Share

Pengorbanan Diri

Malam harinya, di saat aku sendirian di rumah, aku membaringkan diri di tempat tidur, mencoba untuk terlelap dan melupakan semua kejadian yang ku alami tadi. Namun, sayangnya melupakan suatu kejadian memang tidak semudah membalikan telapak tangan, apalagi jika kejadian itu adalah kejadian yang meningalkan kesan buruk dalam ingatan. Aku kembali mengingat cara Hyunwoo yang menyeringai sambil menghisap rokoknya, ah benar-benar mengerikan. Terlebih lagi ia terleihat sangat menikmati rasa sakit yang dirasakan Deok Kwon saat dirinya dipukuli, semua itu membuat sosok Hyunwoo terlihat seperti seorang psikopat.  Jelas saja, orang normal mana yang senang melihat seseorang menderita. Dan membayangkan bahwa baru saja aku berurusan dengan orang semacam dia benar-benar mengganggu pikiranku. Membuatku terjaga hingga waktu ayahku pulang.

Ayahku yang bernama Choi Suguk adalah seorang sales di perusahaan MT Electronic yang merupakan anak perusahaan dari MT Group, perusahaan yang sedang naik daun dan dikenal sebagai perusahaan ketiga terbesar di Korea, jika dihitung kekayaan yang dimiliki oleh MT Group tidak akan habis hingga 30 turunan sekalipun. MT Group yang memiliki usaha di bidang elektronik, property, fashion hingga entertainment memang sangat sulit untuk dijatuhkan dan dibuat bangkrut. Pada awalnya aku bangga memiliki seorang ayah yang bekerja di perusahaan ternama seperti MT Elektronik, namun saat usiaku sudah memasuki usia 15 tahun dan mengetahui beban pekerjaan ayah yang tidak sebanding dengan gaji yang ia dapat, membuatku menjadi geram dan merasa tidak adil. Sepertinya bukan hanya aku saja yang merasa seperti itu, namun juga ayahku. 

Ayah selalu pulang tengah malam dalam keadaan mabuk. Baju kemejanya selalu acak-acakan, bau alcohol yang tajam tercium sangat jelas saat ia memasuki rumah. Malam itu pun sama seperti malam-malam sebelumnya, ayah menggedor-gedor pintu rumah dengan keras dan memanggil-manggil nama ibuku yang sudah meninggal sejak aku berusia 10 tahun. Aku membuka pintu lalu ayah langsung ambruk ke dalam pelukanku. Sangat sulit menyeret tubuh pria berusia 45 tahun tersebut, rasanya seluruh ototku meregang saat menarik tubuhnya, hingga setiap pagi badanku akan pegal-pegal. 

“Waaaa…Suyeon Lee…aku sangat mencintaimu. Saaaaangat sangat mencintaimu” ayahku mulai meracau sambil menangis tersedu-sedu. Ia adalah sosok pria yang setia. Perasaan cintanya pada ibuku rasanya tidak pernah berubah. Di saat sedih sekalipun hanya ibu yang dia ingat. Sedangkan aku ? yaaa. Aku sendiri tidak dapat menuntut banyak atau mengharapkan kasih sayang ayah yang lebih. Dari lahir aku tidak terlalu dipedulikan oleh orang tuaku, karena mereka memang tidak pernah mengharapkan kehadiran anak perempuan, nama yang mereka berikan padaku pun hanya sebagai penghimburan atas kekecewaan mereka terhadap kehadiranku.

Untung saja aku memiliki bibi Choi Lin Yi yang selalu datang berkunjung ke rumah untuk menengok dan mengurusku, dan sejak ibu meninggal, bibi akan datang setiap pagi untuk menyiapkan sarapan kami. 

“Kau tidak perlu lagi mengurus kami” ucap Ayah pada bibi Lin Yi di tengah-tengah sarapan pagi kami. Aku menatap ayah dengan penuh perasaan kecewa. Kenapa ayah mengatakan hal itu ? bukankah ia tahu bahwa hanya bibi Lin Yi yang tersisa untukku ? 

“Ayah…” panggilku dengan lirih. Ayah menengok ke arahku dan menatapku dengan tajam, seolah panggilanku merupakan sebuah gangguan baginya.

“Jungyeon sudah besar, ia bisa mengurus dirinya sendiri. Begitupun dengan aku” lanjut ayahku dengan serius.

Aku menggelengkan kepala, tidak terima dengan apa yang dikatakan ayahku. Air mata bahkan hampir menetes ke luar membasahi pipiku, namun tangan bibi segera menggenggam tanganku dan menatapku dengan penuh kehangatan seakan ia tahu kesedihanku dan ingin menghiburku sesegera mungkin.

“Jungyeon sudah seperti anakku sendiri. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja dengan kakak” jawab bibi ku dengan tegas.

“Brukkk” ayah membanting sendok ke meja dengan keras hingga meja tersebut bergetar dan menjatuhkan sebuah gelas. 

“Kau tidak punya hak apapun atas Jungyeon. Jadi pergilah ketika aku menyuruhmu untuk pergi” ucap ayahku. Setelah mengucapkan kalimat itu dengan jelas, ayah segera mengambil tas dan jasnya, merapihkan dasi lalu berangkat kerja, ia membanting pintu rumah dengan keras, membuat aku dan bibi Lin Yi terlonjak saking kagetnya.

Bibi memelukku dengan erat dan mengelus puncak kepalaku dengan lembut “Jangan khawatir, Jungyeon…bibi akan selalu ada di dekatmu. Kau juga ingin bersama dengan bibi kan ?” Tanya bibi Lin Yi dengan matanya yang teduh, seteduh langit seusai hujan. Aku mengangguk tanpa banyak berpikir.

Bukannya aku tidak ingin tinggal bersama ayahku dan menjadi anak yang durhaka, hanya saja perlakuan bibi Lin Yi terhadapku lebih baik ketimbang perlakuan orang tuaku sendiri yang memiliki darah yang sama denganku. Dan ya, tentu saja aku pun sama seperti orang lain, aku menginginkan kebahagian untuk tinggal bersama dengan orang-orang yang aku cintai dan mencintaiku, dan bibi Lin Yi adalah salah satunya.

Bibi Lin Yi merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah tiket bus dari dalamnya, ia menyodorkan tiket itu kepadaku, menarik tanganku untuk menerimanya. “Ikutlah dengan bibi ke Jeju. Bibi akan menikah dengan seorang lelaki disana dank au bisa menjadi anak angkat kami” ucap bibi Lin Yi dengan penuh pengharapan.

Oh Tuhan, rasanya bahagia sekali ketika bibi Lin Yi ingin mengangkatku sebagai anaknya, mengingat kenangan indah yang sudah kami bentuk semenjak aku dilahirkan ke dunia, aku sangat yakin bahwa ikut dan tinggal bersamanya adalah pilihan terbaik. Dan dengan begitu aku pun bisa memenuhi permintaan Deok Kwon untuk pindah sekolah, dengan begitu aku bisa melupakan kejadian sebelumnya dan memulai kehidupanku yang baru. Aku memeluk bibi Lin Yi dengan erat saking bahagianya. Bibi Lin Yi membalas pelukanku dan menepuk nepuk punggungku dengan lembut. 

“Sudahlah, cepat berangkat sekolah, dan temui bibi pukul tiga sore nanti di terminal Cheonju. Jangan sampai telat, karena itu adalah tiket terakhir untuk bus terakhir ke pulau Jeju. Mengerti ?” ucap bibi Lin Yi. Aku mengangguk pertanda setuju dengan ucapannya. Hari itu, pukul tiga sore adalah waktu yang paling aku nanti. Membayangkan hari-hari damai bersama bibi Lin Yi di Jeju tidak pernah lepas dari kepalaku. Membuatku bersemangat dalam menjalani hari ini, masa bodo dengan Hyunwoo dan yang lainnya. Aku hanya perlu bertahan satu hari ini saja, oh tidak, bahkan tidak sampai satu hari lagi aku bisa melupakan semua hal menyedihkan di masa lalu dan memulai kehidupanku yang baru. Tanpa aku sadari, kakiku meloncat loncat saking senangnya, senyum merekah dengan indah, bahkan langit yang kala itu sedang gelap bisa terlihat cerah di mataku. Rasanya ingin ku meretuki kebodohanku saat itu yang tidak mengingat peringatan Deok Kwon padaku juga masih sempat-sempatnya tersenyum seperti itu tanpa merasa takut akan apa yang akan terjadi nanti.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status