Share

9. Lamaran

last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-09 11:36:54

Pukul satu siang, keluarga Anton, kembali ke kediaman Parmi. Kedua tangan orang tua Anton, turut membawa bingkisan hantaran sederhana untuk Parmi. Bagaimana pun saat ini mereka sedang melamar anak gadis orang, jadi tetap harus dihargai dan diperlakukan sebaik mungkin. Semuanya kini tengah berkumpul di ruang tengah. Tampak Parmi duduk di samping ibunya, begitu juga dengan Parni, kakaknya.

"Jadi maksud kedatangan kami kemari adalah untuk melamar nak Parmi, untuk menjadi menantu di keluarga kami. Tepatnya untuk menjadi istri anak kami, Anton." Ucap Pak Andi dengan jelas. 

"Bagaimana, Bu. Parmi?" 

"Saya sebagai orangtua, sangat bersyukur akhirnya ada yang melamar anak gadis saya. Namun semua keputusan kembali lagi pada.."

"Huuuuaachhiimmm..." Parmi bersin di tengah-tengah keseriusan yang terjadi.

"Ehh ...maaf," ucap Parmi sungkan, sambil menutup hidungnya. Semua yang ada disana menyeringai, begitu juga Anton.

"Merusak suasana saja Si Parmi ini!" gumam Bu Parti, sambil menatap Parmi serius.

"Jadi apakah lamaran anak kami diterima bu?" ulang Pak Andi lagi.

"Parmi." 

"Eh, iya Bu." Parmi tersentak kaget, dengan panggilan ibunya yang cukup keras.

"Diterima gak?" tanya Bu Parti pada Parmi anaknya. Semua melihat serius kepada Parmi, jauh di lubuk hati Anton, ia berharap Parmi menolak lamaran orangtuanya, sehingga ia tidak perlu memeriksakan diri ke THT, karena jujur saja. Ia tidak merasa terganggu dengan pendengarannya. Namun Parmi selalu saja menyudutkannya dengan masalah pendengaran.

"Pasti Tuan Anton berharap saya tolak ya?" Parmi menatap sengit ke arah Anton. Anton yang mendengar ucapan Parmi menjadi salah tingkah. Bagaimana bisa Parmi mengetahui isi hatinya? Ya Tuhan, siapa sebenarnya Parmi ini, manusia beneran atau keturunan demit? Anton bermonolog, sambil sesekali melirik Parmi.

"Saya terima, asal..."

"Iya saya tahu, kamu suruh saya periksa kuping sayakan?" potong Anton cepat, sambil cemberut. Semua yang ada disana tertawa. Begitu juga Parmi.

"Parmi ... Parmi, sebenarnya kamu yang bermasalah, Nak," gumam Bu Parti yang didengar oleh semuanya, namun tidak dengan Parti. Wajahnya cuek tanpa ekspresi.

"Jadi lamaran ini diterimakan?" kali ini Bu Rasti yang bersuara. 

"Saya terima, Bu." sahut Parmi sambil tersenyum.

"Alhamdulillah." Semua berucap serempak. Hanya Parni yang mengulum senyum.

"Kakaknya Parmi dari kemarin ga ada suaranya ya?" bisik Iqbal pada Anton.

"Iya, malu kali." 

"Malu apa bisu?"

"Hhuust..." Anton menginterupsi ucapan Iqbal. Parni sepertinya paham sedang dibicarakan, wanita itu menunduk malu. Sangat berbeda dengan Parmi yang aktif serta cuek. Parni cenderung pendiam, tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya.

"Anton, ini pakaikan cincin ke jari manis Parmi!" titah Bu Rasti, sambil mengeluarkan kotak beludru bewarna merah dari dalam tasnya. Anton lalu menyematkan cincin tersebut ke jari Parmi, nampak sangat pas. Cincin bertahta batu bewarna maron. Parmi menatap jarinya dengan senang. Walaupun ada sedikit bercak kotoran di kuku jarinya. Anton tadi sempat sedikit kaget. Hanya saja ia mencoba acuh, dan fokus pada acara menyematkan cincin tersebut.

"Terimakasih, Tuan." 

"Eh, jangan panggil Tuan lagi, panggil Mas atau sayang gitu," ujar Bu Rasti sambil tersenyum.

"Baik, Bu." 

Acara lamaran akhirnya selesai, mereka sepakat akan menikahkan Parmi dan Anton, dua hari dari sekarang. Tepatnya sebelum lebaran. Ibu dan Kakak Parmi, serta bude dan padenya akan berkunjung ke Jakarta, besok. Sedangkan Parmi ikut kembali bersama keluarga Anton, hari ini juga.

"Jadi saya akan menikah, sehari sebelum lebaran ya Bu!" Parmi memastikan kembali, seraya menatap wajah Bu Rasti dan Anton bergantian. Bu Rasti mengangguk, sambil tersenyum manis.

Suami baru alhamdulillah

Yang didapat di hari raya

Walau budeg pun tak mengapa

Saya terima dengan suka cita

Nyanyian Parmi, sontak membuat semuanya tertawa, tak terkecuali para tetangga, yang sedari tadi mengintip dan mencuri dengar aktifitas lamaran Parmi. Anton hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Parmi, dalam hati ia berharap semoga ia selalu panjang umur dalam menghadapi Parmi nanti.

Keluarga Anton berpamitan, mereka hendak kembali ke Jakarta. Parmi ikut serta disana. Sebelumnya Bu Rasti meninggalkan uang tiga puluh juta untuk keluarga Parmi, sebagai uang hantaran. Sedangkan untuk acara pernikahan, semua biayanya akan ditanggung keluarga Anton. Peluk cium dengan ibu juga kakaknya, serta ikut berpamitan pada tetangganya dengan melempar senyum. Mobil Parmi menghilang dari pandangan, Bu Parti dan Parni kembali masuk ke dalam rumah.

"Kamu tidak apa-apa Parmi menikah lebih dulu?" tanya ibu pada Parni.

"Iya," sahut Parni sambil tersenyum. Ibu memeluk Parni dengan sayang, sambil mengusap rambutnya.

"Semoga kamu juga segera menyusul Parmi ya, Ni," ucap Bu Parti lagi, anak perempuan sulungnya itu hanya tersenyum.

****

Di dalam perjalan, Parmi tidak bisa memejamkan mata. 

"Tumben, Mi. Biasanya pules," ujar Anton yang saat ini sedang duduk di samping Iqbal yang sedang mengemudi.

"Mi ... !" panggil Anton lagi. Parmi hanya menatap jendela, memandang jalanan cukup lenggang.

"Kuping Parmi, hibernasi kali ya!" gumam Anton yang disambut tawa semua yang ada di dalam mobil. Parmi memandang aneh ketiganya.

"Oh ya Parmi, kakak kamu kok diam aja sih!" 

"Oh, itu kakak saya berubah jadi pendiam sejak ditinggal pergi, sama calon suaminya di hari pernikahan. Jadi trauma gitu." 

"Oh..., kasian ya," ujar Bu Rasti dan Iqbal bersamaan.

"Tuh, Mah. Kalau Iqbal yang tanya, Parmi pasti langsung nyambung, coba saya!" gerutu Anton sambil melirik ke arah Parmi.

Tak terasa waktu di perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah Anton kembali pukul dua dini hari, untungnya Bu Rasti mampir membeli lauk untuk makan sahur mereka hari ini. Setelah beberes sebentar, mengganti bajunya dengan daster selutut, rambutnya digelung tinggi, Parmi kembali ke dapur. Menghangatkan aneka lauk pauk yang dibeli Bu Rasti, dilanjutkan dengan gesit menatanya di meja makan. Lanjut membuatkan air jahe.

Tanpa Parmi sadari, sedari tadi, Anton tengah memandanginya dari belakang. Benar-benar seperti Bulan yang saat ini sedang berada disana. Anton tersenyum miris, hingga saat ini ia masih saja menyesal telah meninggalkan Bulan.

"Parmi!" panggil Anton dengan suara cukup jelas. Parmi menoleh lalu tersenyum kecil

"Mmm...iya Mas," sahutnya malu-malu, sambil tangannya tetap mengiris jahe.

"Jangan lupa, bulu ketiak kamu,nanti dicukur bersih!" 

"Iya, nanti saya bersihkan kuping saya." sahut Parmi.

"Bukan kuping kamu, Parmi. Tapi ke-ti-ak! ini lho ini!" Anton mengarahkan jarinya ke bagian ketiaknya.

"Emangnya, kenapa ketiaknya Mas?" tanya Parmi keheranan menatap Anton.

"Bukan ketiak saya, Parmi. Tapi ketiak kamu. Astaghfirulloh, tobat deh...tobat!"  

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Leila Del
Asyik ..lucu...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Babu Jadi Menantu   62. Happy Ending

    Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu

  • Babu Jadi Menantu   61. Siapa yang Meracun

    Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan

  • Babu Jadi Menantu   60. Obat Tidur

    Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau

  • Babu Jadi Menantu   59. Berkeringat

    Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.Ting! ting!Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni

  • Babu Jadi Menantu   58. Menjemput Angkasa

    Parmi dan Anton sudah berada di bandara. Menunggu kedatangan penerbangan dari Belanda. Anton dan Parmi sudah tidak sabar melihat Angkasa. Sedari turun dari mobil, Parmi dan Anton selalu bergandengan tangan. Persis pasangan yang sedang dimabuk asmara. Anton juga tidak jengah sesekali mencium kepala Parmi."Jangan dicium terus rambutnya, Mas!" rengek Parmi, merasa cukup jengah dengan tingkah alay suaminya."Kenapa sih, Sayang? Wangi kok rambutnya," sahut Anton, sambil memegang rambut panjang Parmi."Ntar kutunya nempel di bibir, baru tahu rasa!" Anton menelan salivanya, cepat ia meraba bibirnya. Merasa kurang puas, ia mengambil ponselnya lalu membuka menu kamera depan. Ia bercermin dari layar ponselnya, memeriksa kembali bibirnya. Apakah ada kutu rambut yang menempel di sana? Tapi sepertinya tidak, bibirnya masih terlihat segar dan sedikit bengkak, efek digigit oleh Parmi.Anton bergidik ngeri bila nengingat semalam, betapa ganas istrinya. Kopi yang i

  • Babu Jadi Menantu   57. Malam Panas Part 2

    Parmi keluar dari kamar, sayup-sayup ia mendengar suara ibu mertuanya seperti sedang berbicara di teras. Ia berjalan menghampiri dan melihat ada siapa disana."Eh, Parmi sini, Nak." Bu Rasti menepuk kursi kosong di sampingnya, bermaksud agar Parmi ikut duduk. Parmi menurut, duduk di samping ibu mertuanya.Wanita paruh baya yang sedang duduk di lantai. Memerhatikan gerak gerik Parmi dengan seksama, sambil menyunggingkan senyum tipis."Ini, Mi. Kenalkan ibu Isah namanya, dia sedang mencari pekerjaan. Jadi mama menawarkan untuk menjaga si kembar. Bagaimana kamu mau?" bu Rasti memperkenalkan ibu yang sedang duduk di lantai pada Parmi."Emang Ibu rumahnya di mana?" tanya Parmi dengan ramah."Keluar komplek ini gang sebelah kanan, Non.""Oh deket ya, jadi ilIbu nginep apa pulang pergi kerjanya?""Saya datang pagi, lalu pulang malam. Sehabis magrib.""Bagaimana Parmi, boleh ibu ini membantu?kasian dia sedang butuh pekerjaan." Bu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status