Share

2. Dijemput Polisi.

Perjuangan yang mengoyak daging dan mengucurkan darah, serta tulang yang seolah diremukkan akhirnya selesai.

Delia berhasil melewati proses hidup dan mati itu sendirian, tanpa didampingi oleh satupun keluarga. 

Tidak hanya fisiknya yang sakit. Namun, hatinya jauh lebih sakit saat mengetahui jika semua keluarga meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Bahkan sampai menjelang pagi kembali, sang suami juga tak kunjung datang. 

"Permisi, kami membawa bayi, Ibu," ucap seorang perawat yang baru saja membuka pintu ruangan Delia, dan tak lama kemudian satu orang perawat lainnya yang sedang menggendong bayi Delia ikut masuk. 

Suara dari kedua perawat itu, berhasil mengalihkan pikiran Delia mengenai keberadaan suami dan keluarganya. 

Segala kegundahan yang menyelimuti hati Delia seketika sirna, begitu netra hitam teduhnya mendapati sosok mungil dalam selimut hangat yang baru saja di letakkan di sisi kanannya.

"Keluarga Ibu belum ada yang datang?" tanya salah satu perawat tersebut.

Delia yang tadinya sempat melupakan soal keluarganya yang tak kunjung datang, justru diingatkan kembali oleh perawat itu.

Dengan ekspresi yang datar, Delia lantas menjawab singkat. "Belum."

"Kalau begitu setelah salah satu keluarga Ibu datang, boleh langsung ke meja administrasi. Ibu juga sudah boleh pulang siang ini, karena kondisi Ibu sudah membaik. Jadi, tidak perlu menjalani perawatan yang lama," ujar perawat tersebut.

"Bukannya semalam dokter bilang kalau suamiku sudah mengurus semua berkas dan administrasi?" tanya Delia heran.

"Kami tidak tahu soal itu, tetapi yang jelas semua urusan Ibu perlu diselesaikan sebelum ke luar dari rumah sakit ini," jawab perawat itu. 

"Silakan bayinya diberi asi. Permisi." Perawat yang menggendong bayi Delia tadi lantas membuka suara, dan menarik lengan temannya untuk pergi.

Delia menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangan pada sang putri kecil, yang sedang menggeliat pelan.

Delia segera mengangkat dan mendekapnya pelan ke dada. 

"Sebentar lagi papa akan datang, Nak," lirih Delia memberitahu bayinya, meski anak sekecil itu belum paham dengan apa yang dia katakan.

Delia memberi ASI sambil berusaha menghubungi Pasya dengan harapan agar suaminya itu mau mengangkat panggilan. Sebab, dia sudah mencoba menelpon beberapa kali, dan tak kunjung diangkat. 

**

Rumah duka.

Sejak tadi malam, suasana di rumah kakak Pasya yang bernama Sidrat Adyatama, sudah diramaikan oleh keluarga besar.

Pagi ini pun kerabat jauh, teman kantor dan bahkan semua tetangga yang menempati perumahan tersebut, datang melayat dan mengirim doa terbaik.

Semua wajah menunjukkan kesedihan mendalam. Hanya Pasya yang menunjukkan rasa bersalah dari ekspresinya. 

Isak tangis keluarga dan keadaan Jesika–kakak ipar Pasya, masih dalam keadaan pingsan.

Pasya melirik ke arah keponakan pertamanya, yang merupakan anak tunggal dari Sidrat dan Jesika. Anak berusia lima tahun itu ikut menangis keras, dan memanggil sang ayah, yang membuat suasana semakin pilu.  

Pasya beberapa kali membuang napas panjang. Tatapannya begitu nelangsa ke arah Jesika dan keponakan kecilnya itu. Dia merasa sangat berdosa pada istri kakaknya dan juga sang keponakan. 

"Delia!" batin Pasya meneriaki nama istrinya. Ada kemarahan besar dalam hatinya, yang sulit untuk dikontrol sejak tadi malam. 

Kemarahan yang sangat besar itu hanya bisa ditahannya sekuat mungkin. Punggung tangannya bahkan terluka dan menunjukkan luka lebar yang terbuka.

Pasya sudah berusaha melampiaskan emosi dengan memukul tembok juga cermin di rumah ini.

Namun, tetap saja sesuatu yang mengganjal dalam hatinya tak bisa hilang begitu saja. 

Selain dilanda duka atas kepergian saudara satu-satunya itu. Pasya juga dibuat sedikit gelisah karena memikirkan Delia yang sejak semalam sendirian di rumah sakit. 

Entah istrinya itu selamat saat melahirkan atau tidak. Dia belum tahu kabarnya sampai sekarang.

Pergi sekarang pun Pasya merasa tak sungkan pada orang tuanya dan juga pada Jesika. Apalagi jenazah kakaknya belum dikebumikan. Dia tidak bisa pergi begitu saja. 

Pasya menghela napas lelah dan kemudian bangkit. Pada saat Pasya bangkit, mau tak mau semua pandangan langsung tertuju ke arahnya. 

Isi surat dari Sidrat sudah bocor sejak tadi malam. Penyebab kematian Sidrat pun sudah diketahui oleh semua orang, karena sejak beberapa jam lalu berita itu terus saja menyebar dengan cepat layaknya virus. 

Pasya membenci tatapan semua orang. Sebab, mereka melayangkan tatapan iba, dan jujur saja itu membuat perasaan Pasya semakin memburuk. 

"Pasya, mau ke mana kau?!" pertanyaan itu datang dari ayahnya.

Pasya menghela napas pelan. "Ke luar sebentar--"

"Jangan meninggalkan tempat ini sebelum memastikan kamu sudah mengantar kepergian kakakmu ke tempat peristirahatan terakhirnya!" ayah Pasya berucap tegas.

Pasya mengepalkan telapak tangan kuat. Dia tidak ingin semakin memancing tatapan orang lain dengan mendebat ayahnya. Maka dengan terpaksa, Pasya kembali duduk di depan jenazah saudaranya. 

**

Sementara itu di rumah sakit. Delia sudah selesai bersiap. Dia akan menyelesaikan administrasi dan pulang sendirian, tanpa menunggu siapapun lagi.

Dia tidak bisa lagi menunggu Pasya yang mengabaikan panggilan teleponnya dan bahkan keluarganya saja tak ada yang bisa dihubungi. 

Maka sebab itu, Delia berpasrah diri untuk pulang bersama bayinya. Meski keadaannya baru saja selesai melahirkan. 

"Suster, tolong bantu saya bawa tas itu. Apa boleh?" pinta Delia sambil menunjuk ke arah tas yang sebelumnya dibawa oleh suaminya. Memang tidak terlalu berat. Namun, sekarang dia harus menggendong bayinya.

Suster yang melihat perjuangan Delia untuk pulang sendirian akhirnya merasa iba. 

"Mari saya bantu sampai selesai, Ibu." Suster itu terlihat semangat saat membantu Delia.

Keduanya kemudian meninggalkan ruang perawatan menuju ke bagian administrasi, dan sesampainya di sana Delia langsung membayar semua biaya tagihannya sendiri.

"Ibu pulangnya naik apa?" Suster itu bertanya setelah Delia menyelesaikan semua pengurusannya. 

"Naik taxi, Suster." Delia menjawab lembut. 

"Baik, saya akan membantu sampai Ibu mendapatkan taxi di depan," kata suster tersebut tak kalah ramahnya. 

Delia membalas dengan senyum penuh tanda terima kasih. 

Sampai akhirnya mereka tiba di depan rumah sakit. Namun, tidak lama setelah mereka berada di tempat itu. Satu mobil polisi berhenti tidak jauh dari posisinya. 

Awalnya Delia tidak berpikir jika petugas berwajib itu akan datang padanya. Namun, setelah menyadari arah langkah kedua polisi tersebut. Delia segera mengernyitkan dahi heran.

"Sepertinya kedua polisi itu melihat, Ibu." Suster yang sejak tadi menemani Delia sudah dibuat was-was, karena berpikir mungkin saja Delia adalah kriminal.

"Saya tidak tahu, Suster." Tidak ada yang bisa Delia jawab, selain hanya memberi jawaban seperti itu. 

Sampai akhirnya kedua polisi tersebut berhenti tepat di depan Delia.

"Selamat siang, Ibu Delia," ucap salah satu polisi tersebut. 

Delia menelan saliva susah payah dan lantas menjawab, "Selamat siang. Ada apa, Pak?" tanyanya gugup.

"Ibu Jesika selaku istri dari almarhum Sidrat Adyatama meminta kami untuk melakukan penangkapan, terkait kasus perselingkuhan Ibu dan suaminya yang ditemukan tewas semalam di kediaman mereka.

"Dalam surat yang tertulis, almarhum mengatakan bahwa kalian telah menjalani hubungan gelap, sampai akhirnya almarhum memutuskan bunuh diri karena tak bisa menerima kenyataan jika Ibu dan Pasya akan terus berbahagia dengan kehadiran anak kalian." Jelas polisi tersebut. 

Delia merasakan jantungnya hendak meledak saking terkejutnya mendengar penjelasan bapak polisi tersebut. 

"Sidrat, me-meninggal?" Delia sontak menatap bayinya dengan wajah pucat pasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status