorek uang tabungannya, Ayra tersenyum puas karena kamera yang dipilihnya sangat sesuai dengan keinginannya. Dia pun berniat langsung pulang karena hari sudah cukup malam. Dia khawatir pada kedua anaknya. Tak disangka, saat baru maju hendak menyeberang, ada sebuah mobil mewah dengan kecepatan sedang muncul dari arah kiri. Ayra dan pengendara mobil tersebut sama-sama terkejut dan tidak bisa menghindar. Tubuh Ayra terserempet. Ayra memekik dan terjatuh ke aspal. Tangan kirinya terkilir karena reflek menahan bobot tubuhnya. Ayra meringis merasakan nyeri. Beruntung tidak ada luka yang parah, hanya beberapa lecet di tubuh bagian kirinya akibat terjatuh. Mobil yang menyerempetnya langsung berhenti dan orang yang mengemudikannya keluar untuk melihat keadaan Ayra. Beberapa orang juga menghampiri hendak menolong Ayra. "Maaf, Bu. Mari saya antar ke rumah sakit." Seorang laki-laki muda menawarkan bantuan. Dia adalah pengendara mobil tersebut. "Gak perlu Pak. Saya bawa mobil sendiri." Ayra berdiri dibantu orang yang menolongnya. "Aww!" Ayra meringis merasakan sakit di tangannya. Tiba-tiba sepasang tangan kekar meraih tubuh kecil Ayra dan menggendongnya. Ayra menjerit kaget tapi tangannya spontan melingkar di leher orang itu takut terjatuh lagi. Dia menatap wajah di depannya. "Abrar?" "Ke rumah sakit dulu biar diperiksa. Mobilmu biar dibawa asistenku." Abrar menuju mobilnya dan meletakkan bobot tubuh Ayra di kursi sebelah kemudi. Ayra hanya diam patuh menuruti perkataan Abrar. Di UGD rumah sakit. Setelah diperiksa dan ternyata tidak ada luka serius, Abrar bisa bernafas lega. Dia memberikan obat-obatan yang baru saja ditebusnya kepada Ayra. "Aku harus pulang." Ayra berdiri dan hendak melangkah ke pintu. "Aku antar." Abrar juga berdiri mengikutinya. "Gak perlu. Aku masih bisa kok." Ayra menolak tawaran Abrar. "Mobilmu sudah diantarkan ke rumahmu. Jadi kamu gak bisa menolak. Ini sudah terlalu malam." Abrar berjalan mendahului tanpa melihat Ayra lagi. Dia berjalan keluar diikuti oleh Ayra yang tidak bisa protes lagi. Sesampainya di depan rumah Ayra, mereka melihat Revan sudah menunggunya di teras rumahnya sambil memegang ponsel. Melihat Ayra turun dari mobil yang tidak dikenalnya, Revan menatap mereka nyalang. Revan juga melihat seorang laki-laki di balik kemudi sedang menatapnya dan menganggukan kepala lalu melajukan mobilnya pergi. Hatinya terbakar cemburu melihat Ayra diantarkan oleh laki-laki lain. "Beraninya kamu pulang malam begini dengan laki-laki lain. Kamu itu punya suami dan anak! Gak pantes dekat dengan laki-laki lain!" Revan berucap dengan nada tinggi pada Ayra yang hendak masuk ke dalam rumah.Hari ini rapat audit perusahaan Diandra akan dilaksanakan. Ayra telah tiba di kantor sebelum kedua orang tuanya. Sedangkan Diego masih harus mengurus beberapa hal terlebih dahulu di luar. Ayra menunggu waktu sambil membaca dan terus mengoreksi lagi laporan audit yang telah dia kerjakan. Dia sudah menghafalnya hingga berkali-kali. Beberapa masalah yang cukup penting, dia tandai dan akan dijadikan topik saat rapat nanti. Sebenarnya selisih dalam laporan keuangan yang sudah dia periksa tidak sampai ke jumlah yang sangat fantastis untuk ukuran perusahaan besar milik papanya ini. Tetapi tetap saja, semua pelaporan harus mempunyai bukti transaksi yang jelas karena setiap divisi akan saling berkaitan.Dan adanya selisih jumlah tersebut, artinya ada pencatatan yang sengaja atau tidak sengaja salah. Ayra akan membuka dan membahas semua temuannya nanti. Papanya telah mempercayakan ini padanya, tentu dia tidak ingin kerjanya mengecewakan.Satu jam kemudian, Pak Surya dan Bu Yasmin tiba di kant
"Natal?" suara Ayra lirih, tapi masih cukup terdengar di telinga Abrar. "Iya. Sebentar lagi natal." Abrar menoleh. Dan begitu melihat wajah Ayra, dia paham dengan maksud nada tanya di ucapan Ayra barusan.Mereka terdiam lagi di suasana yang tiba-tiba berubah. Sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Hubungan mereka belum dimulai, tapi mereka seperti disadarkan banyak hal. Jika mereka memaksa memulai, itu adalah hal yang sangat egois. Tapi mengapa hati justru menjatuhkan pilihan pada seseorang yang tertutup tembok tinggi dan kokoh? "Sekarang apa kamu masih teguh?" kini Ayra menoleh. Dia menatap wajah Abrar dan ingin mendengar jawaban laki-laki itu. "Kamu mungkin mengira ini baru saja muncul. Jadi aku perlu menjelaskan bahwa ini sudah ada sejak kita masih kecil. Dulu kita kenal karena kedua orang tua kita. Aku sudah menaruh rasa kagum padamu saat itu. Tapi anak sekecil itu hanya paham sebatas itu." Abrar membalas tatapan Ayra dengan dalam. "Dan saat masa SMA, aku pernah tidak seng
Melihat itu, Abrar justru semakin khawatir. Secara tak sadar, tangannya tiba-tiba terulur ingin membantu mengeringkan pipi yang basah itu.Tapi gerakannya yang tiba-tiba tersebut malah membuat kepala Ayra menunduk dan matanya sontak terpejam rapat. Gerakan tubuhnya sangat jelas seperti reflek menghindari pukulan.Ini trauma. Hati Abrar mencelos memperhatikan semua itu. Tapi, tetap dia putuskan untuk melanjutkan niatnya. Akhirnya, ujung ibu jarinya menyentuh perlahan pipi Ayra. Menghapus jejak air mata disana. Ayra yang merasakan usapan lembut itu, langsung membuka mata. Dia tidak menerima tamparan seperti bayangan yang terlintas di otaknya. Justru sebuah sentuhan yang cukup menenangkan.Bulu matanya bergerak lentik karena mengerjap beberapa kali. Menjatuhkan seluruh butiran air mata yang masih tersisa. Hingga habis seluruhnya, jari itu masih bertengger disana mengerjakan tugasnya dengan sangat sabar. "Jangan menangis lagi. Kalau nggak suka, bilang saja. Kalau aku salah, marah saja.
"Punya mami ada di mobil. Banyak soalnya, papi nggak bisa bawanya." Abrar seperti berbisik di telinga Zetha, tetapi suaranya masih bisa didengar oleh semua orang di ruangan itu. Matanya melirik ke arah Ayra yang menunjukkan ekspresi terkejut setelah mendengar ucapannya."Punya mami banyak? Ayo adek pengen liat." mata Zetha berbinar cerah. Tangannya mengayun-ayunkan lengan Abrar dengan manja. "Adek harus berangkat sekolah. Udah jam berapa ini, nanti telat." Ayra akhirnya ikut bersuara setelah sedari tadi hanya diam mendengarkan. "Tapi adek pengen liat punya mami." Zetha menatap Ayra sambil merengek. Sorot matanya penuh permohonan. "Adek harus sekolah dulu. Ayo ambil tasnya, mami antarkan sekarang." Ayra tetap tegas dan tidak terpengaruh dengan rengekan Zetha."Iya, Mami." akhirnya bocah itu menunduk dan menjawab patuh meski dengan cemberut. "Papi sama mami yang antarkan ya. Sekalian kita liat oleh-oleh buat mami di mobil sama-sama. Oke?" Abrar menengahi. Dia tidak tega melihat waja
Beberapa hari kemudian Ayra terus disibukkan dengan pekerjaannya. Dan hari ini adalah hari terakhir dia memeriksa ulang laporan keuangan perusahaan papanya yang telah selesai dia kerjakan. Ayra menemukan banyak sekali nominal dan transaksi mencurigakan dan tidak sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan perusahaan. Langkah selanjutnya adalah memeriksa, menginterogasi dan meminta bukti dari semua orang yang terlibat dalam bagian keuangan.Ayra telah bekerja keras selama beberapa hari ini. Bahkan dalam tiga hari terakhir dia sampai bekerja lembur di dalam ruang kerja rumahnya. Semua orang rumah sangat paham, Ayra tidak mau diganggu disaat serius begitu. Dia bahkan sering tidak sadar akan waktu jika sudah berkutat dengan deretan angka-angka yang sedang dikerjakannya. Dalam beberapa hari terakhir, Abrar juga tidak intens lagi menghubunginya. Abrar lebih sering menghubungi lewat tablet milik Arzha dan Zetha ketika malam menjelang mereka tidur untuk sekedar bercerita dan mengucapkan se
Abrar berjalan mendekati Ayra setelah memastikan Arzha dan Zetha bermain dengan aman. Tubuhnya tegap dengan sorot mata tegas, menampakkan aura kepemimpinan yang sangat khas. Begitu sampai tepat di hadapan Ayra, tatapannya reflek melembut dan bibirnya tersenyum. "Sudah selesai belanjanya? Beli apa aja?" Abrar bertanya dengan nada yang sangat manis. Sangat jauh berbeda dengan kesan yang ditampilkan oleh gestur tubuhnya. "Sudah. Ini, aku beli beberapa barang. Oh, bukan beli." Ayra terdiam sejenak karena merasa ada yang salah dengan perkataannya. Jadi dia segera meralatnya."Ini semua ambil, bukan beli. Nggak apa-apa kan?" Ayra menunjukkan beberapa paper bag miliknya. Dia juga menatap Abrar dengan was-was. "Cuma ini aja?" pertanyaan Abrar selanjutnya malah membuat Ayra melongo. Padahal dia merasa ini sudah sangat lebih dari 'cuma'. "I-iya." Ayra menunduk menatap barang-barang belanjaannya. Dia ingat selalu merasa khawatir dan ragu saat mengambil setiap barang ini. Dan Abrar malah bila