Share

/em•pat/

"Dia pacar kamu?"

"Eh?"

Melihat Asha yang kebingungan menjawab membuat Virgo teringat jika kini telah memasuki pukul lima. Entah apa hubungannya namun ia hanya tak mau gadisnya semakin lama sampai di rumah.

"Nanti jawabnya. Kita ke mobil."

Layaknya tanpa beban, Virgo membiarkan tangannya menaut pada Asha. Gelenyar menyebalkan menghinggapi gadis itu saat tangannya disentuh lembut. Tersadar jika ia tak boleh dengan mudahnya terbuai membuatnya spontan menarik tangannya menjauh.

Namun logika dan hati sepertinya bertentangan. Usaha melepaskan itu hanya ternyatakan dalam tarikan pelan, seolah membiarkan Virgo menggenggamnya lebih lama.

Virgo membuka pintu mobil dan membiarkan gadisnya masuk.

"Saya nggak pernah bilang kalau saya mau pulang sama Bapak."

"Sha, ini udah lewat jam sekolah. Saya nggak nyaman kamu panggil begitu."

"Tetap nggak ngerubah kenyataan kalau saya nggak pernah bilang setuju untuk pulang sama ... Kak Aksa(?)" ujar gadis itu tidak yakin untuk merubah panggilannya. Panggilan itu terlalu mengingatkannya akan kenangan yang diakunya basi, padahal tersimpan rapi dalam memori.

"Saya juga nggak butuh persetujuan untuk pulang bareng kamu. Udah, Sha, masuk."

Gadis itu bersikukuh atas keputusannya. "Enggak," ucapnya tegas yang hanya membuat Virgo gemas.

Ia mundur, lalu melipat tangannya di dada. Menantang ajakan mantan kakak kelasnya itu. Mulai sekarang kita sebut saja Aksa, panggilan Virgo terlalu asing untuknya.

Aksa menerima tantangan gadisnya. Ia menutup pintu dan mengikuti gaya Asha untuk melipat tangan di dada. "Kalau gitu, kita sama-sama nggak usah pulang."

"Ish, tau ah! Saya capek mau pulang."

"Saya juga mau pulang, Sha. Ayo masuk," ujarnya setengah jengkel dengan gadis yang ternyata masih sama keras kepalanya seperti dulu.

Sedikit kecewa menghampirinya saat menyadari keterangan waktu yang hanya memperjelas kesalahan yang telah dilakukan. Kalau saja dulu ia tidak main mengambil keputusan.

Setelah beberapa saat setia diam di tempat, Aksa kembali meminta gadisnya itu untuk masuk. "Asha ...."

Dan untungnya Asha menyutujui ajakannya. Membuat Aksa dengan cepat memutari mobil menuju kursi kemudi.

"Seatbelt, Sha."

"Deket kok."

Aksa memilih langsung memakaikan seatbelt gadis itu daripada hanya berdebat yang tak akan ada habisnya. "Kita nggak tau kalau sampai ada apa-apa."

"Kak Aksa yang tanggung jawab," celetuknya hanya berniat candaan yang sedikit ia sesali karena Aksa menanggapinya serius.

"Iya, saya akan tanggung jawab. Saya akan tanggung jawab atas apa yang terjadi setelah ini dan yang sebelumnya. Saya akan bayar air mata dan kekecewaan itu, Sha."

Mendengarnya, gadis itu mencoba bersikap tak acuh. Walaupun sebenarnya semua titik koma diperhatikannya.

Jangan langsung menganggap dia yang terlalu mau menang sendiri. Di sini posisinya ia pernah sakit hati. Dua kali tersakiti membuatnya belajar. Semoga saja trauma membuatnya lebih pintar.

Mereka membelah jalan yang untungnya ramai lancar. Tak sepadat jalan senja hari biasanya.

Asha memilih untuk menangkap peristiwa demi peristiwa sore hari langsung dengan netra coklatnya. Sayangnya hari ini hanya hari Senin biasa, tanpa adanya aksen awal bulan atau malah akhir bulan yang dapat sedikit merubah lalu lintas pertokoan.

Tersadar dari lamunannya, Asha berdecak dalam hati karena Aksa dengan sengaja memperlambat laju mobil. Cowok itu memang tak menyatakannya secara langsung, hanya saja presentase kemungkinannya besar. Mendukung asumsi pribadinya.

"Ish, Kak, bisa cepetan dikit nggak sih bawa mobilnya? Kalau enggak, saya yang bawa sini."

"Kamu bisa bawa mobil?"

"Enggak," jawabnya ringan memancing kegemasan Aksa.

Membiarkan mobil dilanda keheningan, seolah memberi kesempatan Aksa untuk mengeluarkan segala yang ada dalam kepala. Ia sempat berdeham beberapa kali sebelum akhirnya meyakinkan diri untuk mulai berucap.

"Asha ..." panggilnya tak ditanggapi jawaban.

"Saya ngerti kalau kamu marah dan kecewa atas sikap saya tiga tahun lalu. Silahkan jika kamu memang masih ingin marah sebagai cara menghukum saya. Tapi saya mohon, jangan mengacuhkan saya, Sha. Hal itu terlalu berat untuk saya."

Ucapan tulus itu terdengar jelas di telinga seorang Ashlesha. Hanya saja ia terlalu terenyuh, dan sibuk dengan perang batinnya sehingga tak tau harus menanggapi seperti apa.

Aksa untungnya mengerti. Ia masih cukup mengenal gadis ini untuk memaklumi sikap diamnya.

Seberapa tak acuhnya pun gadis ini, ia yakin masih ada ruang di hatinya untuk kembali ia tempati. Hanya saja butuh perjuangan agar pintu semakin terbuka lebar. Dan Aksa siap melakukan apapun demi Ashlesha kembali padanya.

Aksa meraih tangan Asha dengan tangannya yang tak memegang kemudi. "Asha ..." panggilnya lagi sambil mengelus lembut tangan tersebut.

"I— iya." Jawaban kagok itu berhasil melegakan napas Aksa yang sempat tertahan.

"Iya apa?"

"Ya ... iya."

"Apanya yang iya?" goda Aksa lagi.

"Yang tadi ...."

"Soal kamu mau jadi istri saya?"

Asha spontan terbelalak. "Ish apaan sih! Dari tadi juga nggak ngebahas itu."

"Kamu mau kita bahas itu kapan?" tanggap Aksa lagi, tak gentar menggoda gadisnya. Padahal kata maaf belum diterima, ia sudah berani kembali bermain-main.

"Apaan sih, nggak jelas. Udah ih lepasin tangan saya!" omelnya kesal sekaligus menutup rona merah di pipinya yang sudah lebih dulu disadari Aksa.

"Nggak mau." Aksa makin mengeratkan genggamannya. "Biarin begini. Saya rindu kamu."

***

Mobil sedan hitam itu kini sudah terparkir rapi di halaman rumah yang familiar bagi keduanya.

"Makasih, Kak." ucapnya sambil melepas genggaman Aksa, diikuti suara klik yang menyatakan lepasnya seatbelt dengan pengunci di sisi kursi.

Asha keluar dari mobil, menyempatkan diri untuk kembali memposisikan tas di bahunya. Langkah majunya seakan tertarik kembali ketika ia mendongak dan mendapati Aksa sudah di hadapannya. "Mau ngapain?"

"Saya nganter kamu pulang terlambat, seenggaknya biar saya pamit sama Mama kamu."

"Tap—" Aksa yang sudah tau jika penolakan akan spontan dilayangkan, membuatnya berinisiatif langsung menuntun gadis itu memasuki rumahnya.

"Selamat sore," sapa Aksa kepada satu-satunya tuan rumah yang kebetulan tengah berada di teras. Sepertinya khawatir dengan keadaan putrinya.

Yang disapa mengernyitkan dahi, menyuratkan usahanya menebak siapa yang kini menggandeng anak gadisnya. "Hm ... Angkasa ya?"

"Iya, Tante."

Melihat sambutan hangat Ibunya, sedikit menenangkannya. Setidaknya kali ini ia tak akan dapat omelan setelah membuat Ibunya khawatir karena lagi-lagi pulang telat.

Asha yang menyadari arah pandang Ibunya, spontan menarik tangannya dari genggaman Aksa. "Ya— ya udah, udah kan, Kak?"

Mendengar ucapan Asha, membuat cowok itu malah sengaja menanggapi. "Kamu minta saya pulang?"

"Eh—" Asha terbelalak. Tanggapan sengaja itu jelas-jelas bukan niatan pamit, melainkan pancingan agar Ibunya membiarkan Aksa untuk berkunjung.

"Hush! Kamu nggak boleh gitu, Sha. Mari masuk dulu, Angkasa."

Asha dengan sengaja menarik tangan Aksa, menunggu hingga Ibunya memasuki rumah lebih dulu. Sebelum akhirnya melemparkan tatapan tajam yang sudah ia asah agar lebih tajam pada sosok guru menyebalkan di sampingnya.

"Kenapa? Kamu udah kangen digandeng saya?"

"Ish! Kak Aksa nyebelin! Tau ah!" Asha menyentak tangan Aksa kesal dan meninggalkan cowok itu di belakang.

Aksa hanya terkekeh kecil melihat sikap kekanakan gadisnya.

Ia memasuki rumah dan langsung dipersilahkan untuk duduk di ruang tamu, sedangkan Asha sudah meninggalkannya ke kamar.

"Terakhir kata Asha kamu fokus ujian sampai nggak pernah ngabarin lagi. Kuliah semester berapa sekarang?" tanya Trisha— Mama Asha, lembut. Yang sebenarnya menyentil hati kecil Angkasa.

Bohong jika dulu ia menjadikan ujian sebagai alasan menjauhnya. Ia bahkan tidak meninggalkan pesan sebelum benar-benar pergi. Dengan seenaknya pun kini ia kembali, memaksa gadisnya agar memberinya kesempatan kedua.

"Engh ... saya sekarang Strata 2 semester 2, Tan."

Trisha mengangguk mengerti. "Cepet banget ya, padahal umur kamu nggak beda jauh sama Asha."

"Iya, empat tahun. Saya rasa Asha juga bisa lulus cumlaude nanti, Tan. Sejak SMP Asha selalu aktif di sekolah bareng saya."

"Semoga saja Tante bisa terus dampingi Asha sampai dia lulus ...."

"Tante jangan ngomong gitu dong, Tan. Saya yakin Tante akan bisa lihat Asha sukses nanti."

Derap langkah kaki mengalihkan perhatian dua insan yang tengah mengobrol santai. Menyadari putrinya yang sengaja berlama-lama menuruni tangga membuat Trisha kembali membuka mulutnya.

"Iya, kamu juga harus dapat restu Tante dulu ya." canda Trisha yang menerbitkan senyum di bibir Aksa walaupun ia juga tau niat Trisha hanya menggoda anaknya. Hanya saja, ia menganggap itu lebih dari sekadar candaan.

"Restu apaan coba, Ma?!"

"Heh, kamu datang-datang ketus. Makan dulu gih sama Angkasa." perintah Mama nya yang mengundang decakan Asha.

"Asha tadi udah makan," jawabnya dengan maksud menolak perintah untuk kembali berlama-lama bersama cowok itu. Bukannya tidak mau, munafik jika ia bilang tak rindu setelah tiga tahun menunggu. Hanya saja ia kasihan dengan keadaan jantungnya yang gemar berlarian tiap kelakuan kecil dari seorang Angkasa.

"Kapan?" Dua suara bersatu dalam satu pertanyaan yang dengan jelas menyatakan tanda tanya atas penuturan gadis itu.

"Tadi, makan bekel dari Mama."

Trisha menghela napas. Tidak habis pikir dengan sikap putrinya yang terlalu memikirkannya. "Mama kan udah bilang, kamu kalau mau jajan, ya jajan aja. Sisanya baru ditabung, Sha. Jangan pelit begitu."

Asha menangkap lengan Mamanya yang mengelus lembut pahanya. Ia yang duduk di sandaran tangan sofa sebelah Mamanya, memilih terkekeh mengalihkan pembicaraan. "Jajanan di sekolah tuh penuh minyak dan belum terjamin kebersihannya. Jadi nanti kalau Asha gendut gimana? Kalau Asha sakit gimana? Kan Asha bukan anak IPA yang bisa neliti virus-virus gitu, masa Asha harus nyusun pidato buat abang-abang jualannya untuk menjaga kebersihan barang jualan. Nanti Asha nggak didengerin." 

Celoteh panjangnya, disengaja agar Ibunya melupakan soal uang jajan.

"Kamu mah bisa aja bikin alasan. Udah gih, makan dulu."

"Asha aja, Tan. Saya udah makan."

"Bener? Udah, nggak apa-apa," tawar Trisha lagi. Sedangkan tatapan berharap tanpa sadar malah dilemparkan Asha.

"Nggak usah, Tan."

Trisha hanya mengangguk mengerti. "Oh iya, kalian kok bisa bareng? Kapan ketemunya?"

"Saya KKN di sekolah Asha, Tan."

Mendengar itu Asha berdecih. Sedikit kecewa karena penuturan itu menyatakan dengan jelas bahwa Aksa hanya akan membimbingnya beberapa waktu kedepan. "Ish, mana ada KKN buat mahasiswa 25 tahun." sindir Asha mengundang kekehan Aksa.

"Loh, bukannya Angkasa baru 22 tahun?"

"Iya, Tan—"

"Enggak, Ma. Sekarang Kak Aksa umurnya 30 tahun. Nanti malem 45 tahun. Besok 120 tahun." ucap Asha asal sambil memberi tatapan mencibir yang malah melengkungkan bibir.

"Saya nggak mau menua kalau nggak sama kamu."

Asha spontan bergidik mendengar penuturan Aksa yang terbilang berani.

Seharusnya dia mengantisipasi sikap Aksa yang sejak awal sudah jelas-jelas nekat mengantarnya sampai rumah.

Asha setia menatap manik Aksa. Membuat yang ditatap memberi tanda tanya, karena kali ini tatapan itu pasti dikarenakan suatu hal.

"Kenapa?"

"Bilang bercanda sih, Kak."

"Kalau saya serius?"

"Saya nggak mau," balasnya tegas dan kembali ditegaskan dengan melipat tangan di dada.

"Hush, nggak boleh begitu." Asha hanya melepas lipatan tangannya pasrah setelah Mamanya menegur. 

"Saya bikin kamu mau," sahut Aksa yang kali ini ditanggapi kekehan Trisha.

Melihat itu Asha berdecak kesal. Kenapa Mamanya berpihak pada Aksa dan tidak padanya. Di sini yang sebenarnya anaknya itu siapa?

"Sayanya tetep nggak—"

"Sudah-sudah. Kamu ada PR nggak? Siapa tau Angkasa bisa bantuin."

"Boleh."

"Nggak ada PR. Nggak ada tugas, ulangan, resume, atau lainnya. Abis ini Asha langsung tidur." jawab gadis itu cepat. Meminta bantuan guru mata pelajaran itu langsung memang ide yang cukup bagus, namun mengingat orang itu adalah Angkasa Virgo Zeromme berarti kebalikannya.

"Hm ... udah malam juga, Tan. Saya pamit aja."

"Gara-gara Asha ya?"

Yang disebut namanya mengelak tak terima. Sedangkan yang ditanya hanya terkekeh kecil menanggapinya. "Enggak kok, Tan."

Setelahnya hanya Trisha yang mengantarkan laki-laki itu keluar, dan Asha yang memilih berpura-pura tak peduli dengan langsung berlari menuju kamarnya.

Memang pura-pura. Ia bahkan masih memaksa berjinjit untuk melihat Aksa lewat jendela. Entah beruntung atau sial, yang ditangkap netra nya saat itu bukanlah mobil yang berlalu. Namun malah seorang yang menarik senyum, dan mengarahkan mata padanya. Spontan usahanya meninggikan penglihatan, diimbangi kecepatan kilat upaya tak terlihat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status