Share

06. Kegagalan Pertama

~Kadang takdir sebercanda itu~

.....

Ashton berjalan pelan di lorong sebuah gedung tua sambil membopong Lynelle di punggungnya.

Hentakan demi hentakan langkahnya menggelegar di seluruh gedung.

Gedung tua nan kosong ini adalah bekas pabrik tekstil tak terpakai lagi akibat kebakaran beberapa tahun yang lalu.

Sedikit berhat-hati Ashton meletakan tubuh Lynelle yang tak sadarkan diri di lantai mermar penuh debu tersebut. Dan dengan cekatan ia membuka tasnya, mengambil masker dan topi serta sarung tangan. Bagaimana pun ia harus berjaga dalam situasi ini, apapun bisa saja terjadi mungkin wanita itu akan tersadar. Saat ini keadaan darurat. Suatu kesempatan yang tidak ia duga dan rencanakan, sialnya ia tak membawa bius maupun suntik sianida dalam tasnya, jadi ia harus menyelesaikannya secepat mungkin. Ini adalah kesempatan satu-satunya.

Setelah menggunakan perlengkapannya, pada akhirnya ia mengeluarkan sepaket peralatan dari kantong tasnya yang paling terakhir. Ia harus membedah dan membawa organ tubuh yang bisa dijual.

Ia melirik Lynelle sebentar, memastikan wanita itu masih dalam keadaan tak sadarkan diri.

"Pukul 11:54 P.M." gumam Ashton.

Dalam remangnya pencahayaan, ia menulis angka tersebut pada secarik kertas.

Ia kembali menyeringai, ditatapnya Lynelle intens.

"Sorry!"

Dan tanpa ragu pisau bedah ditangannya hendak menerjang kulit Lynelle namun sayang, sebelum itu terjadi hazel yang tadinya tertutup itu seketika terbuka.

"AKHHH..! A-apa yang kau lakukan?"

Ashton membelalak lebar begitu hazel tersebut menubruk obsidiannya.

"Kau..."

SREK..

Ashton segera menyambar tasnya dan berlari secepat mungkin keluar dari gedung tersebut.

"Sh*t! Hampir saja!" umpatnya sesal.

.......

"Indah." Itulah kata yang dapat Lynelle deskripsikan saat ini, suara tawa khas anak-anak terdengar nyaring. Lynelle tersenyum dan menoleh begitu seorang balita memeluk lututnya erat.

Ada yang aneh, balita itu tak tersenyum. Raut sedih yang sangat jelas terukir di wajahnya.

"Why are you crying, little beauty?" tanyanya. Nalurinya bertindak menghapus setetes air mata yang mengalun lembut menyusuri pipi gembul balita tersebut.

"Dangel!"

Lynelle menyerngit begitu tangan kecil balita itu memukul dadanya kuat beriringan dengan suara cemprengnya.

"What?" tanya Lynelle tak mengerti.

Tangan kecil itu semakin bringas memukulnya hingga membuatnya hampir terjatuh.

Lynelle hendak memarahinya namun tangan kecil tersebut terulur menunjuk sesuatu di belakangnya. Lynelle berbalik dan seketika itu juga hazelnya membelalak begitu sebuah pisau diarahkan keaarahnya.

.....

"AKHH..! A-apa yang kau lakukan?"

Lynelle tersentak, pandangannya mengabur. Namun, tak sampai disitu keterkejutannya. Begitu kesadarannya  kembali, pisau itu tepat didadanya, hendak perlahan menembus kulitnya. Lynelle berseru shock tak percaya.

Ketika ia mendongak, hazelnya menubruk sebuah manik bewarna obsidian pekat.

Entah mengapa warna mata itu terasa tak asing.

"Kau..."

SREK

Belum sempat Lynelle melanjutkan kata-katanya, pria bermasker itu telah berlari meninggalkannya.

Hazelnya memburam, tak ada pencahayaan di sekitar sini. Ya kecuali sinar bulan dari atap gedung yang sedikit terbuka. Sinar itu menerobos tepat di sekitarku.

Perlahan Lynelle bangun. Rasa pusing masih menderanya tak ayal hal itu membuatnya semakin susah mencerna semua kejadian barusan.

Tapi satu hal yang dapat ia pastikan yaitu sesorang berniat membunuhnya.

Tapi siapa? Itu yang menjadi pertanyaan sekarang. Dan apakah barusan itu mimpi? Apakah itu bertanda?

Lynelle menggeleng pelan, berharap semua spekulasinya salah.

Setelah beberapa saat terdiam, ia memutuskan untuk bangkit, mengebas sudut jaket dan celananya yang berdebu.

"Sh*t! Tempat ini benar-benar menyeramkan." ujar Lynelle seraya menatap sekelilingnya dan bergidik ngeri. Ia tak menyangka di balik gemerlapnya Chicago, masih ada tempat seperti ini.

Kakinya melangkah keluar dari gedung tersebut. Hal pertama yang menyapa pandangan Lynelle adalah jalanan sepi.

Lynelle tertawa hambar "What the hell!"

Ia bahkan tidak mengenali kawasan ini . Segera ia  meraih saku jaketnya, mencari benda persegi empat disana. Lynelle bergeming begitu jemarinya tak mendapati benda yang dimaksud.

"AHHH!" Lynelle menjerit kesal begitu menyadari bahwa ia sama sekali belum membeli handphone baru. Dengan putus asa Lynelle berjongkok diatas trotoar. Jujur, ia frustasi dengan keadaannya sekarang.

"AHH SH*T!!"

...

Ashton membuka jaket yang tengah dikenakannya dengan kasar. Nyaris saja! Tak henti-hentinya bibirnya menyeruak kesal, menghela nafasnya panjang. Saat ini ia sudah berada di dalam apartemennya. Menyadarkan punggung tegapnya pada bantalan sofa.

Pikirannya kembali melayang pada kejadian barusan. Obsidiannya menatap tajam pisau bedah yang tergeletak didepannya.

"Apakah pergerakanku kurang cepat?" batinnya bergumam.

Ia tak pernah segagal ini, paling minim targetnya harus mempunyai 'tanda' di tubuhnya atau menetap beberapa hari di rumah sakit. Ini benar-benar rekor baru. Namun bukan itu yang menjadi kekwahtirannya sekarang melainkan dugaan bahwa apakah Lynelle mengetahui identitasnya?

Jika dilihat dari situasi dan keadaan, sejenak Ashton berpikir itu sangat tidak mungkin bagi Lynelle untuk mengenalnya. Pasalnya tak ada pencahayaan didalam sana dan nilai plusnya ia menggunakan masker. Bila ingin mengingat, tatapan wanita itu juga sedikit aneh. Ia seperti menahan pusing dan mencoba bertahan dalam kesadaran.

Menyadari hal penting tersebut Ashton mengumpat pelan.

"Kenapa aku tidak membunuhnya? Ia bahkan dalam kondisi yang lemah. Sial!" Ashton mengumpat kesal.

Ia mengusap wajahnya kasar. Tak lama kemudian ia bangkit berdiri, berjalan keluar dari apartemennya.

Entah apa yang ada dalam pikirannya, ia sama sekali tidak membawa ranselnya. Sesampainya di parkiran, ia langsung menghampiri motornya lalu mengendarainya.

Sementara itu, si waktu yang bersamaan Lynelle masih terlihat putus asa. Wanita yang dikenal playgirl itu tak beranjak sedikit pun dari posisinya.

Rasa pusing dan mualnya kembali menghampiri, ia sungguh akan gila jika seperti ini.

Berbeda dengan Lynelle, Ashton menambah kecepatannya hingga ke tempat yang dituju.

"Kau masih disana?" tanyanya entah pada siapa.

Yup. Saat ini, tak jauh dari tempat Lynelle berada, Ashton mengamati wanita itu. Ia bahkan sudah mengganti pakaiannya. Tak ada orang disana selain mereka. Ashton ragu apakah ia harus melanjutkan serangannya pada Lynelle atau membiarkan wanita tersebut.

Beberapa menit Ashton masih di posisi yang sama hingga pada akhirnya ia mengalah. Mungkin ini bukan saat yang tepat atau memang takdir wanita itu bukanlah sekarang?

...

Suara raungan motor yang terdengar familiar mendekatinya.

"Lynelle? Apa itu kau?"

Suara itu tak asing, Lynelle mendongak sedetik kemudian hazelnya menatap sayu pengendara tersebut.

Ya, itu Ashton.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya.

"Kumohon tolong aku, aku benar-benar pusing. Kumohon!"

"Apa?"

Entah dorongan dari mana, Lynelle melangkah pelan mendekati Ashton. Melawan rasa pusingnya ia berdiri dihadapan pria tersebut.

"Kumohon! Seseorang ingin membunuhku, aku sungguh takut. Ahhh aku benar-benar pusing saat ini, kumohon." pinta Lynelle dengan kosakata yang berantakan. Tidak peduli dengan harga dirinya, saat ini yang dipikirkannya adalah kembali ke rumah. Ia bahkan tak peduli bagaimana ceritanya Ashton bisa berada di sana.

Ashton menatap Lynelle tak bergeming. Meneliti wanita tersebut.

Ia menyeringai samar.

"Kau pusing? Sungguh? Kenapa?" tanyanya beruntun, tak memperdulikan Lynelle yang nampak benar-benar tak sanggup menopang tubuhnya.

"Entahlah b*stard! Tidak bisakah kau menolongku tanpa bertanya? Aku benar-benar tak sanggup sekarang. Aish br*ngsek!" maki Lynelle.

Ashton nyaris tertawa mengejek "Begitukah caramu meminta bantuan? Oh b*tch!"

Lynelle tak peduli. Tanpa persetujuan Ashton, ia telah terlebih dahulu menaiki motor pria terebut.

"Shut up b*stard! Jika bukan karena kau yang menjatuhkan handphoneku, aku takkan seperti ini." Lynelle kembali berulah, menampakkan sifat aslinya.

Ashton menggeram pelan.  "Apa yang kau laku-"

Ashton terdiam tak melanjutkan kata-katanya begitu dirasakannya Lynelle menyandarkan kepalanya pada punggungnya.

"Biarkan seperti ini untuk sesaat. Kumohon, aku benar-benar pusing sekaligus mual.." Suara Lynelle yang mengalun tak berdaya membuat Ashton sedikit menoleh.

"Apa kau baik-baik saja?"

"......"

Ashton terhenyak begitu tak mendapat jawaban dari Lynelle. Hembusan nafas panas wanita tersebut dapat dirasakannya.

"Baiklah, kali ini aku akan membiarkanmu." lirih Ashton .

Ia lalu kembali berbalik dan mulai melajukan motornya membelah jalanan yang nampak sepi tersebut. Tentu saja sepi karena mereka berada di area perbatasan kota.

"OH SIAL, HEY LYN! DIMANA ALAMAT RUMAHMU?"

...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status