Share

5. Siapa Mbak Binal?

“Heh, kenapa kamu bisa di sini?” Mata Satya secara otomatis mendelik begitu melihat sosok bocil itu berlarian ke arahnya. Hanya hitungan detik, Davi sudah berhasil memeluk Satya yang sedang duduk di sofa.

“Daddy … ayo kita main agi—ayo kita main lagi!” Davi merengek kepada Satya, meminta laki-laki itu untuk bermain bersamanya.

“Eh, buzeeettt! Daddy? Jadi ini anak lo, Sat?” Ethan cukup syok melihat kemunculan bocil berambut mangkok dan berpipi chubby itu di kantornya. Ia terus geleng-geleng kepala keheranan. “Gue pikir kalau gue doang yang br*ngsek, udah kasih DP dulu ke istri gue sebelum nikah, ternyata lo malah nge-DP lebih duluan, Sat! Kesimpulannya, lo lebih br*ngsek daripada gue.”

Kebetulan istri Ethan sudah hamil duluan sebelum mereka resmi menikah. Buat Ethan sih masih mending dirinya yang langsung bertanggung jawab, karena saat itu ia memang berencana menikah, tapi duluan aja dapat rejeki nomplok berupa kehamilan. Nah ini, si Satya sih lebih parah lagi, sampai bocilnya sudah besar begini, dan sudah bisa minta main bareng.

“Lo nggak usah ngeledek gue, udah gue bilang nih anak tiba-tiba aja muncul tadi pagi sama emaknya. Lo inget nggak model cantik yang katanya jadi brand ambassador kita empat tahun lalu? Gue lupa namanya siapa ya tadi, Ga-Gani, Ga-Gabby, oh … iya Gabby! Dia datang ke rumah gue bawa nih bocil, dia bilang ini anak gue yang dia besarin sendiri selama tiga tahun ini. Sekarang dia minta giliran gue yang besarin. Gila nggak, sih? Lo berdua percaya kalau nih bocil anak gue?”

Davi terlihat sedang mengupil, menikmati jari telunjuknya yang masuk ke dalam lubang hidungnya. Sementara tubuhnya masih nyaman menempel pada Satya, soalnya si Daddy baru ini badannya wangi sekali, seperti pakai pewangi Downy. Jadi bikin Davi makin betah menempel.

“Gue sih percaya,” jawab Julian langsung. “Tuh, lo lihat aja kelakuannya, mirip banget sama lo. Bukannya lo kalau lagi bengong juga hobi ngupil seperti dia?” Julian menunjuk Davi dengan matanya.

Davi yang ketahuan sedang mengupil pun langsung nyengir lebar mirip bintang iklan pasta gigi Kodomo. “Om mau?” tawar Davi sambil mengarahkan jari telunjuknya yang berisi sedikit kotoran hidungnya itu kepada Julian.

“Wah, nggak sopan banget anak lo, Sat!” keluh Julian.

“Bukan salah gue, salah emaknya yang lahirin dia dan biarin anaknya begini.”

“Daddy mau?” Kini Davi menawarkan kotoran hidungnya ke Satya.

Ingin sekali Satya menjambak poni mangkok bocil satu ini, tapi jangan! Nanti Satya dilaporkan karena sudah melakukan kekerasan pada anak di bawah umur. Lagian mana tega juga Satya melakukan hal itu.

“Kamu tahu nggak, itu jorok! Nggak sopan, paham?”

Davi geleng-geleng kepala. “Sopan itu apa, Daddy?”

“Aduh, PR banget buat gue kalau ngurus nih bocil, dia bakalan tanya ini itu melulu. Bakalan capek gue jelasin.” Satya tepuk jidat.

“Wajar dia tanya ini itu, ya dia itu anak yang baru umur tiga tahun, ngomongnya aja masih cadel. Lo minta biar dia langsung paham omongan lo? Ya nggak bisa, lo harus jelasin pelan-pelan, baek-baek, bilang kalau nawarin upil gitu tuh nggak baek.” Ethan menjelaskan ke Satya. Laki-laki itu lantas meraih tisu yang ada di ruangan tersebut kemudian mendekat ke Davi.

“Kan barusan udah gue bilangin kalau nggak sopan!” Satya seperti tak terima dengan pernyataan Ethan tadi. “Coba deh, lo yang biasanya nggak sabaran apa bisa sabar ngadepin nih bocah?” 

Ethan langsung membuktikannya dengan tindakan, ia membersihkan jari telunjuk Davi terlebih dahulu. “Nggak boleh begini ya, main upil itu kotor, kalau kotor itu nggak bagus. Jadi karena kotor dan nggak bagus, artinya kamu nggak boleh nawarin upil begitu ke Daddy atau ke teman-teman Daddy, oke?” Dengan pelan Ethan menjelaskan. Ya semenjak jadi seorang bapak, jiwa kebapakan Ethan jadi muncul secara alami. Biasanya memang Ethan terkenal nggak sabaran, sebuah prestasi yang bagus kalau ternyata Ethan bisa sabar menjelaskan ke anak kecil seperti Davi.

Beda kasus dengan Satya yang jadi bapak kaget. Tiba-tiba aja dapat surprise pagi-pagi, jadi ya beginilah hasilnya.

Davi langsung manggut-manggut mendengar nasehat dari teman Daddy-nya itu. “Tapi kalau Dapi kasih ke Mbak Binal, boleh?” tanya Davi sambil tangannya masih dibersihkan oleh Ethan.

“Mbak Binal?” Ethan mengernyit, ia lantas melirik ke arah Satya. “Siapa Mbak Binal?

“Nah, itu dia … kamu ke sini sama siapa? Sama si Binal, eh, maksudnya sama si Binar?” tanya Satya langsung ke Davi.

Davi mengangguk. “Tuh Mbak Binal tunggu di lual—tuh Mbak Binar tunggu di luar.”

Satya langsung bangkit dari sofa, ia kemudian melirik ke arah pintu keluar di ruangan tersebut. “Bener-bener deh, ngapain Binar bawa nih bocah ke sini?” Satya mengumpat sendiri.

“Kamu diam di sini!” perintah Satya kepada Davi. Ia lantas beralih ke dua sahabatnya yang ada di ruangan itu. “Gue titip bentar nih bocah, gue harus nyamperin baby sitter-nya dulu.”

Seketika Satya berjalan keluar hendak menghampiri Binar. Begitu keluar dari ruangan itu, mata Satya langsung mengedar. Terlihat sosok asisten rumah tangga yang kerjanya sleboran itu sedang dikerumuni oleh beberapa staf laki-laki yang bekerja di kantor Over Glow tersebut. Memang laki-laki nggak bisa lihat yang bening dikit, mereka spontan ingin berkenalan dengan Binar dan langsung menanyakan segala macam pertanyaan ke gadis manis berkulit sawo matang itu.

Saat Satya menghampiri dengan ekspresi yang tidak santai, seketika kerumunan para staf laki-laki pun bubar dan mundur alon-alon. Takut dimarah oleh Bos Satya.

“Kamu ngapain? Lagi tebar pesona ke cowok-cowok tadi?” protes Satya kepada Binar.

Binar langsung memberi senyuman manisnya ke Satya. “Ternyata banyak cowok cakep di kantor Tuan Bos. Yang tadi ada yang suka nonton film India juga, Tuan, terus ada juga yang sama-sama suka sama Oppa Cha Eun Woo. Kirain cuma cewek doang yang suka nonton begituan, ternyata—”

“Aku nggak peduli! Aku nggak peduli mau India-Indiaan kek, mau aaauuuuwooo aaaauuuwooo mirip Tarzan kek, pokoknya aku nggak peduli! Kamu ngapain ke sini? Ngapain bawa tuh bocil ke kantorku?” Satya berkacak pinggang, emosinya langsung meledak begitu melihat sosok Binar, ditambah tadi banyak staf laki-laki yang mendekatinya. Bikin tangan Satya gatal ingin memecat satu-satu staf yang tadi.

Binar langsung menundukkan kepalanya. Kalau si Tuan Bos marah itu ngeri, mirip seperti Pak Guru yang marahin muridnya karena ketahuan nyontek atau nggak bikin PR.

“Ma-maaf, Tuan, tadi tuh Den Davi nangis minta cari Tuan Daddy. Binar udah usaha buat ajakin main dan lain-lain, tapi … tapi Den Davi malah pecahin guci kecil yang di ruang tamu.”

“Hah? Guci kecil di ruang tamu?” Mata Satya makin mendelik. Itu adalah guci peninggalan dari mendiang Mamanya Satya. “Aku kan udah pernah bilang ke kamu, guci itu jangan diapa-apain, itu barang kesayangan peninggalan Mamaku.”

Binar takut-takut, kepalanya masih menunduk. “Ta-tapi kan bukan Binar yang pecahin, Tuan! Ka-kalau Tuan nggak percaya, bisa lihat di CCTV, Den Davi yang tadi sengaja pecahin gara-gara Binar nggak mau anterin Den Davi cari Tuan Daddy.”

Ingin sekali Satya mengumpat, tapi jelas bakalan salah orang kalau marahin Binar. Sekarang saja Binar sudah terus-terusan menunduk, takut kalau kena semprot Satya lagi.

Satya mencoba mengatur napasnya supaya kemarahannya sedikit mereda. “Terus kamu tahu lokasi kantorku dari mana?”

“Kan Binar naik taksi online, Tuan, tinggal kasih tahu aja sopir taksinya kalau Binar mau ke kantor Over Glow.”

“Terus kamu dapat duit dari mana?” tanya Satya lagi.

“Umm … itu tadi Abang Satpam di bawah yang bayarin waktu Binar turun dari taksi online.” Binar menaikkan sedikit kepalanya kemudian nyengir lebar.

Satya mendesis pelan kemudian menepuk jidatnya. “Bisa-bisanya kamu ngutang sama Satpam di sini?”

Entah harus bagaimana lagi memaklumi sikap Binar ini, namanya juga gadis polos dan lugu dari kampung, tapi saking polos dan lugunya malah buat Satya sering mengeluarkan urat-urat di lehernya untuk bicara.

“Sini!” Satya langsung menarik tangan Binar, agak sedikit memaksa. “Kamu balikin uangnya si Pak Satpam tadi, kasihan dia, pasti dia juga perlu uang buat anak dan istrinya."

Satya mengajak Binar masuk ke dalam ruangan khusus milik Satya, hendak mengambil sejumlah uang untuk dikembalikan ke Satpam tadi dan juga untuk bekal Binar pulang nanti.

Binar agak kaget sewaktu masuk ke dalam ruangan milik Satya. Besar, luas dan sejuk. Berasa sejuknya seperti di dalam kulkas.

“Keren banget, Tuan!” kata Binar takjub.

“Memang aku udah ditakdirkan keren sejak lahir. Nggak usah heran, deh!”

“Bukan Tuan, tapi ini yang keren. Tempat kerja Tuan, keren.”

“Sialan!” umpat Satya dengan bibir yang keriting. Padahal barusan Satya sudah percaya diri merasa paling keren.

Mata Binar terus mengedar pada ruangan tersebut, ada banyak poster yang menempel di dinding ruangan itu. Itu poster si model-model cantik dan ganteng yang menjadi brand ambassador dari Over Glow. Diam-diam, Binar jadi kepengen juga difoto ala-ala model begitu, yang gaya fotonya dengan mulut mangap sambil pegang produknya di tangan.

“Tuan Bos, yang itu cantik banget!” Binar menunjuk sebuah poster yang dibingkai kaca pada ruangan tersebut. Poster lama, produk yang dipakai di poster itu juga produk lama yang sudah diganti formulanya.

Tunggu, deh … Satya jadi ikutan memperhatikan poster tersebut. Sialnya Satya baru benar-benar sadar kalau ternyata perempuan di poster itu … Mamanya Davi. Iya, itu perempuan yang tadi pagi membawa bocil rambut mangkok tersebut ke rumah Satya. Tidak salah lagi, dan memang benar perempuan tadi sempat menjadi brand ambassador-nya.

“Oh, sh*t!” umpat Satya. “Itu emaknya Davi!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
~ Sari
sabar bang sat...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status