Share

Di Tengah Kemacetan Jakarta

" Dav, kamu ganteng loh."

Davian tersedak susu hangat yang baru saja akan mengaliri tenggorokannya. Setelah mendengar Sherly memujinya secara tak biasa, susu itu justru lari ke pangkal hidung, membuat bagian atas hidungnya sedikit sakit.

" Duh... pelan-pelan dong Davian," Sherly meraih tisu dan berniat mengelap mulut Davian. Namun, tangannya segera ditepis oleh Davian agak kasar, tapi perempuan dua puluh delapan tahun itu hanya menggelengkan kepala melihat perilaku tidak sopan anak tirinya yang angkuh. " Biar Mami buatin lagi susunya," Sherly berdiri, bergegas menuju dapur untuk membuatkan susu yang baru.

Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya dan geli sendiri mendengar Sherly menyebutkan dirinya sebagai 'Mami' kepada Davian, padahal perempuan itu hanya berusia setahun lebih tua dari Davian. Itulah alasannya Davian tidak menyukai Sherly. Apalagi keputusan Papinya untuk menjadikan perempuan dua puluh delapan tahun itu sebagai istri dan Papinya bilang Davian harus memanggilnya dengan sebutan 'Mami Sherly'.

" Nggak usah," Davian menolak. Sudah tak ingin minum susu lagi.

" Kenapa?" masih dengan posisi berdiri, Sherly bertanya.

" Sudah siang. Saya harus berangkat."

Davian meninggalkan Sherly begitu saja. Mengabaikan perpaduan suara sandal karet dan keramik di belakangnya. Davian tahu, Sherly mengikutinya. Barangkali, perempuan itu ingin mengantar Davian sampai gerbang, seperti orang tua perempuan pada umumnya. Tapi, Davian sama sekali tidak peduli. Bahkan, ia tak pernah mempedulikan orang lain di rumah mewah milik Papinya ini selain dirinya, Papi dan Mbok Hilda.

" Davian, hati-hati, ya!"

Davian mendengar teriakan itu. Tapi, ia sama sekali tak merespons. Bahkan, menurunkan kaca mobil saja ia enggan.

" Jalan, Ka." Perintah Davian kepada Raka. Sopir pribadi yang mulai bekerja semenjak Davian memutuskan bekerja di perusahaan Papinya yang bergerak di bidang pertanian.

Raka menurut, melajukan SUV hitam milik Raka membelah jalanan pagi kota Jakarta yang lumayan semrawut dan berisik.

Sebagai orang yang mengelompokkan diri sebagai sekte melankolis, Davian sangat membenci suasana macam ini. Jika diberi kesempatan untuk dapat tinggal di tempat lain, Davian akan terbang jauh ke tempat yang menyegarkan mata. Dimana memiliki halaman belakang rumah yang luas dan disulap menjadi kebun pribadi dengan berbagai jenis tanaman buah dan sayur serta rumah minimalis dua lantai yang lantai-lantainya terbuat dari kayu.

Setiap pagi, Davian akan melakukan rutinitas berkebun di kebun pribadinya yang luas. Menjual buah dan sayur kepada pengepul setelahnya. Lalu, duduk santai di kamar sambil menghadap jendela yang menampakkan pemandangan kebun pribadinya. Menyeruput espresso dingin, membaca novel fantasi sembari sesekali menyesap rokok.

Kira-kira begitulah gambaran hidup yang ia inginkan. Namun, Davian tak berharap lebih untuk waktu dekat ini. Nyatanya, di usianya yang dua bulan lagi akan menginjak dua puluh tujuh tahun, Davian masih terpaksa bergumul dengan lampu merah, suara klakson, badai debu jalanan kota, hingga melihat pertunjukan transformer terguling di tengah jalan dan menyebabkan kemacetan panjang.

" Ada kontainer kebalik, Mas," seolah menyadari raut Davian yang sudah tidak enak dari spion, Raka berusaha menjelaskan. Daripada tiba-tiba kena marah karena sudah hampir dua puluh menit, mobil masih diam tak bergerak.

Davian melepaskan jas hitam dari tubuhnya. Mulai merasa gerah. Menarik lengan kemeja birunya hingga sebatas siku dan mengecek suhu mobilnya.

" Raka, turunkan suhunya. Saya gerah."

Davian mengelap keningnya yang mulai berkeringat menggunakan tisu yang selalu ada di kantong jasnya. Davian memang membutuhkan tisu dimana pun. Makanya, ia selalu membawa dua jenis tisu —tisu kering dan tisu basah— di kantong jas dan kantong celana. Meski di mobilnya selalu ada tisu, tapi di tempat lain belum tentu. Menjalani hidup hampir dua puluh tujuh tahun, membuat Davian mempunyai lumayan banyak pengalaman untuk itu.

Ponsel Davian bergetar-getar menandakan panggilan masuk, menampakkan nama Aditya di layarnya. Davian langsung mengangkat panggilan itu. Jika Manajer perusahaan yang dipimpinnya sudah menelpon, artinya ada hal tidak beres sedang terjadi pagi ini.

" Dav, di mana?" suara di telepon terdengar santai.

Davian dan Aditya sudah kenal sangat lama. Sejak SMP. Dan yang membuat Davian terkejut saat ia diperkenalkan sebagai Direktur Utama di perusahaan Papinya adalah keberadaan Aditya. Bocah yang dulu pernah bolos pelajaran matematika bersamanya adalah Manajer!

" Di jalan. Macet."

Terdengar helaan napas berat dari seberang sana, " jadwal interview lima menit lagi. Tapi, HRD bilang, calon karyawan belum ada yang datang."

Davian tidak heran. Keadaan jalan yang super macet seperti ini tak dapat di prediksi oleh siapa pun. Bahkan, mobilnya  sampai sekarang masih terjebak di tengah-tengah. Tak dapat maju, mundur apalagi berbalik arah.

" Ada kontainer mimpi indah di tengah jalan..." Davian mendengar tawa dari teleponnya dan juga suara tawa tertahan dari Raka, tapi ia tak peduli kemudian melanjutkan, " Jadi, siapa pun yang datang wawancara duluan, gue langsung acc dia buat jadi sekretaris gue."

" Serius?" intonasi Aditya terdengar tak percaya.

Davian mengangguk, lupa jika Aditya tak dapat melihat anggukannya, "iya."

Sambungan diputus oleh Davian. Lelaki itu memasukkan ponsel ke dalam saku jasnya. Mengabaikan panggilan lain yang mungkin akan mengganggunya. Memindai jalanan yang semakin sesak. Mobilnya benar-benar terjebak di tengah-tengah. Tiba-tiba, suara klakson saling bersahutan ketika beberapa kendaraan di depan mulai jalan. Tak sampai dua ratus meter, mobil kembali berhenti.

Suara klakson kembali memenuhi gendang telinga. Tapi kali ini bukan karena kendaraan di depan jalan lagi. Melainkan, sesosok perempuan berpakaian rapi berlari-lari di trotoar menggunakan pantofel lima senti.

" Tau jalanan macet gini! Itu... ngapain sih cewek lari-lari gitu?" Raka ngedumel sendiri. Kesal. Karena bisa saja perempuan itu tertabrak kendaraannya atau kendaraan lainnya. Nanti yang disalahkan pengendaranya, padahal perempuan itu sendiri yang lari-lari di jalan.

Davian lebih memilih diam. Tak menanggapi apa pun. Tetapi, jika dilihat dari tampangnya sekilas, Davian seperti tak asing dengan wajah itu. Kali ini, ia menggeser duduknya agar lebih dekat dengan kaca mobil, mengamati perempuan yang sedang berlari-lari itu. Membuang napas kasar, ia menyadari sesuatu. Perempuan itu adalah pelacur yang semalam menggodanya.

Davian berdecih dalam hati. Zaman sekarang, rupanya pelacur sudah berkeliaran sejak pagi. Mencari pelanggan di pinggir jalanan macet? Astaga. Kenapa semakin lama pelacur semakin murah seperti itu?

" Mas Davi kenal sama perempuan itu?"

Suara Raka membuat Davi mengerjap dan menggeser duduknya kembali ke tengah. Menegakkan badan agar tak kehilangan wibawanya kemudian berdehem.

" Kamu pernah lihat saya main sama perempuan kayak gitu?" bukannya menjawab, Davian malah balik bertanya.

Raka menggeleng. Tak tahu. Bahkan ia tak pernah melihat majikannya berkawan dengan perempuan mana pun. Yang ia tahu, satu-satunya teman dekat Davian adalah Aditya, " enggak, Mas."

Davian bersandar, seolah bangga dengan dirinya yang tak pernah bergaul dengan perempuan murahan macam pelacur itu. Kemudian, jalanan perlahan-lahan lenggang dan SUV hitam itu pelan-pelan melaju dengan lancar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status