Share

Wawancara Kerja

" Bapak serius?"

Perempuan itu masih ngos-ngosan. Dadanya naik turun dan seluruh tubuhnya banjir keringat. Bahkan, ruangan dengan suhu sembilan belas derajat celcius tempat dimana Tiffany duduk, masih belum membuat keringatnya mengering.

" Kamu pikir muka saya kelihatan bercanda?"

Tiffany kaget. Mendengar lelaki yang mengaku sebagai HRD di perusahaan tempatnya melamar kerja meninggikan intonasi suara. Lelaki yang tadi memperkenalkan diri sebagai Feri kemudian menunduk. Mungkin merasa bersalah karena telah bersikap tidak sopan kepada karyawan baru di tempatnya bekerja. Syukurlah jika memang begitu.

Ck, galak amat!

" Jadi saya diterima, Pak?" masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, Tiffany bertanya lagi. Mengingat orang-orang bilang mencari kerja sangat sulit. Dan poin tersulitnya adalah ketika wawancara.

Apanya yang sulit?

Tiffany bahkan hanya ditanya nama, lulusan apa, tahu lowongan kerja ini dari mana, pengetahuan profil perusahaan dan motivasi ingin kerja. Semudah itu dan sampai di sini, Tiffany bahkan tak menemukan kesulitan apa-apa, selain upayanya untuk datang kemari menerobos macetnya jalanan Jakarta dan panggilan kerja yang begitu dadakan. Pukul lima pagi, Tiffany ditelepon oleh pihak perusahaan untuk menghadiri wawancara kerja.

" Iya. Selamat bergabung di perusahaan kami, ya," kini intonasi Feri melunak, " habis ini tunggu di ruang tunggu dulu ya." Lanjut lelaki berkulit sawo matang itu lagi sembari mengulum senyum terpaksa.

Tiffany mengangguk, tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang rapi. Melihat Feri berdiri, ia ikut berdiri kemudian menjabat tangan lelaki itu beberapa detik. Ia menunduk sebelum keluar dari ruangan interview. Menutup pintunya lagi, kemudian membaca sederet kalimat yang ditempel asal pada pintu ruangan berwarna cokelat muda.

RUANG INTERVIEW

YANG TIDAK BERKEPENTINGAN DILARANG MASUK!!!

Tiffany merasa senang sekali hari ini. Bahkan sepanjang jalan menuju ruang tunggu di lantai satu, perempuan sembilan belas tahun itu membaca tulisan-tulisan yang ada di pintu-pintu yang dilewatinya. Ruang GA, ruang Manajer, ruang IT, ruang Direktur Utama. Tiffany menghentikan langkah lambatnya dan matanya melebar. Jadi ini ruangan atasannya nanti? Wah...

Saking penasarannya dengan apa yang ada di dalam, Tiffany berhenti. Mendekati Kaca yang ditempeli stiker motif di bagian dalamnya, barangkali agar tak kelihatan dari luar. Tak mau menyerah, Tiffany mendekatkan matanya ke kaca di depannya, siapa tahu bisa melihat sosok atasannya. Direktur Utama PT. Agro Makmur Jaya, atau biasanya disingkat dengan AMJ. Perusahaan pertanian yang pernah meraih piala citra sebagai emiten terbaik nomor dua di Indonesia dalam bidang pertanian di ajang National Bussines Awards tahun dua ribu dua puluh. Setidaknya begitu yang Tiffany baca sebelum ia memutuskan untuk mengirimkan Curiculum Vitae kemari.

" Mbak, ngapain ya?"

Tiffany menegakkan tubuhnya kemudian berbalik. Mengulas senyum kikuk pada lelaki berkemeja putih polos yang berdiri sembari memasukkan dua tangan ke saku celana hitamnya.

" Nggak ngapa-ngapain, kok. Cuma lewat," jawabnya cepat-cepat kemudian melenggang pergi. Jantung Tiffany berdebar ngeri. Sungguh, ia tidak bermaksud mengintip siapa pun. Tapi, melihat ruangan calon atasannya benar-benar membuat Tiffany penasaran dengan tampangnya.

Apakah Direktur Utama AMJ lelaki tua yang seluruh rambutnya sudah memutih? Atau perempuan tua yang banyak maunya? Atau bahkan perempuan dewasa yang jutek? Atau lelaki muda bertubuh kotak-kotak, memiliki tatapan tajam, jarang bicara dan arogan seperti di film-film? Atau jangan-jangan lelaki yang tadi? Ah, tidak mungkin. Lelaki tadi hanya pegawai biasa, kan?

Sampai di ruang tunggu, Tiffany segera duduk. Di depannya ada resepsionis yang tampak ramah. Melayani satu per satu tamu dan menelpon berkali-kali. Melihat pemandangan itu, Tiffany jadi ingat ketika masih di Sekolah Dasar dulu. Saat ditanya mengenai cita-cita oleh gurunya yang sudah tua. Sebagian besar teman laki-lakinya menjawab ingin jadi polisi, pilot dan dokter. Beberapa teman perempuannya menjawab artis, model, dokter, guru dan lain sebagainya. Sedangkan Tiffany, dengan polosnya menjawab : " aku mau jadi resepsionis."

Jelas saja begitu. Tiffany sering diajak liburan oleh Ayahnya nyaris setiap bulan sebelum Mamanya melahirkan adik lelakinya. Di setiap hotel tempatnya menginap, Tiffany selalu menemukan tulisan resepsionis di meja depan. Melihat apa yang dilakukan resepsionis membuat Tiffany senang. Mencatat, menelpon dan melayani banyak orang. Saat itu, ia pikir menjadi resepsionis adalah hal yang sangat mudah dan bisa dilakukan oleh siapa saja.

" Mbak Tiffany, Pak Direktur Utama mau ketemu. Ruangannya ada di lantai dua ya."

Tiffany mengerjap. Sadar telah hanyut dalam lamunan masa kecilnya yang begitu indah. Bagaimana pun, masa kecil adalah masa lalu yang tak bisa Tiffany raih kembali. Sekarang ia sudah memasuki usia dewasa dan mempunyai tanggung jawab lebih terhadap dirinya sendiri, adiknya dan hutang-hutang Ayahnya yang kabur setelah usahanya bangkrut.

Tiffany mengangguk kepada resepsionis yang sejak tadi ia perhatikan, kemudian berjalan menuju ruangan yang tadi sempat ia intip. Agak ngeri sebenarnya, takut jika lelaki tadi benar-benar orang yang akan jadi atasannya. Jantung Tiffany semakin berdebar kencang ketika telah sampai di depan pintu yang di cat warna cokelat muda. Mengatur napas, Tiffany mengetuk pintu di depannya dua kali hingga mendengar suara dari dalam yang menyuruhnya masuk.

" Masuk!"

Debaran di dada Tiffany semakin keras setelah memutar kenop pintu. Saat pintu terbuka, aroma parfum maskulin tercium harum. Sekelebat, ia ingat aroma ini. Aroma surga yang merasuk indera penciumannya semalam. Tiffany menggigit bibir bawahnya, gugup. Menutup pintu di belakangnya, Tiffany mengangkat kepala. Jantungnya semakin mau copot saat melihat dua lelaki yang duduk berhadapan, melihat ke arahnya secara bersamaan setelah menyadari kehadirannya di dalam ruangan.

Lelaki yang duduk di depan adalah orang yang tadi memergokinya mengintip, dan lelaki di belakang meja adalah... Astaga. Tiffany menelan ludahnya susah payah. Diterima kerja sebagai sekretaris Direktur Utama di perusahaan ternama rupanya berhasil menurunkan harga dirinya ke level paling rendah.

" Kamu... yang ngintip tadi, kan?"

Tiffany menundukkan wajahnya dalam-dalam saat lelaki yang memergokinya tadi bertanya.

" Jadi... kamu sekretaris baru di sini?"

Seolah masih belum cukup dengan pertanyaan memalukan itu, lelaki tadi bertanya lagi.

" Nama kamu... Tiffany Anindira?"

Kali ini lelaki di balik meja yang bertanya.

" Duduk."

Tiffany menurut. Duduk di sebelah lelaki yang memergokinya tadi. Namun, sebisa mungkin Tiffany tak menghiraukan suara tawa tertahan di sebelahnya. Sungguh, ia benar-benar malu sekarang. Berada di tengah-tengah dua lelaki yang pernah memergokinya. Satu memergokinya mengintip, satunya lagi memergokinya menjajakan diri sebagai pelacur.

" Jadi... kenapa tadi ngintip-ngintip?"

Sudah diduga. Akhirnya pertanyaan itu ditanyakan juga. Tiffany mengatur napasnya agar bisa lebih tenang menghadapi ini semua. Namun, tetap tidak bisa. Bukan hanya malu, kini seluruh tubuhnya gemetaran. Lama suasana ruangan seluas delapan meter ini diselimuti keheningan. Seolah dua lelaki itu sedang menunggu jawaban yang enggan Tiffany jawab.

Si lelaki beraroma surga berdehem, membuat Tiffany kaget.

" Jadi... apa motivasi kamu mau jadi sekretaris saya, Tiffany Anindira?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status