Share

3. Tatapan Penuh Benci.

Saat di perjalanan yang entah menuju ke mana. Delia lantas memohon dengan wajah penuh harap. 

"Pak, saya mohon biarkan saya menemui suami saya dulu, dan juga ikut melihat jenazah almarhum. Saya mohon, Pak." Delia memohon sambil menahan tangis. 

Satu satu polisi yang tadi menjelaskan duduk permasalahannya pada Delia, lantas menoleh dan berkata, "Ibu harus menunggu bapak Pasya di kantor polisi." 

Delia menggelengkan kepala. "Pak, tolonglah! Bagaimana bisa saya yang baru selesai melahirkan dan membawa bayi sekarang harus menunggu di kantor polisi? Kenapa saya langsung ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan proses penyelidikan belum dimulai? Mana buktinya kalau saya sudah berselingkuh?!

"Apa seperti ini prosedur penangkapan yang sebenarnya? Bahkan tanpa surat penangkapan, saya langsung diminta untuk menunggu di kantor polisi. Ini tidak adil bagi saya!

"Hanya karena surat yang ditinggalkan almarhum, jadi saya bisa langsung dituduh begitu saja? Bagaimana kalau ada yang memalsukannya? Saya tidak akan mengakui perbuatan itu begitu saja. Setidaknya saya harus menyiapkan pengacara." Jelas Delia tegas sambil menghapus air matanya cepat.

Dia menyadari ada yang tidak sesuai dengan penjemputan ini. Apalagi sampai tidak diizinkan pulang. 

"Setidaknya kalau saya memang ingin ditangkap. Beri saya kesempatan untuk menyerahkan bayi ini pada keluarga kandung saya, Pak!" desak Delia. 

"Baiklah, Ibu mohon tenang dulu! Kami akan mengantar Anda ke rumah duka." Bapak polisi yang tadinya menolak pun mengalah.

Delia merasa bersyukur. Tidak sia-sia dia bersikap tegas seperti tadi.  

Alhasil, tujuan awal yang tadinya menuju ke kantor polisi, berubah haluan menuju ke rumah duka kakak iparnya. 

Sebenarnya Delia masih tidak percaya dengan apa yang menimpanya saat ini. Sampai ia mengingat kembali kejadian ribut semalam saat dirinya masih berada di ruang bersalin. 

Keluarga yang awalnya datang untuk menemaninya melahirkan, tiba-tiba saja pulang semuanya dan tak ada yang muncul sampai sekarang. 

Jika dipikir, kejadian yang terjadi semalam pasti ada hubungannya dengan kondisi kakak iparnya. 

Delia tak bisa menahan tubuhnya yang mulai gemetaran. Dia takut jika kejadian itu membuatnya berpisah dengan Pasya. 

Sepanjang perjalanan, Delia terus melantunkan doa terbaiknya agar semua pemikiran buruk yang terus melintas di benaknya tidak pernah terjadi. 

Perjalanan yang ditempuh lebih dari setengah jam dari rumah sakit akhirnya tiba juga di kediaman kakak ipar Delia. 

Deg! 

Deg!

Jantung Delia yang sebelumnya sudah dibuat berdenyut keras. Kini seolah ingin copot begitu melihat tanda kedukaan di kediaman tersebut. 

"Silakan turun," kata bapak polisi itu pada Delia. 

Dengan kondisi tubuh yang lemah dan bergetar. Delia ke luar dari mobil polisi. Kedatangannya lantas dengan cepat disadari oleh para tamu yang melayat di area luar rumah.

"Si pembunuhnya datang!" suara pekikan itu tiba-tiba terdengar dari sebelah kanan Delia.

Sontak saja semua orang-termasuk Delia menoleh ke arah sumber suara, dan menemukan seorang gadis asing, yang sama sekali tidak Delia kenal. Pertanyaannya adalah kenapa mereka bisa mengenalnya sebagai sosok Delia, yang dituduh menjadi penyebab kematian Sidrat?

Meski semua orang sudah tahu jika Delia ada hubungannya dengan kematian Sidrat. Namun, tak ada satupun dari mereka yang berani menahan langkah Delia untuk memasuki kediaman tersebut.

Delia terus melangkah dengan pandangan lurus ke depan. Ia mencoba mengabaikan semua bisikan pedas yang dilontarkan oleh orang-orang di sekitarnya.

Semakin dekat dengan ruang keluarga, Delia semakin mendengar jelas suara isak tangis dari arah ruangan tersebut.

Netra yang selalu memancarkan keteduhan itu seketika diselimuti kesedihan mendalam. Tubuh Delia membeku dengan tatapan yang berhenti tepat di tengah lingkaran para pelayat. 

Tidak hanya tubuh kaku berselimutkan kain tebal yang mengunci pandangan Delia. Namun, pemandangan suaminya yang terduduk lesu sambil menumpukan kepala di atas kedua lutut, serta kakak iparnya-Jesika yang terbaring lemah di sisi jenazah, mengiris hati Delia.

Belum lagi kedua tangan mungil yang terus menggoyang kain penutup itu, berhasil mendesak air mata Delia mengucur deras. 

Tubuhnya pun semakin bergetar hebat. Kedua tangannya hanya bisa bertahan untuk menahan beban bayinya agar tak jatuh.

Isakan lirih Delia tenggelam dalam jeritan pilu sang ibu mertua. Keadaan ini nyaris membuatnya gila! Delia tidak bisa berdiri di tempatnya begitu saja. 

Setidaknya, untuk terakhir kalinya dia ingin melihat sosok kakak iparnya, yang selama ini begitu baik padanya.

Sidrat sudah seperti kakak laki-laki bagi Delia selama ini. Sosok yang begitu ramah dan lembut padanya. Tak menyangka jika hari ini ia mendapati Sidrat yang sudah tak bernyawa.

Meski dengan langkah yang lemas, Delia terus memaksa tubuhnya untuk sampai ke sana.

Jelas saja beberapa orang yang dilewati Delia sadar akan kedatangannya. Tatapan penuh kesedihan dari keluarga besar dengan cepat berubah murka.

"Untuk apa kau datang ke sini?!" teriakan itu berasal dari saudara perempuan ayah mertua Delia.

Akibat teriakan itu pula semua pandangan sontak mengarah padanya. Namun, karena sejak tadi Delia terus menatap ke arah jenazah. Pandangannya pun akhirnya bertemu dengan kedua netra Pasya. 

Delia merasakan denyut jantungnya yang berbeda. Ketakuatan besar yang dikhawatirkannya sejak di perjalanan seolah menjadi kenyataan setelah melihat tatapan dingin dari sang suami. 

Sungguh! Satu kali pun Delia tak pernah menerima jenis tatapan yang seperti itu seumur hidupnya mengenal Pasya. 

"Untuk apa kau ke sini, perempuan murahan?!" teriak seorang wanita muda yang seusia Delia. 

Delia tidak peduli dengan teriakan mereka dan terus melanjutkan langkahnya untuk mendekat pada sang suami.

"Mas," lirih Delia memanggil sang suami dengan tatapan takut dan sedih. 

Baru saja Delia sampai di dekat jenazah. Ibu mertuanya dengan cepat bangkit dengan tatapan mata yang memerah. 

Plak!

Bunyi tamparan keras yang diterima oleh Delia sukses menghentikan semua tangis keluarga. 

Detik itu juga suasana menjadi sangat hening. Tak ada yang berani membuka suara, bahkan Pasya dengan teganya membuang wajah, dan itu disadari oleh Delia.

"Siapa yang mengizinkanmu menginjakkan kaki di sini? Siapa?! Gara-gara kau anakku meninggal! Kau menyakiti dua putraku! Kau ... kenapa sejahat ini? Apa kesalahan kami? Kami selalu memperlakukanmu dengan baik. Tapi kenapa ...." Ibu mertua Delia berhenti bicara. Ia kembali menangis keras dan luruh ke lantai, tepat di bawah kaki Delia.

Air mata Delia semakin mengucur deras sambil menggelengkan kepala. Dia tidak tahu harus mengucapkan kalimat pembelaan seperti apa.

Delia bukannya tidak bisa membela diri, tetapi semua orang sudah memandangnya sebagai orang yang pantas disalahkan. 

"Pasya, bawa perempuan itu pergi dari sini sebelum Ayah bertindak kasar padanya!" ucap ayah mertua Delia. 

Sontak saja Delia mendekati ayah mertuanya dan berkata, "Ayah, maafkan aku. Aku tidak pernah melakukan itu. Tidak pernah sekalipun aku mengkhianati suamiku-"

"PASYA, BAWA DIA!" bentak ayah mertua Delia penuh amarah besar.

Pasya memaksakan kedua kakinya untuk berdiri dan menghampiri Delia.

Sesampainya di hadapan sang istri. Pasya langsung saja menyeret Delia pergi dengan langkah cepat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status