~Kadang takdir sebercanda itu~
.....Ashton berjalan pelan di lorong sebuah gedung tua sambil membopong Lynelle di punggungnya.Hentakan demi hentakan langkahnya menggelegar di seluruh gedung.Gedung tua nan kosong ini adalah bekas pabrik tekstil tak terpakai lagi akibat kebakaran beberapa tahun yang lalu.Sedikit berhat-hati Ashton meletakan tubuh Lynelle yang tak sadarkan diri di lantai mermar penuh debu tersebut. Dan dengan cekatan ia membuka tasnya, mengambil masker dan topi serta sarung tangan. Bagaimana pun ia harus berjaga dalam situasi ini, apapun bisa saja terjadi mungkin wanita itu akan tersadar. Saat ini keadaan darurat. Suatu kesempatan yang tidak ia duga dan rencanakan, sialnya ia tak membawa bius maupun suntik sianida dalam tasnya, jadi ia harus menyelesaikannya secepat mungkin. Ini adalah kesempatan satu-satunya.Setelah menggunakan perlengkapannya, pada akhirnya ia mengeluarkan sepaket peralatan dari kantong tasnya yang paling terakhir. Ia harus membedah dan membawa organ tubuh yang bisa dijual.Ia melirik Lynelle sebentar, memastikan wanita itu masih dalam keadaan tak sadarkan diri."Pukul 11:54 P.M." gumam Ashton.Dalam remangnya pencahayaan, ia menulis angka tersebut pada secarik kertas.Ia kembali menyeringai, ditatapnya Lynelle intens."Sorry!"Dan tanpa ragu pisau bedah ditangannya hendak menerjang kulit Lynelle namun sayang, sebelum itu terjadi hazel yang tadinya tertutup itu seketika terbuka."AKHHH..! A-apa yang kau lakukan?"Ashton membelalak lebar begitu hazel tersebut menubruk obsidiannya."Kau..."SREK..Ashton segera menyambar tasnya dan berlari secepat mungkin keluar dari gedung tersebut."Sh*t! Hampir saja!" umpatnya sesal........"Indah." Itulah kata yang dapat Lynelle deskripsikan saat ini, suara tawa khas anak-anak terdengar nyaring. Lynelle tersenyum dan menoleh begitu seorang balita memeluk lututnya erat.Ada yang aneh, balita itu tak tersenyum. Raut sedih yang sangat jelas terukir di wajahnya."Why are you crying, little beauty?" tanyanya. Nalurinya bertindak menghapus setetes air mata yang mengalun lembut menyusuri pipi gembul balita tersebut."Dangel!"Lynelle menyerngit begitu tangan kecil balita itu memukul dadanya kuat beriringan dengan suara cemprengnya."What?" tanya Lynelle tak mengerti.Tangan kecil itu semakin bringas memukulnya hingga membuatnya hampir terjatuh.Lynelle hendak memarahinya namun tangan kecil tersebut terulur menunjuk sesuatu di belakangnya. Lynelle berbalik dan seketika itu juga hazelnya membelalak begitu sebuah pisau diarahkan keaarahnya......"AKHH..! A-apa yang kau lakukan?"Lynelle tersentak, pandangannya mengabur. Namun, tak sampai disitu keterkejutannya. Begitu kesadarannya kembali, pisau itu tepat didadanya, hendak perlahan menembus kulitnya. Lynelle berseru shock tak percaya.Ketika ia mendongak, hazelnya menubruk sebuah manik bewarna obsidian pekat.Entah mengapa warna mata itu terasa tak asing."Kau..."SREKBelum sempat Lynelle melanjutkan kata-katanya, pria bermasker itu telah berlari meninggalkannya.Hazelnya memburam, tak ada pencahayaan di sekitar sini. Ya kecuali sinar bulan dari atap gedung yang sedikit terbuka. Sinar itu menerobos tepat di sekitarku.Perlahan Lynelle bangun. Rasa pusing masih menderanya tak ayal hal itu membuatnya semakin susah mencerna semua kejadian barusan.Tapi satu hal yang dapat ia pastikan yaitu sesorang berniat membunuhnya.Tapi siapa? Itu yang menjadi pertanyaan sekarang. Dan apakah barusan itu mimpi? Apakah itu bertanda?Lynelle menggeleng pelan, berharap semua spekulasinya salah.Setelah beberapa saat terdiam, ia memutuskan untuk bangkit, mengebas sudut jaket dan celananya yang berdebu."Sh*t! Tempat ini benar-benar menyeramkan." ujar Lynelle seraya menatap sekelilingnya dan bergidik ngeri. Ia tak menyangka di balik gemerlapnya Chicago, masih ada tempat seperti ini.Kakinya melangkah keluar dari gedung tersebut. Hal pertama yang menyapa pandangan Lynelle adalah jalanan sepi.Lynelle tertawa hambar "What the hell!"Ia bahkan tidak mengenali kawasan ini . Segera ia meraih saku jaketnya, mencari benda persegi empat disana. Lynelle bergeming begitu jemarinya tak mendapati benda yang dimaksud."AHHH!" Lynelle menjerit kesal begitu menyadari bahwa ia sama sekali belum membeli handphone baru. Dengan putus asa Lynelle berjongkok diatas trotoar. Jujur, ia frustasi dengan keadaannya sekarang."AHH SH*T!!"...Ashton membuka jaket yang tengah dikenakannya dengan kasar. Nyaris saja! Tak henti-hentinya bibirnya menyeruak kesal, menghela nafasnya panjang. Saat ini ia sudah berada di dalam apartemennya. Menyadarkan punggung tegapnya pada bantalan sofa.Pikirannya kembali melayang pada kejadian barusan. Obsidiannya menatap tajam pisau bedah yang tergeletak didepannya."Apakah pergerakanku kurang cepat?" batinnya bergumam.Ia tak pernah segagal ini, paling minim targetnya harus mempunyai 'tanda' di tubuhnya atau menetap beberapa hari di rumah sakit. Ini benar-benar rekor baru. Namun bukan itu yang menjadi kekwahtirannya sekarang melainkan dugaan bahwa apakah Lynelle mengetahui identitasnya?Jika dilihat dari situasi dan keadaan, sejenak Ashton berpikir itu sangat tidak mungkin bagi Lynelle untuk mengenalnya. Pasalnya tak ada pencahayaan didalam sana dan nilai plusnya ia menggunakan masker. Bila ingin mengingat, tatapan wanita itu juga sedikit aneh. Ia seperti menahan pusing dan mencoba bertahan dalam kesadaran.Menyadari hal penting tersebut Ashton mengumpat pelan."Kenapa aku tidak membunuhnya? Ia bahkan dalam kondisi yang lemah. Sial!" Ashton mengumpat kesal.Ia mengusap wajahnya kasar. Tak lama kemudian ia bangkit berdiri, berjalan keluar dari apartemennya.Entah apa yang ada dalam pikirannya, ia sama sekali tidak membawa ranselnya. Sesampainya di parkiran, ia langsung menghampiri motornya lalu mengendarainya.Sementara itu, si waktu yang bersamaan Lynelle masih terlihat putus asa. Wanita yang dikenal playgirl itu tak beranjak sedikit pun dari posisinya.Rasa pusing dan mualnya kembali menghampiri, ia sungguh akan gila jika seperti ini.Berbeda dengan Lynelle, Ashton menambah kecepatannya hingga ke tempat yang dituju."Kau masih disana?" tanyanya entah pada siapa.Yup. Saat ini, tak jauh dari tempat Lynelle berada, Ashton mengamati wanita itu. Ia bahkan sudah mengganti pakaiannya. Tak ada orang disana selain mereka. Ashton ragu apakah ia harus melanjutkan serangannya pada Lynelle atau membiarkan wanita tersebut.Beberapa menit Ashton masih di posisi yang sama hingga pada akhirnya ia mengalah. Mungkin ini bukan saat yang tepat atau memang takdir wanita itu bukanlah sekarang?...Suara raungan motor yang terdengar familiar mendekatinya."Lynelle? Apa itu kau?"Suara itu tak asing, Lynelle mendongak sedetik kemudian hazelnya menatap sayu pengendara tersebut.Ya, itu Ashton."Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya."Kumohon tolong aku, aku benar-benar pusing. Kumohon!""Apa?"Entah dorongan dari mana, Lynelle melangkah pelan mendekati Ashton. Melawan rasa pusingnya ia berdiri dihadapan pria tersebut."Kumohon! Seseorang ingin membunuhku, aku sungguh takut. Ahhh aku benar-benar pusing saat ini, kumohon." pinta Lynelle dengan kosakata yang berantakan. Tidak peduli dengan harga dirinya, saat ini yang dipikirkannya adalah kembali ke rumah. Ia bahkan tak peduli bagaimana ceritanya Ashton bisa berada di sana.Ashton menatap Lynelle tak bergeming. Meneliti wanita tersebut.Ia menyeringai samar."Kau pusing? Sungguh? Kenapa?" tanyanya beruntun, tak memperdulikan Lynelle yang nampak benar-benar tak sanggup menopang tubuhnya."Entahlah b*stard! Tidak bisakah kau menolongku tanpa bertanya? Aku benar-benar tak sanggup sekarang. Aish br*ngsek!" maki Lynelle.Ashton nyaris tertawa mengejek "Begitukah caramu meminta bantuan? Oh b*tch!"Lynelle tak peduli. Tanpa persetujuan Ashton, ia telah terlebih dahulu menaiki motor pria terebut."Shut up b*stard! Jika bukan karena kau yang menjatuhkan handphoneku, aku takkan seperti ini." Lynelle kembali berulah, menampakkan sifat aslinya.Ashton menggeram pelan. "Apa yang kau laku-"Ashton terdiam tak melanjutkan kata-katanya begitu dirasakannya Lynelle menyandarkan kepalanya pada punggungnya."Biarkan seperti ini untuk sesaat. Kumohon, aku benar-benar pusing sekaligus mual.." Suara Lynelle yang mengalun tak berdaya membuat Ashton sedikit menoleh."Apa kau baik-baik saja?""......"Ashton terhenyak begitu tak mendapat jawaban dari Lynelle. Hembusan nafas panas wanita tersebut dapat dirasakannya."Baiklah, kali ini aku akan membiarkanmu." lirih Ashton .Ia lalu kembali berbalik dan mulai melajukan motornya membelah jalanan yang nampak sepi tersebut. Tentu saja sepi karena mereka berada di area perbatasan kota."OH SIAL, HEY LYN! DIMANA ALAMAT RUMAHMU?"...~Dari awal kita salah, ini permainan takdir~....Ashton menggeram pelan, sudah terhitung lebih dari beberapa kali ia berusaha membangunkan Lynelle namun hasilnya tetap sama. "Sebenarnya dia pingsan atau tertidur?" jengah Ashton.Saat ini mereka berada di depan apartemennya, dengan terpaksa ia harus membawa Lynelle kesini. Semula ia sempat menghubungi Ben untuk menanyakan alamat Lynelle namun sama saja, lelaki itu juga tak tahu dimana tepatnya alamat rumah Lynelle. Setelah memasukan password, pintu pun terbuka. Sambil membopong Lynelle, Ashton melangkah masuk kedalam apartemennya tersebut. Dihempasnya tubuh Lynelle diatas ranjang."Ahh sial!" umpatnya seraya merenggangkan otot tubuhnya. C'mon berat badan Lynelle bisa di katakan lumayan. Ashton beranjak merapikan apartemennya menyembunyikan beberapa alat berbahaya yang berserakan begitu saja, memasukan semuanya kedalam brankas miliknya. Helaan nafas panjang terdengar memenuhi ruangan, setelah semuanya selesai. Ia melirik Lynelle se
~ Permainan takdir kita sedikit kejam~.....Lynelle Pov...Awan mulai menggelap bertanda hujan musim dingin akan mengguyur kota Chicago yang padat. Aku masih bergelung di balik selimutku, padahal waktu setempat sudah menunjukan pukul tujuh sore. Sepulang dari rumah sakit, aku langsung ke rumah dan mengurung diri didalam kamar. Tok.. Tok.. "Lyn.. It's me, Lyvi."Suara pintu yang diketuk diikuti suara khas Lyvi membuatku beranjak sebentar. "Ada apa?" tanyaku bersandar pada pintu. "Semalam kau kemana? Dad pulang dan ia menanyakanmu." seru Lyvi sambil melenggang masuk, duduk di atas ranjangku. Aku mengikutinya lalu duduk di tepi ranjang "Aku menginap di rumah teman."Lyvi menaikan satu alasnya, menatapku tak percaya. "Teman yang mana? Dad bahkan menghubungi Rose."Aku memasang raut malas. Ayolah temanku bukan Rose seorang. "Please to the point.. Apa yang Dad katakan dan ingin kau sampaikan padaku?" jengahku. "Hmm.. Sepertinya Dad ingin kau memegang bisnisnya. Dad sempat murka saa
~ Kita bisa memilih, menantang takdir atau mengikutinya dan hancur bersama~Ashton Pov.... "Kau akan mati, j*lang! ""AKHHHH!! "PRANK.. Kaca mobil milik Lynelle dalam sekejap retak. Sayang tinjuanku melesat mengenainya. Aku tidak perduli dia wanita.Aku tertawa mengejek menatap telapak tanganku yang tergores. Jujur aku hendak melayangkan tanganku memukul Lynelle kala itu,namun beruntunglah dengan cepat ia menghindar. Lynelle merosot perlahan, meringkuk ketakutan di samping mobil. Hazelnya menatap obsidianku penuh akan kewaspadaan.Aku ikut merunduk, berjongkok dihadapannya. Aku mengamati Lynelle. sesaat dengan gigi bergemeletuk Kuangkat dagunya kasar dan memaksa hazelnya menatapku. Aku menyesal tidak membunuhnya malam itu.. Sungguh..! "Sejak kapan?" desisku menatapnya nyalang. "B-berapa hari yang lalu." suara Lynelle mengalun bergetar, hazelnya berkedip tak tenang mencoba menghindari tatapanku. Aku menatapnya tak percaya. Ini gila, tak masuk akal! Aku mendesah berbahaya, piki
~Dari awal takdir memang menargetkan kita, bahkan semesta membantunya~...Lynelle tahu ini akan terjadi cepat atau lambat namun ia tak sadari kalau akan secepat ini.Ia akui ini salahnya karena dengan bodohnya meletakan kertas pernyataan kehamilannya di meja belajar begitu saja. Seharusnya dia lebih berhati-hati. Mendengar suara Ayahnya yang sangat marah di seberang sana membuatnya berdetak ketakutan. Sepanjang perjalanan pikirannya penuh dengan kata-kata apa yang harus ia ucapkan ke Ayahnya.Tamparan tuan Ainsley menyambut Lynelle begitu wanita itu memasuki rumah. Dari sudut matanya, Lynelle bisa melihat surat pernyataan kehamilannya tergeletak diatas meja. Mengapa ia begitu ceroboh?"LYNELLE, BISA KAU JELASKAN INI?" Seru tuan Ainsley seraya melempar surat itu tepat didepan hazel Lynelle."Itu......"Lynelle hendak menjelaskan namun entahlah bibirnya mendadak kelu, ia tidak tahu harus memulai dari mana dan pada akhirnya ia hanya terdiam."Jadi apa yang dituliskan disitu benar adany
~Takdir kita lebih gila dari yang kita duga~...Seminggu telah berlalu dengan begitu cepat sama halnya dengan ujian akhir semester yang telah usai. Lynelle melangkah gontai keluar dari gedung, diikuti Rose disampingnya."Lyn, liburan kali ini apa yang kau rencanakan?" Rose mulai bertanya sambil sesekali melirik handphone-nya.Menanggapi hal tersebut, Lynelle bergumam tak acuh "Entahlah.""Apa kau punya masalah? Kau tampak kacau belakangan ini." Komentar Rose. Ia menyimpan handphone-nya sementara, memfokuskan pandangannya pada Lynelle yang terlihat berantakan."Aku baik-baik saja, mungkin ujian membuatku sedikit berantakan." kilah Lynelle.Rose memicingkan matanya tak percaya, namun sudahlah sepertinya Lynelle tidak ingin berbagi cerita. Baru beberapa langkah mereka menuju parkiran, sesuatu yang sedikit aneh menyambut Rose. Ayolah, siapa tak aneh melihat Ashton berada di fakultasnya, seperti menunggu seseorang.. tapi siapa?"Kau sudah tiba? Cepat sekali." Lynelle berujar menghampiri A
~Perlahan Leopard menerkam mangsanya~... "Apa kau yakin dengan keputusanmu?"Kedua obsidian-nya memandang redup hamparan salju di luar. Sesekali jemari panjangnya mengguncang minuman beralkohol itu menciptakan sebuah bunyi dan gumpalan yang melonjak"Ashton... Aku sedang bicara denganmu." Ben begitu jengah, melihat sahabatnya mulai hanyut dalam dunianya sendiri. Ia tahu Ashton tengah berfantasi mengerikan tentang anak itu. Saat ini mereka sedang berada di bar milik pamannya. Sedangkan waktu sendiri telah menunjukan pukul sembilan malam lebih."Aku akan menikmatinya.""Tck! Hei, berhentilah bersikap seperti pria psikopat!"Ashton terkekeh mendengarnya, dalam sekali gerakan ia memutar tubuh dan memandang lekat pria bernama Ben di hadapannya."Singa telah menerkam mangsanya, sangat menarik bukan?" desisan itu membuat dirinya terperangah, entahlah ia merasa Ashton tak hanya sekedar mengoceh. Terlebih tatapan obsidiannya terlalu rumit untuk ditafsirkan. Samar-samar Ben mencium niat terse
~Kita perlahan bergerak menantang takdir~...Ashton berjalan pelan memasuki ruang dimana tuan Ferland berada, pria berumur itu nampak sumringah melihat kedatangan Ashton."Akhirnya kau datang nak!""Ya, seperti itu." sahut Ashton sembari mendudukkan dirinya di depan tuan Ferland.Pria itu menatap Ashton menyeringai "Jadi bagaimana dengan rencana kita? Apakah berjalan lancar?'Ashton mengangguk dan tersenyum licik "Tentu, sepertinya psikis-nya mulai terganggu. Pagi ini ia bahkan dengan nekat menelan semua obatnya tanpa dosis dikarenakan sesuatu yang ku lakukan padanya." jelas AshtonTuan Ferland nampak keberatan mendengarnya, lelaki berumur tersebut berdiri sebentar mengitari ruangan tersebut. Ditiupnya seberkas debu pada jendela yang menopang."Jadi kau akan membunuhnya secara psikis? Tidak secara fisik?"Ashton menggeleng di balik pundak pria tersebut. "Tidak, saya di bayar bukan untuk membunuh psikis.. Seperti yang Tuan ketahui saya selama ini dibayar untuk membunuh secara fisik t
~Di dunia ini, tidak ada yang hidup dengan mudah.~...Kini Ashton telah mencengkram mangsanya, meski bukan mangsa utama yang selama ini diincarnya. Sedikit mengecewakan memang tapi setidaknya Lynelle bisa menjadikan lampiasan segala dendamnya. Putri keluarga Ainsley itu harus jauh lebih menderita di bandingkan dengan dirinya."A-Ashton?"Ashton tersentak dari lamunannya begitu mendengar panggilan lirih Lynelle. Ia menyipitkan mata, melihat wanita itu tampak berdiri gemetar di ambang pintunya."Hn!" gumam Ashton dingin, ia menatap Lynelle sesaat lalu setelahnya berpaling dan lebih memilih berkutat dengan gadget hitamnya."Antarkan aku ke Rumah sakit, perutku mengalami kram." ucap Lynelle tak kalah dingin begitu melihat tanggapan tak acuh Ashton.Namun Ashton menoleh cepat dan menatap tak suka pada dirinya."Pergilah Sendiri, aku sibuk!"Lynelle membulatkan mata lebar, tentu saja itu tidak baik. Udara sangat dingin tentu mengerikan jika ia harus menyetir."Aku tidak sedang ingin berde