Share

9. Lamaran

Pukul satu siang, keluarga Anton, kembali ke kediaman Parmi. Kedua tangan orang tua Anton, turut membawa bingkisan hantaran sederhana untuk Parmi. Bagaimana pun saat ini mereka sedang melamar anak gadis orang, jadi tetap harus dihargai dan diperlakukan sebaik mungkin. Semuanya kini tengah berkumpul di ruang tengah. Tampak Parmi duduk di samping ibunya, begitu juga dengan Parni, kakaknya.

"Jadi maksud kedatangan kami kemari adalah untuk melamar nak Parmi, untuk menjadi menantu di keluarga kami. Tepatnya untuk menjadi istri anak kami, Anton." Ucap Pak Andi dengan jelas. 

"Bagaimana, Bu. Parmi?" 

"Saya sebagai orangtua, sangat bersyukur akhirnya ada yang melamar anak gadis saya. Namun semua keputusan kembali lagi pada.."

"Huuuuaachhiimmm..." Parmi bersin di tengah-tengah keseriusan yang terjadi.

"Ehh ...maaf," ucap Parmi sungkan, sambil menutup hidungnya. Semua yang ada disana menyeringai, begitu juga Anton.

"Merusak suasana saja Si Parmi ini!" gumam Bu Parti, sambil menatap Parmi serius.

"Jadi apakah lamaran anak kami diterima bu?" ulang Pak Andi lagi.

"Parmi." 

"Eh, iya Bu." Parmi tersentak kaget, dengan panggilan ibunya yang cukup keras.

"Diterima gak?" tanya Bu Parti pada Parmi anaknya. Semua melihat serius kepada Parmi, jauh di lubuk hati Anton, ia berharap Parmi menolak lamaran orangtuanya, sehingga ia tidak perlu memeriksakan diri ke THT, karena jujur saja. Ia tidak merasa terganggu dengan pendengarannya. Namun Parmi selalu saja menyudutkannya dengan masalah pendengaran.

"Pasti Tuan Anton berharap saya tolak ya?" Parmi menatap sengit ke arah Anton. Anton yang mendengar ucapan Parmi menjadi salah tingkah. Bagaimana bisa Parmi mengetahui isi hatinya? Ya Tuhan, siapa sebenarnya Parmi ini, manusia beneran atau keturunan demit? Anton bermonolog, sambil sesekali melirik Parmi.

"Saya terima, asal..."

"Iya saya tahu, kamu suruh saya periksa kuping sayakan?" potong Anton cepat, sambil cemberut. Semua yang ada disana tertawa. Begitu juga Parmi.

"Parmi ... Parmi, sebenarnya kamu yang bermasalah, Nak," gumam Bu Parti yang didengar oleh semuanya, namun tidak dengan Parti. Wajahnya cuek tanpa ekspresi.

"Jadi lamaran ini diterimakan?" kali ini Bu Rasti yang bersuara. 

"Saya terima, Bu." sahut Parmi sambil tersenyum.

"Alhamdulillah." Semua berucap serempak. Hanya Parni yang mengulum senyum.

"Kakaknya Parmi dari kemarin ga ada suaranya ya?" bisik Iqbal pada Anton.

"Iya, malu kali." 

"Malu apa bisu?"

"Hhuust..." Anton menginterupsi ucapan Iqbal. Parni sepertinya paham sedang dibicarakan, wanita itu menunduk malu. Sangat berbeda dengan Parmi yang aktif serta cuek. Parni cenderung pendiam, tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya.

"Anton, ini pakaikan cincin ke jari manis Parmi!" titah Bu Rasti, sambil mengeluarkan kotak beludru bewarna merah dari dalam tasnya. Anton lalu menyematkan cincin tersebut ke jari Parmi, nampak sangat pas. Cincin bertahta batu bewarna maron. Parmi menatap jarinya dengan senang. Walaupun ada sedikit bercak kotoran di kuku jarinya. Anton tadi sempat sedikit kaget. Hanya saja ia mencoba acuh, dan fokus pada acara menyematkan cincin tersebut.

"Terimakasih, Tuan." 

"Eh, jangan panggil Tuan lagi, panggil Mas atau sayang gitu," ujar Bu Rasti sambil tersenyum.

"Baik, Bu." 

Acara lamaran akhirnya selesai, mereka sepakat akan menikahkan Parmi dan Anton, dua hari dari sekarang. Tepatnya sebelum lebaran. Ibu dan Kakak Parmi, serta bude dan padenya akan berkunjung ke Jakarta, besok. Sedangkan Parmi ikut kembali bersama keluarga Anton, hari ini juga.

"Jadi saya akan menikah, sehari sebelum lebaran ya Bu!" Parmi memastikan kembali, seraya menatap wajah Bu Rasti dan Anton bergantian. Bu Rasti mengangguk, sambil tersenyum manis.

Suami baru alhamdulillah

Yang didapat di hari raya

Walau budeg pun tak mengapa

Saya terima dengan suka cita

Nyanyian Parmi, sontak membuat semuanya tertawa, tak terkecuali para tetangga, yang sedari tadi mengintip dan mencuri dengar aktifitas lamaran Parmi. Anton hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Parmi, dalam hati ia berharap semoga ia selalu panjang umur dalam menghadapi Parmi nanti.

Keluarga Anton berpamitan, mereka hendak kembali ke Jakarta. Parmi ikut serta disana. Sebelumnya Bu Rasti meninggalkan uang tiga puluh juta untuk keluarga Parmi, sebagai uang hantaran. Sedangkan untuk acara pernikahan, semua biayanya akan ditanggung keluarga Anton. Peluk cium dengan ibu juga kakaknya, serta ikut berpamitan pada tetangganya dengan melempar senyum. Mobil Parmi menghilang dari pandangan, Bu Parti dan Parni kembali masuk ke dalam rumah.

"Kamu tidak apa-apa Parmi menikah lebih dulu?" tanya ibu pada Parni.

"Iya," sahut Parni sambil tersenyum. Ibu memeluk Parni dengan sayang, sambil mengusap rambutnya.

"Semoga kamu juga segera menyusul Parmi ya, Ni," ucap Bu Parti lagi, anak perempuan sulungnya itu hanya tersenyum.

****

Di dalam perjalan, Parmi tidak bisa memejamkan mata. 

"Tumben, Mi. Biasanya pules," ujar Anton yang saat ini sedang duduk di samping Iqbal yang sedang mengemudi.

"Mi ... !" panggil Anton lagi. Parmi hanya menatap jendela, memandang jalanan cukup lenggang.

"Kuping Parmi, hibernasi kali ya!" gumam Anton yang disambut tawa semua yang ada di dalam mobil. Parmi memandang aneh ketiganya.

"Oh ya Parmi, kakak kamu kok diam aja sih!" 

"Oh, itu kakak saya berubah jadi pendiam sejak ditinggal pergi, sama calon suaminya di hari pernikahan. Jadi trauma gitu." 

"Oh..., kasian ya," ujar Bu Rasti dan Iqbal bersamaan.

"Tuh, Mah. Kalau Iqbal yang tanya, Parmi pasti langsung nyambung, coba saya!" gerutu Anton sambil melirik ke arah Parmi.

Tak terasa waktu di perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah Anton kembali pukul dua dini hari, untungnya Bu Rasti mampir membeli lauk untuk makan sahur mereka hari ini. Setelah beberes sebentar, mengganti bajunya dengan daster selutut, rambutnya digelung tinggi, Parmi kembali ke dapur. Menghangatkan aneka lauk pauk yang dibeli Bu Rasti, dilanjutkan dengan gesit menatanya di meja makan. Lanjut membuatkan air jahe.

Tanpa Parmi sadari, sedari tadi, Anton tengah memandanginya dari belakang. Benar-benar seperti Bulan yang saat ini sedang berada disana. Anton tersenyum miris, hingga saat ini ia masih saja menyesal telah meninggalkan Bulan.

"Parmi!" panggil Anton dengan suara cukup jelas. Parmi menoleh lalu tersenyum kecil

"Mmm...iya Mas," sahutnya malu-malu, sambil tangannya tetap mengiris jahe.

"Jangan lupa, bulu ketiak kamu,nanti dicukur bersih!" 

"Iya, nanti saya bersihkan kuping saya." sahut Parmi.

"Bukan kuping kamu, Parmi. Tapi ke-ti-ak! ini lho ini!" Anton mengarahkan jarinya ke bagian ketiaknya.

"Emangnya, kenapa ketiaknya Mas?" tanya Parmi keheranan menatap Anton.

"Bukan ketiak saya, Parmi. Tapi ketiak kamu. Astaghfirulloh, tobat deh...tobat!"  

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Leila Del
Asyik ..lucu...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status