"Sial!" Hans menendang pintu di depannya, membuat asisten pribadinya terhenyak dan langsung siap siaga. Pun sama dengan seorang sekretaris di belakang meja yang langsung berdiri dengan kepala tertunduk. Keduanya tak berani bersuara, membiarkan atasannya mengucapkan sumpah serapah sambil memasuki ruangannya. Sosok Hanson Dirgantara yang terkenal ramah dan selalu tenang, tak lagi terlihat. Pria itu menjadi temperamental dan tidak bisa mengendalikan emosinya karena sakit hati terhadap Eva. Terlebih, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Arvin memeluk Eva. "Apa kurangku sampai kamu lebih memilih pria itu, hah?!" Hans melepaskan dasi yang terasa mencekik lehernya dan membuang benda itu ke lantai sambil berteriak sekuat tenaga. Egonya terluka, kembali mengingat penolakan Eva malam itu di rumahnya. Detik berikutnya, barang-barang di atas meja disapu dengan kedua tangan dan membuat suara gaduhnya terdengar sampai keluar ruangan. Bram, asisten pribadi Hans harus menarik napas dalam
"Maaf, Ayah tidak menyetujui kepindahanmu." Arvin bicara lewat telepon selularnya karena tidak bisa menemui Eva secara langsung. Bagaimanapun juga, dia tidak akan melanggar larangan ayahnya."Tidak apa, Dok. Mungkin memang aku harus memikirkan aborsi seperti yang Anda sarankan tempo hari.""Eva—""Selagi masih belum terlalu besar, sepertinya risikonya belum terlalu fatal. Saya masih ingin menjadi dokter," sela Eva dengan suara bergetar. "Anda masih menyimpan hasil visum milik saya, Dok?"Arvin meremas kertas kosong di atas meja, tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi kali ini. Eva kembali berpikir akan menyingkirkan bayinya. Gadis itu juga tetap menjaga jarak, menggunakan saya dan Anda, menunjukkan mereka tidak terlalu akrab."Kamu bisa mengundurkan diri dari program ini dengan alasan kesehatan. Aku akan coba bicara dengan Ayah nanti malam.""Tidak perlu, Dokter." Kali ini Eva yang menyela kalimat Arvin, membuat pria itu terpaksa menahan napasnya."Saya tahu Dokter Faaz pasti m
Saat Eva berbalik, Hans sudah pergi lebih dulu. Punggungnya menghilang ditelan pintu belakang rumah sakit yang sesaat lalu menjadi tujuannya. "Apa yang dia katakan barusan?" Tubuh Eva luruh, bersimpuh di tanah dengan rumput hijau yang terasa sedikit basah. Meski tak mengatakannya dengan jelas, tapi Eva bisa memperkirakan objek yang dimaksud pria itu. Tangan kanannya meremas perut sambil menggigit bibir bawahnya. Dia tidak sampai hati menyingkirkan benih Hans meski kebencian begitu mendalam. "Apa yang harus aku lakukan?" Satu bulir air mata membasahi wajah Eva. "Menyingkirkan anak ini, sama saja aku menghancurkan tempat yang selama ini sudah menjadi rumah untukku." Tanpa membuang waktu lebih lama, Eva berlari keluar dari rumah sakit dan menghentikan taksi. "Dirgantara Artha Graha, Pak. Sekarang!" pinta Eva dengan wajah panik luar biasa. Dia harus bertemu dengan Hans dan meminta pria itu tidak mengusik panti. Perjalanan dua puluh menit yang terasa begitu lama bagi Eva. Terlebih, wa
"Apa Anda bermimpi dengan mata terbuka, Tuan Hans Dirgantara?" sindir Eva yang menatap penuh kebencian kepada pria blasteran di depannya. "Aku bermimpi?" Hans menyilangkan tangan di depan badan. "Mungkin dulu iya, tapi sekarang mimpiku akan menjadi kenyataan. Kamu tidak bisa menghindariku, bukan?" "Karena kamu menggunakan cara kotor untuk menjebakku!" Suara Eva terdengar semakin sengit. "Jika tidak begitu, kamu tidak akan pernah menjadi milikku, Eve." Eva membuang muka, ingin sekali menyuarakan sumpah serapah yang rangkaian katanya sudah tersusun di kepala. Tapi entah kenapa, dia terlalu lelah untuk berbicara dengan pria bebal seperti Hans Dirgantara. "Katakan alasannya. Kenapa kamu memilihku?" "Tidak ada alasan. Aku hanya ingin bertanggung jawab karena ada anakku di rahimmu." "Apa kamu akan melakukan hal yang sama jika wanita lain yang ada di posisiku?" Eva menahan gemuruh yang menggerogoti kewarasannya. Jika bukan karena surat tugas dari rumah sakit yang berkaitan dengan sert
“Dokter Eva, ada yang mencari Anda.” Seorang perawat yang bekerja untuk Dirgantara Artha Graha memasuki klinik dan langsung menghampiri Eva. “Mencariku?” “Ya. Beliau menunggu di depan.” “Beliau?” Eva menutup catatan medis yang tengah diperiksa, meraih jas putih miliknya dengan kening berkerut. “Siapa yang ingin menemuiku siang-siang begini?” Langkah Evalia terhenti di depan pintu kaca, menatap wajah cantik yang terlihat gelisah. “Nyonya Kuina?” panggilnya lirih. Suaranya bergetar dan degup jantung yang lebih kencang dari sebelumnya. Ini pertemuan keduanya dengan wanita yang sudah menolongnya malam itu. “Apa kabar, Eva?” Kuina memeluk Eva, dia justru terpaku seperti manekin kaku. Tangannya tetap terulur di samping badan, sama sekali tidak membalas perlakuan hangat wanita itu. “Bisa ikut denganku sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan.” Eva tak lantas menjawab, melirik jam dinding di samping kanannya. Lima menit sebelum jam istirahat datang. “Hanya sebentar saja,” bujuknya deng
"Kamu terlihat sangat cantik, Sayang," puji Kuina sambil mengamati pantulan wajah Evalia yang terlihat di cermin. Tidak butuh waktu lama bagi wanita konglomerat itu untuk mempersiapkan pernikahan sederhana seperti yang diminta menantunya. Dokumen yang siap hanya dalam hitungan jam, gedung resepsi pernikahan yang dilakukan tertutup dan hanya dihadiri keluarga dekat, termasuk urusan make up artist dan semuanya. Kuina benar-benar bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan jam. Tentu saja dengan bayaran yang sepadan. “Kamu terlihat tegang sekali,” ujarnya sambil duduk di samping Eva, menarik tangan gadis itu yang sekarang tertutup sarung tangan pengantin warna putih, senada dengan gaun mewah yang melekat di tubuhnya. “Ada yang bisa Mama bantu? Atau, ada yang kamu butuhkan?” Sikap hangat Kuina hanya mendapat gelengan kepala sebagai jawaban. Evalia banyak diam setelah menandatangani perjanjian dengan wanita itu. “Baiklah. Kalau begitu Mama akan lihat keadaan di luar. Jika kamu membutuhkan
"Pa," sapa Hans saat menghampiri ayahnya di balkon. Udara malam terasa membelai wajahnya. Dani mengembuskan napas kasar dari mulut, bingung bagaimana menyampaikan maksudnya. Dia benar-benar turut prihatin melihat putra semata wayangnya itu dibenci oleh istrinya. Kehidupan rumah tangga mereka, entah bagaimana nasibnya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Dani membuka percakapan. "Hmm. Sedikit lega. Setidaknya pernikahan ini berjalan dengan lancar dan Eva sama sekali tidak membuat keluarga kita malu. Dia bisa berdamai di depan kolega bisnis kita." "Tapi Mama tetap saja terguncang, Hans. Sikap Eva berubah jadi lebih dingin dibandingkan sebelumnya. Kamu akan menemui kesulitan yang jauh lebih kompleks nantinya." Hans tersenyum pahit dan berkata, "Itu tidak lebih buruk dibandingkan aku tidak bisa memilikinya, Pa. Bagaimanapun juga, itu risiko karena aku sudah menyakitinya. Mungkin itu memang balasan yang tepat untuk kebodohanku malam itu." Dani bergerak mendekati Hans, menepuk pundaknya. "Pa
"Di mana pakaian kotormu?""Apa?"Hans harus memastikan indra pendengarannya berfungsi dengan baik saat pagi hari berhadapan dengan Eva. Wanita itu mengetuk pintu kamarnya dan menanyakan pakaian kotor."Kulihat ada mesin cuci di belakang. Sebagai seorang istri, sudah seharusnya aku mencuci pakaian suamiku."Hans tak lantas merespons, butuh waktu lama untuk loading otaknya. Dia tidak pernah membayangkan Eva akan melakukan tugas keseharian seperti itu."Kau tidak perlu melakukannya, Eve. Biarkan asisten rumah tangga saja yang—""Di mana?!" sela Eva dengan wajah tanpa ekspresi, datar dan menginginkan jawaban secepatnya.Karena melihat Hans tetap bergeming di posisinya, Eva memilih memasuki kamar pria itu setelah mengucap permisi sewajarnya. Mata indahnya langsung berkeliling, sebelum memasuki kamar mandi dan membawa keranjang berisi baju yang dipakai Hans kemarin."Eve ....""Menyingkirlah!" tegas Evalia saat Hans menghadang langkahnya, menahan keranjang itu dari sisi yang lain."Aku meni